[September 2021]
Berteman dengan sepi menjadi hobi Sakha sejak enam bulan resmi bercerai dari Tabitha. Tidak ada lagi kegiatan menyenangkan dalam hidup yang bisa membuatnya bergairah. Semangatnya dalam menjalani hidup menguap bersamaan dengan perginya Tabitha dari hidupnya. Jika biasanya Sakha sangat menikmati pekerjaannya sebagai fotografer−ia bekerja untuk National Geographic yang berkantor pusat di daerah Kebon Jeruk−kali ini tidak lagi. Ia masih tetap bekerja karena hanya itu satu-satunya yang membuat dirinya tetap hidup−tidak hanya mengurung diri di kamar yang pengap karena jendela kamarnya jarang dibuka dan berbau asap rokok yang menempel di mana-mana.
Dulu, sebelum mengenal Tabitha, Sakha adalah perokok berat. Ia tak bisa menjalani hari tanpa rokok. Setiap pagi, sarapannya adalah secangkir kopi hitam pekat dan sebatang rokok. Tanpa rokok, ia tidak akan bisa bekerja. Dan rata-rata Sakha akan menghabiskan satu bungkus rokok setiap harinya. Seiring berjalannya waktu, saat ia mulai mengenal dan dekat dengan Tabitha, mau tak mau Sakha mengurangi kebiasaannya. Di samping karena ingin menunjukkan citra yang baik di depan Tabitha, juga karena wanita itu menderita penyakit asma bawaan. Maka, sebisa mungkin Sakha selalu tampil bersih dan wangi−sesuatu yang sangat bukan Sakha yang biasanya sangat berantakan dan bau asap rokok melekat di tubuhnya−saat bertemu Tabitha.
“Aku mau buat satu pengakuan,” kata Sakha di suatu sore menjelang malam kala itu.
Tujuh tahun yang lalu. Saat itu sedang hujan. Keduanya terjebak di sebuah kafe retro yang cukup ramai.
“Jangan bilang kalau kamu aslinya udah punya pacar,” tebak Tabitha. Matanya menyipit karena penasaran.
Sakha tertawa kecil. Tebakan polos Tabitha baginya sangat lucu.
“Bukan, Tabitha. I’m a gentleman. Nggak akan mendekati orang yang udah punya pasangan ataupun mendekati orang lain waktu masih punya pasangan.”
“Well….” Tabitha berpikir keras hingga kernyitan di keningnya bermunculan. Ia kembali menebak. “Kamu mendapat tawaran pekerjaan di luar negeri? NatGeo akhirnya sadar kalau bakat kamu terlalu berharga untuk disia-siakan di sini aja?”
Sakha menggeleng. Senyum manis bertahan di wajah tampannya. Walau nyatanya, ia memang pernah mendapat tawaran untuk bekerja di kantor pusat National Geographic yang berada di Amerika Serikat. Itu sudah setahun yang lalu sebelum mengenal Tabitha. Pekerjaan itu datang bersamaan dengan meninggalnya sang ayah, yang kemudian memaksa Sakha untuk tetap tinggal karena tak bisa meninggalkan ibunya sendirian.
“Terus apa?” Tabitha makin penasaran. Ia mencondongkan tubuhnya lebih dekat. Membuat Sakha bisa menghirup parfum beraroma buah-buahan segar dari tubuh wanita itu.
“Padahal aku nggak berniat main tebaik-tebakan.”
Sakha memandang Tabitha dengan geli.
“Aku cuma mau cerita kalau aku sebenarnya perokok. Aku nggak pernah cerita sebelumnya karena aku nggak mau membuat kesan buruk di awal perkenalan.”
Seketika pengertian muncul di wajah Tabitha. Ia tersenyum simpul.
“Aku tahu.”
“Kamu tahu?”
Tabitha mengangguk dengan pasti.
“Albert yang cerita,” kata Tabitha a. Albert adalah teman Sakha yang kebetulan juga mengenal Tabitha. Laki-laki itu yang mencomblangkan Sakha dan Tabitha. Dan di sinilah mereka sekarang. Duduk berhadapan di kencan mereka yang keempat. “Tapi tanpa dia cerita pun aku bisa tahu.”
Kemudian, dengan tak enak hati Tabitha lanjut berkata, “To be honest, indra penciumanku cukup sensitif, jadi aku bisa samar membaui asap rokok yang menempel di tubuh kamu.”
Sakha tampak sangat malu. Ternyata meskipun ia sudah menggosok tubuhnya berkali-kali saat mandi dan menyemprotkan parfum−yang jarang-jarang ia lakukan−ternyata tidak cukup untuk menghilangkan bau rokok di tubuhnya.
“Aku lagi berusaha buat berhenti,” tutur Sakha kemudian disertai ringisan.
“You do?” Tabitha tak percaya, lalu menyeruput kopi yang sudah dingin.
Sakha mengangguk. “Ya, tapi mungkin bakal butuh waktu yang lama.”
Tabitha manggut-manggut. Ia kembali menatap Sakha dengan sorot penasaran.
“Boleh tahu kenapa kamu mau berhenti merokok? Mungkin ada alasan tertentu?”
Sakha memandang Tabitha dengan lekat. Setelah beberapa saat, laki-laki itu dengan serius−dalam suara yang agak serak−berkata, “Karena ada perempuan manis yang aku suka. Dan untuk bisa dekat sama dia, aku harus mulai berhenti karena aku nggak mau membuat dia nggak nyaman berada di sisiku.”
Ekspresi Tabitha tetap tenang saat menyahut, “Perempuan itu aku?”
Sakha dibuat terkejut karena Tabitha tanpa ragu bertanya.
Dan untuk membuat Tabitha terkesan, ia pun menjawab dengan lantang dan percaya diri, “Ya. Empat kali kencan mungkin kelihatannya terlalu singkat. Tapi aku yakin kalau rasa sukaku ke kamu cukup besar dan aku nggak mau menyia-nyiakan kesempatan ini untuk bisa lebih dekat dari sekadar teman ngobrol. I really like you, Tabitha.”
Pipi Tabitha bersemu. Tabitha seperti sudah menduga dan menunggu momen ini datang karena kemudian tanpa keraguan sedikit pun ia membalas, “I really like you too, Sakha. Tapi kamu nggak perlu memaksakan diri buat berhenti merokok hanya karena aku atau karena siapa pun itu selain karena diri kamu sendiri yang memang mau. Asal nggak ngerokok waktu jalan sama aku, aku nggak masalah kok.”
“Aku nggak memaksakan diri,” koreksi Sakha cepat-cepat sambil menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.
Tabitha menahan senyum. Ia memainkan cuping cangkir kopi dan memutar-mutarnya. Matanya tertuju pada Sakha yang menjadi semakin salah tingkah dibuatnya.
“Then it's great. And... So, are we a couple now?” tanya Tabitha memastikan.
Sakha tersenyum lebar. Ia pun menjawab dengan tegas dan mantap, “Yes. We are a couple now.”
Tabitha balas tersenyum sama lebarnya.
“Wow, Albert pasti besar kepala banget karena berhasil nyomblangin kita,” kata Tabitha dengan nada ceria yang tak bisa ditutup-tutupi. Ia merogoh tas untuk mengambil ponsel−sejak masuk ke dalam kafe, Tabitha tidak memegang ponsel karena mengobrol seru dengan Sakha membuat ia melupakan ponsel yang biasanya tak pernah lepas dari genggaman−lalu mengajak Sakha berswafoto. “Mau aku pamerin ke Albert,” ujar wanita itu lagi tanpa ditanya.
Kenangan manis tujuh tahun yang lalu itu menghantam Sakha habis-habisan saat ia sedang membersihkan sampah-sampah file di penyimpanan lokal di laptopnya. Ada ribuan foto Tabitha yang ia masukkan ke dalam satu folder yang ia beri nama ‘Love of My Life’. Sejak satu jam yang lalu, Sakha sudah berniat menghapusnya. Namun, ia masih tak rela. Yang ia lakukan selanjutnya hanyalah memandangi satu demi satu foto mantan istrinya sambil menyulut rokok dan kemudian bergelung dalam kepulan asap rokok yang memenuhi kamarnya.
Perpisahannya dengan Tabitha tidak hanya membuat laki-laki itu menjadi anti sosial, tetapi juga kembali menjadikan dirinya perokok. Karena itu satu-satunya hal yang bisa membuatnya tenang. Sesuatu yang mungkin tidak secara langsung dibenci Tabitha, tetapi satu hal yang dijauhi wanita itu karena kesehatannya. Dan hal itu selalu mengingatkannya pada momen saat ia mulai menjalin hubungan dengan wanita itu.
Di beberapa waktu, saat ia telah menghabiskan berbatang-batang rokok, seringkali Sakha berharap Tabitha muncul di hadapannya. Agar ia memiliki alasan untuk berhenti. Karena ia cukup yakin akan mendapatkan ketenangannya kembali jika ia melihat Tabitha ada di dalam jarak pandangnya. Tidak perlu lagi berteman dengan rokok. Namun, tentu saja harapan itu tidak pernah terwujud hingga berbulan-bulan lamanya yang terasa menyesakkan. Tabitha telah ia lepaskan dan mustahil ia akan mendapatkan wanita itu kembali.
Pintu kamarnya diketuk dari luar−membuyarkan kemuraman Sakha sejenak. Kemudian terdengar suara Ibu. “Kha, kamu masih tidur? Ibu mau jenguk Bu RT ke rumah sakit.”
Sakha meletakkan rokoknya di asbak yang hampir penuh dengan puntung rokok tanpa mematikannya. Lalu beranjak ke arah pintu dan membukanya cukup lebar. “Sama siapa, Bu? Mau aku antar?”
Ibu mengernyit. Tampaknya merasa tidak begitu nyaman saat anaknya membawa aroma rokok saat membuka pintu. “Oh, nggak usah. Ibu berangkat bareng-bareng sama tetangga sebelah dan depan rumah. Ibu cuma mau ingetin kamu biar nggak lupa makan malam. Lauk pauk sama sayur ada di meja makan. Tinggal kamu angetin.”
Sakha tersenyum tipis. Perhatian ibunya menjadi berkali-kali lipat sejak ia bercerai dengan Tabitha. “Bu, nggak perlu nunggu malam, kalau aku lapar aku bakal langsung makan.”
“Kamu kebanyakan ngerokok sampai kadang lupa nggak makan,” gerutu Ibu.
“Nanti aku makan, Bu. Nggak usah khawatir.” Sakha memberikan tatapan penuh sesal. Tak enak hati karena seringkali membuat ibunya khawatir akan keadaannya yang memang mengkhawatirkan−atau lebih tepatnya terlalu menyedihkan.
Ibu geleng-geleng kepala karena tingkah anak semata wayangnya. Kemudian pamit pergi saat mendengar namanya diserukan oleh tetangganya dari luar−mengajaknya untuk segera berangkat.
Sepeninggal Ibu, Sakha mematikan rokoknya yang masih setengah utuh dengan menyurukkan ujungnya yang membara ke ceruk asbak. Lalu matanya kembali terpaku pada foto-foto Tabitha yang ada di laptopnya. Sekilas Sakha pun tersenyum kecut saat kerinduan terhadap mantan istrinya itu dengan bangsatnya mencabik-cabik hatinya.
“Are you happy now, Bee?” bisik Sakha lirih. “Because I’m not.”
Dan jawaban yang didapatnya hanyalah kekosongan.
Setelah cukup puas membiarkan hatinya menikmati cabikan perih kerinduan, Sakha mematikan laptop. Kemudian meraih tas yang berisi kamera dan perlengkapan yang ia butuhkan untuk memotret dan mencangklongnya di bahu, kemudian menjejalkan ponsel dan dompet ke dalam saku celana jeans yang ia kenakan. Tak lupa Sakha membawa rokok dan lighter.
Dua menit kemudian ia meninggalkan kamarnya yang penuh sesak.
Sakha berkendara melintasi jalanan kota Jakarta yang padat. Mobilnya merayap lambat di antara kendaraan-kendaraan lain. Suara klakson bersahutan di sana sini, meneriakkan emosi para pengendara yang tidak sabar ingin segera sampai ke tujuan, walaupun itu sama sekali tidak ada gunanya karena jalanan akan tetap macet.
Bersamaan dengan lampu lalu lintas yang kembali berubah dari warna hijau ke warna merah−dalam sepuluh menit, mobil Sakha hanya bergerak sepanjang enam meter−Sakha merasakan getaran dari ponselnya.
Sakha merogoh saku celana, mengambil ponselnya yang layarnya menampilkan sederet pesan dari Ibu yang membuat Sakha terpaku.
Ibu
Kha, Ibu lupa bilang tadi
Minggu depan kamu ikut Ibu ke rumah teman arisan Ibu, ya
Anaknya mau kenalan sama kamu
[Yunani 2026] Tabitha terbangun dari tidurnya karena mendengar suara debur ombak yang menyapa telinga. Ketika kedua matanya telah sepenuhnya terbuka, wanita itu langsung dihadapkan pada pemandangan indah yang membuat senyum manisnya terukir. Yaitu punggung liat suaminya yang tak terbalut sehelai kain menjadi yang pertama Tabitha lihat. Laki-laki itu berdiri membelakanginya, dengan kedua tangan bersandar di pagar balkon kamar. Senyumnya melebar kala sang suami menyadari kalau ia telah bangun dan sosok itu berbalik untuk menatapnya. "Selamat pagi, Istriku." Sapaan itu membuat wajah Tabitha memerah. Gara-gara panggilan yang terdengar manis itu juga kemarin Tabitha berakhir telanjang di atas tempat tidur sesaat setelah mereka tiba di kamar dengan pemandangan menakjubkan itu. Mereka bergumul di atas ranjang hingga tengah malam, sama-sama banjir peluh dan kelelahan, tetapi banjir kenikmatan. Tanpa sempat menikmati pemandangan yang disuguhkan salah satu pulau di Yunani yang menjadi dest
Pada pernikahan pertamanya dengan Sakha, banyak tangis yang diam-diam Tabitha pendam setiap kali wanita itu kembali mendapatkan tamu bulanan. Pada saat memasuki tahun kedua pernikahan, Tabitha masih belum terlalu mempermasalahkannya. Ia masih bisa berpikir positif dan menganggap bahwa ia belum siap menjadi ibu. Bahwa ia masih diberi waktu oleh Tuhan untuk menyiapkan mental. Tabitha memilih menikmati hari demi harinya bersama Sakha. Merajut cinta yang terus bertumbuh seiring berjalannya waktu.Tabitha baru mulai khawatir saat tahun ketiga, sudah mulai ikut promil, tetapi malam-malam penuh cintanya bersama Sakha tak juga menghadirkan bayi di dalam perutnya. Terlebih mengetahui Sakha yang sudah sangat mengharapkan kehadiran anak, Tabitha jadi gundah gulana.Hati Tabitha remuk setiap kali Sakha mengecup perutnya dan membisikkan doa agar usahanya membuahkan hasil, tetapi esok harinya Tabitha mendapati bercak merah di celana dalamnya. Dan yang lebih menyakitkan adalah ketika Tabitha sudah t
Rachel Kalila Ramadhani."Halo, anak Ayah."Sakha memandangi bayi mungil yang masih merah dari balik kaca dengan mata yang berkaca-kaca. Sudah sejak berpuluh-puluh menit ia berdiri di sana. Ia sangat bahagia karena akhirnya bisa menyambut buah cintanya bersama Tabitha, tetapi juga teramat patah hati karena tidak bisa langsung merengkuh anak gadisnya yang masih harus mendapatkan beberapa penanganan medis khusus.Karena sudah harus lahir beberapa minggu sebelum HPL, berat badannya saat ini hanya 2,4 kilogram. Laju pernapasannya masih belum teratur sehingga harus dibantu alat pernapasan yang terpasang di hidungnya. Istrinya saat ini sedang beristirahat di kamar inap setelah operasi caesar yang harus dilaluinya karena kondisi medis darurat.Tadi, saat harus mendengar berita itu disampaikan oleh dokter dan istrinya menangis karena mengkhawatirkan kondisi bayinya, Sakha nyaris ikut meneteskan air mata. Ia benar-benar tidak tega melihat sang istri yang menahan sakit di perut sekaligus terte
"Lho, Bee? Kok belum ganti baju?" Sakha mengernyit bingung melihat istrinya belum selesai bersiap-siap. Istrinya masih mengenakan jubah mandi seperti satu jam yang lalu. Bedanya, wajahnya sekarang sudah full make-up. Menambah kesan cantik yang memikat Sakha meski hanya melihat wajah istrinya dari samping. "Aku bingung mau pakai baju apa," gumam Tabitha. Masih betah memandangi deretan gaun di dalam lemari yang pintunya telah terbuka lebar-lebar. "Semalam bukannya udah kamu siapin sama baju aku sekalian, Bee?" Tidak hanya itu. Sebenarnya sudah sejak jauh-jauh hari Tabitha membeli gaun--yang serasi dengan batik yang dikenakan Sakha sekarang--untuk dipakai saat resepsi pernikahan Haga dan Meg. Sakha mendekat kepada istrinya dan ikut melongok ke dalam lemari lalu meraih gaun berwarna salem yang langsung terlihat di matanya. "Pakai ini, kan?" Tabitha merengut saat melihat ke arah suaminya. "Aku kelihatan makin gendut kalau pakai ini. Mau pakai yang lain tapi bingung. Semua baju yang
Mata Tabitha mulai berkaca-kaca karena tidak bisa menahan rasa haru yang mengisi dadanya karena dua nama yang sarat makna indah yang sudah disiapkan oleh suaminya itu. Saat menyinggung soal nama anak tadi dan mendengar fakta kalau suaminya telah menyiapkan dua nama untuk calon anak mereka, Tabitha sama sekali tidak berekspektasi tinggi. Tetapi begitu mendengar Sakha mengucapkan dua nama itu dengan tatapan penuh cinta, bahkan sampai menjelaskan arti namanya masing-masing, Tabitha langsung tahu bahwa Sakha telah mempersiapkannya dengan sungguh-sungguh. Tidak asal mencomot nama dari internet karena tampak bagus dipadu-padankan. Dan hal itu membuat Tabitha semakin tak bisa menahan air matanya. "Bee, kok nangis? Kamu nggak suka, ya?" Sakha mendadak panik. Tampak rasa khawatir yang pekat membayangi wajahnya. Ia langsung mencerocos panjang lebar. "Aku nggak akan maksa kamu pakai nama itu kalau nama yang aku siapin nggak sesuai harapan kamu kok. Maaf, Bee. Udah ya? Jangan nangis lagi. Kala
"Kalian kenapa lebay banget, sih? Gue nggak papa kali!" keluh Albert yang sama sekali tidak terlihat baik-baik saja, seperti yang diucapkannya barusan.Laki-laki itu masih telungkup di atas tempat tidur, hanya mengenakan celana pendek dan singlet. Aroma tidak sedap karena sisa-sisa alkohol memenuhi kamarnya yang terang benderang karena cahaya dari lampu."Lo nggak inget semalem nelepon gue sampai nyaris dua jam? Kuping gue sampai panas denger lo ngomong sambil kumur-kumur!" cibir Ranis seraya membuka gorden dan jendela.Sementara Tabitha menyingkirkan pakaian-pakaian kotor milik Albert yang bertebaran di lantai. Memasukkannya ke dalam keranjang kotor yang ada di dekat pintu kamar mandi.Bukannya merasa bersalah, Albert malah cengengesan. "Masa, sih?""Lo bikin gue kurang tidur gara-gara nungguin Sakha nggak balik-balik tau nggak!" omel Tabitha menimpali keluhan Ranis yang diganggu malam-malam oleh curhatan Albert di telepon. "Kenapa jadi gue yang salah? Sakha yang inisiatif nemenin g