Share

Ponsel hadiah

"Apa kau sudah pernah ke Kampung Hilir itu?" Tanya Alissa dan di jawab dengan gelengan kepala oleh Rafael.

"Sudah diurus sama Dion. Buat apa ke sana. Urusanku juga masih banyak." Rafael mengajak Alissa untuk menyudahi acara makannya di cafe itu.

"Oh iya. Tulis nomor ponselmu di sini. Kalau butuh sewaktu-waktu." Ucap Rafael memberikan ponselnya pada Alissa.

"Aku belum ganti nomor, Tuan."

"Hah?" Rafael mengkerutkan alisnya. Dia tak mengerti maksud Alissa.

Alissa menunjukkan ponsel tua miliknya yang sedang mati. "Aku harus mengganti nomornya dulu. Aku nggak mau keluargaku terus menghubungiku."

"Ponsel apa itu? Buruk sekali. Lebih mirip ponsel jaman purba." Rafael tertawa lepas melihatnya.

"Memang iya. Aku membelinya empat tahun silam. Beruntung sekali dia masih mau nyala." Sungut Alissa.

Rafael melajukan mobilnya membelah jalanan besar ibu kota yang mulai macet.

"Mau ke mana?" Tanya Alissa saat Rafael mengajaknya turun ke sebuah deretan pertokoan.

"Mbak. Ambilkan ponsel keluaran terbaru. Sekalian aktifkan dan pasang nomor baru juga." Titah Rafael pada sales toko ponsel yang menyambutnya.

"Aku belikan kau ponsel baru. Berikan ponsel lamamu padaku. Asal kau tahu saja, aku belum sepenuhnya percaya padamu. Jangan karena papa mempekerjakanmu, kau jadi besar kepala. Aku masih mengawasimu."

Alissa tak menjawab. Hanya memberikan ponsel miliknya pada Rafael. Lagipula, dia memang ingin jauh-jauh dari ponsel jadulnya itu.

"Silahkan, Kak. Sudah ada nomor baru, sudah diisi pulsa juga."

Mereka pun bergegas keluar setelah membayar ke kasir.

"Kita kemana, Tuan?" Tanya Alissa. Dia melihat jam di tangan kanannya. Masih jam sebelas siang.

"Panggil aku Rafael saja. Panggilan Tuan itu sedikit risih waktu keluar dari mulutmu."

"Baiklah. Itu juga sedikit aneh." Jawab Alissa.

Rafael melajukan mobilnya sedikit pelan saat memasuki area jalan yang mulai sepi. Di kanan kirinya hanya ada persawahan lengkap dengan padi yang mulai menguning.

Tak ada mobil atau kendaraan lewat selain mobil yang mereka tumpangi.

"Masuk."

Rafael mengajak Alissa untuk masuk ke sebuah bangunan besar tiga lantai dengan pagar tinggi dan parkir luas. Alissa mengekor sambil matanya tak henti melihat ke kanan kirinya.

Mereka masuk melalui pintu kaca besar dan disambut dengan lobby yang lumayan besar. Ada sofa empuk di sisi kanan dan mini bar di sisi kiri dengan tulisan 'The Exotic' terpajang besar di dindingnya.

Beberapa orang nampak lalu lalang.

"Kau tunggu di sana. Aku ada urusan. Kalau ada orang yang tanya, bilang kau datang denganku." Ujar Rafael sambil menunjuk sofa berwarna merah cerah itu.

Alissa menghempaskan badannya ke sofa merah itu. Dia melirik beberapa poster tak senonoh yang ada di dinding. Gambar perempuan yang kebanyakan tanpa busana itu membuatnya ngeri. Nampaknya, dia tahu tempat apa itu.

"Hai, ada yang bisa kubantu?" Tanya seorang perempuan dengan rambut pirang dan pakaian minim menghampiri Alissa.

"Ah, tidak. Aku kesini dengan Rafael. Aku menunggunya di sini. Terima kasih." Balas Alissa dengan senyum manisnya.

"Oh, kau tamu tuan Rafael. Sebentar, aku akan mengambilkanmu minum."

Tak sempat menghentikannya, wanita itu langsung pergi menuju ke mini bar.

"Kurasa kau bisa minum cola. Silahkan, aku Rindu."

Alissa membalas jabat tangan wanita itu. "Aku Alissa."

Rindu kemudian duduk di samping Alissa. "Aku akan menemanimu. Bahaya jika wanita secantik kau duduk sendiri di sini. Apalagi tak ada yang tahu kalau kau tamunya tuan Rafael."

Alissa dan Rindu akrab dalam waktu yang singkat. Keduanya seperti sahabat yang lama tak bertemu. Alissa tahu seluk beluk tempat itu dari Rindu. Salah satu bisnis milik Rafael.

Alissa juga tahu jika Rindu ternyata berumur sama dengannya. Hanya saja, dia seorang janda beranak satu. Dia meninggalkan anaknya di kampung dan bekerja sebagai salah satu wanita penghibur di tempat itu.

Rindu juga menceritakan kebahagiaannya bekerja di tempat milik Rafael itu meski sebagai wanita tak benar. Menurutnya, tempat itu jauh berbeda dari tempat sejenis di luar sana.

"Aku dulu pernah ikut satu mami. Sekali main mami cuma ngasih aku dua ratus. Yang tiga ratus dimakan sama mami. Kalau di sini beda. Tamunya beda, tarif juga beda. Kalau nggak pengusaha, ya bos atau orang besar. Minimal empat juta. Dan bagian kami sebagai pekerja itu lebih besar." Terang rindu dengan semangat yang menggebu.

Mereka mengobrol tanpa henti sampai tak terasa sudah dua jam berlalu. Rafael terlihat keluar dari lift dan menghampiri Alissa.

"Kalian kenal?" Tanya Rafael heran melihat Alissa dan Rindu sedang tertawa cekikikan entah membahas apa.

"Baru kenal tadi, tuan. Alissa, kalau mampir ke sini lagi cari aku ya. Kita ngobrol lagi. Mari, Tuan." Rindu pamit dan meninggalkan Alissa dengan lambaian tangan.

"Dia perempuan baik." Ucap Alissa lirih.

"Maksudmu Rindu? Ya, dia baik. Uang yang didapatnya selalu dikirim untuk orang tuanya. Dia tak suka belanja foya-foya seperti kebanyakan temannya."

Alissa membasuh tubuhnya yang sudah berkeringat. Rasa lelah yang dirasakannya hilang berganti tubuh yang segar dengan aroma sabun strawberry yang menyegarkan.

Sembari menunggu makan malam, dia duduk di balkon dan menikmati angin.

Cekrek!

Alissa mengambil sebuah foto selfi dengan ponsel barunya. Cantik, fikirnya. Rambut hitam lurusnya tergerai indah dan nampak sangat cantik di foto itu. Lantas foto itu ia jadikan sebagai wallpaper. Iseng, dia memeriksa kontak di ponselnya. Rupanya, sudah ada nomor Rafael, Mira dan William di dalamnya. Entah kapan sales ponsel itu memasukkannya.

Telinga Alissa menangkap suara gaduh dari lantai bawah. Dia segera turun dan memastikan semuanya baik saja. Sayangnya, bukan hal baik yang dilihatnya. Rafael yang sedang sempoyongan karena mabuk berjalan tak tentu arah dan menabrak barang-barang pajangan. Dia tertawa tak jelas dengan seorang wanita berbusana dress sangat mini.

"Ada apa ini? Kau berjalan sambil menghancurkan barang-barang di rumahmu sendiri. Wanita ini siapa?" Alissa geram dan segera mencegat Rafael.

"Dia, akan menemaniku malam ini. Minggir kau!" Rafael hendak mendorong Alissa untuk menepi. Sayangnya, tubuhnya yang sudah mabuk berat itu tak punya banyak tenaga.

"Hei perempuan. Aku akan menemani Tuan Rafael. Kau sebaiknya pergi siapkan makanan untuk kami!" Wanita berambut pirang itu bersikap layaknya bos.

"Rafael, siapa nama perempuan ini?"

Rafael nampak berfikir berat hanya untuk menyebutkan nama perempuan yang dibawanya.

"Ah, nama itu tidak penting. Ayo sayang, kita ke kamarku."

Alissa mencegat Rafael dan melepas gandengannya dari wanita itu.

"Kau, Nona. Silahkan pergi sekarang. Aku pengasuhnya Rafael. Apa harus ku adukan pada Tuan william atau Miss Mira?" Alissa tersenyum sadis pada wanita itu. Sadar akan ancaman, dia langsung pergi tanpa protes apapun.

Alissa kemudian memapah Rafael yang sudah hampir tak sadarkan diri karena alkohol itu ke kamarnya.

"Dasar bayi besar." Gerutu Alissa sambil mencopot sepatu Rafael dan menyelimutinya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status