Share

Kelemahan

Author: Nona Lee
last update Last Updated: 2025-07-31 00:51:44

"Hei, kenapa wajahmu?!"

Kania. Dia adalah ibu tiri dari Kevin, nyonya besar di keluarga Davidson grup. Wanita paruh baya itu nampak terkejut, melihat putra kesayangannya babak belur. Jeno tidak banyak bercerita tentang apa yang terjadi. Dia hanya berpikir, bagaimana caranya membawa Marlina keluar dari rumah itu.

"Aku akan memanggil dokter. Wajah tampanmu bisa rusak kalau begini," ucap Kania resah.

Jeno menarik lengan ibunya, "Bu. Apa Ibu bisa menolongku?"

"Ada apa? Apa ada seseorang yang mengganggumu?" tanya wanita itu. Mata hanzelnya nampak penasaran, dengan kegelisahan sang anak.

"Aku ingin Marlina keluar dari rumah Kakak. Dia tidak bahagia di sana Bu, lelaki itu telah membuatnya menderita."

Senyuman kecil diwajah Kania mulai melebar. Matanya menatap intens lelaki di hadapannya. Sebagai seorang ibu, Kania bisa menebak isi hati putranya. Jeno memang tertarik dengan Marlina, sejak pertemuan pertama mereka. Namun sang kakak lebih dulu memilikinya, dan membuat lelaki itu penasaran.

"Katakan pada Ibu. Apa kau menyukai wanita itu?" tanya Kania dengan senyuman licik di wajahnya.

Mata Jeno mulai gelisah, haruskah dia mengatakan semuanya pada sang ibu?

"Ah begini sayang..." menepuk pundak putranya "Jika kau ingin Marlina keluar dari rumah itu. Kau harus merebut hatinya terlebih dahulu," bisik wanita itu pelan, namun nadanya tegas.

Jeno terdiam sejenak, memikirkan kata-kata ibunya. Merebut hati Marlina? Bisakah dia melakukan itu? Karena selama ini dia tahu, jika wanita itu tak pernah bisa berpaling sedetikpun dari suaminya. Bahkan setelah kejadian tadi, wanita bodoh itu masih tetap menerima ciuman dari si monster.

"Bisakah aku melakukan itu?" Gumam lelaki itu gelisah. Dia merasa tidak percaya diri, untuk bisa mengalahkan kakaknya.

Kania tersenyum penuh kelicikan, "Tentu saja bisa sayang. Kau itu tampan, gagah. Apalagi yang kurang? Kau bisa menggoyahkan hatinya dengan satu malam saja."

"Apa maksud Ibu? Aku tidak mungkin melakukan hal seperti itu. Marlina akan sangat membenciku," Ucap lelaki itu marah.

Kania hanya tersenyum kecil pada putranya, lalu pergi begitu saja. Dia akan membiarkan Jeno memikirkan semuanya. Mencuci otak anak polos itu, demi wanita yang sangat dia inginkan. Karena dengan begitu, dia bisa memanfaatkannya. Sebuah kebetulan semata, untuk Kania menghancurkan anak tirinya itu. Jika dia tidak bisa melakukannya dengan kekerasan, maka Marlina akan menjadi kelemahannya.

"Azoospermia katamu?!"

Setelah beberapa hari menunggu, Kevin mendapatkan hasil pemeriksaan dari temannnya Gino. Dokter urologi itu mengatakan jika Kevin menderita Azoospermia. Sebuah kondisi dimana dirinya 99% tidak bisa memiliki keturunan.

"Aku tidak menemukan satu sperma pun dalam cairanmu. Jadi sangat kecil kemungkinan, bahkan tidak mungkin bagimu untuk memiliki keturunan. Apa istrimu tahu tentang ini, Kevin?"

Lelaki itu menyipitkan matanya, dengan tangan mengepal kuat. Kevin tidak percaya dengan apa yang dikatakan Gino, tentang penyakit yang dideritanya. Dengan penuh percara diri, dia merobek hasil pemeriksaan itu.

"Apa kau gila?! Mana mungkin aku menderita penyakit seperti itu. Wanita itu yang mandul, bukan aku."

Rahangnya mengeras, menahan amarah. Jika semua yang di katakan dokter itu adalah benar, maka tamat sudah riwayatnya. Semua rencana Kevin akan lenyap dalam sekejap mata. Dia tidak akan bisa memiliki keturunan, untuk menguatkan posisinya sekarang. Semua orang disekeliling, akan menjatuhkannya. Kevin akan kehilangan kekuasaanya.

Gino mencoba menenangkan lelaki itu, untuk tetap berpikir positif. Karena dia tahu, tidak mudah bagi Kevin untuk mendapatkan posisinya sekarang.

"Kau tenang saja. Aku akan berusaha sekuat tenaga untuk menyembuhkanmu. Namun untuk sekarang, lebih baik kau rahasiakan semua ini dari siapapun. Kau paham?" Ucap lelaki itu. Gino menepuk pundak Kevin untuk menguatkannya.

"Apa semua gara-gara wanita itu? Dia pasti pembawa sial."

Kevin mulai menyalahkan Marlina atas segala yang terjadi. Namun Gino, membela wanita itu. Semua yang terjadi adalah takdir yang harus Kevin jalani. Dia tidak bisa menyalahkan siapapun untuk semua kemalangannya.

"Jadi, aku harus apa sekarang?" tanya Kevin resah. Jarinya nampak gelisah, memainkan pulpen di atas meja.

Gino memukul kepala lelaki itu sekali, "Kau harus sadar bodoh! Jika semua ini ujian hidupmu. Baik-baiklah dengan wanita itu sekarang. Karena mungkin hanya dia, yang bisa menerima kekuranganmu."

Kevin keluar dari ruang pemeriksaan, dengan beberapa obat yang ada di tangannya. Sesekali dia tertawa kecil, menghibur dirinya yang rapuh. Semua akan baik-baik saja, selama orang-orang tidak mengetahui kebenarannya. Dia hanya perlu membuat Marlina bersalah, dan orang-orang mulai menuduhnya.

"Iya, aku bisa melakukannya. Wanita itu..." tersenyum jahat "akan menjadi tamengku."

Sebuah rencana telah Kevin pikirkan dengan matang. Dia akan menggunakan istrinya sekarang.

"Ayah?"

Baru saja menginjakkan kakinya di rumah. Kevin sudah diberi kejutan yang luar biasa. Seorang lelaki paruh baya menatapnya tajam, lalu duduk santai bersama sang istri. David, dia adalah ayah kandung, sekaligus pemilik Davidson grup. Lelaki yang sangat Kevin hormati, dan dia benci di dalam hidupnya.

"Hei berandal!" menyipitkan matanya "dari mana saja kau?" tanya David dengan nada menantang.

Kevin berjalan mendekat, duduk di samping Marlina. Sebuah kecupan lelaki itu lakukan, untuk memulai permainanya. Sebuah sandiwara yang biasa dia lakukan di hadapan semua orang. Namun lelaki paruh baya itu tidak akan terpengaruh, apalagi setelah melihat bekas luka di wajah menantunya. David tahu betul sifat asli putranya, yang arogan dan pemarah.

"Aku baru saja menemui temanku. Ada apa Ayah kemari?" Tanya Kevin pada sang ayah. Matanya menatap penuh curiga.

Lelaki paruh baya itu, mengeluarkan selembar foto dalam sakunya. Itu adalah gambar hotel bintang lima, yang baru dia bangun di Amerika. Namun Kevin masih tidak mengerti, apa yang diinginkan lelaki tua itu.

"Ayah ingin kau pergi ke Amerika, setidaknya beberapa bulan. Mungkin sudah waktunya. Kau menunjukkan potensimu, sebagai penerus Davidson grup."

Manik indah wanita itu nampak gelisah, mendengar keputusan ayah mertuanya. Jika Kevin benar-benar pergi ke Amerika, bagaimana dia disini?

"Kenapa harus aku? Bukankah Ayah lebih sering memperhatikan Jeno sekarang?" Sindir Kevin pada lelaki paruh baya itu. Dia bahkan memasang senyuman mengejek, karena merasa tidak diperhatikan sang ayah.

"Ayah tidak terlalu yakin dengan kemampuan adikmu. Jadi lebih baik kau saja yang pergi. Marlina bisa Ayah yang urus. Atau jika perlu, Ayah akan membawanya untuk tinggal di rumah utama."

Kevin berdecak kesal, mendengar pernyataan itu. Sampai matipun, dia tidak akan membiarkan Marlina tinggal serumah dengan sang adik. Kevin tahu betul, jika Jeno begitu terobesi dengan kakak iparnya.

"Aku akan pergi, namun dengan satu syarat."

David menatap putra sulungnya itu, "Apalagi yang kau inginkan?"

Senyumannya nampak melebar, "Aku akan membawa istriku kesana. Bagaimana, apa Ayah setuju?"

Permintaan itu cukup membuat David terganggu, karena perjalanan ini menyangkut pekerjaan. Kevin tidak akan bisa fokus, jika ada wanita di sampingnya. Dia harus mencari cara, agar putranya pergi seorang diri.

"Jika Ayah tidak setuju, tidak masalah. Aku tidak akan pergi kemanapun. Ayah suruh saja anak manja itu, agar otaknya sedikit berguna."

Marlina meremas lengan suaminya lembut. Matanya menatap hangat lelaki yang sangat dia cintai itu. Jika semua ini menyangkut pekerjaan, Marlina harus menyingkirkan egonya.

"Pergilah tanpaku. Lagi pula, itu hanya beberapa bulan. Ayah mertua akan menjagaku bukan? Kau tidak perlu khawatir."

Bodoh! Satu kata yang terpintas di pikiran Kevin saat ini tentang istrinya. Ketika dia berusaha keras menjauhkan Marlina dari keluarganya, wanita itu malah masuk ke dalam jebakan.

"Apa kau yakin?! Aku tidak akan membiarkanmu tinggal di rumah itu," Bisik Kevin pelan, namun penuh ancaman. Matanya sampai melotot, mendengar celotehan tak berguna wanita itu.

"Kau tenang saja. Aku bisa menjaga diriku sendiri."

"Dasar bodoh!"

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • MENIKAHI CEO AROGAN   Aku Tidak Takut

    Pagi itu kota masih berkabut ketika notifikasi berita mulai meledak dari ponsel ke ponsel. Headline besar dengan foto Kevin terpampang di setiap layar."SKANDAL PEWARIS DAVIDSON. KEVIN ANDREAS DIDUGA MENGIDAP AZOOSPERMIA!" Media sosial mendidih, forum saham bergetar. dan para investor panik. Namun di lantai tiga rumah sakit, suasana justru tenang, nyaris hening. Di kamar rawat VIP, Kevin duduk tegak di ranjang dengan selang infus masih terpasang, menyilangkan kaki dengan ketenangan menakutkan. Marlina duduk di sisi kirinya, memijat pelan jemarinya yang dingin. Sementara Jeno berdiri di depan jendela besar, memandang kota yang mulai gaduh. Telepon Gino berdering berkali-kali hingga akhirnya dia melempar ponselnya ke sofa sambil mengumpat."KEVIN!" serunya gusar. "Berita itu... kau sudah lihat?!" Kevin menyeringai tipis. Bukan terkejut. Bukan takut. Tetapi seperti seseorang yang akhirnya melihat bidak terakhir bergerak sesuai rencana."Tidak. Aku memang ingin berita itu muncul," kat

  • MENIKAHI CEO AROGAN   Aku Di Pihakmu

    Pagi itu sinar matahari menyusup lembut lewat tirai putih kamar rawat inap VIP. Bau khas rumah sakit campuran obat-obatan dan antiseptik mengambang samar di udara. Mesin monitor di dekat ranjang Kevin berbunyi pelan, stabil, menandakan kondisinya sudah jauh lebih baik. Kevin sudah bisa duduk, meski masih bersandar dengan bantal tebal di belakangnya. Tubuhnya belum sepenuhnya pulih, wajahnya masih pucat, tapi matanya sudah kembali menampilkan ketegasan khas seorang pemimpin. Di sampingnya, Marlina sibuk menyuapi bubur hangat. Setiap suapan penuh dengan kesabaran dan kasih sayang. Sesekali dia mengomel kecil karena Kevin terlalu cepat mengunyah atau memaksa menggerakkan tubuhnya sendiri."Sayang.. kenapa kau terus memarahiku di depan Jeno!" rengek Kevin kesal. Dia merasa malu karena Marlina terus mengomelinya tanpa henti. Sementara itu, Jeno duduk di sofa dengan laptop terbuka. Jari-jarinya bergerak cepat di atas keyboard, wajahnya fokus namun jelas lelah. Sejak operasi Kevin dimul

  • MENIKAHI CEO AROGAN   Awal Dari Penyelesaian Masalah

    Lorong rumah sakit itu begitu sepi. Lampu-lampu neon di langit-langit memancarkan cahaya pucat yang membuat suasana tampak dingin, namun juga menenangkan. Beberapa perawat lewat sesekali, langkah mereka pelan seperti bayangan. Di balik pintu kamar pemulihan, Kevin tengah beristirahat, setelah pertarungan panjang antara hidup dan ketegaran yang selama ini ia sandang. Marlina berdiri bersandar pada dinding, bahunya turun perlahan setelah menahan banyak kecemasan sejak kemarin. Napasnya akhirnya terasa sedikit ringan. Ia menatap ke arah jendela kecil yang menghadap taman rumah sakit, sebelum akhirnya menoleh ketika seseorang menghampiri, Jeno. Wajah adik iparnya itu terlihat lebih dewasa dari biasanya. Ada kelelahan yang dia sembunyikan, tapi juga ketulusan yang jarang terlihat darinya. Marlina mencoba tersenyum, senyum lembut yang selalu berhasil menenangkan siapa pun yang melihatnya. "Terima kasih, Jeno," katanya pelan namun tulus. "Karena sudah mau berada di pihak Kevin." Jeno me

  • MENIKAHI CEO AROGAN   Hubungan Kakak Beradik Yang Membaik [Bagian-1]

    Lorong rumah sakit masih memantulkan aroma obat yang menusuk ketika Marlina akhirnya diizinkan masuk. Sejak Kevin dibawa keluar dari ruang operasi, napasnya tak pernah stabil. Semua ketegangan beberapa jam terakhir masih membekas di wajahnya yang pucat. Tangannya gemetar ketika dia mendorong pintu ruang pemulihan itu.Ruangan itu temaram dan sunyi. Hanya suara mesin monitor yang berdetak pelan. Kevin berbaring di tengah ruangan, tubuhnya tampak lebih kecil dari biasanya, seolah semua kesombongan dan kekuatan yang selalu dia pertontonkan ikut hilang diambil pisau operasi.Gino berdiri di samping ranjang, tangan terlipat di dada, wajahnya dipenuhi lelah, emosi, dan sedikit sebal pada sahabat keras kepala itu. Melihat Marlina masuk, Gino mengangguk kecil dan mundur."Dia sudah sadar," katanya pelan. "Tapi jangan biarkan dia bicara terlalu banyak. Dia masih keras kepala bahkan ketika setengah mati."Marlina mengangguk, menelan haru yang menggumpal di dadanya, lalu mendekat.Ketika Kevin m

  • MENIKAHI CEO AROGAN   Operasi Yang Berjalan Baik

    Operasi berlangsung jauh lebih lama dari perkiraan. Tiga jam… lima jam… sampai melewati batas enam jam. Setiap menit terasa seperti mimpi buruk bagi Marlina.Dia tidak bisa duduk, tidak bisa berdiri lama. Kaki dan tangannya terus gemetar. Bahkan napasnya terasa pendek seolah paru-parunya ikut menahan rasa sakit Kevin. Jeno duduk di sampingnya, namun tak berani bersuara. Matanya sesekali memperhatikan pintu ruang operasi yang tak kunjung terbuka. Setiap kali lampu tanda operasi masih menyala merah, dia bisa melihat Marlina semakin pucat."Dia akan baik-baik saja," kata Jeno untuk kedua puluh kalinya. "Duduklah." Namun kalimat itu tidak bisa menenangkan Marlina. Tidak ada yang bisa. Sampai akhirnya, lampu operasi mati. Pintu terbuka dan Gino keluar dengan pakaian operasi yang masih penuh keringat. Marlina langsung berdiri, hampir jatuh karena lututnya ikut lemas. Gino membuka masker. Senyum tipis, lega, sekaligus lelah muncul di wajahnya."Operasinya berhasil. Semuanya beres." Ma

  • MENIKAHI CEO AROGAN   Pelukan Penuh Luka

    Suara Gino mengoyak ketegangan ruang tunggu yang membeku seperti udara malam. Keputusan itu jatuh seperti palu yang memecahkan seluruh kendali diri Marlina. Matanya melebar, tubuhnya seolah ditarik ke belakang oleh ketakutan yang menggelegak. Kevin belum sadar sepenuhnya, namun tubuhnya terus gemetar setiap beberapa menit. Monitor kecil di samping ranjangnya menampilkan detak yang tidak stabil. Marlina menggigit bibir sampai terasa asin. Dia tahu ini bukan lagi soal kesiapan, tapi ini soal waktu. Soal hidup dan mati lelako yang begitu dia cintai.Setelah beberapa saat, akhirnya dia mengangguk, meski suaranya hilang di tenggorokannya."Lakukan, Gino. Tolong selamatkan Kevin."Satu anggukan kecil, tapi seperti keputusan terbesar dalam hidupnya. Sebelum tim operasi masuk, Gino menoleh pada Jeno dengan tatapan tajam yang nyaris menembus kulit."Jaga Marlina. Jangan berani macam-macam." Nada suaranya bukan sekadar perintah, tapi itu peringatan. Jeno tidak tersinggung. Dia hanya menata

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status