🏵️🏵️🏵️
Kak Bara langsung membopong Bunda ke kasur yang ada di ruang TV lalu membaringkannya. Kak Hana turut mengikuti. Sementara aku masih tetap menangis mengingat penuturan lelaki tadi.
“Apa maksud ucapan Anda tadi? Anda puas melihat Bunda saya pingsan?” Kak Bara kembali ke ruang tamu sambil meninggikan suaranya.
“Tapi itu kenyataan, Nak. Dia sedang mengandung cucu kami.” Laki-laki itu memberikan balasan sembari menunjuk ke arahku.
“Adik saya tidak sehina yang Anda tuduhkan. Saya tidak terima dengan fitnah Anda. Saya minta sekarang, pergi dari rumah ini!” Kak Bara tampak sangat marah.
“Mas! Bunda udah sadar!” Terdengar suara teriakan Kak Hana.
Aku dan Kak Bara langsung menuju ruang TV. Aku langsung memeluk Bunda dan meminta ampun kepadanya. Walaupun kehamilanku bukan karena keinginanku, tetapi aku tetap merasa bersalah terhadap wanita yang telah melahirkanku itu.
“Kenapa kamu minta maaf, Sayang?” tanya Bunda setelah aku melepas pelukan.
“Lily hamil, Bun.” Aku tidak sanggup lagi menyembunyikan kehamilanku dari Bunda.
Beliau spontan langsung mendaratkan tamparan di wajahku. “Dasar anak tidak tahu diri! Ini balasan yang kamu berikan pada Bunda? Dosa apa yang Bunda lakukan hingga anak gadis Bunda satu-satunya tega mencoreng nama baik keluarga?” Bunda menumpahkan air matanya lalu mendorongku. “Kenapa kamu melakukan dosa besar itu? Kenapa?” Beliau berteriak.
“Lily nggak bersalah, Bu.” Tiba-tiba pemuda yang bernama Alex, kini berdiri di ruang TV bersama kedua orang tuanya. “Saya berserta Papa dan Mama saya yang bertanggung jawab atas kehamilan Lily.” Aku tidak mengerti apa maksudnya. Apa dia benar-benar mengenalku?
“Iya, Mbak. Jangan salahkan calon mantu saya,” ucap mama Alex.
Kak Bara menghampiri Alex lalu menarik kerah kemeja yang dia kenakan. “Jadi, kalian sengaja menjebak Adik saya?” Kak Bara membuka suara. “Apa salah Adik saya?”
“Kami tidak pernah memiliki niat seperti itu, Mas. Biarkan Mama saya yang jelasin semuanya karena apa yang terjadi terhadap Lily ada hubungannya dengan Om Anjas.” Alex memberikan jawaban panjang lebar. Aku sangat terkejut saat pemuda itu menyebut nama Ayah.
“Jangan bawa-bawa almarhum Ayah saya!” Kak Bara kembali meninggikan suaranya.
“Tenangkan dirimu, Nak. Saya akan jelaskan semuanya.” Mamanya Alex berjalan ke arah Bunda lalu duduk di sampingnya.
🏵️🏵️🏵️
Wanita yang bernama Bu Laras dan tidak lain adalah mamanya Alex, akhirnya menceritakan kenyataan yang tidak pernah aku ketahui selama ini. Bukan hanya aku, tetapi juga Bunda, Kak Bara, dan Kak Hana.
Ternyata Bu Laras adalah mantan kekasih Ayah. Mereka tidak dapat bersatu karena terhalang restu orang tua. Namun, walaupun Ayah dan Bu Laras tidak berjodoh, mereka tidak menyimpan rasa dendam sama sekali. Mereka bahkan sepakat akan menikahkan anak-anak mereka sebagai gantinya.
Laki-laki yang bernama Pak Fandy dan tidak lain adalah papanya Alex, juga setuju dengan rencana dan keinginan istrinya. Namun, Alex sebagai anak tunggal justru menikahi kekasihnya tiga tahun yang lalu. Saat itu, aku masih duduk di bangku SMA.
Bu Laras mengaku sangat sedih karena tidak menepati janjinya terhadap Ayah. Namun, takdir mengubah segalanya karena setelah dua tahun pernikahan Alex, istrinya bermain api dengan pria lain karena menganggap laki-laki itu tidak dapat memberikan keturunan.
“Sebenarnya, Alex menyarankan untuk melakukan inseminasi buatan ke rahim Indah, temannya sejak kecil. Tapi saya mengetahui kebenaran yang mengejutkan. Indah bersedia melakukan itu karena ingin menguasai harta keluarga saya. Saya pun mengambil tindakan untuk menepati janji saya kepada Mas Anjas.” Bu Laras memberikan penjelasan panjang lebar.
“Tapi kenapa harus menggunakan cara seperti itu?” Bunda sepertinya tetap tidak terima dengan tindakan Bu Laras.
“Saya tidak punya pilihan lain, Mbak, karena saat itu, Alex terpengaruh dengan kata-kata manis Indah. Saya tidak ikhlas jika anak saya jatuh lagi ke pelukan wanita tidak benar.” Bu Laras kembali memberikan penjelasan.
“Tapi saya tetap tidak terima. Tindakan Ibu sangat kejam. Itu termasuk kejahatan. Saya minta, tolong pergi dari rumah saya sekarang.” Aku terkejut melihat sikap Bunda.
Tiba-tiba Alex menurunkan posisi tubuhnya lalu berlutut di kaki Bunda. “Izinkan saya menikahi Lily, Bu, demi anak dalam kandungannya. Anak itu bukan hanya anak saya, tapi anak Lily juga. Cucu Ibu.” Aku kembali menitikkan air mata setelah mendengar penuturan Alex. Aku masih merasa seperti mimpi kalau saat ini sedang mengandung. Bagaimana dengan kuliahku?
“Lily tidak akan pergi dari rumah ini. Saya tidak akan membiarkan anak saya tinggal bersama orang-orang kejam. Pergi dari rumah saya!” Bunda meninggikan suaranya, kemudian beliau melihat ke arah Kak Bara. “Usir mereka dari sini!”
🏵️🏵️🏵️Aku sangat tahu apa yang Mbak Amira harapkan saat ini. Dia pasti menginginkan perdebatan antara aku dan Mas Alex. Namun, aku tidak akan membiarkan hal itu terjadi. Aku akan menunjukkan kalau dia tidak akan pernah berhasil meregangkan hubunganku dengan Mas Alex.“Iya, Mas … saya tahu. Saya sangat mengenal suami saya dan wanita ini.” Aku melihat ke arah Mbak Amira.“Tadi dia tersungkur, Sayang. Katanya kakinya terkilir dan nggak bisa berdiri. Saya hanya mencoba untuk memberikan bantuan.” Mas Alex memberikan penjelasan. Aku tetap membalasnya dengan respons baik walaupun hati kecilku tetap tidak terima dengan tindakannya terhadap Mbak Amira.“Mas nggak perlu jelasin. Saya tahu niat Mas hanya untuk nolong mantan istri Mas.”“Terima kasih, Sayang. Saya akan telepon Dimas untuk membantunya.” Mas Alex langsung meraih ponsel dari saku kemejanya lalu menghubungi asisten pribadinya.Tidak sampai dua menit, laki-laki yang selalu membantu Mas Alex selama bertahun-tahun, akhirnya memasuki
🏵️🏵️🏵️Hari ini merupakan acara tujuh bulanan kehamilanku. Aku sangat bersyukur karena kegiatan tersebut berjalan dengan lancar. Semua anggota keluarga dan para undangan memberikan selamat dan doa terbaik untukku, tidak terkecuali dengan Tante Mira dan Kak Andrew.Tiga bulan yang lalu, kebenaran tentang kejahatan wanita yang menjebak Opa Rama telah terungkap. Ternyata alasan Tante Mira sangat membenci Opa Rama karena menganggap orang tua itu tidak bertanggung jawab. Tante Mira mengaku tidak tahu kalau Opa Rama yang telah membiayai kebutuhannya sejak dalam kandungan.Selama hidupnya, Tante Mira selalu percaya dengan ucapan Bu Rahmi—ibunya, tentang Opa Rama yang diakui kejam dan lari dari tanggung jawab. Oleh karena itu, Tante Mira pun sangat membenci ayah kandungnya sendiri hingga berniat untuk balas dendam.Sementara Mbak Indah yang berstatus sebagai keponakan yang menyayangi keluarganya, turut membantu menjalankan niat dan rencana Tante Mira. Dia tidak hanya sekadar suka terhadap M
🏵️🏵️🏵️Mas Alex mematikan telepon setelah mengucapkan terima kasih kepada Dimas. Dia pun langsung duduk di tempat tidur lalu mengembuskan napas berat. Aku tahu bagaimana perasaannya saat ini, walaupun aku tidak mengalami apa yang dia rasakan.Aku pun memilih berdiri di depannya lalu mengusap pipinya. “Mas jangan terlalu banyak mikir. Saya nggak mau Mas sakit. Mas juga harus ingat anak kita.” Aku mendekatkan tangannya ke perutku.“Iya, Sayang. Saya nggak apa-apa, kok. Nanti malam, kita ngomong sama Papa dan Mama untuk memberitahukan kenyataan ini. Mereka pasti ngerti bagaimana cara menyampaikannya ke Opa dan Oma.” Mas Alex mengusap-usap perutku lalu menciumnya. Dia pun memintaku duduk di sampingnya.“Iya, Mas,” jawabku setelah duduk.“Rasanya masih seperti mimpi, ya, Sayang, kalau saya dan Andrew ternyata sepupuan. Kenapa baru terungkap sekarang? Itu juga berawal dari kekejaman dia dan ibunya yang menculik kamu.” Mas Alex tampak kesal.“Mungkin dengan kehadiran saya ke rumah ini, mer
🏵️🏵️🏵️Apa mungkin kecurigaanku terhadap Kak Andrew memang benar? Aku merasakan sesuatu yang aneh ketika dia tiba-tiba berada di jalanan sepi setelah Bu Mira menurunkan aku kala itu. Aku sengaja tidak bertanya kepadanya karena ingin segera tiba di rumah.“Ada apa, Sayang?” Ternyata Mas Alex menyadari perubahan sikapku.“Saya melihat Kak Andrew jalan bersama Bu Mira, Mas.” Aku pun mengatakan apa yang kusaksikan.“Bu Mira?” Wajah Mas Alex tampak mengalami perubahan.“Iya, Mas. Wanita yang menculik saya.”“Apa? Jadi, Andrew kenal dengan wanita itu?” Mas Alex pun menepi lalu menghentikan mobilnya.“Saya juga heran, Mas. Mereka tadi masuk mall itu.” Aku menunjuk pusat perbelanjaan yang baru saja kami lewati.“Saya akan meminta Dimas ke sini untuk menyelidiki mereka. Kalau sampai Andrew terlibat dalam penculikan kamu saat itu, saya akan memberinya pelajaran.” Mas Alex menunjukkan wajah marah. Dia pun menghubungi Dimas—asisten pribadinya.Aku tahu bagaimana perasaan Mas Alex saat ini, apal
🏵️🏵️🏵️Selama ini, aku berpikir kalau Mbak Indah sudah ikhlas menerima hubunganku dan Mas Alex karena sejak pertemuan terakhir kami kala itu, dia tidak pernah menunjukkan dirinya lagi. Namun, ternyata aku salah karena dia ingin mencelakai aku secara diam-diam.“Kenapa Mbak setega itu?” tanyaku kepada Mbak Indah.“Apa? Kamu bilang aku tega? Justru kamu yang telah menghancurkan harapanku untuk bersatu dengan Alex! Kehadiranmu juga menggagalkan semua rencanaku!” Dia meninggikan suaranya.“Saya tidak pernah melakukan apa yang Mbak tuduhkan.” Aku tidak terima dengan apa yang dia ucapkan.“Sok lugu kamu!” Dia menyejajarkan posisi denganku lalu mencekal pipiku. “Aku makin muak melihatmu.” Dia pun kembali berdiri.“Stop, Indah!” Tiba-tiba Mas Alex muncul lalu menghampiriku. Dari mana dia tahu keberadaanku? “Kamu nggak apa-apa, Sayang?” Dia membantuku untuk berdiri.Aku sangat terkejut melihat darah mengalir di pahaku. Apa mungkin ini terjadi karena kram di perutku? “Mas, ada darah,” ucapku
🏵️🏵️🏵️Kenapa Mbak Amira masih menghubungi Mas Alex? Dia bahkan mengirim pesan yang sangat menyakitkan. Bisa-bisanya wanita itu mengingatkan hari pernyataan cinta Mas Alex kepadanya beberapa tahun yang lalu. Apa dia lupa sudah punya suami? Menyebalkan!“Siapa yang kirim pesan, Sayang?” tanya Mas Alex.“Mas lihat aja sendiri. Saya mau mandi. Saya mau ke rumah Bunda hari ini. Kemarin, kan, nggak jadi.” Aku menyerahkan ponsel Mas Alex dan memutuskan untuk mandi karena ingin menghindarinya. Aku lebih baik menjaga jarak darinya dengan cara mengunjungi Bunda.“Kita mandinya bareng aja, ya, Sayang. Terus, sama-sama ke rumah Bunda.” Dia menaruh kembali ponselnya ke nakas sebelum membaca pesan masuk yang dikirim Mbak Amira.“Saya ingin pergi sendiri. Mas lupa ini hari apa?” Aku ingin tahu, apakah dia masih mengingat awal bersatunya hubungannya dengan Mbak Amira sebagai sepasang kekasih dulu.“Ini Minggu, Sayang. Saya nggak mungkin lupa. Jadi, kita bisa ke rumah Bunda seharian.” Dia memberika