Share

MENGGENGGAM PERIH MENIKAHI TAKDIR
MENGGENGGAM PERIH MENIKAHI TAKDIR
Author: Jeni Sasmita

Bab 1

Author: Jeni Sasmita
last update Last Updated: 2025-05-09 15:31:07

"Pengkhianat!"

Suara itu melesat dari tenggorokanku sebelum bisa kukendalikan. Semua kepala menoleh ke arahku, suara musik yang mengalun pelan di dalam tenda mendadak terasa terlalu nyaring di telingaku.

Aku berdiri di ambang pagar, tubuhku kaku. Mataku terpaku pada pemandangan didepan Arka dan Fitri adik bungsuku di pelaminan.

Tanganku mencengkeram pegangan koper dengan begitu kuat, jemariku gemetar. Napasku memburu, dadaku naik turun, berusaha memahami apa yang kulihat.

Kebaya putih membalut tubuh adikku, membuatnya terlihat seperti pengantin. Mereka berdiri begitu dekat, terlalu dekat, sulit rasanya untuk disebut wajar.

Dua bulan lalu, Ibu menelepon dengan berita besar mereka ingin aku segera pulang untuk bertunangan dengan Arka. Perasaan senang dan haru bercampur menjadi satu. Aku tahu, ini adalah awal dari perjalanan baruku bersama Arka. Kami sudah merencanakan ini sejak lama.

Ini pertunanganku, bukan? Hari ini harusnya hari bahagiaku!

Tapi mengapa Fitri yang berdiri di sana? Mengapa Arka, lelaki yang berdiri di sampingnya dengan jas hitam rapi, tangan menggenggam jemari adikku sendiri?

Dengungan suara tamu-tamu mulai terdengar, samar, bercampur dengan suara detak jantungku yang menggila. Aku menelan ludah, tapi tenggorokanku terasa kering.

Aku melangkah maju, menarik koperku yang berdecit di aspal. Setiap langkah terasa begitu berat, seolah beban yang kupanggul selama bertahun-tahun kini berubah menjadi rantai besi yang menahanku untuk terus berjalan.

Dari atas pelaminan, Fitri menatapku. Wajahnya pucat, bibirnya sedikit terbuka, tapi tak ada kata yang keluar.

"Fitri," suaraku terdengar dingin. "Ini lelucon, kan?" Aku menatapnya tajam, mencari kepastian di wajahnya. "Kau hanya mencoba mengejutkanku, kan? Ini pertunanganku!"

Diam tak ada jawaban.

Arka!" panggilku dengan suara yang bergetar.

Dia menoleh, wajahnya langsung berubah pucat. Fitri masih terdiam, tapi hanya untuk sesaat. Setelah itu, dia tersenyum kecil.

"Kak Ana… Kamu sudah sampai?" tanyanya dengan nada pelan.

Aku menatap mereka bergantian. Arka tidak berani menatap mataku, sementara Fitri tampak seperti sedang mempersiapkan penjelasan yang panjang.

"Apa maksud semua ini?" tanyaku akhirnya.

Fitri mendekat, mencoba menggenggam tanganku, tapi aku mundur selangkah. "Kak Ana, aku tahu ini sulit untuk Kakak. Tapi ... kami sudah terlanjur terlalu dekat. Kami sering bersama karena awalnya merasa nyaman sebagai calon ipar, akhirnya kebablasan."

Aku menatap Fitri, tidak percaya dengan apa yang baru saja kudengar. "Kebablasan? Apa maksudmu, Fitri?"

Dia menunduk, wajahnya memerah. "Aku… aku hamil, Kak."

Dunia di sekitarku seperti runtuh seketika. Aku menatap Arka, berharap dia menyangkal, berharap ini semua hanya kesalahpahaman. Tapi dia tidak mengatakan apa-apa. Dia hanya berdiri di sana, menundukkan kepala seperti pengecut.

"Kau hamil?" tanyaku, suaraku hampir tidak keluar.

Fitri mengangguk perlahan. "Kami tidak punya pilihan, Kak. Keluarga memutuskan agar kami menikah secepatnya. Ini semua sudah terjadi…"

Aku merasa seperti dihantam gelombang besar. Sepuluh tahun bukan waktu yang sebentar. Sejak ayah meninggal aku memutuskan untuk bekerja jadi TKW di Hongkong, memenuhi kebutuhan keluarga kami dan membiayai kuliah Fitri, dan demi masa depanku dengan Arka. Tapi sekarang, semuanya hancur begitu saja.

"Dan kau, Arka?" tanyaku, memaksanya untuk menatapku. "Ini balasanmu setelah semua yang aku korbankan?"

"Ana, aku… aku minta maaf," katanya pelan. "Aku tidak bermaksud menyakitimu. Aku… aku juga tidak tahu bagaimana ini bisa terjadi. Kami terlalu sering bersama, dan…"

"Dan kau membiarkan ini terjadi?" Aku hampir berteriak. Air mataku mulai mengalir, tapi aku tidak peduli.

"Ana, ibu mohon jangan seperti ini. Semuanya bisa kita bicarakan baik-baik dan secara kekeluargaan,"ucap ibu yang baru saja datang dari dalam.

Aku tertawa getir, tau wanita yang telah melahirkanku ini merasa malu karena kami menjadi tontonan banyak orang. Aku tidak peduli, karena aku tidak bersalah disini.

"Kekeluargaan ibu bilang? Disini adakah yang menganggap aku keluarga? Beginikah yang caranya berkeluarga! Kenapa kalian lakukan ini padaku. Aku pulang dengan penuh harapan, tapi malah kejutan ini yang aku dapatkan!" Ini Pertama kali aku meninggikan suara di depan Ibuku.

"Nak, ibu mohon. Kamu bisa mengerti dengan keadaan ini."

Tidak percaya ini semua sedang terjadi. Bahkan tidak ada yang memahami perasaanku saat ini. Ibu, Adikku sendiri, orang yang selalu kubantu, dan lelaki yang kucintai — mereka mengkhianatiku.

Aku menarik koperku dan berbalik pergi tanpa berkata apa-apa lagi. Suara ibu terdengar memanggil dari kejauhan, tapi aku tidak menoleh. Aku tahu, jika aku tinggal di sana lebih lama, aku tidak akan bisa menahan amarah dan sakit hati ini.

Air mata terus mengalir deras, langkahku terasa berat, tapi aku tidak berhenti. Yang kutahu, aku harus pergi. Karena di rumah itu, aku tidak lagi punya tempat.

Berjalan tanpa tahu harus kemana.

Sehingga tiba-tiba ...

"Nona! Saya sudah menunggumu sangat lama. Silahkan masuk kedalam mobil karena kita tidak punya banyak waktu," ucap seorang berseragam hitam. Menarik koperku dengan buru-buru memasukannya ke bagasi. Lalu membuka pintu mobil untukku.

Siapa lelaki ini? Kemana dia akan membawaku pergi?

*

Jangan lupa subscribe ya, biar tidak ketinggalan update-nya. Kira2 Ivana dibawa kemana ya? Sempatkan komen dong.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • MENGGENGGAM PERIH MENIKAHI TAKDIR    Bab 15

    Seharusnya aku yang menentukan kemana kami pergi. Setidaknya itu yang kupikirkan saat mengajak Ivana jalan-jalan hari ini. Tapi ternyata, dia malah membawaku ke tempat yang sama sekali tidak bisa aku jelaskan."Stop!" Ivana tiba-tiba menyuruhku menghentikan mobil di depan sebuah keramaian.Aku menatap keluar dengan dahi berkerut. "Ini tempat apa?" tanyaku kebingungan.Ivana tersenyum penuh arti. "Sudah, jangan banyak tanya. Sekarang kita turun. Kamu janji tadi mau belajain aku, kan," jawabnya enteng.Aku mengerutkan kening, masih tidak paham dengan maksudnya. "Kita belanja di sini? Tempat apa ini?" tanyaku lagi setelah turun dari mobil.Bagaimana tidak? Tempat ini ramai sekali, penuh sesak dengan orang-orang yang berlalu-lalang, dan yang lebih parah—becek!"Ini namanya pasar," jawab Ivana ringan.Aku meliriknya tak percaya. "Oh, tidak. Aku juga pernah nganterin Ibu ke pasar. Tapi tempatnya bagus dan bukan seperti ini."Ivana malah tertawa kecil. "Iya, ini pasar tradisional, Azzam. Tid

  • MENGGENGGAM PERIH MENIKAHI TAKDIR    Bab 14

    Kelembutan tangan ibu terasa di kepalaku saat jemariku masih sibuk memijat kakinya. Aku bisa merasakan tubuhnya mulai lebih rileks, napasnya teratur. Untung saja keadaan ibu cepat membaik dan sudah kembali ke rumah. “Ibu capek?” tanyaku pelan.Ibu menggeleng, "Nak, boleh ibu tanya sesuatu?"Aku mengangkat wajah, sedikit terkejut dengan nada suaranya yang begitu hati-hati. "Tentu, Bu. Apa itu?"Ibu menggenggam jemariku, tatapannya dalam. "Tentang keluargamu, Nak. Ibu hanya ingin tahu."Aku tercekat. Dadaku terasa berat. Aku sudah menduga pertanyaan ini akan muncul suatu hari nanti, tapi tetap saja, ketika saatnya tiba, rasanya sesak.Aku tersenyum kecil, tapi hambar."Keluargaku ...." Aku menghela napas panjang. "Mereka adalah orang-orang yang paling aku cintai, tapi juga yang paling membuatku terluka."Ibu mengerutkan kening."Apa maksudmu, Nak?"Aku menatap jemari yang saling bertaut di pangkuanku. Suaraku hampir bergetar saat mulai berbicara. "Sejak kecil, aku selalu berusaha me

  • MENGGENGGAM PERIH MENIKAHI TAKDIR    Bab 13

    Pov IvanaAku menatap Azzam, menunggu sesuatu penjelasan, pembelaan, atau setidaknya tatapan yang bisa meyakinkanku bahwa aku tidak sedang bermimpi. Tapi dia hanya diam, ekspresinya tenang seolah semua yang baru saja dia katakan sudah cukup.Aku menelan ludah, mencoba memahami perasaanku sendiri."Jadi kamu sudah mengetahui semuanya sejak awal sebelum pernikahan terjadi?" tanya Ibu dengan nada tajam."Bukan, Bu," Azzam cepat menjawab. "Aku baru tahu setelah menikah."Ibu masih menatapnya dengan penuh selidik, seolah meminta penjelasan lebih lanjut. "Sejak aku melihat kedekatan Ibu dan Ivana yang semakin erat. Awalnya aku hanya penasaran, ingin tahu lebih banyak tentang dia, tentang makanan kesukaannya, hal-hal kecil lainnya yang dia suka. Aku terus mencarinya di internet, tapi tidak ada apapun tentangnya. Itu membuatku sedikit bingung, bukankah ibu bilang kalau Tante Elvira adalah orang yang terkenal."Aku menunduk, kedua tanganku saling mencengkeram erat.Azzam melanjutkan, suaranya

  • MENGGENGGAM PERIH MENIKAHI TAKDIR    Bab 12

    Pov Azzam Udara siang hari di pedalaman terasa lebih terik dari biasanya. Pepohonan yang menjulang tinggi di sekitar rumah Pak Arif terlihat tenang. Aku duduk di kursi kayu dekat jendela, menatap layar ponselku yang kosong dari notifikasi.Sudah enam hari aku di sini. Enam hari tanpa kabar dari ibu dan … tentu saja, Ivana.Ada dorongan kuat untuk menghubunginya, sekadar mendengar suaranya, memastikan bahwa semuanya baik-baik saja. Sinyal di sini seperti harta karun yang sulit ditemukan. Bahkan daya baterai ponselku masih tetap penuh, tidak berkurang sedikit pun karena beberapa hari ini tidak ku sentuh.Pak Arif, yang duduk di sebelahku, menyeruput teh yang disediakan istrinya dengan tenang. Matanya yang tajam sesekali melirikku, seakan membaca kegelisahan yang sedari tadi aku coba sembunyikan."Silakan diminum tehnya, Pak," ucapnya, mendorong gelas ke arahku.Aku mengangguk dan meraih gelas tersebut, tapi bukan teh yang mengisi pikiranku. Sosok Ivana hadir begitu jelas di benakku—sen

  • MENGGENGGAM PERIH MENIKAHI TAKDIR    Bab 11

    Aku menatap Ivana yang duduk di bangku lorong rumah sakit dengan ekspresi penuh kegelisahan. Wajahnya pucat, matanya sembab, dan tangannya gemetar. Pemandangan yang cukup menyenangkan bagiku. Tapi itu belum cukup, aku puas kalau dia pergi dari hidup Azzam.Jujur, aku tidak suka keberaniannya. Seharusnya dia sudah menyerah sekarang, tapi dia masih berani menantangku?Ivana tetap menatapku, dan aku benci melihat ketenangan di matanya. “Mungkin Azzam akan marah, mungkin dia akan kecewa. Tapi aku tidak takut menghadapi kenyataan.”Aku mengepalkan tangan. “Kamu percaya diri sekali. Lihat saja nanti, Ivana. Azzam bukan tipe pria yang bisa dibohongi. Dia tidak akan pernah memilih wanita seperti kamu.”Sebelum Ivana sempat menjawab, seorang dokter keluar dari ICU. Aku menegakkan tubuh, memperhatikan reaksi Ivana saat dia segera berdiri dan menghampiri dokter itu.“Bagaimana kondisi ibu saya, Dok?” tanyanya cemas.Aku mendengarkan dengan seksama.“Kondisinya masih belum stabil. Tekanan darahny

  • MENGGENGGAM PERIH MENIKAHI TAKDIR    Bab 10

    Elisa. Anak Elvira.Nama itu menusuk kepalaku seperti pedang yang siap merobek kenyataan yang susah payah kujaga. Sosok yang selama ini kuhindari, kini berdiri tepat di depan kami dengan wajah penuh keyakinan, seolah rumah ini memang miliknya. Seolah dia memang diharapkan di sini.Aku meremas lengan ibu erat, dinginnya jemariku berpindah ke kulitnya. Napasku berat, serasa ada bongkahan es yang mengganjal di dada. Tidak. Ini tidak boleh terjadi.Ibu harus menutup pintu. Harus mengusirnya. Harus mengatakan bahwa Elisa salah alamat. Tapi tidak. Ibu tetap diam. Mata lebarnya berkaca-kaca, bibirnya menganga, seolah baru saja mendengar sesuatu yang terlalu sulit untuk diterima.“Aku sudah lama ingin bertemu dengan kalian.” Suara Elisa begitu tenang, berbeda dengan pusaran badai yang kini berputar di dalam dadaku. “Nenek bilang kalau Tante adalah orang yang sangat baik. Katanya almarhumah mama banyak bercerita tentang Tante ke nenek.”Tubuh ibu menegang. Aku bisa merasakan jari-jarinya berge

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status