Share

RAFAEL

Mira meminta Alissa untuk mencobanya.

"Bungkus semua size untuk ukuran itu." Titah Mira pada pegawai toko saat melihat Alissa yang cocok dengan baju barunya.

"Maaf Miss, apakah ini nggak berlebihan. Sepertinya tiga potong saja sudah cukup." Keluh Alissa.

Mira menatap Alissa tajam. "Kamu tidak boleh terlihat kumal di samping Rafael, Lissa. Semua anggota kita punya setelan baju mahal, meski hanya supir. Penampilan itu juga hal penting."

Alissa hanya mengangguk setuju. Dia tak berani banyak protes dihari pertamanya bekerja.

"Mbak, tolong bawa dia ke bagian skincare dan make up ya. Carikan yang pas buat dia."

"Siap kak," ujar pegawai toko itu sambil mengajak Alissa menuju bagian lain toko.

"Kau dapat gadis itu dari mana?" Tanya Rafael pada Mira.

"Kenapa?"

"Dia aneh." Jawab Rafael membuat Mira heran.

"Saat kau bilang kalau papa mafia, dia tak bereaksi apapun. Jangan-jangan dia mata-mata."

Mira memcoba mengingat apa yang dikatakan Rafael barusan.

"Mungkin dia pasrah kali sama nasibnya. Aku udah selidikin dia kok. Aman."

Hari sudah menjelang sore saat mereka selesai belanja.

"Kamu tidur dulu aja. Besok pagi jam delapan Rafael harus sudah bangun." Perintah Mira pada Alissa.

Alissa melewati malam dengan sedikit syukur. Dia memegang ponselnya, sedikit ragu untuk menyalakannya.

"Ayo bangun, Tuan!"

Alissa dengan susah payah mengguncang tubuh Rafael. Sayangnya, sang pemilik tubuh tegap itu nampaknya masih sangat lelap dengan mimpinya.

"Banguunnnn!"

Satu teriakan melengking milik Alissa berhasil membuat Rafael membuka matanya.

"Jam berapa ini?" tanyanya ambil mengucek mata kanannya.

"Jam sembilan." Ucap ALisa santai.

"Hah? Gimana 'sih. Aku ada janji jam sembilan." Gerutu Rafael sambil berlari masuk ke kamar mandi.

Alissa menahan tawanya. Dia kemudian membuka lemari pakaian Rafael. Mengambil sebuah celana denim berwarna navy dan kemeja putih pendek.

"Alissa, kau harusnya membangunkanku lebih awal. Jika aku telat bertemu Dion, aku bisa dipecat jadi anaknya papa." Gerutu Rafael saat keluar dari kamar mandinya.

"Setidaknya jangan cuma memakai handuk jika mau mengomeliku." Ucap Alissa yang tengah menutup mata dengan tangannya sambil meinggalkan Rafael untuk berganti baju.

"Dasar jual mahal."

Rafael turun dari lantai dua dengan tergesa-gesa.

"Ada apa?" tanya Mira heran.

"Mana Alissa? Dasar gadis menyebalkan. Lihat, dia membangunkanku jam tujuh dan mengatakan ini sudah jam sembilan." Gerutu Rafael dengan berkacak pinggang. MIra terwata terbahak-bahak mendengar penuturan Rafael.

"Dia cerdas bukan? Dia ada di ruang makan, menunggumu untuk sarapan."

Rafael segera menyusul Alissa untuk protes. Hatinya menjadi lebih kesal saat melihat Alissa duduk dengan senyum mengejeknya.

"Keterlaluan kau."

"Bangun pagi akan membuatmu sehat, Tuan. Harusnya kau lebih pagi lagi. Aku saja bangun jam empat." Ejek Alissa.

Alissa memang bangun sangat pagi tadi. Pintu kamarnya diketuk oleh anak buah Mira yang mengantarkan baju-baju baru yang kemarin dibelikan untuknya. Baju-baju yang bahkan sudah dilaundry itu lumayan banyak hingga hampir memenuhi lemari empat pintu di kamarnya.

"Silahkan, Tuan." Ucap seorang asisten rumah tangga menyajikan sandwich dan jus buah untuk sarapan mereka bertiga.

"Terma kasih Mbok Nem," Ucap Mira sambil memulai acara sarapannya.

"Aku nggak mau makan ini." Kata Rafael membuat Mbok Nem kaget.

"Aku mau nasi goreng. Alissa, buatkan aku nasi goreng. Kau pengasuhku bukan? Harusnya bisa 'dong buat nasi goreng."

"Baiklah."

Alissa berdiri dan berjalan menuju dapur.

"Harus enak ya. Kalau nggak enak mending keluar dari sni." Tantang Rafael.

Rafael tak henti-hentnya memandang punggung Alissa yang berlalu dan mengabaikan protes dari Mira.

"Kenapa sih? Mau ngerjain Alissa?"

Rafael menyungut. "Kita lihat aja, sampai kapan dia betah kerja di sini."

Sepuluh menit berlalu, Alissa pun datang membawa sepiring nasi goreng ke hadapan Rafael. Aroma sedap menyelinap ke hidung pemuda dua puluh lima tahun itu. Membuat perutnya bergetar minta segera diisi.

"Silahkan, makanlah." Pinta Alissa yang heran melihat Rafael bengong memelototi nasi goreng buatannya.

"Suapin!"

Alissa yang jengkel memaksa kakinya untuk melangkah dan duduk di samping Rafael.

'Enak!' Seru batin Rafael saat sesendok nasi goreng itu masuk ke mulutnya.

"Gimana?" Tanya Alissa.

"Baisa aja." Dusta Rafael tak mau mengakui sedapnya nasi goreng buatan Alissa.

"Yasudah buang aja." Alissa berdiri dan mengambil nasi goreng itu dari hadapan Rafael.

"Eh jangan!" Rafael memegang tangan Alissa. Berusaha menghentikannya. Dia mengambil kembali makanan itu dan menghabiskannya sendri.

'Dasar munafik.'

Usai sarapan, Rafael mengajak Alissa kut dengannya ke sebuah cafe.

"Kamu tunggu di sana aja ya, pesen apapun yang kamu mau. Aku ada urusan di lantai dua." Kata Rafael sambil menunjuk meja di sudut cafe dekat jendela. Alissa menurut dan duduk di sofa empuk pojok cafe yang masih sepi itu.

"Permisi Kak, silahkan menunya." Seorang gadis pelayan cafe datang menghampirinya.

"Ada rekomendasi nggak kak? Kayaknya enak semua jadi bingung, hehe."

Peayan itu menyarankan segelas americano, fetuccini carbonara dan pisang bakar keju.

Sambil menunggu pesenannya, Alissa mengamati sekitarnya. Kursi cafe ini hanya beberapa saja yang mengisi. Mungkin karena memang masih pagi. Rata-rata mereka adalah anak muda yang mungkin seusianya. Dengan laptop yang ada di hadapannya, Alissa menebak mungkin mereka anak kuliahan yang sedang mengerjakan tugas.

Lewat jendela dia mengintip keluar. Taman depan cafe ditanami bunga daisy dan mawar dengan aneka warna. Dia melihat ke arah area parkir. Terlihat mobil milik Rafael dengan beberapa motor pengenjung lainnya.

"Silahkan Kak."

"Makasih. Kak." Kata Alissa pada pelayan yang mengantarkan pesanannya.

Sambil makan, Alissa menggerutu karena merasa Rafael sangat lama.

Saat selesai meminum tetes terakhir kopinya, Alissa baru mendapati Rafael datang dengan santainya.

"Lama amat. Satu jam lho," gerutu Alissa.

Rafael tak menjawab. Hanya mencomot pisang bakar miliknya dan membuang muka menatap sisi lain dari jendela cafe.

"Kenapa? Ada masalah?" Tanya Alissa. Rafael mengangguk.

"Aku barusan ketemu sama orang suruhan papa buat proyek di Kampung Hilir. Udah sebulan belum selesai." Ujar Rafael.

"Proyek?"

"Iya, jadi papa mau bangun mall di sana. Orang kampung situ mau digusur. Tapi pada nggak mau."

Alissa mengangkat alis mendengar penjelasan Rafael.

"Tunggu dulu. Kalian yang mau bangun mall kenapa kampung orang yang digusur?"

Rafael mengambil sesuatu dari punggung belakangnya. Sebuah senjata laras pendek ditempelkannya pada kening Alissa.

Rafael mengambil sisa pisang bakar terakhir. "Memangnya kenapa?"

"Tanah itu punya kami. Ada sertifikat sah dan jelas. Mereka itu bangun rumahnya ilegal. Lagian kita ganti rugi kok. Mereka aja minta ganti ruginya sampai dua kali lipat. Nggak tahu diri banget."

Mata coklat Rafael menatap tajam Alissa, seolah ingin menelannya.

"Jangan mengurusi urusanku, Alissa. Kau cuma orang suruhan papa. Aku belum sepenuhnya percaya padamu. Aku tahu kau menyembunyikan sesuatu. Aku akan menguaknya. Dan jika kau berkhianat, peluru ini akan menembus kepalamu."

Alissa mengangguk tanda mengerti.

"Tidak ada alasan bagiku untuk berkhianat. Jika kau tak suka dengan keberadaanku, bilang saja pada Tuan william."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status