Share

Bab 6

Author: Jeni Sasmita
last update Last Updated: 2025-05-09 15:35:10

Pagi ini Azzam akan pergi ke kantor, ia ingin melihat keadaan kantor setelah lama ia tinggal. Aku mengantarnya kedepan. Setelah mobilnya menghilang dari pandangan, aku pun kembali masuk kedalam.

Baru saja berjalan beberapa langkah, ketukan pintu sedikit membuatku kaget dan berbalik arah.

Apa mungkin mas Azzam ada yang ketinggalan? Dengan berlari kecil aku segera membuka pintu.

Di depan pintu berdiri tiga orang perempuan dengan seragam putih rapi, membawa tas-tas besar. Salah satu dari mereka tersenyum ramah dan berkata, “Selamat pagi! Kami dari layanan perawatan pribadi. Kami diminta oleh Pak Azzam untuk datang ke sini, memberikan pelayanan khusus untuk Bu Ivana."

Aku mengerutkan dahi, bingung. “Perawatan pribadi?”

“Iya, Bu. Mulai dari manikur, pedikur, hingga perawatan wajah. Kami akan melakukannya di sini sesuai permintaan beliau.”

Aku tercengang. Belum sempat aku menolak atau bertanya lebih jauh, mereka sudah masuk dengan ramah, membawa perlengkapan mereka ke ruang tamu.

“Ivana, ada apa?” suara lembut Ibu terdengar dari belakangku. Ia tampak penasaran melihat apa yang terjadi.

“Mereka bilang Azzam yang memanggil mereka, Bu,” jawabku pelan, masih setengah tidak percaya.

“Oh, hebat sekali anak itu.” Ibu tersenyum lebar dan mendekat. “Kamu duduk saja, Ivana. Biarkan mereka melakukan tugasnya. Kalau Azzam sudah merencanakan sesuatu, kamu harus menurut.”

Aku menatapnya ragu. “Tapi, Bu, ini semua terasa berlebihan.”

Ibu tertawa kecil. “Berlebihan apa? Kamu ini istrinya. Biarkan suami kamu memanjakanmu.”

Dengan sedikit enggan, aku duduk di sofa, membiarkan para wanita itu memulai perawatan. Mereka memotong dan merapikan kukuku, memijat tangan dan kakiku dengan lembut, bahkan memberikan masker wajah yang membuat kulitku terasa dingin dan segar.

Sejujurnya, ini adalah pengalaman yang benar-benar baru bagiku. Aku belum pernah merasakan kemewahan seperti ini sebelumnya. Setiap sentuhan, setiap perhatian yang diberikan membuatku merasa istimewa. Namun, di balik kebahagiaan kecil ini, ada perasaan bersalah yang terus menghantui.

“Apakah aku pantas menerima semua ini?” batinku bergolak.

---

Sekitar pukul tujuh malam, Azzam baru pulang dari kantor, aku sedang duduk di ruang tamu bersama Ibu. Saat pintu terbuka dan ia melangkah masuk, aku bisa melihat raut wajahnya berubah.

Dia berhenti di ambang pintu, menatapku dengan mata lebar dan senyum yang perlahan muncul di wajahnya. “Ivana...” suaranya pelan, nyaris seperti bisikan.

Aku berdiri, sedikit canggung dengan tatapan intensnya. “Kenapa? Ada yang salah?” tanyaku, meski aku tahu jawabannya.

Dia menggeleng pelan, berjalan mendekat. “Nggak ada yang salah. Kamu...” Dia berhenti sejenak, menatapku dari ujung kepala hingga kaki. “Kamu terlihat cantik sekali."

"Ooo ... Jadi selama ini menurutmu aku jelek begitu?" tanyaku sedikit cemberut.

"Ti-tidak, aku tidak mengatakan itu. Maksudku jauh lebih cantik dari sebelumnya," jawabnya tegang.

Aku terkekeh, “Becanda kok, semua ini kan karena kamu.”

Dia tersenyum lebar, tatapannya penuh kekaguman. “Kalau aku tahu hasilnya begini, aku akan memanjakanmu seperti ini setiap hari.”

Ibu yang duduk di sofa ikut tertawa. “Azzam, kamu benar-benar tahu cara membuat istri bahagia. Lihat Ivana sekarang, dia semakin cantik. Kamu harus lebih sering melakukan ini.”

Azzam tertawa kecil, lalu menatapku lagi. “Aku hanya ingin kamu tahu, Ivana, kamu berhak mendapatkan semua ini.”

Kata-katanya membuatku terdiam. Dalam hati aku bertanya-tanya, apakah dia masih akan berkata seperti itu jika mengetahui kebenarannya? Apakah dia akan tetap memandangku dengan tatapan penuh kekaguman ini? Masihkah ia memperlakukan aku seperti ini?

Aku tersenyum kecil, mencoba menyembunyikan semua keraguan di hatiku. Untuk sekarang, aku hanya bisa menikmati momen ini, meskipun aku tahu, semuanya tidak akan bertahan selamanya.

Usai makan malam bersama, aku dan Azzam kembali ke kamar untuk beristirahat. Sejak ibu pulang kami jadi sekamar.

Karena sudah sangat mengantuk aku menarik selimut dan bersiap untuk memejamkan mata, namun ...

Suara gelas yang beradu lantai sukses membuatku dan Azzam terkejut. Kami menoleh secara bersamaan.

"Apa-apaan ini!" Ibu berdiri didepan pintu dengan tatapan penuh ketegangan.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • MENGGENGGAM PERIH MENIKAHI TAKDIR    Bab 25

    Sejak kejadian kemarin, aku dan Mas Azzam benar-benar berusaha saling memperbaiki diri. Kami banyak berbicara dari hati ke hati, mencoba memahami satu sama lain tanpa ada lagi prasangka atau kesalahpahaman.Mungkin, semua yang terjadi adalah teguran sekaligus pelajaran berharga.Kini, hubungan kami jauh lebih harmonis, terlebih dengan kehadiran janin kecil di dalam perutku. Setiap pagi, Mas Azzam selalu menyempatkan diri untuk mengusap perutku, berbicara lembut dengan calon buah hati kami."Assalamualaikum, Nak. Hari ini Mama sehat, kan?" bisiknya sambil mengelus lembut perutku. "Papa nggak sabar ketemu kamu."Aku tersenyum melihat wajahnya yang penuh cinta. "Dia pasti juga senang mendengar suara Papa setiap hari."Mas Azzam menatapku lembut, lalu mengecup keningku. "Aku janji, aku akan selalu ada untuk kalian. Aku nggak akan pernah mengulangi kesalahan kemarin."Aku menggenggam tangannya erat. "Aku juga, Mas. Aku ingin kita terus seperti ini, saling menguatkan."Kondisi Ibuku juga su

  • MENGGENGGAM PERIH MENIKAHI TAKDIR    Bab 24

    Aku berlari menyusuri trotoar dengan napas memburu. Suara sepatu hakku beradu dengan jalanan berbatu, tapi aku tidak peduli. Yang ada di kepalaku sekarang hanya satu hal—aku harus bertemu Tante Hilda sebelum semuanya terlambat. Begitu tiba di rumah, aku langsung membuka pintu dengan kasar. Mbak Siti yang sedang menyapu menatapku dengan terkejut. “Mbak, Tante Hilda mana?” tanyaku cepat, tanpa basa-basi. Mbak Siti tampak ragu sesaat sebelum menjawab. “Tadi Ibu pergi ke rumah temannya.” Aku mengernyit. “Teman? Siapa teman Tante di sini? Aku tidak pernah melihat dia punya teman.” “Iya, teman arisannya selama ini. Mereka memang sudah lama tidak berjumpa.” Aku mendengus pelan. Alasan yang sangat tidak masuk akal. Tante Hilda jarang sekali keluar rumah, apalagi hanya untuk bertemu teman arisan. “Tapi biasanya Ibu tidak lama-lama. Paling sebentar lagi juga pulang. Kenapa, Mbak?” Aku menggeleng, mencoba menyembunyikan kegelisahan di hatiku. “Nggak papa, cuma nanya aja.” Tapi dalam hati

  • MENGGENGGAM PERIH MENIKAHI TAKDIR    Bab 23

    Aku berjalan cepat di lorong rumah sakit, detak jantungku berpacu dengan langkah kakiku. Yudi ada di sampingku, menyesuaikan langkah tanpa berkata apa pun. Kami langsung menuju resepsionis untuk menanyakan keberadaan ibu Ivana.“Pasien atas dirawat di kamar 207, lantai tiga,” jawab perawat di meja depan.Tanpa menunggu lama, aku dan Yudi segera menuju ke ruangan itu. Begitu sampai, aku berdiri di depan pintu, menarik napas dalam-dalam, lalu mengetuk pelan.“Silakan masuk,” suara terdengar dari dalam.Aku membuka pintu perlahan. Ruangan itu cukup sunyi. Di sana, hanya ada seorang perawat dan wanita yang terbaring lemah di ranjang rumah sakit. Namun, sosok yang selama ini kucari tidak ada.Mataku menyapu ruangan. Kosong.Dimana Ivana?Aku melangkah mendekat, lalu menundukkan tubuhku agar bisa melihat wajah ibu mertuaku dengan jelas. Wajah itu tampak pucat, tetapi masih ada cahaya ketegaran di matanya yang redup.“Kamu siapa?” tanyanya sambil menatapku.Aku tersenyum tipis, meski ada beb

  • MENGGENGGAM PERIH MENIKAHI TAKDIR    Bab 22

    Tante Hilda benar-benar telah masuk ke dalam perangkapku. Dia semakin percaya padaku bahkan saat di apartemen dia berjanji padaku akan menyerahkan salah satu restoran untuk aku kelola. Ya itu adalah tujuan utamaku, tapi kalau hanya satu restoran rasanya tidak cukup. Aku akan mengambil aset-aset berharga lainnya. Namun, lagi-lagi perempuan kampung itu membuatku pusing. Kenapa Azzam masih mau mencarinya seharusnya biarkan saja dia pergi. Jadi aku bisa menjadi istri Azzam tentu saja aku sebagai menantu satu-satunya akan menjadi pewaris. Aku duduk di ruang tamu bersama Tante Hilda, menyesap teh hangat yang dihidangkan Mbak Siti. Senyuman manis, sikap lembut, seolah aku adalah sahabat terbaik yang pernah dimilikinya. Padahal dalam kepalaku, aku sedang menyusun strategi terakhir.Disaat Azzam sibuk mencari perempuan kampung itu. Aku tidak mau menyia-nyiakan kesempatan untuk mendapatkan tanda tangannya."Tante, terima kasih banyak. Aku sungguh tidak menyangka bisa mendapatkan kepercayaan s

  • MENGGENGGAM PERIH MENIKAHI TAKDIR    Bab 21

    Akhirnya, aku melepas masker. Di ruangan ibu, aku tidak tahan jika tidak menggunakannya. Udara terasa sesak, bercampur dengan aroma obat dan antiseptik yang menusuk. Aku harus mencari pekerjaan. Aku harus pegang uang. Tidak mungkin selamanya begini, bertahan dengan sisa tabungan yang semakin menipis, sementara pengobatan ibu harus terus berjalan. Pagi ini, aku ingin sekali makan dimsum. Aroma gurihnya menguar dari seberang jalan, menggoda perut kosongku. Tanpa pikir panjang, aku membelinya dan langsung mencicipi satu. Dimsum yang masuk ke mulutku terasa luar biasa enak. Kenyal, gurih, dengan isian yang lembut dan sedikit meleleh di lidah. Rasanya aku bisa menghabiskan lebih banyak dari biasanya. Mungkinkah ini pengaruh hormon kehamilanku? Selama ini, aku tidak pernah terlalu menyukai dimsum, tapi sekarang, setiap gigitannya terasa begitu memanjakan lidah. Namun, di tengah kenikmatan itu, ada sesuatu yang mengganjal. Aku mengusap perutku yang mulai membuncit. Rasanya sedikit sesak s

  • MENGGENGGAM PERIH MENIKAHI TAKDIR    Bab 20

    Aku duduk di ruang kerja, menatap meja yang berantakan dengan tangan mengepal. Ini adalah hari ke tiga aku tanpa Ivana. Dadaku masih terasa sesak, kepalaku berdenyut keras. Foto-foto yang tersebar di depanku seolah mengejek perasaan yang selama ini kujaga.Ivana. Wanita yang kupikir berbeda dari yang lain. Yang kupikir tulus. Yang kupikir tidak akan pernah menyakitiku. Aku jatuh cinta padanya bukan karena parasnya, tapi karena caranya bersikap. Cara dia membuatku merasa istimewa.Tapi pada akhirnya, dia sama saja.Aku benar-benar kecewa. Hatiku hancur sehancur-hancurnya.Dalam foto-foto itu, Ivana terlihat begitu bahagia bersama pria itu. Lelaki yang katanya sudah menjadi bagian dari masa lalunya. Tapi dari ekspresi wajahnya, dari sorot matanya… bagaimana mungkin aku percaya kalau perasaan itu benar-benar sudah hilang?Aku menggertakkan gigi, tanganku meremas kertas di atas meja.Mungkinkah aku yang terlalu bodoh? Terlalu percaya? Terlalu mudah dikelabui?Aku sengaja meminta Ibu untuk

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status