“Ari, ngapain kamu di hotel?” Asyila memperhatikan sang adik dari ujung kepala hingga kaki. Tidak hanya itu, Asyila pun menghidu bau parfum yang menguar dari tubuh dan pakaian Arisha.
“A–Ari habis ketemu teman kampus, kami ramai-ramai di sini dan semuanya perempuan, Kak,” ucap Arisha.“Di kamar nomor berapa?” tanya Asyila menantang. “Apa temanmu ada yang memakai parfum lelaki?”Arisha membeku, ia menoleh ke belakang berharap Biantara tidak keluar dari kamar. Ia benar-benar merasakan tersiksanya menjadi orang ketiga. Arisha juga ingin cepat-cepat pergi dari Asyila, ia takut sang kakak menyadari jika parfum yang tercium dari tubuhnya adalah milik Biantara.“Kenapa diam? Aku berhak tahu, kamu datang ke sini sama siapa dan bertemu siapa. Aku ini kakakmu!” Asyila tersenyum seolah puas melihat sang adik terlihat buruk.Sejak dulu ibunya selalu membandingkan dirinya dengan sang adik. Walaupun Arisha bukan anak kandung, tetapi karena Arisha selalu terlihat baik dalam pergaulan dan penurut, Anin memberikan nilai lebih pada Arisha.“Ari harus pulang, Kak. Ibu sudah nunggu Ari,” kata Arisha.“Ibu harus tahu jika anak kesayangannya sedang berada di hotel dan menjual diri,” ucap Asyila tersenyum puas.Karena Anin begitu menyayangi Arisha dan begitu memperjuangkan masa depan Arisha, hingga Asyila meminta pada Biantara untuk menanggung kehidupan keluarganya juga. Asyila sangat muak melihat Arisha yang selalu bersikap polos dan selalu mengambil hati ibunya. Namun, kini Asyila bisa melaporkan apa yang ia lihat pada Anin agar tidak lagi mengagungkan sikap polos Arisha.“Kak, aku tidak jual diri,” ucap Arisha.“Kalau begitu, tunjukkan aku di mana kamar teman-temanmu, ayo!” Asyila menarik lengan Arisha.Arisha menarik lengannya. “Maaf Kak, Ari harus pulang!”Usai mengatakan itu, Arisha tidak pikir panjang lagi, ia gegas berlari meninggalkan Asyila dan Bayu. Arisha segera memesan taksi untuk membawanya kembali ke rumah. Ia benar-benar takut jika Asyila melaporkan pada Anin.“Kenapa aku harus berada di situasi seperti ini!” Arisha memejamkan matanya dan membiarkan air matanya lolos.Sesaat Arisha turun dari taksi, wanita itu melihat mobil baru saja meninggalkan halaman rumahnya. Arisha kenal sekali dengan mobil yang sering membawa kakaknya. Ya, mobil yang baru saja pergi adalah milik Bayu.“Berarti Kak Asyila sudah sampai lebih dulu dan mungkin sudah menceritakan pada Ibu,” kata Arisha dalam hati.Arisha bimbang, ia tidak tahu harus masuk ataukah pergi lagi. Jika ia pergi, maka Anin pasti akan percaya dengan apa yang dikatakan Asyila. Namun, jika Arisha masuk pun, ia tidak akan bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan dari ibunya.Arisha menghela napas. “Aku harus masuk.”Sebelum wanita itu masuk, ia menghapus lebih dulu semua pesan dan log panggilan di ponselnya. Arisha terpaksa harus memblokir nomor Biantara untuk sesaat, Arisha tidak ingin di dalam nanti Anin penasaran dan mengecek ponselnya. Usai melakukan semuanya, Arisha membuka pintu pagar dan berjalan masuk ke rumah.“Apa yang kamu lakukan di hotel, Ari? Apa benar yang dikatakan kakakmu? Kamu di dalam kamar hotel bersama seorang lelaki?”Baru saja Arisha membuka pintu, ia sudah disambut dengan pertanyaan-pertanyaan dari Anin. Anin menghampirinya dan seketika menampar Arisha. Terlihat sorot kekecewaan di mata Anin.Arisha memegang pipinya yang terasa panas. “Yang dikatakan Kak Asyila tidak sepenuhnya benar, Kak Asyila tidak tahu apa pun tentang Ari tadi, Bu.”“Sekarang kamu nuduh aku bohong, sudah jelas tadi kamu ketakutan saat aku ingin melihat siapa saja temanmu dan kamu malah kabur begitu saja, ada Mas Bayu kok saksinya,” ucap Asyila.Mata Anin melebar dan menatap Asyila. “Jadi kamu ke hotel sama Bayu? Kamu bagaimana sih, Syila! Kamu ini kan sudah punya suami!”“Kenapa Ibu jadi marahin aku sih? Ibu kan memang sudah tahu kalau aku punya hubungan sama Mas Bayu, lagian aku hanya mengantar Mas Bayu ketemu klien,” ucap Asyila.“Klien apa sih malam-malam seperti ini? Kalian berdua benar-benar tidak ada yang bisa ibu percaya. Ibu tuh khawatir dengan kalian, tapi sepertinya ibu tidak penting untuk kalian!” Anin membawa langkahnya meninggalkan kedua putrinya.Arisha hendak mengejar Anin, tetapi Asyila menahan lengannya. “Mau ke mana kamu!”“Ari mau jelaskan ke Ibu,” ucap Arisha.“Kamu benar-benar bermuka dua, sok polos di depan Ibu, tapi sudah seperti jalang di luar sana!” Asyila mendorong tubuh Arisha, kemudian keluar dari rumah itu.Arisha hanya bisa menangis, di saat seperti ini. Semua tuduhan yang buruk sudah mengarah padanya. Namun, Arisha tidak dapat membela dirinya sendiri hanya kebohongan dan kebohongan lagi yang terucap dari bibirnya.***Hari ini genap dua bulan usia pernikahan Arisha dan Biantara. Selama 2 bulan itu pula, mereka sering bertemu di hotel secara sembunyi-sembunyi. Arisha sudah bosan berbohong pada ibunya hanya untuk bertemu dengan Biantara dan terkadang pulang larut malam, bahkan pagi.“Sudah siang, kamu masih saja di tempat tidur. Memangnya kamu tidak kuliah?” tanya Anin saat baru saja membuka pintu kamar Arisha.“Ari demam, Bu. Boleh ya Ari tidak masuk kuliah dulu,” ucap Arisha yang masih betah berada di bawah selimut.Anin berjalan menghampiri Arisha. “Ibu kan sudah bilang kamu tuh jangan terlalu sering keluar malam, sekarang malah demam!”Anin mengecek kening Arisha dengan punggung tangannya. “Panas sekali, kita tidak punya persediaan obat di rumah. Kita ke rumah sakit saja ya.”“Tidak, Bu. Ari cuma demam biasa, nanti Ari pesan obat penurun demam. Ibu tenang saja ya,” ucap Arisha.“Ya sudah kamu istirahat, ibu buatkan bubur untuk kamu sebelum minum obat,” ujar Anin.Mendengar itu, perut Arisha tiba-tiba saja bergejolak mual. Wanita itu pun segera turun dari ranjang dan ke kamar mandi. Arisha benar-benar tidak nyaman dengan perutnya, ia pun memuntahkan isi perutnya.“Ari,” panggil Anin lirih.Anin menatap Arisha penuh pertanyaan, hatinya tiba-tiba saja tidak menentu. “Kamu tidak apa-apa?”“Ari baik-baik saja, Bu. Ari hanya mual biasa, sepertinya Ari juga masuk angin,” ucap Arisha.Arisha menatap Anin yang matanya sudah berair. “Ibu kenapa? Ibu sakit?”“Apa kamu terlambat datang bulan, Ari?” tanya Anin. Hati seorang ibu mana yang tidak khawatir dengan anaknya yang selalu keluar malam dan kini muntah-muntah, terlebih Anin pernah mendengar jika putri sulungnya berada di hotel bersama laki-laki.Arisha tergemap mendengar pertanyaan Anin. Bibirnya seketika terkunci. Arisha tidak mampu menjawab pertanyaan Anin.“Arisha jawab ibu!” Kedua tangan Anin berada di bahu Arisha, wanita paruh baya itu mengguncang tubuh putrinya.“Ibu kenapa bertanya seperti itu sih? Maaf, Ari mau istirahat, Bu.” Arisha meninggalkan Anin, ia berusaha untuk menghindar dari pertanyaan sang ibu.“Arisha … angkat kaki dari rumah kalau terbukti kamu hamil!” ucap Anin dengan suara yang bergetar.Seketika Arisha menjatuhkan air matanya."Kenapa melamun?" Pertanyaan itu sontak membuat Arisha menoleh. Ya, Biantara baru saja pulang dari restoran. Ia menghampiri sang istri yang berdiri menatap ke luar jendela. "Apa yang kamu pikirkan sampai tidak tahu aku pulang?" tanya Biantara. "Mas Bian, maaf Ari tidak mendengar suara mobilnya. Ari hanya sedang memperhatikan bunga-bunga di sana," ujar Arisha. Biantara memeluk sang istri dari belakang. Tentu saja ia tidak percaya dengan apa yang dikatakan Arisha. "Aku tahu Bayu datang ke sini. Apa dia mengancammu?" "Mas Bian tahu dari mana?" tanya Arisha. Biantara terkekeh, ia memutar tubuh Arisha hingga menatapnya. "Kamu naif sekali, apa kamu pikir aku bisa tenang meninggalkanmu di rumah? Aku sudah memasang CCTV di rumah ini dan terhubung di tab-ku, aku memantaumu." Arisha menghela napas dan memeluk Biantara. "Hari ini Ari sudah berpikiran buruk tentang Mas Bian, maaf." "Ini pasti karena Bayu, aku akan memberi pelajaran," kata Biantara. Sejak kepergian Bayu, Arisha se
"Bu, kita makan sama-sama ya," kata Arisha.Anin hanya mengurung diri di kamar setelah Asyila tak lagi di rumah. Arisha semakin tak enak hati, ia merasa bersalah ketika melihat Anin hanya murung tanpa gairah hidup. Posisinya selalu saja serba salah."Kamu saja duluan, Ibu belum lapar," ucap Anin.Arisha duduk di sisi ranjang, di mana Anin tengah berbaring. "Jangan seperti itu, Bu. Ini sudah malam, Ibu harus mengisi perut sebelum tidur nanti.""Ari tahu Ibu sangat mengkhawatirkan Kak Asyila, tetapi Ibu harus memikirkan kesehatan Ibu," ujar Arisha."Maafkan kakakmu ya, Ibu tidak menyangka kalau Asyila akan nekat. Bian benar, andai dia tak cepat-cepat datang mungkin keadaannya sudah berbeda. Ibu sudah ikhlas dengan keadaan kakakmu, semoga kamu dan Bian bisa menjalani rumah tangga sebagaimana mestinya," kata Anin.Arisha terdiam sejenak, ia menggenggam tangan Anin dan menciumnya. "Terima kasih ya, Bu. Ari minta maaf karena sudah menjadi anak yang tidak tahu diuntung, Ari menjadi anak yang
"Mas tolong Kak Asyila juga. Dia sedang hamil, Ari takut terjadi sesuatu dengan kandungannya," ujar Arisha sesaat setelah Biantara membawanya masuk ke dalam mobil.Biantara bergeming, rasa sakit semakin dalam, ketika mengingat Asyila tak menginginkan kehamilan saat bersama dengannya."Aku tidak peduli," ujar Biantara.Arisha menggenggam tangan Biantara. "Mas, kasihan Kak Asyila. Mas Bayu tidak mau bertanggung jawab, Kak Asyila akan merasa sedih jika kehilangan calon bayinya, aku juga sedang hamil ... aku bisa merasakannya."Dengan perasaan berat, Biantara menuruti permintaan Arisha, ia melangkah kembali masuk ke dalam rumah. Beruntung ia tidak pernah percaya pada ucapan Asyila jika wanita itu hamil dengannya."Sekarang kamu dicampakkan orang yang kamu perjuangkan, sama sepertiku," gumam Biantara.Biantara baru saja masuk ke dalam kamar dan melihat Anin yang sedang berusaha menolong Asyila. Biantara pun segera mengangkat tubuh mantan istrinya tersebut."Bian tolong Asyila!" kata Anin.
"Apa dia memaksamu?" tanya Biantara sekali lagi saat di kamar."Tidak, Mas. Aku sudah pikirkan, aku mengkhawatirkan Ibu. Aku takut tidak ada yang menjaga Ibu, sedangkan Mas Bian terus menginginkan Kak Asyila di sini," kata Arisha.Biantara menghentikan tangan Arisha yang sedang mem*uka kancing kemejanya. "Apa kamu cemburu?""Tidak," jawab Arisha kembali fokus dengan aktivitasnya.Biantara mengangkat dagu Arisha. "Sungguh? Lalu apa alasanmu tidak mengizinkan?""Aku hanya takut kesehatan Ibu semakin drop jika melihat aku dan Mas Bian bersama," jawab Arisha."Tadi Ibu sudah melihatnya. Tidak ada masalah, bukan?" Biantara lantas menc*um bibir Arisha.Untuk sesaat tatapan mereka terpaut."Kamu tidak ingin memelukku?" tanya Biantara."Mas Bian harus mandi," ujar Arisha."Baiklah, aku akan segera mandi," ucap Biantara. "Setelah itu kamu harus memelukku, Sayang."Arisha terkekeh. "Mas Bian ada-ada saja."Tangan Biantara berada di sisi kiri dan kanan pipi Arisha. "Aku serius, atau kamu mau k
Asyila berlari mengejar Biantara ketika lelaki itu hendak masuk ke dalam mobil. Arisha memperhatikan sang kakak dari teras."Mas Bian, tunggu!" Asyila menahan pintu mobil dan menutupnya.Biantara menatap nyalang. "Kamu bisa lebih sopan sedikit tidak?""Maaf, Mas. Siang ini Ibu keluar dari rumah sakit, aku minta tolong agar Ibu bisa tinggal di sini," ujar Asyila.Biantara menoleh ke belakang karena ia yakin Arisha masih berada di sana. "Aku tidak bisa memutuskannya sendiri, aku akan bicarakan pada istriku."Biantara lantas memanggil Arisha."Aku yakin Ari pasti izinkan karena itu juga ibunya Ari," kata Asyila.Asyila tersenyum, ia ingin membawa sang ibu ke rumah Biantara, bukan hanya karena tidak memiliki tempat tinggal. Akan tetapi, ia juga butuh dukungan untuk merebut kembali Biantara dari Arisha."Ada apa, Mas?" tanya Arisha."Bicaralah! Aku tidak akan mengizinkan jika istriku tidak mengizinkan, begitu pun sebaliknya," ujar Biantara pada Asyila."Arisha, hari ini Ibu sudah diperbole
Suasana makan malam berjalan sangat romantis, di mana Biantara mem-booking rooftop restoran khusus untuk mereka. Musik mengalun dengan indahnya di telinga, kelopak bunga menghampar di sekitar mereka, cahaya lilin menambah kehangatan hubungan kedua insan."Mas Bian menyiapkan ini semua untuk Ari?" Arisha tak kuasa menyembunyikan raut wajah bahagia."Ya, apa kamu senang?" tanya Biantara memastikan.Arisha mengangguk. "Tentu. Terima kasih, Mas.""Aku akan selalu membuatmu merasa senang bersamaku," ujar Biantara.Senyum Arisha perlahan memudar, ia sangat bahagia dengan kata-kata sang suami. Namun, hatinya semakin yakin jika Biantara benar-benar hanya ingin permainkan perasaannya. Pada kenyataan, Arisha berharap lebih pada Biantara, berharap tak hanya menjadikannya alat balas dendam."Ayo makan! Kamu harus makan banyak dan bergizi, aku tidak ingin calon bayiku kelaparan," ujar Biantara."Mas Bian tenang saja, Ari akan jaga calon anak kita," imbuh Arisha.Mereka memulai makan malam. Biantar