Laila seketika melongo melihat penampilan dokter Marzuki yang sedang memakai baju koko warna putih. Aroma parfum dokter muda yang lembut tapi maskulin itu menggoda hidung Laila saat jarak diantara keduanya mendekat."Assalamualaikum, pak Jaka, mbak La, mas Rama," sapa dokter Marzuki. "Waalaikumsalam, dokter. Apa ada yang bisa saya bantu? Tapi nanti setelah salat Jumat ya?"Dokter Marzuki tersenyum pada ketiga orang yang berada di depan rumah itu, membuat jantung Laila terasa tidak aman. "Sebenarnya saya minta maaf. Semalam Yasmin dan mbak La sudah berjanji akan bermain layang-layang. Dan hari ini Yasmin menagih janjinya sampai rewel. Jadi ..,""Astaghfirullah! Dokter, saya lupa! Maaf. Ayo Dek, masuk ke dalam dulu. Nanti main layang-layang nya setelah orang-orang selesai salat Jumat ya?" sahut Laila memotong ucapan dokter Marzuki sambil menepuk jidatnya. Dia sungguh lupa dengan janjinya pada Yasmin. Tentu saja karena Laila sudah terlalu lelah setelah mendapat hukuman menyikat kamar
Yasmin menangis dengan keras. Merasakan sikunya yang panas dan perih. "Astaghfirullah!" pekik Laila terkejut. Gadis itu menghambur ke arah Yasmin yang sedang jatuh terjerembab di tengah lapangan. Tak dihiraukannya layang-layang yang sedang diterbangkan nya terlepas dari tangan. "Yasmin! Apa kamu nggak apa-apa, Dek?" tanya Laila dengan ekspresi wajah cemas. Dalam hatinya, Laila merasa takut jika dokter Marzuki marah karena Laila dianggap lalai menjaga anaknya. Laila membantu Yasmin duduk dari posisi tengkurap nya. Lalu dilihatnya lutut dan siku Yasmin yang berdarah. "Ya Allah, kamu terluka, Dek! Ayo kita pulang dulu!" seru Laila seraya menggendong Yasmin. "Tapi bagaimana dengan layang-layang nya? Layang-layang nya terbang kan? Kita nggak bisa main layang-layang lagi dong?" rengek Yasmin diantara isak tangisnya. Dia merasa lukanya begitu sakit. Tapi dia juga tidak mau kalau layang-layang nya lepas dan terbang menghilang. "Kamu harus diobati dulu. Baru kita bisa beli layang-layang
"Mbak La, apa mbak La mau menjadi mamanya Yasmin?" Laila menatap Yasmin tercengang. "Yasmin, mbak La ..,""Ehem, Laila, kamu sudah selesai mengobati Yasmin belum?" Mendadak terdengar suara pak Jaka dari arah kamarnya. "Eh, bapak. Laila masih belum selesai membersihkan lukanya Yasmin, belum diplester juga."Laila menunjuk ke arah lutut dan siku Yasmin yang masih memerah. "Kalau begitu kamu segera bersihkan dan plester lukanya lalu antar kan pulang pada papanya," instruksi pak Jaka. "Tapi Pak, mungkin Yasmin masih ingin bermain sama aku?""Ck, kamu itu sudah kelas tiga SMA, jangan main terus. Sekali lagi bapak bilang obati luka Yasmin dan antar dia pulang!""O-oke, Pak. Laila akan melakukan apa kata Bapak," sahut Laila. Dia lalu fokus membersihkan luka Yasmin. Sedangkan pak Jaka berlalu dari hadapan Laila dan Yasmin. "Kamu pernah nggak diobati sama papa pas terluka seperti ini?" tanya Laila pada Yasmin. Laila mengoleskan revanol di kapas, lalu membubuhkan nya perlahan di tubuh Yas
"Nggak usah repot-repot, Ma. Marzuki nggak mau kalau nanti Yasmin mempunyai ibu sambung yang jahat. Atau nanti istri baru Marzuki minggat sama mantannya. Big No, Ma!""Astaga, Marzuki! Hentikan trauma kamu itu! Nggak semua perempuan itu jahat. Ada kok perempuan yang santun, baik dan tanggung jawab."Hening sejenak. Anak beranak itu sibuk dengan pikiran masing-masing. "Marzuki, oke lah kalau kamu tidak mau menikah karena trauma kamu itu. Tapi menurut mama yang terpenting sekarang adalah kamu mendapat asisten rumah tangga untuk menemani Yasmin. Kasihan anak kamu kalau harus menemanimu kerja di puskesmas. Yasmin kan juga butuh teman saat di rumah. Kamu juga butuh orang yang bisa mencuci, menyetrika dan memasak untukmu kan?""Iya Ma. Tapi Marzuki belum mendapatkan asisten rumah tangga itu. Padahal Marzuki sudah memberikan mencari dan bertanya kesana kemari mencari asisten rumah tangga. Tapi belom ada yang mendaftar. Marzuki harus gimana dong?" Mamanya menghela nafas panjang. "Kalau b
"Oh, iya. Silakan masuk. Bawa saja kopernya ke dalam. Saya tunjukkan kamar untuk kamu," ujar Marzuki seraya melangkah lebih dulu ke dalam rumah. Inem mengikuti langkah Marzuki dan melihat sekeliling rumahnya. Pandangan lalu terantuk pada Yasmin yang juga menatapnya. "Maaf kalau lancang, tapi kata pemilik yayasan, dokter tinggal sendiri dengan anaknya tanpa istri ya?" tanya Inem hati-hati. Marzuki yang sedang berjalan di hadapan Inem berhenti, lalu menoleh sejenak pada asisten rumah tangga barunya itu. "Iya," sahut Marzuki pendek lalu melanjutkan langkahnya ke kamar terakhir yang paling dekat dengan dapur. "Ini kamar kamu. Silakan kamu simpan baju atau barang-barang kamu di sana. Lalu segera ke ruang tengah. Ada yang ingin saya bicarakan," ujar Marzuki. "Baik, Pak."Inem lalu memasuki kamar itu dan meletakkan barang-barang nya di sana. Setelah itu, dia lalu menuju ke ruang tengah sesuai dengan instruksi dari Marzuki.Marzuki yang sedang duduk di samping Yasmin menatap Inem yang d
Laila pun menatap Inem dengan bingung."Mbaknya siapa?" tanya Inem menatap Laila dengan heran. "Saya tetangga yang ada di rumah pojok itu gang itu, Mbak. Yasmin ada?" tanya Laila. Gadis itu memang belum bertemu Inem saat perkenalan kemarin karena sedang belajar di rumah Amelia. Inem terlihat mengerut kan keningnya lalu akhir nya membuka pintu depan lebih lebar dan masuk ke dalam rumah lebih dulu dengan diikuti oleh Laila. Laila sebenarnya canggung masuk ke rumah dokter Marzuki lagi. Baru dua kali ini dia masuk ke dalam rumah dokter itu sejak kepindahannya. "Mbak La!" seru Yasmin yang mendadak keluar dari kamarnya. Gadis kecil itu menghambur dan melompat ke pelukan Laila. Sementara itu Inem berlalu menuju ke arah dapur."Hai Sayang!"Hap! Laila memeluk erat Yasmin lalu menciumi pipinya yang gembil. "Apa kabar luka kamu yang baru saja jatuh kemarin?" tanya Laila seraya melihat siku dan lutut kaki Yasmin uang yang masih terbalut plester."Udah nggak sakit kok mbak La. Tapi kata pa
"Assalamualaikum, Yasmin. Papa pulang!"Wajah Inem memucat. Dia terkejut melihat kedatangan dokter Marzuki, takut kalau perkataannya yang merendahkan Laila didengar oleh dokter Marzuki. Tapi sepertinya dokter Marzuki tidak mendengar ucapan dari Inem. Karena dokter Marzuki langsung berjalan dan menyapa seisi rumah. "Waalaikumsalam, Papa." Yasmin menghambur memeluk papanya dengan riang. "Mbak La main ke sini lho, Pa. Yasmin seneng sekali kalau Mbak La ke rumah," tukas Yasmin dalam gendongan papanya. Laila tersenyum canggung dan sementara itu wajah Inem langsung terlihat tidak suka. "Oh, ya. Ada Mbak La. Sudah lama di sini?" tanya dokter Marzuki. Wajah dokter itu juga agak kikuk. Karena setiap kali melihat Laila, dia selalu teringat ucapan pak Jaka. Pak Jaka memang tidak melarang dokter Marzuki untuk bertemu dengan anaknya secara langsung. Tapi secara tersirat terlihat sekali kalau pak Jaka tidak suka jika Laila memulai hubungan dengan laki-laki. "Saya harap dokter mengerti perasa
Lelaki itu terkejut dan mendelik melihat kelakuan Inem. "Astaga, mbak Inem, kenapa kamu cuma pakai handuk malam-malam begini?" tanya dokter Marzuki kaget. Inem tersenyum menggoda lalu berkata, "tadi saya merasa gerah banget sebelum hujan. Jadi saya baru saja mandi."Dokter Marzuki memalingkan wajahnya. "Duh, kenapa harus pakai handuk saja? Mbak Inem kan bisa ganti baju di dalam kamar mandi? Jadi saat keluar kamar mandi, mbak Inem nggak hampir bugil seperti ini," sahut dokter Marzuki. "Yah, maaf deh Pak. Saya nggak tahu kalau ada pak Marzuki di sini. Saya kira bapak sudah ada di kamar, jadi pas mati lampu, saya refleks pakai handuk lalu keluar dari kamar mandi begitu saja," sahut Inem menunduk. Dokter Marzuki menghela nafas panjang. "Ya sudah, cepat kembali ke kamar kamu, mbak.""Iya Pak."Mendadak petir menggelegar diluar rumah membuat Inem berteriak kecil dan mengangkat kedua tangannya melepas handuk yang mengikat tubuhnya. Sehingga tampak polos di hadapan Marzuki. "Aaarrrgghhhh