LOGIN"Bagaimana, kau menikmatinya sayangku?"
Kevin menekan tubuh wanita itu ke dinding. Sementara tubuhnya terus bergerak maju mundur dengan cepat. Sudah berapa kali mereka melakukan ini? Hingga wajah Marlina nampak begitu pucat. Dia tidak bisa merasakan tubuhnya, seolah membeku. "Kevin, cukup!" Wanita itu merintih kesakitan, namun Kevin tak memperdulikannya. Dia terus menghujani wanita itu dengan benihnya, hingga penuh. Hatinya merasa terusik, dengan kata-kata sang ibu tiri. Bagaimana jika bukan Marlina yang tidak bisa hamil? Melainkan dirinya yang memang bermasalah. "Ah, sialan!" Kevin melepaskan wanita itu, lalu duduk termenung di sofa. Matanya nampak gelisah, namun tak mampu berkata pada siapapun. Dia kembali mengambil sebatang rokok, kemudian menghisapnya. Sesekali kali Kevin meremas rambutnya kesal, dan mengumpat kasar. "Kevin, kau baik-baik saja?" Marlina menatap suaminya khawatir, namun lelaki itu tak menggubris. Matanya hanya fokus menatap ponsel, "Jangan ganggu aku." Lelaki itu mengambil pakaiannya, lalu pergi meninggalkan Marlina. Dalam langkahnya, dia nampak menelpon seseorang. Wanita itu hanya bisa melihat dari jauh, tanpa bisa bertanya dengan jelas. Hatinya begitu khawatir, melihat tingkah Kevin yang seperti itu. "Ada angin apa kau memanggilku kemari?" Seorang lelaki berkacamata, menepuk punggung Kevin. Memandangnya dengan perasaan heran. Setelah cukup lama mereka tidak bertemu, lelaki itu tiba-tiba saja mengajaknya minum. Dia sudah cukup banyak minum, hingga sedikit mabuk. "Kau lama sekali. Apa sesulit itu menemui temanmu?!" Kevin menggerutu kesal. Dia menendang kaki lelaki berkacamata itu keras. "Owh!" Lelaki berkacamata itu memegangi kakinya yang sakit. "Kau memang pantas dipukul, brengsek!" Bentaknya kesal. Keduanya saling menatap, lalu tertawa kecil. Tak ada obrolan khusus, kecuali membahas kehidupan masing-masing. Hingga tak lama, Kevin mulai memberanikan dirinya. "Gin, kau dokter urologi, kan?" Tanya Kevin canggung. Dia menggaruk pundaknya beberapa kali. Lelaki bernama Gino itu menatap serius, "Iya, kenapa? Kau punya masalah dengan milikmu?!" "Tidak, maksudku iya. Aku ingin kau memeriksa sesuatu, apa bisa?" Bisik Kevin ragu. Wajahnya tampak merah menahan malu. Ini adalah pertama kalinya dia meminta bantuan seseorang, untuk mengatasi masalahnya. Gino mengangguk setuju, "Bisa. Datang saja ke rumah sakit besok." Dengan keadaan mabuk, Kevin mencrengram kemeja temannya. Mengancam agar merahasiakan semua ini dari siapapun. Gino terus menggodanya hingga marah, karena dia tahu persis sifat lelaki itu. Kedua lelaki itu akhirnya menghabiskan malam, dan minum sampai mabuk parah. Gubrak! Suara barang terjatuh, membangunkan Marlina dari tidurnya. Dia menatap sekeliling, hingga pintu kamar pun terbuka lebar. Kevin berjalan sempoyongan dalam gelap, lalu terjatuh di lantai. Dia mencoba bangkit, namun seluruh tubuhnya terasa lemas. "Cih, apa kau senang melihatku begini?" Kevin menatap Marlina yang duduk di tepi ranjang. Dia melempar sepatunya, lalu mengumpat kesal. "Kemarilah..." Marlina mengulurkan tangannya. "Aku akan membantumu." Marlina membantu Kevin naik ke atas ranjang, lalu melepas sepatu dan kaos kakinya. Dia sempat menyalakan lampu, dan melihat kondisi suaminya. Wajah tampan itu nampak merah, dengan tubuh penuh keringat. Matanya terpejam sempurna, dan terus bergumam tidak jelas. "Apa ini?" Pupilnya gemetar melihat noda lipstik di kemeja. Dia mendesah kesak. "Kevin, kau memang tidak pernah berubah." Wanita itu mengepalkan tangannya, namun tak mampu berbuat apapun. Dia memang sering memergoki Kevin bersama wanita lain, dan itu telah menjadi kebiasannya. Marlina tidak akan marah, karena dia sadar dengan kondisinya. Dia bukan wanita yang lelaki itu cintai, bahkan inginkan di dalam hidupnya. "Apa kau begitu membenciku, Kevin? Kenapa kau tidak bisa membiarkan aku masuk dalam hidupmu." Marlina bergumam pelan, sembari menyeka wajah Kevin yang penuh keringat. Dalam diam, dia terus menatap suaminya. Mengagumi wajah tampan yang selalu menatap rendah terhadapnya. Kenapa Marlina tidak bisa membenci lelaki ini? Setelah semua perlakuan buruk yang Kevin lakukan padanya. Seluruh tubuh rapuh itu, penuh dengan luka. Bukan hanya memar, tapi beberapa sayatan benda tajam pun, pernah Marlina rasakan. Dia sudah bertahan cukup lama, menunggu lelaki itu berubah. Lengan mungilnya mengusap wajah Kevin yang mulai tertidur. Mungkin dengan begini, Marlina bisa melihat sisi tenang Kevin. Diam tanpa banyak cacian yang keluar dari mulutnya. Marlina hanya bisa menghayal, jika suatu hari nanti, perasaan lelaki itu akan berubah. Kevin akan memperlakukannya dengan baik, seperti dia yang selalu mencintainya. Flashback "Kau yakin, akan menikahi anak konglomerat itu? Ibu dengar, dia sangat kasar dan angkuh. Ibu tidak bisa, mengorbankan anak Ibu begitu saja." Seorang wanita paruh baya berbaring di ranjang rumah sakit. Matanya nampak gelisah, mendengar kabar tak sedap yang menimpa putrinya. Ketika bisnis keluarga mereka sedang diambang bangkrut, seorang pesaing sang ayah menawarinya bantuan dana. Namun lelaki itu meminta Marlina sebagai imbalan, untuk dia jadikan sebagai istrinya. Sebagai seorang ibu, wanita paruh baya itu nampak begitu khawatir. Dia menanyai putrinya puluhan kali, untuk memikirkan pilihan yang akan dia ambil. Namun, Marlina telah jatuh cinta sejak awal. Melihat ketampanan, putra sulung Davidson grup itu. "Ibu, aku yakin dia lelaki yang baik. Karena jika tidak, bagaimana mungkin dia mau menolong Ayah?" Bagaikan gadis kecil berhati polos. Marlina tak menaruh perasaan buruk sedikitpun pada lelaki itu. Bahkan di hari pertama mereka bertemu, dia secara terang-terangan mengatakan suka padanya. "Sayang, ibu tidak yakin jika dia lelaki yang baik. Bagaimana jika kau tolak saja permintaan ayahmu?" ucap wanita paruh baya itu resah. Dia berusaha membujuk sang anak untuk menurutinya. Marlina memegang tangan ibunya lembut, "Ibu tenang saja. Aku yakin akan hidup bahagia dengan lelaki itu." Pada akhirnya, Marlina menandatangani kontrak pernikahan dengan lelaki itu. Seorang CEO tampan yang dia anggap sebagai cinta pertamanya. Lelaki yang dia pikir berhati malaikat, karena telah menolong keluarganya. Begitu polosnya hati Marlina saat itu, tanpa memikirkan latar belakang lelaki yang dia cintai. "Jadi begini rasanya menikah? Aku benar-benar bahagia!" Wanita itu duduk di depan cermin, menyisir rambutnya yang basah. Matanya nampak sedikit gelisah, karena sang suami belum menemuinya setelah acara pernikahan. Dia beranjak keluar dari kamar pengantinya, mencari disetiap sudut rumah ini. "Kevin?" Dengan suara lembut, dia memanggil suaminya. Kakinya yang mungil berjalan menuju sebuah ruangan dengan pintu terbuka. Dia mendengar suara-suara aneh yang nampak familiar. Dengan sedikit keraguan dalam hatinya, Marlina masuk ke ruangan itu. "Kevin?!" Matanya terbuka lebar, menghilangkan senyum yang semula terpancar sangat indah. Marlina mendapati suaminya sedang bersama wanita lain, dengan tubuh setengah telanjang. Dia mundur perlahan, dadanya tiba-tiba terasa begitu menyesakkan. Air mata jatuh tak terbendung, dia berlari pergi meninggalkan suaminya. "Bagaimana bisa?" Bibirnya gemetar. "Bagaimana bisa dia melakukan itu di malam pertama kita?!" Bibirnya gemetar, menahan amarah dan rasa sedih yang begitu menggunung. Dia hanya bisa menangis di kamarnya. "Apa kau menikmati pertunjukannya? Bukankah menyenangkan, melihat suamimu bercinta dengan wanita lain?" Marlina menatap ke sumber suara, "Kevin... kau keterlaluan!"Pagi itu kota masih berkabut ketika notifikasi berita mulai meledak dari ponsel ke ponsel. Headline besar dengan foto Kevin terpampang di setiap layar."SKANDAL PEWARIS DAVIDSON. KEVIN ANDREAS DIDUGA MENGIDAP AZOOSPERMIA!" Media sosial mendidih, forum saham bergetar. dan para investor panik. Namun di lantai tiga rumah sakit, suasana justru tenang, nyaris hening. Di kamar rawat VIP, Kevin duduk tegak di ranjang dengan selang infus masih terpasang, menyilangkan kaki dengan ketenangan menakutkan. Marlina duduk di sisi kirinya, memijat pelan jemarinya yang dingin. Sementara Jeno berdiri di depan jendela besar, memandang kota yang mulai gaduh. Telepon Gino berdering berkali-kali hingga akhirnya dia melempar ponselnya ke sofa sambil mengumpat."KEVIN!" serunya gusar. "Berita itu... kau sudah lihat?!" Kevin menyeringai tipis. Bukan terkejut. Bukan takut. Tetapi seperti seseorang yang akhirnya melihat bidak terakhir bergerak sesuai rencana."Tidak. Aku memang ingin berita itu muncul," kat
Pagi itu sinar matahari menyusup lembut lewat tirai putih kamar rawat inap VIP. Bau khas rumah sakit campuran obat-obatan dan antiseptik mengambang samar di udara. Mesin monitor di dekat ranjang Kevin berbunyi pelan, stabil, menandakan kondisinya sudah jauh lebih baik. Kevin sudah bisa duduk, meski masih bersandar dengan bantal tebal di belakangnya. Tubuhnya belum sepenuhnya pulih, wajahnya masih pucat, tapi matanya sudah kembali menampilkan ketegasan khas seorang pemimpin. Di sampingnya, Marlina sibuk menyuapi bubur hangat. Setiap suapan penuh dengan kesabaran dan kasih sayang. Sesekali dia mengomel kecil karena Kevin terlalu cepat mengunyah atau memaksa menggerakkan tubuhnya sendiri."Sayang.. kenapa kau terus memarahiku di depan Jeno!" rengek Kevin kesal. Dia merasa malu karena Marlina terus mengomelinya tanpa henti. Sementara itu, Jeno duduk di sofa dengan laptop terbuka. Jari-jarinya bergerak cepat di atas keyboard, wajahnya fokus namun jelas lelah. Sejak operasi Kevin dimul
Lorong rumah sakit itu begitu sepi. Lampu-lampu neon di langit-langit memancarkan cahaya pucat yang membuat suasana tampak dingin, namun juga menenangkan. Beberapa perawat lewat sesekali, langkah mereka pelan seperti bayangan. Di balik pintu kamar pemulihan, Kevin tengah beristirahat, setelah pertarungan panjang antara hidup dan ketegaran yang selama ini ia sandang. Marlina berdiri bersandar pada dinding, bahunya turun perlahan setelah menahan banyak kecemasan sejak kemarin. Napasnya akhirnya terasa sedikit ringan. Ia menatap ke arah jendela kecil yang menghadap taman rumah sakit, sebelum akhirnya menoleh ketika seseorang menghampiri, Jeno. Wajah adik iparnya itu terlihat lebih dewasa dari biasanya. Ada kelelahan yang dia sembunyikan, tapi juga ketulusan yang jarang terlihat darinya. Marlina mencoba tersenyum, senyum lembut yang selalu berhasil menenangkan siapa pun yang melihatnya. "Terima kasih, Jeno," katanya pelan namun tulus. "Karena sudah mau berada di pihak Kevin." Jeno me
Lorong rumah sakit masih memantulkan aroma obat yang menusuk ketika Marlina akhirnya diizinkan masuk. Sejak Kevin dibawa keluar dari ruang operasi, napasnya tak pernah stabil. Semua ketegangan beberapa jam terakhir masih membekas di wajahnya yang pucat. Tangannya gemetar ketika dia mendorong pintu ruang pemulihan itu.Ruangan itu temaram dan sunyi. Hanya suara mesin monitor yang berdetak pelan. Kevin berbaring di tengah ruangan, tubuhnya tampak lebih kecil dari biasanya, seolah semua kesombongan dan kekuatan yang selalu dia pertontonkan ikut hilang diambil pisau operasi.Gino berdiri di samping ranjang, tangan terlipat di dada, wajahnya dipenuhi lelah, emosi, dan sedikit sebal pada sahabat keras kepala itu. Melihat Marlina masuk, Gino mengangguk kecil dan mundur."Dia sudah sadar," katanya pelan. "Tapi jangan biarkan dia bicara terlalu banyak. Dia masih keras kepala bahkan ketika setengah mati."Marlina mengangguk, menelan haru yang menggumpal di dadanya, lalu mendekat.Ketika Kevin m
Operasi berlangsung jauh lebih lama dari perkiraan. Tiga jam… lima jam… sampai melewati batas enam jam. Setiap menit terasa seperti mimpi buruk bagi Marlina.Dia tidak bisa duduk, tidak bisa berdiri lama. Kaki dan tangannya terus gemetar. Bahkan napasnya terasa pendek seolah paru-parunya ikut menahan rasa sakit Kevin. Jeno duduk di sampingnya, namun tak berani bersuara. Matanya sesekali memperhatikan pintu ruang operasi yang tak kunjung terbuka. Setiap kali lampu tanda operasi masih menyala merah, dia bisa melihat Marlina semakin pucat."Dia akan baik-baik saja," kata Jeno untuk kedua puluh kalinya. "Duduklah." Namun kalimat itu tidak bisa menenangkan Marlina. Tidak ada yang bisa. Sampai akhirnya, lampu operasi mati. Pintu terbuka dan Gino keluar dengan pakaian operasi yang masih penuh keringat. Marlina langsung berdiri, hampir jatuh karena lututnya ikut lemas. Gino membuka masker. Senyum tipis, lega, sekaligus lelah muncul di wajahnya."Operasinya berhasil. Semuanya beres." Ma
Suara Gino mengoyak ketegangan ruang tunggu yang membeku seperti udara malam. Keputusan itu jatuh seperti palu yang memecahkan seluruh kendali diri Marlina. Matanya melebar, tubuhnya seolah ditarik ke belakang oleh ketakutan yang menggelegak. Kevin belum sadar sepenuhnya, namun tubuhnya terus gemetar setiap beberapa menit. Monitor kecil di samping ranjangnya menampilkan detak yang tidak stabil. Marlina menggigit bibir sampai terasa asin. Dia tahu ini bukan lagi soal kesiapan, tapi ini soal waktu. Soal hidup dan mati lelako yang begitu dia cintai.Setelah beberapa saat, akhirnya dia mengangguk, meski suaranya hilang di tenggorokannya."Lakukan, Gino. Tolong selamatkan Kevin."Satu anggukan kecil, tapi seperti keputusan terbesar dalam hidupnya. Sebelum tim operasi masuk, Gino menoleh pada Jeno dengan tatapan tajam yang nyaris menembus kulit."Jaga Marlina. Jangan berani macam-macam." Nada suaranya bukan sekadar perintah, tapi itu peringatan. Jeno tidak tersinggung. Dia hanya menata







