Share

Bab 7

Author: Jeni Sasmita
last update Huling Na-update: 2025-05-09 15:35:37

Aku refleks bangkit, selimut melorot jatuh dari tubuhku, Azzam masih duduk kasurnya, berjarak beberapa meter dariku, dengan wajah panik.

"Bu… ini, kami—" Azzam mencoba bicara, tapi suaranya tercekat.

Ibu mengangkat tangan, menghentikan kata-katanya. "Kalian suami istri. Kenapa tidur terpisah? Apa pernikahan ini cuma formalitas buat kalian?"

Aku menelan ludah, mencoba mencari kata-kata. "Bu, kami … kami hanya belum terbiasa. Bukan karena kami nggak saling peduli. Kami sedang—"

"Berapa lama waktu yang kalian butuhkan untuk 'terbiasa'? Seminggu? Sebulan? Kalian sudah menikah!" Mata Ibu berkilat, dan aku bisa melihat kekecewaan itu mengalir dalam setiap nadanya. "Aku pikir Azzam tahu tanggung jawabnya. Tapi ternyata, aku salah."

Aku merasakan dada ini sesak. Baru kali ini aku melihat wanita penuh senyuman itu marah, rasa bersalah menamparku tanpa ampun. Azzam hanya bisa menunduk, rahangnya mengeras menahan emosi yang sulit diungkapkan.

Ibu berbalik, hendak pergi, tapi Azzam buru-buru berdiri dan menghampirinya. "Bu, tolong dengarkan Azzam dulu."

Ibu berhenti, meski tak menoleh.

"Ibu benar. Aku salah. Aku yang belum siap, Bu. Aku yang terlalu banyak berpikir. Bukan Ivana." Suara Azzam terdengar berat, penuh penyesalan.

Ibu akhirnya menoleh, tatapannya melunak sedikit, tapi masih ada kekecewaan di sana. "Kalau begitu, buktikan. Buktikan kalau kalian benar-benar menjalani pernikahan ini, bukan hanya status di atas kertas."

Kami mengangguk bersamaan. "Kami akan buktikan, Bu," ucap Azzam yakin.

Aku dan Azzam hendak mengantarnya ke kamar untuk memastikan dia baik-baik saja, tapi kembali ia menolak. Ia langsung pergi meninggalkan pintu yang sedikit terbuka, aku terduduk di tepi ranjang. Jantungku masih berdebar.

Azzam berjalan pelan, lalu duduk di sampingku. Suasana hening sesaat, hanya terdengar detak jam dinding yang semakin mempertegas kecanggungan di antara kami.

"Aku nggak mau Ibu terus kecewa karena kita, aku takut kondisi ibu kembali memburuk karena semua ini." Suara Azzam pelan, hampir seperti bisikan. Dia menatapku, matanya serius, tanpa keraguan. "Ivana, mulai malam ini kita tidur di ranjang yang sama."

Jantungku berdebar keras. Aku mengangguk pelan, tak bisa menolak. Karena aku juga takut jika hal buruk terjadi pada ibu.

Malam itu, kami berbaring di ranjang yang sama. Jarak di antara kami begitu dekat, membuatku bisa merasakan hangat tubuhnya. Suara napasnya terdengar jelas di telingaku.

Aku berusaha mengatur napas, menenangkan diri, tapi jantungku tetap berdetak kencang. Aku melirik Azzam yang juga terdiam, menatap langit-langit kamar seolah sedang berperang dengan pikirannya sendiri.

Beberapa menit berlalu dalam keheningan.

"Tidurlah, aku tahu kamu sangat mengantuk. Jangan khawatir semua akan baik-baik saja," ucap Azzam yang seolah mengerti akan kegelisahan hatiku.

Mendengar itu hatiku terasa lebih tenang dan aku pun tertidur karena tidak akan terjadi apa-apa seperti yang dikatakan oleh Azzam.

*

Waktu berjalan begitu cepat, alarm hpku berbunyi. Setengah jam lagi waktunya sholat subuh. Segera aku mematikannya karena takut menganggu tidur Azzam.

Perlahan aku hendak turun dari ranjang tapi tiba-tiba Azzam berbalik, menatapku lekat-lekat. "Ivana," panggilnya pelan.

Aku menoleh, menatap matanya yang penuh dengan sesuatu yang sulit diartikan—ragu, tapi juga keinginan yang tertahan.

"Aku … aku nggak bisa pura-pura tenang." Suaranya serak.

Aku tetap diam, mendengarkannya, mencoba mencermati maksudnya.

"Ivana tolong aku, aku mohon."

Lagi, aku masih belum bisa mengerti. Apakah lelaki ini sedang mengigau? Tapi jelas-jelas matanya terbuka lebar.

"Aku menginginkanmu, Ivana."

Ucapannya kini membuat seluruh tubuhku bergetar.

"Kenapa harus takut? Kita suami istri. Sah secara agama dan hukum." Tatapannya menembus batas-batas ketakutanku.

"Aku ingin dekat denganmu, Ivana. Bukan karena Ibu, tapi karena aku memang menginginkannya."

Dia mendekat, meraih tanganku, menggenggamnya erat. Tatapan matanya membuatku lebur, membuat semua kecanggungan menguap begitu saja.

Awalnya hanya sentuhan sederhana—usapannya di pipiku, tatapan yang tertahan-tahan. Tapi kemudian, semuanya mengalir, tanpa paksaan. Ada kehangatan yang berubah menjadi api, ada jeda yang penuh makna.

Entah kenapa aku pun juga ikut hilang kendali. Bahkan, aku melupakan satu kenyataan pahit yang selalu menghantui pikiranku—bahwa aku bukan anak Elvira.

"Terimakasih Ivana, aku berjanji tidak akan pernah menyakitimu."

Azzam memelukku dan beberapa kali mengecup keningku. Apakah ucapannya bisa dipercaya?

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • MENGGENGGAM PERIH MENIKAHI TAKDIR    Bab 25

    Sejak kejadian kemarin, aku dan Mas Azzam benar-benar berusaha saling memperbaiki diri. Kami banyak berbicara dari hati ke hati, mencoba memahami satu sama lain tanpa ada lagi prasangka atau kesalahpahaman.Mungkin, semua yang terjadi adalah teguran sekaligus pelajaran berharga.Kini, hubungan kami jauh lebih harmonis, terlebih dengan kehadiran janin kecil di dalam perutku. Setiap pagi, Mas Azzam selalu menyempatkan diri untuk mengusap perutku, berbicara lembut dengan calon buah hati kami."Assalamualaikum, Nak. Hari ini Mama sehat, kan?" bisiknya sambil mengelus lembut perutku. "Papa nggak sabar ketemu kamu."Aku tersenyum melihat wajahnya yang penuh cinta. "Dia pasti juga senang mendengar suara Papa setiap hari."Mas Azzam menatapku lembut, lalu mengecup keningku. "Aku janji, aku akan selalu ada untuk kalian. Aku nggak akan pernah mengulangi kesalahan kemarin."Aku menggenggam tangannya erat. "Aku juga, Mas. Aku ingin kita terus seperti ini, saling menguatkan."Kondisi Ibuku juga su

  • MENGGENGGAM PERIH MENIKAHI TAKDIR    Bab 24

    Aku berlari menyusuri trotoar dengan napas memburu. Suara sepatu hakku beradu dengan jalanan berbatu, tapi aku tidak peduli. Yang ada di kepalaku sekarang hanya satu hal—aku harus bertemu Tante Hilda sebelum semuanya terlambat. Begitu tiba di rumah, aku langsung membuka pintu dengan kasar. Mbak Siti yang sedang menyapu menatapku dengan terkejut. “Mbak, Tante Hilda mana?” tanyaku cepat, tanpa basa-basi. Mbak Siti tampak ragu sesaat sebelum menjawab. “Tadi Ibu pergi ke rumah temannya.” Aku mengernyit. “Teman? Siapa teman Tante di sini? Aku tidak pernah melihat dia punya teman.” “Iya, teman arisannya selama ini. Mereka memang sudah lama tidak berjumpa.” Aku mendengus pelan. Alasan yang sangat tidak masuk akal. Tante Hilda jarang sekali keluar rumah, apalagi hanya untuk bertemu teman arisan. “Tapi biasanya Ibu tidak lama-lama. Paling sebentar lagi juga pulang. Kenapa, Mbak?” Aku menggeleng, mencoba menyembunyikan kegelisahan di hatiku. “Nggak papa, cuma nanya aja.” Tapi dalam hati

  • MENGGENGGAM PERIH MENIKAHI TAKDIR    Bab 23

    Aku berjalan cepat di lorong rumah sakit, detak jantungku berpacu dengan langkah kakiku. Yudi ada di sampingku, menyesuaikan langkah tanpa berkata apa pun. Kami langsung menuju resepsionis untuk menanyakan keberadaan ibu Ivana.“Pasien atas dirawat di kamar 207, lantai tiga,” jawab perawat di meja depan.Tanpa menunggu lama, aku dan Yudi segera menuju ke ruangan itu. Begitu sampai, aku berdiri di depan pintu, menarik napas dalam-dalam, lalu mengetuk pelan.“Silakan masuk,” suara terdengar dari dalam.Aku membuka pintu perlahan. Ruangan itu cukup sunyi. Di sana, hanya ada seorang perawat dan wanita yang terbaring lemah di ranjang rumah sakit. Namun, sosok yang selama ini kucari tidak ada.Mataku menyapu ruangan. Kosong.Dimana Ivana?Aku melangkah mendekat, lalu menundukkan tubuhku agar bisa melihat wajah ibu mertuaku dengan jelas. Wajah itu tampak pucat, tetapi masih ada cahaya ketegaran di matanya yang redup.“Kamu siapa?” tanyanya sambil menatapku.Aku tersenyum tipis, meski ada beb

  • MENGGENGGAM PERIH MENIKAHI TAKDIR    Bab 22

    Tante Hilda benar-benar telah masuk ke dalam perangkapku. Dia semakin percaya padaku bahkan saat di apartemen dia berjanji padaku akan menyerahkan salah satu restoran untuk aku kelola. Ya itu adalah tujuan utamaku, tapi kalau hanya satu restoran rasanya tidak cukup. Aku akan mengambil aset-aset berharga lainnya. Namun, lagi-lagi perempuan kampung itu membuatku pusing. Kenapa Azzam masih mau mencarinya seharusnya biarkan saja dia pergi. Jadi aku bisa menjadi istri Azzam tentu saja aku sebagai menantu satu-satunya akan menjadi pewaris. Aku duduk di ruang tamu bersama Tante Hilda, menyesap teh hangat yang dihidangkan Mbak Siti. Senyuman manis, sikap lembut, seolah aku adalah sahabat terbaik yang pernah dimilikinya. Padahal dalam kepalaku, aku sedang menyusun strategi terakhir.Disaat Azzam sibuk mencari perempuan kampung itu. Aku tidak mau menyia-nyiakan kesempatan untuk mendapatkan tanda tangannya."Tante, terima kasih banyak. Aku sungguh tidak menyangka bisa mendapatkan kepercayaan s

  • MENGGENGGAM PERIH MENIKAHI TAKDIR    Bab 21

    Akhirnya, aku melepas masker. Di ruangan ibu, aku tidak tahan jika tidak menggunakannya. Udara terasa sesak, bercampur dengan aroma obat dan antiseptik yang menusuk. Aku harus mencari pekerjaan. Aku harus pegang uang. Tidak mungkin selamanya begini, bertahan dengan sisa tabungan yang semakin menipis, sementara pengobatan ibu harus terus berjalan. Pagi ini, aku ingin sekali makan dimsum. Aroma gurihnya menguar dari seberang jalan, menggoda perut kosongku. Tanpa pikir panjang, aku membelinya dan langsung mencicipi satu. Dimsum yang masuk ke mulutku terasa luar biasa enak. Kenyal, gurih, dengan isian yang lembut dan sedikit meleleh di lidah. Rasanya aku bisa menghabiskan lebih banyak dari biasanya. Mungkinkah ini pengaruh hormon kehamilanku? Selama ini, aku tidak pernah terlalu menyukai dimsum, tapi sekarang, setiap gigitannya terasa begitu memanjakan lidah. Namun, di tengah kenikmatan itu, ada sesuatu yang mengganjal. Aku mengusap perutku yang mulai membuncit. Rasanya sedikit sesak s

  • MENGGENGGAM PERIH MENIKAHI TAKDIR    Bab 20

    Aku duduk di ruang kerja, menatap meja yang berantakan dengan tangan mengepal. Ini adalah hari ke tiga aku tanpa Ivana. Dadaku masih terasa sesak, kepalaku berdenyut keras. Foto-foto yang tersebar di depanku seolah mengejek perasaan yang selama ini kujaga.Ivana. Wanita yang kupikir berbeda dari yang lain. Yang kupikir tulus. Yang kupikir tidak akan pernah menyakitiku. Aku jatuh cinta padanya bukan karena parasnya, tapi karena caranya bersikap. Cara dia membuatku merasa istimewa.Tapi pada akhirnya, dia sama saja.Aku benar-benar kecewa. Hatiku hancur sehancur-hancurnya.Dalam foto-foto itu, Ivana terlihat begitu bahagia bersama pria itu. Lelaki yang katanya sudah menjadi bagian dari masa lalunya. Tapi dari ekspresi wajahnya, dari sorot matanya… bagaimana mungkin aku percaya kalau perasaan itu benar-benar sudah hilang?Aku menggertakkan gigi, tanganku meremas kertas di atas meja.Mungkinkah aku yang terlalu bodoh? Terlalu percaya? Terlalu mudah dikelabui?Aku sengaja meminta Ibu untuk

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status