Share

BAB 4. Setelah Berpisah

[September 2021]

Berteman dengan sepi menjadi hobi Sakha sejak enam bulan resmi bercerai dari Tabitha. Tidak ada lagi kegiatan menyenangkan dalam hidup yang bisa membuatnya bergairah. Semangatnya dalam menjalani hidup menguap bersamaan dengan perginya Tabitha dari hidupnya. Jika biasanya Sakha sangat menikmati pekerjaannya sebagai fotografer−ia bekerja untuk National Geographic yang berkantor pusat di daerah Kebon Jeruk−kali ini tidak lagi. Ia masih tetap bekerja karena hanya itu satu-satunya yang membuat dirinya tetap hidup−tidak hanya mengurung diri di kamar yang pengap karena jendela kamarnya jarang dibuka dan berbau asap rokok yang menempel di mana-mana.

Dulu, sebelum mengenal Tabitha, Sakha adalah perokok berat. Ia tak bisa menjalani hari tanpa rokok. Setiap pagi, sarapannya adalah secangkir kopi hitam pekat dan sebatang rokok. Tanpa rokok, ia tidak akan bisa bekerja. Dan rata-rata Sakha akan menghabiskan satu bungkus rokok setiap harinya. Seiring berjalannya waktu, saat ia mulai mengenal dan dekat dengan Tabitha, mau tak mau Sakha mengurangi kebiasaannya. Di samping karena ingin menunjukkan citra yang baik di depan Tabitha, juga karena wanita itu menderita penyakit asma bawaan. Maka, sebisa mungkin Sakha selalu tampil bersih dan wangi−sesuatu yang sangat bukan Sakha yang biasanya sangat berantakan dan bau asap rokok melekat di tubuhnya−saat bertemu Tabitha.

“Aku mau buat satu pengakuan,” kata Sakha di suatu sore menjelang malam kala itu.

Tujuh tahun yang lalu. Saat itu sedang hujan. Keduanya terjebak di sebuah kafe retro yang cukup ramai.

“Jangan bilang kalau kamu aslinya udah punya pacar,” tebak Tabitha. Matanya menyipit karena penasaran.

Sakha tertawa kecil. Tebakan polos Tabitha baginya sangat lucu.

“Bukan, Tabitha. I’m a gentleman. Nggak akan mendekati orang yang udah punya pasangan ataupun mendekati orang lain waktu masih punya pasangan.”

Well….” Tabitha berpikir keras hingga kernyitan di keningnya bermunculan. Ia kembali menebak. “Kamu mendapat tawaran pekerjaan di luar negeri? NatGeo akhirnya sadar kalau bakat kamu terlalu berharga untuk disia-siakan di sini aja?”

Sakha menggeleng. Senyum manis bertahan di wajah tampannya. Walau nyatanya, ia memang pernah mendapat tawaran untuk bekerja di kantor pusat National Geographic yang berada di Amerika Serikat. Itu sudah setahun yang lalu sebelum mengenal Tabitha. Pekerjaan itu datang bersamaan dengan meninggalnya sang ayah, yang kemudian memaksa Sakha untuk tetap tinggal karena tak bisa meninggalkan ibunya sendirian.

“Terus apa?” Tabitha makin penasaran. Ia mencondongkan tubuhnya lebih dekat. Membuat Sakha bisa menghirup parfum beraroma buah-buahan segar dari tubuh wanita itu.

“Padahal aku nggak berniat main tebaik-tebakan.”

Sakha memandang Tabitha dengan geli.

“Aku cuma mau cerita kalau aku sebenarnya perokok. Aku nggak pernah cerita sebelumnya karena aku nggak mau membuat kesan buruk di awal perkenalan.”

Seketika pengertian muncul di wajah Tabitha. Ia tersenyum simpul.

“Aku tahu.”

“Kamu tahu?”

Tabitha mengangguk dengan pasti.

“Albert yang cerita,” kata Tabitha a. Albert adalah teman Sakha yang kebetulan juga mengenal Tabitha. Laki-laki itu yang mencomblangkan Sakha dan Tabitha. Dan di sinilah mereka sekarang. Duduk berhadapan di kencan mereka yang keempat. “Tapi tanpa dia cerita pun aku bisa tahu.”

Kemudian, dengan tak enak hati Tabitha lanjut berkata, “To be honest, indra penciumanku cukup sensitif, jadi aku bisa samar membaui asap rokok yang menempel di tubuh kamu.”

Sakha tampak sangat malu. Ternyata meskipun ia sudah menggosok tubuhnya berkali-kali saat mandi dan menyemprotkan parfum−yang jarang-jarang ia lakukan−ternyata tidak cukup untuk menghilangkan bau rokok di tubuhnya.

“Aku lagi berusaha buat berhenti,” tutur Sakha kemudian disertai ringisan.

You do?” Tabitha tak percaya, lalu menyeruput kopi yang sudah dingin.

Sakha mengangguk. “Ya, tapi mungkin bakal butuh waktu yang lama.”

Tabitha manggut-manggut. Ia kembali menatap Sakha dengan sorot penasaran.

“Boleh tahu kenapa kamu mau berhenti merokok? Mungkin ada alasan tertentu?”

Sakha memandang Tabitha dengan lekat. Setelah beberapa saat, laki-laki itu dengan serius−dalam suara yang agak serak−berkata, “Karena ada perempuan manis yang aku suka. Dan untuk bisa dekat sama dia, aku harus mulai berhenti karena aku nggak mau membuat dia nggak nyaman berada di sisiku.”

Ekspresi Tabitha tetap tenang saat menyahut, “Perempuan itu aku?”

Sakha dibuat terkejut karena Tabitha tanpa ragu bertanya.

Dan untuk membuat Tabitha terkesan, ia pun menjawab dengan lantang dan percaya diri, “Ya. Empat kali kencan mungkin kelihatannya terlalu singkat. Tapi aku yakin kalau rasa sukaku ke kamu cukup besar dan aku nggak mau menyia-nyiakan kesempatan ini untuk bisa lebih dekat dari sekadar teman ngobrol. I really like you, Tabitha.”

Pipi Tabitha bersemu. Tabitha seperti sudah menduga dan menunggu momen ini datang karena kemudian tanpa keraguan sedikit pun ia membalas, “I really like you too, Sakha. Tapi kamu nggak perlu memaksakan diri buat berhenti merokok hanya karena aku atau karena siapa pun itu selain karena diri kamu sendiri yang memang mau. Asal nggak ngerokok waktu jalan sama aku, aku nggak masalah kok.”

“Aku nggak memaksakan diri,” koreksi Sakha cepat-cepat sambil menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.

Tabitha menahan senyum. Ia memainkan cuping cangkir kopi dan memutar-mutarnya. Matanya tertuju pada Sakha yang menjadi semakin salah tingkah dibuatnya.

Then it's great. And... So, are we a couple now?” tanya Tabitha memastikan.

Sakha tersenyum lebar. Ia pun menjawab dengan tegas dan mantap, “Yes. We are a couple now.”

Tabitha balas tersenyum sama lebarnya.

“Wow, Albert pasti besar kepala banget karena berhasil nyomblangin kita,” kata Tabitha dengan nada ceria yang tak bisa ditutup-tutupi. Ia merogoh tas untuk mengambil ponsel−sejak masuk ke dalam kafe, Tabitha tidak memegang ponsel karena mengobrol seru dengan Sakha membuat ia melupakan ponsel yang biasanya tak pernah lepas dari genggaman−lalu mengajak Sakha berswafoto. “Mau aku pamerin ke Albert,” ujar wanita itu lagi tanpa ditanya.

Kenangan manis tujuh tahun yang lalu itu menghantam Sakha habis-habisan saat ia sedang membersihkan sampah-sampah file di penyimpanan lokal di laptopnya. Ada ribuan foto Tabitha yang ia masukkan ke dalam satu folder yang ia beri nama ‘Love of My Life’. Sejak satu jam yang lalu, Sakha sudah berniat menghapusnya. Namun, ia masih tak rela. Yang ia lakukan selanjutnya hanyalah memandangi satu demi satu foto mantan istrinya sambil menyulut rokok dan kemudian bergelung dalam kepulan asap rokok yang memenuhi kamarnya.

Perpisahannya dengan Tabitha tidak hanya membuat laki-laki itu menjadi anti sosial, tetapi juga kembali menjadikan dirinya perokok. Karena itu satu-satunya hal yang bisa membuatnya tenang. Sesuatu yang mungkin tidak secara langsung dibenci Tabitha, tetapi satu hal yang dijauhi wanita itu karena kesehatannya. Dan hal itu selalu mengingatkannya pada momen saat ia mulai menjalin hubungan dengan wanita itu.

Di beberapa waktu, saat ia telah menghabiskan berbatang-batang rokok, seringkali Sakha berharap Tabitha muncul di hadapannya. Agar ia memiliki alasan untuk berhenti. Karena ia cukup yakin akan mendapatkan ketenangannya kembali jika ia melihat Tabitha ada di dalam jarak pandangnya. Tidak perlu lagi berteman dengan rokok. Namun, tentu saja harapan itu tidak pernah terwujud hingga berbulan-bulan lamanya yang terasa menyesakkan. Tabitha telah ia lepaskan dan mustahil ia akan mendapatkan wanita itu kembali.

Pintu kamarnya diketuk dari luar−membuyarkan kemuraman Sakha sejenak. Kemudian terdengar suara Ibu. “Kha, kamu masih tidur? Ibu mau jenguk Bu RT ke rumah sakit.”

Sakha meletakkan rokoknya di asbak yang hampir penuh dengan puntung rokok tanpa mematikannya. Lalu beranjak ke arah pintu dan membukanya cukup lebar. “Sama siapa, Bu? Mau aku antar?”

Ibu mengernyit. Tampaknya merasa tidak begitu nyaman saat anaknya membawa aroma rokok saat membuka pintu. “Oh, nggak usah. Ibu berangkat bareng-bareng sama tetangga sebelah dan depan rumah. Ibu cuma mau ingetin kamu biar nggak lupa makan malam. Lauk pauk sama sayur ada di meja makan. Tinggal kamu angetin.”

Sakha tersenyum tipis. Perhatian ibunya menjadi berkali-kali lipat sejak ia bercerai dengan Tabitha. “Bu, nggak perlu nunggu malam, kalau aku lapar aku bakal langsung makan.”

“Kamu kebanyakan ngerokok sampai kadang lupa nggak makan,” gerutu Ibu.

“Nanti aku makan, Bu. Nggak usah khawatir.” Sakha memberikan tatapan penuh sesal. Tak enak hati karena seringkali membuat ibunya khawatir akan keadaannya yang memang mengkhawatirkan−atau lebih tepatnya terlalu menyedihkan.

Ibu geleng-geleng kepala karena tingkah anak semata wayangnya. Kemudian pamit pergi saat mendengar namanya diserukan oleh tetangganya dari luar−mengajaknya untuk segera berangkat.

Sepeninggal Ibu, Sakha mematikan rokoknya yang masih setengah utuh dengan menyurukkan ujungnya yang membara ke ceruk asbak. Lalu matanya kembali terpaku pada foto-foto Tabitha yang ada di laptopnya. Sekilas Sakha pun tersenyum kecut saat kerinduan terhadap mantan istrinya itu dengan bangsatnya mencabik-cabik hatinya.

Are you happy now, Bee?” bisik Sakha lirih. “Because I’m not.”

Dan jawaban yang didapatnya hanyalah kekosongan.

Setelah cukup puas membiarkan hatinya menikmati cabikan perih kerinduan, Sakha mematikan laptop. Kemudian meraih tas yang berisi kamera dan perlengkapan yang ia butuhkan untuk memotret dan mencangklongnya di bahu, kemudian menjejalkan ponsel dan dompet ke dalam saku celana jeans yang ia kenakan. Tak lupa Sakha membawa rokok dan lighter.

Dua menit kemudian ia meninggalkan kamarnya yang penuh sesak.

Sakha berkendara melintasi jalanan kota Jakarta yang padat. Mobilnya merayap lambat di antara kendaraan-kendaraan lain. Suara klakson bersahutan di sana sini, meneriakkan emosi para pengendara yang tidak sabar ingin segera sampai ke tujuan, walaupun itu sama sekali tidak ada gunanya karena jalanan akan tetap macet.

Bersamaan dengan lampu lalu lintas yang kembali berubah dari warna hijau ke warna merah−dalam sepuluh menit, mobil Sakha hanya bergerak sepanjang enam meter−Sakha merasakan getaran dari ponselnya.

Sakha merogoh saku celana, mengambil ponselnya yang layarnya menampilkan sederet pesan dari Ibu yang membuat Sakha terpaku. 

Ibu

Kha, Ibu lupa bilang tadi

Minggu depan kamu ikut Ibu ke rumah teman arisan Ibu, ya

Anaknya mau kenalan sama kamu

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status