Share

Bab 8

Author: Jeni Sasmita
last update Last Updated: 2025-05-09 15:36:07

Aroma roti panggang dan sandwich memenuhi dapur, menguar lembut di antara kepulan uap kopi yang baru saja kuseduh. Aku sudah bangun lebih awal, mencoba mengalihkan pikiranku dari kejadian subuh tadi dengan sibuk di dapur. Suara gemerincing piring dan sendok yang kutata di meja makan sesekali memecah keheningan rumah.

Di luar, samar-samar terdengar suara sapu Mbak Siti yang sibuk membersihkan halaman depan.

“Pagi-pagi sudah wangi dapurnya,” suara Ibu mengejutkanku. Ia menarik kursi dan duduk, raut wajahnya tenang, seolah kejadian semalam tak pernah terjadi.

Aku tersenyum kecil, berusaha menyembunyikan kecanggungan, lalu meletakkan sepiring Sandwich di depannya. “Semoga suka, Bu. Saya cuma masak yang sederhana.”

Kupikir Ibu akan mendiamkanku setelah apa yang terjadi tadi malam, tapi ternyata tidak. Tatapan dan caranya padaku masih sama, hangat seperti biasa.

Ibu mengambil sesendok kecil sandwich, mengunyah perlahan sebelum mengangguk pelan. “Enak,” pujinya, membuat dadaku sedikit lega. “Azzam beruntung, Ibu nggak pernah salah pilih. Masakan kamu enak, kamu pandai mengurus rumah, sikap dan caramu sungguh mengagumkan.” Ia menatapku penuh bangga, “Ibu sampai nggak percaya kalau Elvira melahirkan seseorang yang begitu multitalenta."

Jantungku serasa berhenti berdetak. Aku hanya bisa terdiam, menunduk, seolah piring di hadapanku jauh lebih menarik daripada menanggapi kalimat Ibu.

Suasana canggung itu terselamatkan oleh suara pintu terbuka. Azzam muncul dengan koper kecil di tangannya. Ekspresi wajahnya serius, seolah ada beban berat yang sedang ia pikul.

"Ibu, Ivana, aku harus pergi ke luar kota pagi ini. Salah satu cabang perusahaan mengalami masalah besar, Nanti aku juga akan turun sendiri ke lapangan untuk melihat proyeknya. Jadi kalian jangan panik saat aku tidak bisa dihubungi karena disana tidak ada akses internet." ucapnya tanpa basa-basi.

Aku bisa melihat dari raut wajahnya—ini bukan masalah sepele.

"Ibu, aku titip istriku. Tolong jaga dia baik-baik, ya," katanya sambil menoleh padaku dengan senyum yang cukup untuk membuat jantungku berdebar.

Ibu mengangguk sambil mengulum senyum. "Istrimu aman bersama Ibu. Kamu hati-hati, ya."

Aku berdiri, melangkah cepat menghampirinya. "Kamu nggak sarapan dulu?" tanyaku, mengambil sepotong sandwich dari meja.

"Aku buru-buru banget, cicip sedikit aja, ya." Azzam mendekat, tanpa ragu menggigit sandwich di tanganku.

Baru saja berbalik hendak pergi, dia kembali lagi, merebut sandwich itu dari tanganku. "Enak banget ternyata," gumamnya sebelum melangkah keluar.

“Nggak boleh makan sambil jalan,” seruku sambil mengikutinya hingga ke depan pintu.

“Nanti makannya di mobil,” balasnya santai.

Aku refleks merapikan sedikit kerah bajunya, jari-jariku bergetar ringan tanpa alasan yang jelas. “Hati-hati di jalan, ya,” bisikku pelan.

Azzam menatapku sejenak, lalu tersenyum lembut. “Terima kasih. Jangan capek-capek, jaga kesehatan. Tunggu aku pulang.”

Sebelum aku sempat membalas, bibirnya mendarat singkat di keningku.

Aku mematung. Jantungku berdebar kencang, tak karuan. Entah kenapa, ada perasaan aneh yang mengendap di dada—perasaan enggan melepaskannya pergi.

Setelah Azzam menghilang di balik pintu, aku kembali ke ruang makan. Ibu masih duduk di kursinya, menikmati sarapan sambil sesekali menyeruput teh.

"Ivana, rasanya Ibu ingin jalan-jalan ke taman pagi ini. Maukah kamu menemani Ibu?" tanyanya tiba-tiba.

"Ooh, tentu saja, Bu. Ayo," jawabku cepat.

Taman yang Ibu maksud memang tak jauh dari rumah. Hanya beberapa menit berjalan kaki, kami sudah tiba. Udara pagi masih sejuk, segar dengan aroma embun yang belum sepenuhnya menguap. Sinar matahari mengintip malu-malu di balik dedaunan, menciptakan bayangan panjang di sepanjang jalan setapak. Suara kicauan burung bersahutan, menjadi latar alami yang menenangkan.

Kami berjalan beriringan. Ibu menggenggam tanganku erat, jemarinya hangat, seolah ingin membagikan ketenangan yang ia miliki.

Tiba-tiba Ibu berhenti, menatap lurus ke depan. “Maafkan Ibu atas sikap Ibu tadi malam, ya. Ibu benar-benar kaget melihat kalian seperti itu,” ucapnya pelan.

Aku terdiam sejenak, lalu mengangguk kecil. “Tidak, Bu. Justru aku yang minta maaf sudah membuat Ibu kecewa. Tapi mulai sekarang aku janji, hal seperti itu nggak akan terulang lagi.”

Ibu tersenyum tipis. “Ibu senang mendengarnya. Ibu berharap pernikahan kalian selalu bahagia.”

"Aamiin," gumamku pelan. Kata-katanya membuat hatiku hangat. Entah kenapa, untuk pertama kalinya, aku merasa seperti benar-benar punya rumah.

Kami terus berjalan menyusuri taman. Ibu sesekali berhenti untuk mengagumi bunga liar yang bermekaran di tepi jalan.

“Dulu, Elvira pernah cerita ke Ibu kalau dekat rumahnya ada sebuah taman yang indah. Dia suka sekali mengajakmu jalan-jalan ke sana. Kamu ingat taman itu?” tanyanya tiba-tiba.

Pertanyaan sederhana itu membuat napasku tersentak. Aku menunduk, berpikir keras, tetapi tidak ada jawaban yang bisa kuberikan. “Hmm... mungkin saya masih terlalu kecil, Bu, jadi nggak terlalu ingat.”

“Oh, begitu,” sahut Ibu, meski nadanya terdengar ragu.

Aku tersenyum kaku, merasa seperti tembok besar dalam diriku mulai retak sedikit demi sedikit.

Elvira adalah sahabatku sejak kami masih muda. Kami melakukan banyak hal bersama. Dia bukan hanya teman, Ivana. Dia adalah orang yang selalu ada di saat aku terjatuh.”

Aku mencoba menjaga ekspresi wajahku tetap tenang, meskipun di dalam, rasa bersalah mulai merayap naik.

“Dulu, ada masa-masa sulit dalam hidupku. Saat itu, ayah Azzam sedang berjuang membangun usahanya, dan kondisi keuangan kami sangat buruk. Aku bahkan tidak tahu bagaimana kami bisa bertahan.” Ibu menatap jauh ke depan, matanya berkaca-kaca.

Lalu, Elvira datang,” lanjutnya dengan suara yang mulai bergetar. “Dia tahu kondisi kami tanpa aku harus menceritakan apa pun. Elvira meminjamkan uang yang cukup besar tanpa pernah menuntut pengembalian. Dia berkata, ‘Aku tahu kalian bisa bangkit, dan aku hanya ingin membantu."

“Tapi bukan hanya uang yang dia berikan, Ivana. Elvira memberikan dukungan, semangat, dan kepercayaan dirinya. Dia datang setiap hari, membantuku merawat Azzam yang masih bayi. Saat aku hampir menyerah, dia selalu mengingatkanku bahwa badai pasti berlalu. Dia tidak pernah menghakimi, tidak pernah mengeluh.”

Ibu berhenti sejenak, menyeka sudut matanya yang mulai basah. “Ketika kami akhirnya bangkit, aku berjanji pada diriku sendiri bahwa aku akan membalas semua kebaikannya. Tapi, dia pergi terlalu cepat.”

Aku menelan ludah, merasakan betapa beratnya beban kebohongan ini.

“Ibu merasa kehadiranmu di sini adalah cara semesta mengembalikan kebaikan Elvira. Kamu seperti bagian dari dirinya yang kembali hadir dalam hidup Ibu,” lanjut Ibu dengan tatapan penuh kasih.

Aku mencoba tersenyum, meski rasanya sulit. “Ibu sudah terlalu baik padaku,” bisikku pelan.

Ibu menggenggam tanganku, menatapku dengan penuh kasih. “Bukan soal kebaikan, Nak. Aku hanya ingin kamu tahu bahwa kamu selalu diterima di sini. Kamu bagian dari keluarga ini.”

Kata-katanya seperti pisau yang menusuk perlahan. Aku ingin mengatakan yang sebenarnya, ingin mengakui semua kebohongan ini. Tapi kata-kata itu tertahan di tenggorokan, membeku di ujung lidahku.

Tiba-tiba ponselku bergetar. Sebuah pesan masuk dari nomor tak dikenal.

[Ana, kamu di mana? Aku akan jelaskan semuanya. Aku tidak bermaksud mengkhianatimu. Aku dijebak oleh Fitri. Aku nggak sanggup tanpa kamu, Ana. Aku akan selalu mencarimu ke mana pun.]

Astaga! Arka. Kenapa dia harus muncul lagi sekarang.

“Siapa? Azzam?” tanya Ibu, menoleh dengan alis terangkat.

“Mm… b-bukan, Bu. Nomor nggak dikenal. Mungkin salah kirim,” jawabku cepat, berusaha menyembunyikan layar ponsel di balik genggamanku.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • MENGGENGGAM PERIH MENIKAHI TAKDIR    Bab 15

    Seharusnya aku yang menentukan kemana kami pergi. Setidaknya itu yang kupikirkan saat mengajak Ivana jalan-jalan hari ini. Tapi ternyata, dia malah membawaku ke tempat yang sama sekali tidak bisa aku jelaskan."Stop!" Ivana tiba-tiba menyuruhku menghentikan mobil di depan sebuah keramaian.Aku menatap keluar dengan dahi berkerut. "Ini tempat apa?" tanyaku kebingungan.Ivana tersenyum penuh arti. "Sudah, jangan banyak tanya. Sekarang kita turun. Kamu janji tadi mau belajain aku, kan," jawabnya enteng.Aku mengerutkan kening, masih tidak paham dengan maksudnya. "Kita belanja di sini? Tempat apa ini?" tanyaku lagi setelah turun dari mobil.Bagaimana tidak? Tempat ini ramai sekali, penuh sesak dengan orang-orang yang berlalu-lalang, dan yang lebih parah—becek!"Ini namanya pasar," jawab Ivana ringan.Aku meliriknya tak percaya. "Oh, tidak. Aku juga pernah nganterin Ibu ke pasar. Tapi tempatnya bagus dan bukan seperti ini."Ivana malah tertawa kecil. "Iya, ini pasar tradisional, Azzam. Tid

  • MENGGENGGAM PERIH MENIKAHI TAKDIR    Bab 14

    Kelembutan tangan ibu terasa di kepalaku saat jemariku masih sibuk memijat kakinya. Aku bisa merasakan tubuhnya mulai lebih rileks, napasnya teratur. Untung saja keadaan ibu cepat membaik dan sudah kembali ke rumah. “Ibu capek?” tanyaku pelan.Ibu menggeleng, "Nak, boleh ibu tanya sesuatu?"Aku mengangkat wajah, sedikit terkejut dengan nada suaranya yang begitu hati-hati. "Tentu, Bu. Apa itu?"Ibu menggenggam jemariku, tatapannya dalam. "Tentang keluargamu, Nak. Ibu hanya ingin tahu."Aku tercekat. Dadaku terasa berat. Aku sudah menduga pertanyaan ini akan muncul suatu hari nanti, tapi tetap saja, ketika saatnya tiba, rasanya sesak.Aku tersenyum kecil, tapi hambar."Keluargaku ...." Aku menghela napas panjang. "Mereka adalah orang-orang yang paling aku cintai, tapi juga yang paling membuatku terluka."Ibu mengerutkan kening."Apa maksudmu, Nak?"Aku menatap jemari yang saling bertaut di pangkuanku. Suaraku hampir bergetar saat mulai berbicara. "Sejak kecil, aku selalu berusaha me

  • MENGGENGGAM PERIH MENIKAHI TAKDIR    Bab 13

    Pov IvanaAku menatap Azzam, menunggu sesuatu penjelasan, pembelaan, atau setidaknya tatapan yang bisa meyakinkanku bahwa aku tidak sedang bermimpi. Tapi dia hanya diam, ekspresinya tenang seolah semua yang baru saja dia katakan sudah cukup.Aku menelan ludah, mencoba memahami perasaanku sendiri."Jadi kamu sudah mengetahui semuanya sejak awal sebelum pernikahan terjadi?" tanya Ibu dengan nada tajam."Bukan, Bu," Azzam cepat menjawab. "Aku baru tahu setelah menikah."Ibu masih menatapnya dengan penuh selidik, seolah meminta penjelasan lebih lanjut. "Sejak aku melihat kedekatan Ibu dan Ivana yang semakin erat. Awalnya aku hanya penasaran, ingin tahu lebih banyak tentang dia, tentang makanan kesukaannya, hal-hal kecil lainnya yang dia suka. Aku terus mencarinya di internet, tapi tidak ada apapun tentangnya. Itu membuatku sedikit bingung, bukankah ibu bilang kalau Tante Elvira adalah orang yang terkenal."Aku menunduk, kedua tanganku saling mencengkeram erat.Azzam melanjutkan, suaranya

  • MENGGENGGAM PERIH MENIKAHI TAKDIR    Bab 12

    Pov Azzam Udara siang hari di pedalaman terasa lebih terik dari biasanya. Pepohonan yang menjulang tinggi di sekitar rumah Pak Arif terlihat tenang. Aku duduk di kursi kayu dekat jendela, menatap layar ponselku yang kosong dari notifikasi.Sudah enam hari aku di sini. Enam hari tanpa kabar dari ibu dan … tentu saja, Ivana.Ada dorongan kuat untuk menghubunginya, sekadar mendengar suaranya, memastikan bahwa semuanya baik-baik saja. Sinyal di sini seperti harta karun yang sulit ditemukan. Bahkan daya baterai ponselku masih tetap penuh, tidak berkurang sedikit pun karena beberapa hari ini tidak ku sentuh.Pak Arif, yang duduk di sebelahku, menyeruput teh yang disediakan istrinya dengan tenang. Matanya yang tajam sesekali melirikku, seakan membaca kegelisahan yang sedari tadi aku coba sembunyikan."Silakan diminum tehnya, Pak," ucapnya, mendorong gelas ke arahku.Aku mengangguk dan meraih gelas tersebut, tapi bukan teh yang mengisi pikiranku. Sosok Ivana hadir begitu jelas di benakku—sen

  • MENGGENGGAM PERIH MENIKAHI TAKDIR    Bab 11

    Aku menatap Ivana yang duduk di bangku lorong rumah sakit dengan ekspresi penuh kegelisahan. Wajahnya pucat, matanya sembab, dan tangannya gemetar. Pemandangan yang cukup menyenangkan bagiku. Tapi itu belum cukup, aku puas kalau dia pergi dari hidup Azzam.Jujur, aku tidak suka keberaniannya. Seharusnya dia sudah menyerah sekarang, tapi dia masih berani menantangku?Ivana tetap menatapku, dan aku benci melihat ketenangan di matanya. “Mungkin Azzam akan marah, mungkin dia akan kecewa. Tapi aku tidak takut menghadapi kenyataan.”Aku mengepalkan tangan. “Kamu percaya diri sekali. Lihat saja nanti, Ivana. Azzam bukan tipe pria yang bisa dibohongi. Dia tidak akan pernah memilih wanita seperti kamu.”Sebelum Ivana sempat menjawab, seorang dokter keluar dari ICU. Aku menegakkan tubuh, memperhatikan reaksi Ivana saat dia segera berdiri dan menghampiri dokter itu.“Bagaimana kondisi ibu saya, Dok?” tanyanya cemas.Aku mendengarkan dengan seksama.“Kondisinya masih belum stabil. Tekanan darahny

  • MENGGENGGAM PERIH MENIKAHI TAKDIR    Bab 10

    Elisa. Anak Elvira.Nama itu menusuk kepalaku seperti pedang yang siap merobek kenyataan yang susah payah kujaga. Sosok yang selama ini kuhindari, kini berdiri tepat di depan kami dengan wajah penuh keyakinan, seolah rumah ini memang miliknya. Seolah dia memang diharapkan di sini.Aku meremas lengan ibu erat, dinginnya jemariku berpindah ke kulitnya. Napasku berat, serasa ada bongkahan es yang mengganjal di dada. Tidak. Ini tidak boleh terjadi.Ibu harus menutup pintu. Harus mengusirnya. Harus mengatakan bahwa Elisa salah alamat. Tapi tidak. Ibu tetap diam. Mata lebarnya berkaca-kaca, bibirnya menganga, seolah baru saja mendengar sesuatu yang terlalu sulit untuk diterima.“Aku sudah lama ingin bertemu dengan kalian.” Suara Elisa begitu tenang, berbeda dengan pusaran badai yang kini berputar di dalam dadaku. “Nenek bilang kalau Tante adalah orang yang sangat baik. Katanya almarhumah mama banyak bercerita tentang Tante ke nenek.”Tubuh ibu menegang. Aku bisa merasakan jari-jarinya berge

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status