Share

Mantan Super Sadis

Mataku terbelalak. Sama, aku pun kaget setengah mati saat melihat sesosok pria yang kini berada di depanku.

"Kamu?"

Kami saling mengacungkan telunjuk, sama-sama menuding dengan raut wajah kesal. 

"Heh, sedang apa kamu di rumahku, hemms?"

Pria itu yang langsung berdiri lagi setelah sepersekian detik yang lalu duduk di sofa empuk yang barang kali miliknya ini.

"A ... aku? Aku sedang apa?"  Saking gugupnya malah balik bertanya.

Ya, aku sedang apa disini. Bukan kemauanku juga datang kemari, gadis cantik itu yang membawaku. Sial!

Aku menghindar dari Bang Umar tapi malah ketemu sama biang rusuh satu ini. Ya Allah, dunia ini terlalu sempit kah untukku?

"Eh, apa itu?" Dia menunjuk ke arah buntalan sarungku. "Kamu minggat dari rumah, hah? Terus datang kesini mencariku, gitu?" 

Tuduhannya sungguh kejam, aku memang minggat tapi bukan datang mencarinya. Toh, aku juga tidak tahu kalau ini rumahnya.

"Ya ampun, Ris! Enak betul kamu bilang, ya. Aku memang minggat, tapi bukan mencarimu. Tanyakan saja sama anakmu itu!" jawabku cepat, tentu saja aku tak terima.

"Oya? Siapa yang bisa jamin kamu tidak sedang mencariku, itu buktinya. Apa kamu menyesal sudah meninggalkanku dulu dan memilih si Umar sombong itu?" cecarnya membuatku naik darah, huh! 

Baru sesaat merasa nyaman duduk disini, eh, dia mulai membuat jiwa bar-barku kambuh.

Dengan cekatan kuangkat buntalan harta berharga yang kupunya saat ini, ingin rasanya segera angkat kaki namun si Aris mencegahku.

Ya, Aris nama pria tampan itu. Pria yang tampannya di atas rata-rata namun dingin plus menjengkelkan sepanjang yang kukenal.

"Duduk!"

Hardiknya keras, membuatku sedikit takut juga.

Gadis itu, Ema, hanya melongo melihat debat sengit tersaji di depan matanya. Kepalanya bolak-balik menatapku bergantian dengan Aris, persis seperti orang yang sedang melakukan pemanasan saat memulai olahraga. Barangkali  ia seperti melihat debat presiden, seru-seru gemes gitu. Hhmm.

Terpaksa aku kembali duduk, kutahan sebentar emosiku. Untung Ris, kamu ganteng tambah manis tambah lagi kaya sekarang, kalau  cuma kayak Bang Umar yang tampang pas-pasan di tambah pelit bin medit mungkin sudah kulempar buntalan ini tepat ke wajahmu.

Aris menatapku tajam, sama aku pun juga. Mana mungkin aku mau mengalah begitu saja darinya  jika tak salah, enak saja!

"Apa masalahmu sampai kabur begini?"

Volume suaranya sudah mengecil, sambil menyandarkan punggung ke sofa. Kujawab hanya dengan gelengan pelan.

Aku melihat Ema yang merasa tak nyaman berada di antara kami segera pergi masuk ke ruangan entah apa di sana, kurasa itu dapur dan besar harapanku ia keluar membawa segelas air dingin. Panas suasana disini.

"Apa dia menghianatimu seperti kamu dulu berkhianat padaku, hemms?"

Ringan sekali si Aris ini bertanya seraya menyungging senyum tanda mengejek, seolah tak punya rasa iba pada nasibku. Tangannya membuka kancing kemeja bagian leher, memberi udara masuk membuatku menelan ludah kasar, ya ampun! Apa dia sengaja, ya?

Dulu ia tak banyak omong seperti ini, tapi sekarang berubah seiring waktu. Kuhempasakan nafas malas seraya menyembunyikan rupa ini yang entah seperti apa bentuknya.

"Aku tak perlu menjelaskan apapun padamu, kan? Untuk apa?" sahutku ketus.

Ah, aku tak tahu diri sekali menjawabnya seperti itu. Apa yang diucapkannya tadi memang benar, mungkin ini hukuman untukku dapat suami yang 'nggak jelas macam Bang Umar.

Fertigoku seketika kambuh hanya sekedar menyebut namanya saja. Ajaib memang.

"Tentu saja tidak perlu kamu jelaskan, aku pasti sudah tahu," Sok angkuhnya mulai tumbuh, "apa rencanamu, cerai?" sambungnya enteng.

"Sudah. Dia menalakku," jawabku lirih. 

Masih kusembunyikan wajah supaya Aris tak melihat ekspresi mengenaskan dari guratan muka ini. 

"Wah, jadi aku menampung janda dan dia mantan pacarku, gitu, ya? Hahaha ...."

Gelak tawanya menggelegar memenuhi setiap sudut ruang bahkan sampai ke lubang semut pun terdengar.

Kuusap dada ini berulang-ulang. Ya, Allah, bisa-bisanya dia tertawa di atas penderitaanku. Sakit sekali rasanya saat benar-benar butuh support begini malah jadi bahan bully-an. Apa dia fikir ini lucu?

Seolah ingin mati saja kalau sudah seperti ini, bicara sama Aris seperti bicara dengan orang gil4. Semua selalu dibuat bercanda. Kucampakkan nafas beratku yang menyesak sambil celingukan membuang muka. 

Kruek! Kruek!

"Ups!" 

Kuremas perut tak tahu sopan santun ini, kenapa bersuara di waktu dan tempat yang tidak tepat, sih! Tanganku beralih menutup  mulut supaya terkunci rapat. Astaga! 

Kacau! Kacau!

Aris ternyata punya pendengaran cukup tajam, nyatanya dia dengar gejolak demonstrasi yang sedang berlangsung di perutku. Ia mengernyit, mengadu kedua alis tebalnya. Dan lagi, tersenyum miring.

"Kejam sekali Umar, membiarkanmu kelaparan begini!" ejeknya membuatku  semakin malu.

Aris berdiri, kepalanya menggeleng seperti anak muda kekinian yang memberi kode ajakan menuju meja makan. 

Alhamdulillah, batinku.

"Makanlah, kenyangkan perutmu itu sebelum sampai arah tujuan," ucapnya tanpa beban.

"Uhuk!" 

Tiba-tiba saja sebutir nasi nyangkut di leherku. 

"Aris! Kamu jahat sekali, bercanda ada waktunya, kali. Jangan sekarang, aku lagi tak berminat!"

Terus batinku meratap, tak adakah seorang pun yang peduli dengan perasaanku saat ini?

"Kenapa kamu nangis, heh? Hapus!" Tukasnya tanpa basa-basi, sungguh tega.

Kuusap kasar pelupuk yang sempat menggenang. Ah, lemah sekali aku ini. Tadi sama Bang Umar saja aku melawan, ini cuma sama Aris yang bukan siapa-siapaku malah mewek. Apaan? Batinku merutuk.

"Dengar, ya! Jangan sok sedih di depanku, aku nggak suka acara drama, tahu!" ucap Aris dingin.

Sebenarnya selera makanku sudah hilang sejak dia tak menunjukkan simpati sedikitpun saat melihatku hampir menangis tadi, tapi rasa lapar ini mengalahkan segalanya. Tak mengapa, sementara kutahan saja rasa itu demi ....

****

Selesai, kuangkat semua piring kotor dan segera mencucinya di washtafel mewah miliknya. Baru kali ini aku bisa merasakan langsung mencuci piring ala orang kaya yang selama ini hanya kusakasikan dari sinetron ikan mengapung itu. Kapan, ya, punya beginian?

Seperti orang gila saja aku senyum-senyum sendiri membayangkannya. Sabar, ya, Bang Umar!

Nantikan aku dengan keberhasilanku!

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status