Home / Romansa / MENIKAHI CEO AROGAN / Malaikat atau Iblis?

Share

Malaikat atau Iblis?

Author: Nona Lee
last update Last Updated: 2025-07-30 12:44:38

"Bisa-bisanya aku masih mencintai lelaki brengsek sepertimu.."

Setelah semua ingatan itu muncul, Marlina hanya tersenyum kecil. Manik indahnya masih menatap hangat lelaki itu, dengan perasaan yang sama. Dia tidak bisa membenci Kevin, seburuk apapun sikapnya.

"Apa yang kau lakukan?!"

Tiba-tiba saja lelaki itu terbangun. Tangannya menepis jauh sang istri yang berada begitu dekat. Amarahnya seolah meledak, seolah jijik dengan sentuhan wanita itu. Keduanya saling menatap, dengan perasaan yang berbeda. Kevin sempat melihat baskom kecil berisikan handuk, yang berada di belakang Marlina. Namun apapun itu, dia tidak perduli.

"Maaf, aku hanya membersihkan keringatmu. Apa kau sudah berasa baikan?" Tanya wanita itu. Senyumnya nampak melebar, seolah terbiasa dengan perlakuan kasar suaminya.

Kevin menatap tajam wanita itu, "Jangan kira kita sudah tidur bersama, kau bisa dengan bebas menyentuhku. Jangan berharap banyak Marlina. Kau itu hanya barang titipan ayahmu, yang dia gadaikan padaku."

Marlina hanya mengangguk, dan berbalik membelakangi Kevin. Dia menggeser badannya ke tepi, agar tidak berdekatan dengan lelaki itu. Tidak ada gunanya melayani orang yang sedang mabuk, itu hanya akan jadi pertengkaran baru bagi mereka.

Sementara itu Kevin bangkit dari tempat tidurnya, lalu menatap sekilas punggung Marlina. Karena memakai pakaian yang terbuka, dia bisa melihat memar di tubuh wanita itu. Kevin masih ingat dengan jelas, bekas benda tumpul yang dia lempar ke punggung wanita itu.

Apa dia bodoh? Atau otaknya memang tidak berfungsi? Bisa-bisanya masih bersikap baik padaku. Pikirnya.

Lelaki itu hanya bergumam dalam hatinya, lalu pergi untuk berganti pakaian. Dia duduk di sofa sampai ketiduran, memandangi punggung istrinya yang terluka. Bahkan hingga pagi datang, matanya tidak bisa terpejam. Lelaki itu bersiap ke kantor, untuk bekerja.

"Apa anda baik-baik saja Tuan? Anda seperti kurang istirahat."

Seorang sekertaris cantik menatap khawatir atasannya. Dia menghidangkan teh hangat dengan vitamin, di samping tumpukan berkas. Kevin masih saja melamun, memandangi ponselnya.

"Apa luka memar tidak bisa hilang?" tanya Kevin tiba-tiba. Dia memandang sekertarisnya dengan ekspresi yang tidak biasa.

Wanita cantik itu menatap heran, "Apa anda baik- baik saja, Tuan? Saya akan merekomdasikan salep untuk anda."

Kevin menggelengkan kepalanya cepat, "Itu bukan untukku. Tapi coba kau cari merk yang terbaik."

"Baik Tuan. Oh iya..." Wanita itu menyerahkan sebuah amplop. "Ini laporan keuangan dari keluarga Anggara. Mereka mengucapkan terimakasih atas kerja sama ini, Tuan."

Senyumnya melebar, ketika membaca laporan dari ayah mertuanya itu. Dia merasa puas atas kerja sama mereka. Namun hubungan kerja itu akan berakhir sebentar lagi, karena hanya berlangsung 3 tahun. Kevin juga akan menceraikan Marlina, sesuai dengan apa yang di sepakati. Namun entah mengapa hatinya merasa gelisah, seolah tak ingin semua hal itu terjadi.

"Bagus. Semua memang sesuai rencana awal. Sekarang apa jadwalku hari ini?" Tanya lelaki itu, matanya menatap jam dinding di depan.

Sekertaris cantik itu tersenyum ramah, "Hanya meeting dengan beberapa klien, Tuan. Selebihnya tidak ada."

Kevin hanya mengangguk, lalu melanjutkan pekerjaanya. Dia menandatangi beberapa dokumen penting, lalu bertemu seorang klien. Pekerjaannya cukup santai hari ini, tidak seperti biasa. Kevin menyempatkan pergi ke rumah sakit sebentar, untuk bertemu Gino. Dia sudah berjanji akan datang, untuk memeriksa sesuatu.

"Jadi, apa hasilnya?"

Kevin memandang lelaki berpakaian dokter di hadapannya. Wajahnya sedikit menegang, menunggu penjelasan selanjutnya. Namun Gino malah menggodanya, hingga membuat Kevin marah.

"Sepertinya aku harus mengkebiri milikmu."

Gino mengeluarkan gunting dari sakunya, lalu tersenyum mengejek. Dia sangat menikmati momen seperti ini. Membuat temannya kesal setengah mati.

Kevin mengepalkan tinjunya,"Aku robek mulutmu, sialan! Cepatlah berikan hasilnya, aku tidak punya waktu banyak."

"Kau pikir aku ini pesulap? Tunggulah beberapa hari bodoh. Aku akan mengabarimu nanti," ucap Gino dengan tatapan sinisnya. Dia meresepkan lelaki itu beberapa vitamin, lalu melemparnya.

"Apa kau bosan hidup? Perlakukan pasienmu dengan baik," ucap Kevin kesal.

"Iya, iya pergilah! Masih banyak pasien yang harus aku tangani."

Kevin berdecak kesal, lalu pergi meninggalkan rumah sakit. Dia juga membawa sebuah kantong kresek kecil ditangannya, untuk Marlina di rumah. Sesekali Kevin menatap ponselnya, sembari menghisap rokok. Hatinya sedang dalam mode bagus, karena belum ada barang yang dia rusak.

"Marlina?!"

Sesampainya di rumah, Kevin langsung mencari sang istri, namun wanita itu belum muncul menghampirinya. Dia mencari disetiap ruangan, hingga seorang pelayan datang menghadapnya.

"Tuan, apa ada yang bisa saya bantu?" tanya seorang pelakan. Matanya nanpak gelisah, seperti menyembunyikan sesuatu.

Lelaki itu menatap curiga, "Dimana Marlina?"

"Nyonya, dia sedang di lantai atas Tuan."

Lelaki itu tertawa kecil. Dia tahu jika pelayan itu, menyembunyikan sesuatu darinya. Rahangnya mengeras, menahan kesal. Kevin berjalan menaiki tangga, untuk sampai ke lantai atas.

"Kakak ipar, kau hebat sekali."

"Eh? kau berlebihan."

Langkah Kevin terhenti. Matanya berkobar merasakan amarah. Suara-suara di kamar itu terasa familiar di telinganya. Dia mendesah kesal, dengan lengan yang mengepal kuat.

"Sialan!" Tertawa rendah. Tatapannya berubah menjadi begitu gelap. "Apa yang mereka lakukan disana?!"

Brak!

Lelaki itu membuka pintu sangat keras, hingga membuat keributan. Pupilnya bergetar melihat sang adik tengah bersama dengan istrinya.

"Kau?! Apa yang kau lakukan di rumahku?"

Jeno Andreas, dia adalah adik tiri Kevin. Bocah ingusan yang selalu menempel pada kakak iparnya. Senyumannya melebar, seolah bahagia dengan situasi ini. Jeno bahkan dengan sengaja menyentuh lengan Marlina, yang sedang sibuk mengobatinya.

"Tanganku terluka. Jadi kakak ipar mengobatiku. Bukanlah dia hebat?" Ucap lelaki itu. Dia memamerkan lengannya yang sudah diobati oleh Marlina.

Kevin tertawa pelan, hingga Marlina memandangnya dengan tubuh gemetar. Jeno yang menyadari ketakutan wanita itu, langsung berdiri mendekat ke arah sang kakak. Dia memasang wajah sangar, seolah menantang lelaki di hadapannya.

"Hei, apa kau sering melakukan itu pada kakak ipar? Dia sampai ketakutan melihatmu," bisik lelaki itu pelan. Nadanya santai, namun tegas.

Kevin meremas lehernya sendiri, lalu tertawa pelan. Matanya menatap sekilas sang istri,"Itu bukan urusanmu. Sekarang pergilah! atau aku akan menghajarmu."

Pada akhirnya Jeno memilih untuk mengalah. Dia pergi meninggalkan kedua manusia aneh itu berdua. Namun dalam hatinya dia bersumpah, akan mencari tahu kebenaran yang terjadi. Sikap manis yang hanya kakaknya tunjukan di depan orang-orang, adalah palsu. Bagi Jeno, Kevin tetaplah seorang monster.

"Kakak ipar, aku pamit pulang!"

Setelah Jeno pergi, Kevin masih berdiri menatap istrinya. Rahangnya semakin mengeras menahan amarah. Dia menendang obat, dan peralatan yang Marlina gunakan untuk mengobati adiknya.

"Kau bersenang-senang hari ini?" Tanya lelaki itu, dengan tatapan mengancam. Lengan kekarnya meremas kuat dagu wanita itu.

Marlina menggelengkan kepalanya cepat, "Tidak. Aku hanya mengobatinya, sungguh!"

"Kau pikir aku bodoh? Berduaan di ruangan tertutup dengan lelaki sialan itu. Apa kau pikir dia tidak memiliki niat buruk?!"

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • MENIKAHI CEO AROGAN   Aku Tidak Takut

    Pagi itu kota masih berkabut ketika notifikasi berita mulai meledak dari ponsel ke ponsel. Headline besar dengan foto Kevin terpampang di setiap layar."SKANDAL PEWARIS DAVIDSON. KEVIN ANDREAS DIDUGA MENGIDAP AZOOSPERMIA!" Media sosial mendidih, forum saham bergetar. dan para investor panik. Namun di lantai tiga rumah sakit, suasana justru tenang, nyaris hening. Di kamar rawat VIP, Kevin duduk tegak di ranjang dengan selang infus masih terpasang, menyilangkan kaki dengan ketenangan menakutkan. Marlina duduk di sisi kirinya, memijat pelan jemarinya yang dingin. Sementara Jeno berdiri di depan jendela besar, memandang kota yang mulai gaduh. Telepon Gino berdering berkali-kali hingga akhirnya dia melempar ponselnya ke sofa sambil mengumpat."KEVIN!" serunya gusar. "Berita itu... kau sudah lihat?!" Kevin menyeringai tipis. Bukan terkejut. Bukan takut. Tetapi seperti seseorang yang akhirnya melihat bidak terakhir bergerak sesuai rencana."Tidak. Aku memang ingin berita itu muncul," kat

  • MENIKAHI CEO AROGAN   Aku Di Pihakmu

    Pagi itu sinar matahari menyusup lembut lewat tirai putih kamar rawat inap VIP. Bau khas rumah sakit campuran obat-obatan dan antiseptik mengambang samar di udara. Mesin monitor di dekat ranjang Kevin berbunyi pelan, stabil, menandakan kondisinya sudah jauh lebih baik. Kevin sudah bisa duduk, meski masih bersandar dengan bantal tebal di belakangnya. Tubuhnya belum sepenuhnya pulih, wajahnya masih pucat, tapi matanya sudah kembali menampilkan ketegasan khas seorang pemimpin. Di sampingnya, Marlina sibuk menyuapi bubur hangat. Setiap suapan penuh dengan kesabaran dan kasih sayang. Sesekali dia mengomel kecil karena Kevin terlalu cepat mengunyah atau memaksa menggerakkan tubuhnya sendiri."Sayang.. kenapa kau terus memarahiku di depan Jeno!" rengek Kevin kesal. Dia merasa malu karena Marlina terus mengomelinya tanpa henti. Sementara itu, Jeno duduk di sofa dengan laptop terbuka. Jari-jarinya bergerak cepat di atas keyboard, wajahnya fokus namun jelas lelah. Sejak operasi Kevin dimul

  • MENIKAHI CEO AROGAN   Awal Dari Penyelesaian Masalah

    Lorong rumah sakit itu begitu sepi. Lampu-lampu neon di langit-langit memancarkan cahaya pucat yang membuat suasana tampak dingin, namun juga menenangkan. Beberapa perawat lewat sesekali, langkah mereka pelan seperti bayangan. Di balik pintu kamar pemulihan, Kevin tengah beristirahat, setelah pertarungan panjang antara hidup dan ketegaran yang selama ini ia sandang. Marlina berdiri bersandar pada dinding, bahunya turun perlahan setelah menahan banyak kecemasan sejak kemarin. Napasnya akhirnya terasa sedikit ringan. Ia menatap ke arah jendela kecil yang menghadap taman rumah sakit, sebelum akhirnya menoleh ketika seseorang menghampiri, Jeno. Wajah adik iparnya itu terlihat lebih dewasa dari biasanya. Ada kelelahan yang dia sembunyikan, tapi juga ketulusan yang jarang terlihat darinya. Marlina mencoba tersenyum, senyum lembut yang selalu berhasil menenangkan siapa pun yang melihatnya. "Terima kasih, Jeno," katanya pelan namun tulus. "Karena sudah mau berada di pihak Kevin." Jeno me

  • MENIKAHI CEO AROGAN   Hubungan Kakak Beradik Yang Membaik [Bagian-1]

    Lorong rumah sakit masih memantulkan aroma obat yang menusuk ketika Marlina akhirnya diizinkan masuk. Sejak Kevin dibawa keluar dari ruang operasi, napasnya tak pernah stabil. Semua ketegangan beberapa jam terakhir masih membekas di wajahnya yang pucat. Tangannya gemetar ketika dia mendorong pintu ruang pemulihan itu.Ruangan itu temaram dan sunyi. Hanya suara mesin monitor yang berdetak pelan. Kevin berbaring di tengah ruangan, tubuhnya tampak lebih kecil dari biasanya, seolah semua kesombongan dan kekuatan yang selalu dia pertontonkan ikut hilang diambil pisau operasi.Gino berdiri di samping ranjang, tangan terlipat di dada, wajahnya dipenuhi lelah, emosi, dan sedikit sebal pada sahabat keras kepala itu. Melihat Marlina masuk, Gino mengangguk kecil dan mundur."Dia sudah sadar," katanya pelan. "Tapi jangan biarkan dia bicara terlalu banyak. Dia masih keras kepala bahkan ketika setengah mati."Marlina mengangguk, menelan haru yang menggumpal di dadanya, lalu mendekat.Ketika Kevin m

  • MENIKAHI CEO AROGAN   Operasi Yang Berjalan Baik

    Operasi berlangsung jauh lebih lama dari perkiraan. Tiga jam… lima jam… sampai melewati batas enam jam. Setiap menit terasa seperti mimpi buruk bagi Marlina.Dia tidak bisa duduk, tidak bisa berdiri lama. Kaki dan tangannya terus gemetar. Bahkan napasnya terasa pendek seolah paru-parunya ikut menahan rasa sakit Kevin. Jeno duduk di sampingnya, namun tak berani bersuara. Matanya sesekali memperhatikan pintu ruang operasi yang tak kunjung terbuka. Setiap kali lampu tanda operasi masih menyala merah, dia bisa melihat Marlina semakin pucat."Dia akan baik-baik saja," kata Jeno untuk kedua puluh kalinya. "Duduklah." Namun kalimat itu tidak bisa menenangkan Marlina. Tidak ada yang bisa. Sampai akhirnya, lampu operasi mati. Pintu terbuka dan Gino keluar dengan pakaian operasi yang masih penuh keringat. Marlina langsung berdiri, hampir jatuh karena lututnya ikut lemas. Gino membuka masker. Senyum tipis, lega, sekaligus lelah muncul di wajahnya."Operasinya berhasil. Semuanya beres." Ma

  • MENIKAHI CEO AROGAN   Pelukan Penuh Luka

    Suara Gino mengoyak ketegangan ruang tunggu yang membeku seperti udara malam. Keputusan itu jatuh seperti palu yang memecahkan seluruh kendali diri Marlina. Matanya melebar, tubuhnya seolah ditarik ke belakang oleh ketakutan yang menggelegak. Kevin belum sadar sepenuhnya, namun tubuhnya terus gemetar setiap beberapa menit. Monitor kecil di samping ranjangnya menampilkan detak yang tidak stabil. Marlina menggigit bibir sampai terasa asin. Dia tahu ini bukan lagi soal kesiapan, tapi ini soal waktu. Soal hidup dan mati lelako yang begitu dia cintai.Setelah beberapa saat, akhirnya dia mengangguk, meski suaranya hilang di tenggorokannya."Lakukan, Gino. Tolong selamatkan Kevin."Satu anggukan kecil, tapi seperti keputusan terbesar dalam hidupnya. Sebelum tim operasi masuk, Gino menoleh pada Jeno dengan tatapan tajam yang nyaris menembus kulit."Jaga Marlina. Jangan berani macam-macam." Nada suaranya bukan sekadar perintah, tapi itu peringatan. Jeno tidak tersinggung. Dia hanya menata

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status