🏵️🏵️🏵️
Ketika Alex hendak melangkah, tiba-tiba perutku terasa kram. “Auh!” Aku merintih kesakitan.
“Kamu kenapa, Ly?” Alex langsung menghampiriku lalu memegang tanganku.
“Jangan sentuh anak saya!” Bunda langsung menepiskan tangan Alex.
“Saya khawatir dengan keadaan Lily, Bu.” Alex menunjukkan wajah panik.
“Kamu nggak ada hak atas anak saya. Pergi dari rumah saya.” Bunda seolah-olah tidak peduli dengan ucapan Alex.
Kak Hana yang sejak tadi hanya sebagai pendengar, tiba-tiba membuka suara. “Kasihan Lily, Bun. Saat seperti ini, dia pasti butuh ayah dari anak dalam kandungannya.”
“Lebih kasihan lagi kalau Lily jatuh ke tangan penjahat seperti mereka.” Bunda memberikan balasan sambil melihat ke arah Alex, kemudian pandangannya berpindah ke Pak Fandy dan Bu Laras yang belum beranjak dari ruang TV.
Aku sangat tahu bagaimana perasaan Bunda saat ini. Beliau pasti terpukul dengan apa yang terjadi terhadapku. Selama ini, Bunda selalu mengaku bangga memiliki anak-anak yang berbakti kepada orang tua. Mungkin karena aku dan Kak Bara selalu bersikap hormat dan penurut sejak dulu. Di samping itu, kami juga selalu berprestasi.
Saat ini, Kak Bara juga tetap membuat Bunda bangga dengan pencapaiannya yang baru diangkat sebagai direktur di perusahaan tempatnya bekerja. Sementara aku justru mendapatkan musibah yang tidak pernah terpikirkan sama sekali.
Aku merasa telah menciptakan aib dalam keluarga ini karena hamil sebelum menikah. Walaupun Bu Laras telah menjelaskan alasan melakukan inseminasi buatan terhadapku, tetapi tindakan itu tetap menghancurkan impianku.
Dulu, aku selalu berharap menikah dan memiliki anak bersama suami yang aku cintai, juga mencintaiku. Aku hampir saja luluh dengan usaha Kak Andrew—kakak tingkat di kampus yang selama ini mendekatiku.
Akan tetapi, sekarang harapan itu tidak akan pernah menjadi kenyataan. Aku tidak yakin kalau Kak Andrew masih tetap mendekati wanita yang sedang mengandung seperti diriku. Dia pasti akan langsung berpaling jika mengetahui apa yang terjadi terhadapku.
“Izinkan saya bertanggung jawab, Bu.” Alex kembali membuka suara.
“Saya bilang tidak, tetap tidak!” Bunda tampak marah. “Pergi!”
“Yuk, Lex … kita pulang.” Pak Fandy menyebut nama anaknya.
“Saya pulang dulu, ya. Jaga anak kita.”
Alex mengucapkan kata-kata yang membuatku ingin kembali menangis. Mungkinkah aku telah merasakan sesuatu terhadap dirinya? Atau aku hanya terkejut melihat sikapnya yang seolah-olah menunjukkan rasa peduli kepadaku?
🏵️🏵️🏵️
“Maaf, Bun … Hana tidak membenarkan tindakan Bu Laras dan keluarganya, tapi kita juga harus memikirkan nasib Lily ke depannya.” Kak Hana membuka suara setelah Alex dan orang tuanya pergi dari rumahku.
“Apa maksud kamu, Nak?” Bunda sepertinya tidak mengerti arah pembicaraan Kak Hana, sama halnya denganku.
“Lily nggak mungkin tetap mempertahankan kandungannya tanpa suami.” Kak Hana kembali memberikan penjelasan.
“Maksudnya, bayi dalam kandungan Lily digugurkan?” Aku sangat terkejut mendengar balasan Bunda.
“Hana nggak pernah berpikiran sejauh itu, Bun. Bunda pasti tahu itu dosa besar. Hana justru ingin agar Lily tetap membesarkan janinnya.” Kak Hana tampak terkejut mendengar ucapan Bunda.
“Maksud kamu apa, Dek?” tanya Kak Bara kepada Kak Hana.
“Izinkan Alex bertanggung jawab atas kehamilan Lily.”
Aku sangat terkejut mendengar saran dari Kak Hana walaupun kenyataannya, aku juga tidak tahu harus bagaimana saat ini. Terus terang, aku tetap tidak terima dengan tindakan Bu Laras, tetapi aku juga bingung jika perutku makin membesar nanti.
Apa tanggapan orang-orang jika mengetahui diriku hamil tanpa suami? Mereka mungkin akan menganggapku sebagai wanita tidak bermoral. Itu sama saja kalau aku benar-benar akan menghancurkan nama keluarga.
“Bunda nggak setuju.” Bunda kembali membuka suara.
“Kenapa Bunda tidak mempertimbangkan saran Hana?” Ternyata Kak Bara sepemikiran dengan Kak Hana.
“Apa kamu tega melihat Adik kamu tinggal bersama penjahat?” Mata Bunda tampak berkaca-kaca.
“Kalau Alex dan orang tuanya memang penjahat, nggak mungkin mereka bersedia bertanggung jawab. Mereka melakukan inseminasi buatan itu pada Lily justru karena tetap mengingat janji kepada Ayah, Bun.” Kak Hana sepertinya tetap berusaha untuk meyakinkan Bunda. Sementara aku hanya bisa diam. Aku bingung dengan hidupku ke depannya.
“Kalau mantan kekasih Ayah kalian ingin menyatukan anaknya dengan Lily, dia bisa melakukannya dengan cara yang baik. Kenapa memilih jalan yang salah?” Bunda pun menangis.
“Bunda jangan nangis. Lily nggak mau lihat Bunda sedih.” Aku segera memeluk Bunda.
“Tante Lily, ada bunga dari Om yang berdiri di depan pagar rumah. Om itu minta Naya kasih ke Tante.” Naya tiba-tiba muncul dari ruang tamu sambil memegang buket bunga lalu menyerahkan benda itu kepadaku. Siapa yang memberikannya?
🏵️🏵️🏵️Aku sangat tahu apa yang Mbak Amira harapkan saat ini. Dia pasti menginginkan perdebatan antara aku dan Mas Alex. Namun, aku tidak akan membiarkan hal itu terjadi. Aku akan menunjukkan kalau dia tidak akan pernah berhasil meregangkan hubunganku dengan Mas Alex.“Iya, Mas … saya tahu. Saya sangat mengenal suami saya dan wanita ini.” Aku melihat ke arah Mbak Amira.“Tadi dia tersungkur, Sayang. Katanya kakinya terkilir dan nggak bisa berdiri. Saya hanya mencoba untuk memberikan bantuan.” Mas Alex memberikan penjelasan. Aku tetap membalasnya dengan respons baik walaupun hati kecilku tetap tidak terima dengan tindakannya terhadap Mbak Amira.“Mas nggak perlu jelasin. Saya tahu niat Mas hanya untuk nolong mantan istri Mas.”“Terima kasih, Sayang. Saya akan telepon Dimas untuk membantunya.” Mas Alex langsung meraih ponsel dari saku kemejanya lalu menghubungi asisten pribadinya.Tidak sampai dua menit, laki-laki yang selalu membantu Mas Alex selama bertahun-tahun, akhirnya memasuki
🏵️🏵️🏵️Hari ini merupakan acara tujuh bulanan kehamilanku. Aku sangat bersyukur karena kegiatan tersebut berjalan dengan lancar. Semua anggota keluarga dan para undangan memberikan selamat dan doa terbaik untukku, tidak terkecuali dengan Tante Mira dan Kak Andrew.Tiga bulan yang lalu, kebenaran tentang kejahatan wanita yang menjebak Opa Rama telah terungkap. Ternyata alasan Tante Mira sangat membenci Opa Rama karena menganggap orang tua itu tidak bertanggung jawab. Tante Mira mengaku tidak tahu kalau Opa Rama yang telah membiayai kebutuhannya sejak dalam kandungan.Selama hidupnya, Tante Mira selalu percaya dengan ucapan Bu Rahmi—ibunya, tentang Opa Rama yang diakui kejam dan lari dari tanggung jawab. Oleh karena itu, Tante Mira pun sangat membenci ayah kandungnya sendiri hingga berniat untuk balas dendam.Sementara Mbak Indah yang berstatus sebagai keponakan yang menyayangi keluarganya, turut membantu menjalankan niat dan rencana Tante Mira. Dia tidak hanya sekadar suka terhadap M
🏵️🏵️🏵️Mas Alex mematikan telepon setelah mengucapkan terima kasih kepada Dimas. Dia pun langsung duduk di tempat tidur lalu mengembuskan napas berat. Aku tahu bagaimana perasaannya saat ini, walaupun aku tidak mengalami apa yang dia rasakan.Aku pun memilih berdiri di depannya lalu mengusap pipinya. “Mas jangan terlalu banyak mikir. Saya nggak mau Mas sakit. Mas juga harus ingat anak kita.” Aku mendekatkan tangannya ke perutku.“Iya, Sayang. Saya nggak apa-apa, kok. Nanti malam, kita ngomong sama Papa dan Mama untuk memberitahukan kenyataan ini. Mereka pasti ngerti bagaimana cara menyampaikannya ke Opa dan Oma.” Mas Alex mengusap-usap perutku lalu menciumnya. Dia pun memintaku duduk di sampingnya.“Iya, Mas,” jawabku setelah duduk.“Rasanya masih seperti mimpi, ya, Sayang, kalau saya dan Andrew ternyata sepupuan. Kenapa baru terungkap sekarang? Itu juga berawal dari kekejaman dia dan ibunya yang menculik kamu.” Mas Alex tampak kesal.“Mungkin dengan kehadiran saya ke rumah ini, mer
🏵️🏵️🏵️Apa mungkin kecurigaanku terhadap Kak Andrew memang benar? Aku merasakan sesuatu yang aneh ketika dia tiba-tiba berada di jalanan sepi setelah Bu Mira menurunkan aku kala itu. Aku sengaja tidak bertanya kepadanya karena ingin segera tiba di rumah.“Ada apa, Sayang?” Ternyata Mas Alex menyadari perubahan sikapku.“Saya melihat Kak Andrew jalan bersama Bu Mira, Mas.” Aku pun mengatakan apa yang kusaksikan.“Bu Mira?” Wajah Mas Alex tampak mengalami perubahan.“Iya, Mas. Wanita yang menculik saya.”“Apa? Jadi, Andrew kenal dengan wanita itu?” Mas Alex pun menepi lalu menghentikan mobilnya.“Saya juga heran, Mas. Mereka tadi masuk mall itu.” Aku menunjuk pusat perbelanjaan yang baru saja kami lewati.“Saya akan meminta Dimas ke sini untuk menyelidiki mereka. Kalau sampai Andrew terlibat dalam penculikan kamu saat itu, saya akan memberinya pelajaran.” Mas Alex menunjukkan wajah marah. Dia pun menghubungi Dimas—asisten pribadinya.Aku tahu bagaimana perasaan Mas Alex saat ini, apal
🏵️🏵️🏵️Selama ini, aku berpikir kalau Mbak Indah sudah ikhlas menerima hubunganku dan Mas Alex karena sejak pertemuan terakhir kami kala itu, dia tidak pernah menunjukkan dirinya lagi. Namun, ternyata aku salah karena dia ingin mencelakai aku secara diam-diam.“Kenapa Mbak setega itu?” tanyaku kepada Mbak Indah.“Apa? Kamu bilang aku tega? Justru kamu yang telah menghancurkan harapanku untuk bersatu dengan Alex! Kehadiranmu juga menggagalkan semua rencanaku!” Dia meninggikan suaranya.“Saya tidak pernah melakukan apa yang Mbak tuduhkan.” Aku tidak terima dengan apa yang dia ucapkan.“Sok lugu kamu!” Dia menyejajarkan posisi denganku lalu mencekal pipiku. “Aku makin muak melihatmu.” Dia pun kembali berdiri.“Stop, Indah!” Tiba-tiba Mas Alex muncul lalu menghampiriku. Dari mana dia tahu keberadaanku? “Kamu nggak apa-apa, Sayang?” Dia membantuku untuk berdiri.Aku sangat terkejut melihat darah mengalir di pahaku. Apa mungkin ini terjadi karena kram di perutku? “Mas, ada darah,” ucapku
🏵️🏵️🏵️Kenapa Mbak Amira masih menghubungi Mas Alex? Dia bahkan mengirim pesan yang sangat menyakitkan. Bisa-bisanya wanita itu mengingatkan hari pernyataan cinta Mas Alex kepadanya beberapa tahun yang lalu. Apa dia lupa sudah punya suami? Menyebalkan!“Siapa yang kirim pesan, Sayang?” tanya Mas Alex.“Mas lihat aja sendiri. Saya mau mandi. Saya mau ke rumah Bunda hari ini. Kemarin, kan, nggak jadi.” Aku menyerahkan ponsel Mas Alex dan memutuskan untuk mandi karena ingin menghindarinya. Aku lebih baik menjaga jarak darinya dengan cara mengunjungi Bunda.“Kita mandinya bareng aja, ya, Sayang. Terus, sama-sama ke rumah Bunda.” Dia menaruh kembali ponselnya ke nakas sebelum membaca pesan masuk yang dikirim Mbak Amira.“Saya ingin pergi sendiri. Mas lupa ini hari apa?” Aku ingin tahu, apakah dia masih mengingat awal bersatunya hubungannya dengan Mbak Amira sebagai sepasang kekasih dulu.“Ini Minggu, Sayang. Saya nggak mungkin lupa. Jadi, kita bisa ke rumah Bunda seharian.” Dia memberika