"Hei, kenapa wajahmu?!"
Kania. Dia adalah ibu tiri dari Kevin, nyonya besar di keluarga Davidson grup. Wanita paruh baya itu nampak terkejut, melihat putra kesayangannya babak belur. Jeno tidak banyak bercerita tentang apa yang terjadi. Dia hanya berpikir, bagaimana caranya membawa Marlina keluar dari rumah itu. "Aku akan memanggil dokter. Wajah tampanmu bisa rusak kalau begini," ucap Kania resah. Jeno menarik lengan ibunya, "Bu. Apa Ibu bisa menolongku?" "Ada apa? Apa ada seseorang yang mengganggumu?" tanya wanita itu. Mata hanzelnya nampak penasaran, dengan kegelisahan sang anak. "Aku ingin Marlina keluar dari rumah Kakak. Dia tidak bahagia di sana Bu, lelaki itu telah membuatnya menderita." Senyuman kecil diwajah Kania mulai melebar. Matanya menatap intens lelaki di hadapannya. Sebagai seorang ibu, Kania bisa menebak isi hati putranya. Jeno memang tertarik dengan Marlina, sejak pertemuan pertama mereka. Namun sang kakak lebih dulu memilikinya, dan membuat lelaki itu penasaran. "Katakan pada Ibu. Apa kau menyukai wanita itu?" tanya Kania dengan senyuman licik di wajahnya. Mata Jeno mulai gelisah, haruskah dia mengatakan semuanya pada sang ibu? "Ah begini sayang..." menepuk pundak putranya "Jika kau ingin Marlina keluar dari rumah itu. Kau harus merebut hatinya terlebih dahulu," bisik wanita itu pelan, namun nadanya tegas. Jeno terdiam sejenak, memikirkan kata-kata ibunya. Merebut hati Marlina? Bisakah dia melakukan itu? Karena selama ini dia tahu, jika wanita itu tak pernah bisa berpaling sedetikpun dari suaminya. Bahkan setelah kejadian tadi, wanita bodoh itu masih tetap menerima ciuman dari si monster. "Bisakah aku melakukan itu?" Gumam lelaki itu gelisah. Dia merasa tidak percaya diri, untuk bisa mengalahkan kakaknya. Kania tersenyum penuh kelicikan, "Tentu saja bisa sayang. Kau itu tampan, gagah. Apalagi yang kurang? Kau bisa menggoyahkan hatinya dengan satu malam saja." "Apa maksud Ibu? Aku tidak mungkin melakukan hal seperti itu. Marlina akan sangat membenciku," Ucap lelaki itu marah. Kania hanya tersenyum kecil pada putranya, lalu pergi begitu saja. Dia akan membiarkan Jeno memikirkan semuanya. Mencuci otak anak polos itu, demi wanita yang sangat dia inginkan. Karena dengan begitu, dia bisa memanfaatkannya. Sebuah kebetulan semata, untuk Kania menghancurkan anak tirinya itu. Jika dia tidak bisa melakukannya dengan kekerasan, maka Marlina akan menjadi kelemahannya. "Azoospermia katamu?!" Setelah beberapa hari menunggu, Kevin mendapatkan hasil pemeriksaan dari temannnya Gino. Dokter urologi itu mengatakan jika Kevin menderita Azoospermia. Sebuah kondisi dimana dirinya 99% tidak bisa memiliki keturunan. "Aku tidak menemukan satu sperma pun dalam cairanmu. Jadi sangat kecil kemungkinan, bahkan tidak mungkin bagimu untuk memiliki keturunan. Apa istrimu tahu tentang ini, Kevin?" Lelaki itu menyipitkan matanya, dengan tangan mengepal kuat. Kevin tidak percaya dengan apa yang dikatakan Gino, tentang penyakit yang dideritanya. Dengan penuh percara diri, dia merobek hasil pemeriksaan itu. "Apa kau gila?! Mana mungkin aku menderita penyakit seperti itu. Wanita itu yang mandul, bukan aku." Rahangnya mengeras, menahan amarah. Jika semua yang di katakan dokter itu adalah benar, maka tamat sudah riwayatnya. Semua rencana Kevin akan lenyap dalam sekejap mata. Dia tidak akan bisa memiliki keturunan, untuk menguatkan posisinya sekarang. Semua orang disekeliling, akan menjatuhkannya. Kevin akan kehilangan kekuasaanya. Gino mencoba menenangkan lelaki itu, untuk tetap berpikir positif. Karena dia tahu, tidak mudah bagi Kevin untuk mendapatkan posisinya sekarang. "Kau tenang saja. Aku akan berusaha sekuat tenaga untuk menyembuhkanmu. Namun untuk sekarang, lebih baik kau rahasiakan semua ini dari siapapun. Kau paham?" Ucap lelaki itu. Gino menepuk pundak Kevin untuk menguatkannya. "Apa semua gara-gara wanita itu? Dia pasti pembawa sial." Kevin mulai menyalahkan Marlina atas segala yang terjadi. Namun Gino, membela wanita itu. Semua yang terjadi adalah takdir yang harus Kevin jalani. Dia tidak bisa menyalahkan siapapun untuk semua kemalangannya. "Jadi, aku harus apa sekarang?" tanya Kevin resah. Jarinya nampak gelisah, memainkan pulpen di atas meja. Gino memukul kepala lelaki itu sekali, "Kau harus sadar bodoh! Jika semua ini ujian hidupmu. Baik-baiklah dengan wanita itu sekarang. Karena mungkin hanya dia, yang bisa menerima kekuranganmu." Kevin keluar dari ruang pemeriksaan, dengan beberapa obat yang ada di tangannya. Sesekali dia tertawa kecil, menghibur dirinya yang rapuh. Semua akan baik-baik saja, selama orang-orang tidak mengetahui kebenarannya. Dia hanya perlu membuat Marlina bersalah, dan orang-orang mulai menuduhnya. "Iya, aku bisa melakukannya. Wanita itu..." tersenyum jahat "akan menjadi tamengku." Sebuah rencana telah Kevin pikirkan dengan matang. Dia akan menggunakan istrinya sekarang. "Ayah?" Baru saja menginjakkan kakinya di rumah. Kevin sudah diberi kejutan yang luar biasa. Seorang lelaki paruh baya menatapnya tajam, lalu duduk santai bersama sang istri. David, dia adalah ayah kandung, sekaligus pemilik Davidson grup. Lelaki yang sangat Kevin hormati, dan dia benci di dalam hidupnya. "Hei berandal!" menyipitkan matanya "dari mana saja kau?" tanya David dengan nada menantang. Kevin berjalan mendekat, duduk di samping Marlina. Sebuah kecupan lelaki itu lakukan, untuk memulai permainanya. Sebuah sandiwara yang biasa dia lakukan di hadapan semua orang. Namun lelaki paruh baya itu tidak akan terpengaruh, apalagi setelah melihat bekas luka di wajah menantunya. David tahu betul sifat asli putranya, yang arogan dan pemarah. "Aku baru saja menemui temanku. Ada apa Ayah kemari?" Tanya Kevin pada sang ayah. Matanya menatap penuh curiga. Lelaki paruh baya itu, mengeluarkan selembar foto dalam sakunya. Itu adalah gambar hotel bintang lima, yang baru dia bangun di Amerika. Namun Kevin masih tidak mengerti, apa yang diinginkan lelaki tua itu. "Ayah ingin kau pergi ke Amerika, setidaknya beberapa bulan. Mungkin sudah waktunya. Kau menunjukkan potensimu, sebagai penerus Davidson grup." Manik indah wanita itu nampak gelisah, mendengar keputusan ayah mertuanya. Jika Kevin benar-benar pergi ke Amerika, bagaimana dia disini? "Kenapa harus aku? Bukankah Ayah lebih sering memperhatikan Jeno sekarang?" Sindir Kevin pada lelaki paruh baya itu. Dia bahkan memasang senyuman mengejek, karena merasa tidak diperhatikan sang ayah. "Ayah tidak terlalu yakin dengan kemampuan adikmu. Jadi lebih baik kau saja yang pergi. Marlina bisa Ayah yang urus. Atau jika perlu, Ayah akan membawanya untuk tinggal di rumah utama." Kevin berdecak kesal, mendengar pernyataan itu. Sampai matipun, dia tidak akan membiarkan Marlina tinggal serumah dengan sang adik. Kevin tahu betul, jika Jeno begitu terobesi dengan kakak iparnya. "Aku akan pergi, namun dengan satu syarat." David menatap putra sulungnya itu, "Apalagi yang kau inginkan?" Senyumannya nampak melebar, "Aku akan membawa istriku kesana. Bagaimana, apa Ayah setuju?" Permintaan itu cukup membuat David terganggu, karena perjalanan ini menyangkut pekerjaan. Kevin tidak akan bisa fokus, jika ada wanita di sampingnya. Dia harus mencari cara, agar putranya pergi seorang diri. "Jika Ayah tidak setuju, tidak masalah. Aku tidak akan pergi kemanapun. Ayah suruh saja anak manja itu, agar otaknya sedikit berguna." Marlina meremas lengan suaminya lembut. Matanya menatap hangat lelaki yang sangat dia cintai itu. Jika semua ini menyangkut pekerjaan, Marlina harus menyingkirkan egonya. "Pergilah tanpaku. Lagi pula, itu hanya beberapa bulan. Ayah mertua akan menjagaku bukan? Kau tidak perlu khawatir." Bodoh! Satu kata yang terpintas di pikiran Kevin saat ini tentang istrinya. Ketika dia berusaha keras menjauhkan Marlina dari keluarganya, wanita itu malah masuk ke dalam jebakan. "Apa kau yakin?! Aku tidak akan membiarkanmu tinggal di rumah itu," Bisik Kevin pelan, namun penuh ancaman. Matanya sampai melotot, mendengar celotehan tak berguna wanita itu. "Kau tenang saja. Aku bisa menjaga diriku sendiri." "Dasar bodoh!"Pagi itu, cahaya matahari baru saja menembus tirai kamar, menciptakan guratan lembut di wajah Marlina. Wanita itu sudah bangun lebih dulu, duduk di tepi ranjang dengan tatapan kosong. Sesekali dia melirik ke arah suaminya yang sibuk berdiri di depan lemari, merapikan kemeja hitam dan jas yang akan dia kenakan. Tidak ada percakapan. Hanya suara gesekan resleting koper, derit ikat pinggang yang dikencangkan, dan langkah sepatu yang terdengar kaku di lantai marmer. Marlina ingin berkata sesuatu, setidaknya hati-hati, atau aku akan merindukanmu. Namun lidahnya kelu, tertahan oleh dinginnya aura Kevin yang masih terasa. Setelah bersiap, mereka pun berangkat menuju bandara. Mobil melaju tenang di jalanan pagi. Marlina duduk di samping, kedua tangannya terkunci di pangkuan, pandangan terus tertuju keluar jendela. Kevin, dengan wajah tanpa ekspresi, juga menatap lurus ke luar kaca di sisinya. Tidak ada satu pun kata yang terucap sepanjang perjalanan. Tapi dalam hati, keduanya sama-sama ing
Malam itu kamar utama terasa hening. Hanya terdengar gesekan ritsleting koper dan lipatan kain dari tangan Marlina yang sibuk merapikan pakaian suaminya. Wajahnya masih pucat, meski luka-luka di tubuhnya perlahan mulai sembuh. Gerakan tangannya hati-hati, seakan setiap kemeja yang ia masukkan ke koper adalah bentuk tanggung jawab seorang istri, walau hanya istri kontrak yang sebentar lagi akan berakhir. Kevin berdiri di ambang pintu, diam beberapa saat, hanya menatap punggung istrinya. Ada sesuatu yang menghantam dadanya pelan, perasaan berat yang tak bisa ia definisikan. Rasanya aneh. Lelaki itu melangkah mendekat, menahan napasnya sendiri."Marlina." Suaranya dalam, membuat wanita itu menoleh dengan senyum kecil."Kau sudah siapkan semuanya, Kevin?" tanya Marlina lembut. "Besok pagi kau harus sudah berangkat, jangan sampai ada yang tertinggal." Kevin tidak langsung menjawab. Tatapannya justru jatuh pada wajah istrinya, lalu koper, lalu kembali lagi pada mata teduh itu. "Bukan itu
Ruang keluarga rumah utama dipenuhi cahaya lampu kristal yang berkilauan. Kania duduk anggun di sofa, secangkir teh hangat di tangannya. Dia baru saja mendengar percakapan Tuan David lewat telepon dengan salah satu rekan bisnis, tentang keberangkatan Kevin ke Amerika dua hari lagi. Sudut bibirnya terangkat membentuk senyum sinis. "Akhirnya… jalan itu terbuka juga," gumamnya pelan. Tak lama, langkah kaki Jeno terdengar menuruni tangga. Lelaki itu tampak baru selesai dari ruang kerjanya, wajahnya serius seperti biasa. Kania langsung memanggilnya."Jeno," ujarnya lembut tapi penuh maksud. Jeno menoleh, menatap ibunya dengan tatapan waspada. "Ada apa lagi, Bu?" Kania menaruh cangkir tehnya di meja, lalu menatap putranya lekat-lekat. "Kau tahu, kakakmu akan pergi ke Amerika. Dua hari lagi. Itu artinya Marlina akan sendirian di sini." Alis Jeno mengerut. "Dan apa maksudmu mengatakan itu padaku?" Kania tersenyum tipis, senyum yang selalu membuat orang lain sulit menebak pikirannya.
Malam itu kamar terasa pengap. Aroma alkohol bercampur dengan wangi tubuh Kevin yang menempel erat di atas Marlina. Lelaki itu jelas mabuk, matanya merah, nafasnya berat, namun setiap sentuhannya bukan lagi sekasar biasanya. Marlina terbaring pasrah, tubuhnya masih penuh memar, tapi jantungnya berdetak tak karuan saat Kevin menunduk dan berbisik lirih di telinganya. "Jangan pernah tinggalkan aku…" Wanita itu membeku. Kata-kata yang meluncur dari bibir Kevin, entah karena mabuk atau benar-benar tulus, membuat dadanya bergetar hangat. Selama ini yang dia terima hanya cacian, amarah, dan kekerasan. Tapi malam itu, Marlina melihat sisi lain yang begitu asing dari suaminya. Ciuman Kevin turun perlahan, dari bibirnya ke leher, hingga bahunya yang terbuka karena pakaian tipis yang dia kenakan. Jemari lelaki itu sempat menggenggam pergelangan tangannya kuat, namun kemudian melonggar, berganti dengan belaian. Setiap ciumannya penuh nafsu yang membakar, tapi ada kelembutan yang membuat Marl
Pagi itu, udara rumah sakit masih dingin, bau obat-obatan menyeruak dari setiap sudut. Marlina duduk di tepi ranjang, tubuhnya masih terasa lemah, kepalanya pusing sesekali. Namun, tangannya sibuk merapikan tas kecil berisi pakaian dan obat-obatan. "Dokter menyarankan anda dirawat beberapa hari lagi," suara suster terdengar hati-hati, tatapannya penuh cemas pada wajah pucat Marlina. Namun sebelum Marlina sempat menjawab, suara Kevin sudah memotong tajam. "Tidak perlu. Dia akan pulang hari ini." Marlina menoleh, menatap suaminya yang berdiri dengan kemeja hitam sederhana yang membuatnya tampak semakin dingin. Tatapannya kosong, penuh otoritas yang tak bisa dibantah. Marlina hanya bisa menunduk. "Baik..." Di perjalanan pulang, suasana mobil begitu sunyi. Marlina menyenderkan kepala ke jendela, tubuhnya masih terasa nyeri di beberapa bagian, terutama lengan dan dadanya. Kevin memegang setir dengan satu tangan, wajahnya fokus ke jalan, namun sesekali dia melirik sekilas ke arah ist
"Wanita sialan! Selalu saja membuat keributan. Apa dia memukulmu?" Kevin menoleh ke arah ranjang, menatap Marlina yang masih pucat. Nafasnya berat, tapi senyumnya tipis dan rapuh. Dengan susah payah dia mencoba bangkit, meski tubuhnya masih lemah. "Tidak..." suaranya serak, pelan. "Kevin, Maafkan aku. Karena sampai sekarang aku belum bisa memberikanmu keturunan." Kevin terdiam sepersekian detik. Kalimat itu menghantam dadanya, karena hanya dia yang tahu kebenaran bahwa ketidakmampuannya lah penghalang terbesar. Namun wajah dinginnya kembali mengambil alih, menutupi luka dan takutnya sendiri. Dengan langkah pelan tapi pasti, Kevin mendekat, menatap istrinya dari atas seolah ingin menusuk hatinya lebih dalam. "Apa boleh buat?" suaranya terdengar datar namun penuh sindiran. "Kau memang tidak bisa menjadi istri yang baik." Marlina menunduk, kedua tangannya menggenggam erat sprei putih rumah sakit. Matanya berkaca-kaca, tapi dia berusaha menahan air mata itu agar tidak jatuh di had