Share

Bab 5

Author: Jeni Sasmita
last update Last Updated: 2025-05-09 15:33:33

Sejak Ibu kembali dari rumah sakit, suasana rumah ini berubah. Dulu terasa luas dan dingin, tapi sekarang ada tawa yang mengisi ruang-ruang kosong. Setiap pagi, di meja makan, aku dan Ibu mengobrol tentang banyak hal—tentang bunga di taman, tentang acara televisi yang dia suka, bahkan tentang kebiasaanku yang selalu mengaduk teh terlalu lama.

“Ivana, duduk dulu. Coba teh ini,” katanya yang sedang duduk di kursi roda, dengan 2 cangkir teh di atas meja.

Aku menoleh, melihat uap yang mengepul dari permukaan teh. Aromanya aneh, seperti campuran daun basah dan rempah-rempah yang belum kukenal. Aku mengambil cangkir itu dengan ragu.

“Baunya agak unik. Semoga rasanya tak seaneh baunya ya, Bu?” tanyaku, menaikkan satu alis.

Ibu terkekeh, ekspresinya penuh antisipasi. “Minum saja dulu. Ini bagus untuk kesehatan.”

Aku menyeruput sedikit. Rasa pahit langsung memenuhi lidahku, diikuti jejak getir yang seakan enggan hilang. Aku buru-buru menelan dan meringis.

“Ini rasanya seperti rumput!” keluhku, meletakkan cangkir itu dengan dramatis.

Tawa Ibu pecah, suaranya renyah memenuhi ruangan. Langkah kaki mendekat, lalu suara Azzam menyela.

“Ada apa? Kenapa seru sekali?” tanyanya.

Ibu masih tertawa, sementara aku menunjuk cangkir yang sekarang kuletakkan agak jauh dariku. “Teh herbal ibu, sukses membuatku nyerah.”

Azzam mengambil cangkirku, menyesap sedikit, lalu refleks mengerutkan dahi. “Bu... ini rasanya kayak tanah.”

Tawa kami bertiga membuncah, menggema di ruangan. Sesaat, aku lupa tentang segala hal yang mengganjal di kepalaku.

---

Aku terbiasa bekerja—mencuci piring, menyapu lantai, memastikan semuanya rapi. Itu sudah menjadi bagian dari kebiasaanku, sesuatu yang tertanam dalam tubuhku. Jadi, saat aku berdiri di dapur, menggosok piring terakhir, aku tidak berpikir dua kali.

Tiba-tiba, tangan Ibu menarik lenganku dengan lembut.

“Ivana, sudah. Biar Mbak Siti saja,” katanya.

"Nyonya, aku sudah menghentikan non Ivana tadi. Tapi non Ivana terus memaksa." Mbak Siti membela diri. Melihat tatapan ibu padanya.

Aku menggeleng. “Tidak apa-apa, Bu. Saya biasa melakukan ini.”

Ibu menghela napas, menatapku dalam-dalam. “Nak, kamu bukan pekerja di rumah ini. Kamu adalah anak perempuan ibu."

Aku terdiam, jari-jariku masih memegang lap piring. Kata-kata itu terasa berat di dada.

Suara langkah Azzam terdengar sebelum dia muncul di ambang pintu dapur. Matanya langsung menangkap piring di tanganku, lalu tanpa berkata apa-apa, dia berjalan mendekat dan mengambilnya.

“Ibu benar,” katanya, meletakkan piring itu di rak. “Kamu tidak perlu melakukan semua ini.”

“Tapi ini semua bukanlah hal yang berat bagiku."

Azzam bersandar di meja, melipat tangan di dada. “Kami tidak ingin kamu merasa seperti tamu yang harus membuktikan sesuatu."

"Aku sudah terbiasa dengan hal ini, Ibu, Azzam. Izinkan aku mengerjakan semuanya ya. Aku hanya mencari kesibukan dirumah ini."

Keduanya saling menatap satu sama lain, menit kemudian Azzam menghela nafas panjang.

"Ya sudah jika itu maumu, tapi ingat jangan sampai kamu kecapean dengan pekerjaan ini, mengurus rumah bukan pekerjaan wajib mu. Karena kamu seseorang yang istimewa."

Aku menunduk, menggenggam ujung celemek yang kupakai. Rasanya ada sesuatu yang menghangat di dadaku, tapi sekaligus membuatku bertanya-tanya—benarkah aku pantas dianggap istimewa?

---

Makan malam selesai, tapi Azzam tak langsung pergi ke kamarnya seperti biasa. Dia berdiri di ambang pintu taman, lalu menoleh ke arahku.

“Jalan sebentar?” tanyanya.

Aku ragu sejenak, lalu mengangguk.

Udara malam menyelusup lembut ke kulit, membawa aroma tanah yang masih lembap setelah disiram sore tadi. Cahaya lampu taman memantulkan warna merah muda dari kelopak mawar yang baru saja bermekaran.

Azzam memasukkan tangannya ke saku celana, langkahnya pelan di sampingku. “Aku belum pernah melihat Ibu sebahagia ini.”

Aku menoleh padanya. Cahaya redup membuat ekspresinya sulit ditebak.

“Sejak kecil, Ibu selalu sibuk bekerja. Aku jarang melihatnya tertawa sebanyak ini.” Dia menghela napas, matanya lurus ke depan. “Dan itu semua karena kamu.”

Aku tidak langsung merespons. Aku hanya menatap jalan setapak di bawah kakiku, mencoba memahami kata-katanya.

Tiba-tiba, Azzam berhenti. Aku pun ikut menghentikan langkah.

Dia berbalik, menatapku. “Terima kasih, Ivana. Terima kasih sudah datang ke hidup kami.”

Aku tidak tahu harus berkata apa. Ada sesuatu dalam suaranya—tulus, dalam, dan penuh makna.

Sebelum aku sempat bereaksi, dia tersenyum kecil, lalu melanjutkan langkahnya. Aku mengikutinya dalam diam, tapi ada sesuatu yang berdebar di dalam dadaku. Sesuatu yang tidak seharusnya ada.

Kehangatan yang tercipta di rumah ini perlahan mengubah caraku melihat segalanya. Aku mulai terbiasa dengan suara tawa Ibu di pagi hari, dengan tatapan lembut Azzam saat berbicara, dengan cara mereka memperlakukanku seolah aku benar-benar bagian dari mereka.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • MENGGENGGAM PERIH MENIKAHI TAKDIR    Bab 15

    Seharusnya aku yang menentukan kemana kami pergi. Setidaknya itu yang kupikirkan saat mengajak Ivana jalan-jalan hari ini. Tapi ternyata, dia malah membawaku ke tempat yang sama sekali tidak bisa aku jelaskan."Stop!" Ivana tiba-tiba menyuruhku menghentikan mobil di depan sebuah keramaian.Aku menatap keluar dengan dahi berkerut. "Ini tempat apa?" tanyaku kebingungan.Ivana tersenyum penuh arti. "Sudah, jangan banyak tanya. Sekarang kita turun. Kamu janji tadi mau belajain aku, kan," jawabnya enteng.Aku mengerutkan kening, masih tidak paham dengan maksudnya. "Kita belanja di sini? Tempat apa ini?" tanyaku lagi setelah turun dari mobil.Bagaimana tidak? Tempat ini ramai sekali, penuh sesak dengan orang-orang yang berlalu-lalang, dan yang lebih parah—becek!"Ini namanya pasar," jawab Ivana ringan.Aku meliriknya tak percaya. "Oh, tidak. Aku juga pernah nganterin Ibu ke pasar. Tapi tempatnya bagus dan bukan seperti ini."Ivana malah tertawa kecil. "Iya, ini pasar tradisional, Azzam. Tid

  • MENGGENGGAM PERIH MENIKAHI TAKDIR    Bab 14

    Kelembutan tangan ibu terasa di kepalaku saat jemariku masih sibuk memijat kakinya. Aku bisa merasakan tubuhnya mulai lebih rileks, napasnya teratur. Untung saja keadaan ibu cepat membaik dan sudah kembali ke rumah. “Ibu capek?” tanyaku pelan.Ibu menggeleng, "Nak, boleh ibu tanya sesuatu?"Aku mengangkat wajah, sedikit terkejut dengan nada suaranya yang begitu hati-hati. "Tentu, Bu. Apa itu?"Ibu menggenggam jemariku, tatapannya dalam. "Tentang keluargamu, Nak. Ibu hanya ingin tahu."Aku tercekat. Dadaku terasa berat. Aku sudah menduga pertanyaan ini akan muncul suatu hari nanti, tapi tetap saja, ketika saatnya tiba, rasanya sesak.Aku tersenyum kecil, tapi hambar."Keluargaku ...." Aku menghela napas panjang. "Mereka adalah orang-orang yang paling aku cintai, tapi juga yang paling membuatku terluka."Ibu mengerutkan kening."Apa maksudmu, Nak?"Aku menatap jemari yang saling bertaut di pangkuanku. Suaraku hampir bergetar saat mulai berbicara. "Sejak kecil, aku selalu berusaha me

  • MENGGENGGAM PERIH MENIKAHI TAKDIR    Bab 13

    Pov IvanaAku menatap Azzam, menunggu sesuatu penjelasan, pembelaan, atau setidaknya tatapan yang bisa meyakinkanku bahwa aku tidak sedang bermimpi. Tapi dia hanya diam, ekspresinya tenang seolah semua yang baru saja dia katakan sudah cukup.Aku menelan ludah, mencoba memahami perasaanku sendiri."Jadi kamu sudah mengetahui semuanya sejak awal sebelum pernikahan terjadi?" tanya Ibu dengan nada tajam."Bukan, Bu," Azzam cepat menjawab. "Aku baru tahu setelah menikah."Ibu masih menatapnya dengan penuh selidik, seolah meminta penjelasan lebih lanjut. "Sejak aku melihat kedekatan Ibu dan Ivana yang semakin erat. Awalnya aku hanya penasaran, ingin tahu lebih banyak tentang dia, tentang makanan kesukaannya, hal-hal kecil lainnya yang dia suka. Aku terus mencarinya di internet, tapi tidak ada apapun tentangnya. Itu membuatku sedikit bingung, bukankah ibu bilang kalau Tante Elvira adalah orang yang terkenal."Aku menunduk, kedua tanganku saling mencengkeram erat.Azzam melanjutkan, suaranya

  • MENGGENGGAM PERIH MENIKAHI TAKDIR    Bab 12

    Pov Azzam Udara siang hari di pedalaman terasa lebih terik dari biasanya. Pepohonan yang menjulang tinggi di sekitar rumah Pak Arif terlihat tenang. Aku duduk di kursi kayu dekat jendela, menatap layar ponselku yang kosong dari notifikasi.Sudah enam hari aku di sini. Enam hari tanpa kabar dari ibu dan … tentu saja, Ivana.Ada dorongan kuat untuk menghubunginya, sekadar mendengar suaranya, memastikan bahwa semuanya baik-baik saja. Sinyal di sini seperti harta karun yang sulit ditemukan. Bahkan daya baterai ponselku masih tetap penuh, tidak berkurang sedikit pun karena beberapa hari ini tidak ku sentuh.Pak Arif, yang duduk di sebelahku, menyeruput teh yang disediakan istrinya dengan tenang. Matanya yang tajam sesekali melirikku, seakan membaca kegelisahan yang sedari tadi aku coba sembunyikan."Silakan diminum tehnya, Pak," ucapnya, mendorong gelas ke arahku.Aku mengangguk dan meraih gelas tersebut, tapi bukan teh yang mengisi pikiranku. Sosok Ivana hadir begitu jelas di benakku—sen

  • MENGGENGGAM PERIH MENIKAHI TAKDIR    Bab 11

    Aku menatap Ivana yang duduk di bangku lorong rumah sakit dengan ekspresi penuh kegelisahan. Wajahnya pucat, matanya sembab, dan tangannya gemetar. Pemandangan yang cukup menyenangkan bagiku. Tapi itu belum cukup, aku puas kalau dia pergi dari hidup Azzam.Jujur, aku tidak suka keberaniannya. Seharusnya dia sudah menyerah sekarang, tapi dia masih berani menantangku?Ivana tetap menatapku, dan aku benci melihat ketenangan di matanya. “Mungkin Azzam akan marah, mungkin dia akan kecewa. Tapi aku tidak takut menghadapi kenyataan.”Aku mengepalkan tangan. “Kamu percaya diri sekali. Lihat saja nanti, Ivana. Azzam bukan tipe pria yang bisa dibohongi. Dia tidak akan pernah memilih wanita seperti kamu.”Sebelum Ivana sempat menjawab, seorang dokter keluar dari ICU. Aku menegakkan tubuh, memperhatikan reaksi Ivana saat dia segera berdiri dan menghampiri dokter itu.“Bagaimana kondisi ibu saya, Dok?” tanyanya cemas.Aku mendengarkan dengan seksama.“Kondisinya masih belum stabil. Tekanan darahny

  • MENGGENGGAM PERIH MENIKAHI TAKDIR    Bab 10

    Elisa. Anak Elvira.Nama itu menusuk kepalaku seperti pedang yang siap merobek kenyataan yang susah payah kujaga. Sosok yang selama ini kuhindari, kini berdiri tepat di depan kami dengan wajah penuh keyakinan, seolah rumah ini memang miliknya. Seolah dia memang diharapkan di sini.Aku meremas lengan ibu erat, dinginnya jemariku berpindah ke kulitnya. Napasku berat, serasa ada bongkahan es yang mengganjal di dada. Tidak. Ini tidak boleh terjadi.Ibu harus menutup pintu. Harus mengusirnya. Harus mengatakan bahwa Elisa salah alamat. Tapi tidak. Ibu tetap diam. Mata lebarnya berkaca-kaca, bibirnya menganga, seolah baru saja mendengar sesuatu yang terlalu sulit untuk diterima.“Aku sudah lama ingin bertemu dengan kalian.” Suara Elisa begitu tenang, berbeda dengan pusaran badai yang kini berputar di dalam dadaku. “Nenek bilang kalau Tante adalah orang yang sangat baik. Katanya almarhumah mama banyak bercerita tentang Tante ke nenek.”Tubuh ibu menegang. Aku bisa merasakan jari-jarinya berge

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status