[Oktober 2021]
Rupanya, ibunya tidak main-main saat mengatakan bahwa Sakha harus mulai menjalin hubungan serius dengan wanita baru. Meski Sakha sudah menolak, ibunya tetap memaksa Sakha agar ikut wanita berusia enam puluh tahun itu untuk ikut ke rumah teman arisannya hari ini.
“Bu, aku dan Bitha bahkan belum setahun berpisah. Aku nggak mau buru-buru,” kata Sakha saat mobil yang ia setiri keluar dari area perumahan dan bergabung dengan kendaraan-kendaraan lain di jalanan kota Jakarta pagi tiu.
Ibunda Sakha itu berkali-kali mematut diri di cermin kecil yang selalu wanita itu bawa-bawa ke mana pun ia pergi.
Seraya merapikan kerudungnya, Ibu menjawab, “Cuma kenalan saja, Kha. Daripada kamu mengurung diri terus di rumah. Ibu sedih melihat anak Ibu nggak punya semangat. Ibu rindu anak Ibu yang dulu.”
“Menjodoh-jodohkan aku dengan anak teman Ibu juga nggak akan lantas membuat aku kembali menjadi seperti dulu, Bu,” balas Sakha. Laki-laki itu menambahkan dalam hati, “Kecuali aku kembali bersama Tabitha.”
“Setidaknya dicoba dulu kenalan. Kalau misal nggak cocok ya nggak apa-apa."
Sakha tersenyum kecut seraya memandangi jalanan kota Jakarta yang padat dengan kendaraan. Jika Sakha berusaha, mungkin ia sudah akan bertemu dengan wanita yang cocok dengannya. Namun, Sakha sengaja tidak melakukannya. Sakha tidak mau melakukannya.
Sebab, meski ia dan Tabitha sudah berpisah, meski hubungannya dengan Tabitha sudah berakhir setelah hakim mengetuk palu sebagai tanda resminya perceraiinnya dengan mantan istrinya, Sakha masih merasa bahwa ada sesuatu yang belum terselesaikan. Dan Sakha tidak akan ke mana-mana sebelum menyelesaikan hal yang mengganjal di dadanya.
Satu-satunya cara adalah dengan bertemu Tabitha lagi untuk menuntaskan apa pun itu yang membuat Sakha sulit melanjutkan hidup pasca bercerai. Namun, tentu saja Sakha tidak bisa begitu saja mendatangi Tabitha ke rumah mereka dulu−seluruh aset yang mereka miliki selama menikah laki-laki itu serahkan semuanya kepada Tabitha meski wanita itu sempat menolak−karena Tabitha mengajukan syarat kepada hakim bahwa wanita itu tidak mau bertemu Sakha setidaknya selama satu tahun setelah perceraian.
“Anaknya Jeng Ratih namanya Juda. Umurnya dua puluh enam. Kerja di bank kalau nggak salah,” kata Ibu. Mengabaikan ekspresi tak senang di wajah anaknya. “Anaknya cantik, baik, dan sopan. Ibu sudah beberapa kali ngobrol sama dia.”
“Tabitha juga cantik, sopan, dan baik, tapi akhirnya dia pergi juga, Bu,” batin Sakha lagi.
Ibu tidak berhenti menceritakan tentang kelebihan dan daya tarik yang dimiliki Juda, sosok yang Ibu harapkan bisa jadi pelipur lara anak semata wayangnya meski sosok yang diajak bicara tidak benar-benar mendengarkan. Setiap kata dan pujian tentang Juda yang begini begitu, selalu membawa Sakha kembali mengenang Tabitha.
Bahkan, setelah Tabitha meminta cerai, tanpa benar-benar membeberkan alasan kuat yang mendasari keputusannya itu−hanya memberikan alasan abu-abu saat meminta cerai, yang membuat Sakha bertanya-tanya hingga hari ini adalah hal paling jahat yang pernah Sakha terima−Sakha masih menganggap Tabitha adalah sosok wanita yang paling sempurna yang pernah hadir dalam hidupnya.
Tabitha tidak hanya berhati baik, tetapi sangat baik. Tabitha juga sosok istri ideal yang membuat Sakha semakin mencintai wanita itu dari hari ke hari. Sakha pun sepenuhnya sadar bahwa hingga hari ini, Sakha tidak pernah berhenti mencintai Tabitha dengan segala kelebihan dan kekurangan yang dimiliki wanita itu.
“Bu, Tante Ratih tahu kalau aku pernah menikah?” tanya Sakha saat mobil yang ia kemudikan melaju lambat karena di depan agak macet.
Ibu mengangguk.“ Waktu kamu menikah Jeng Ratih juga datang kok.”
Ibu menyentuh lengan Sakha dengan lembut dan lanjut berkata, “Pernah menikah itu bukan aib, Kha. Kamu dan Bitha juga berpisahnya baik-baik. Jadi nggak ada yang perlu Ibu tutup-tutupi.”
Mendengar Ibu menyebut nama Tabitha tanpa nada sedih membuat Sakha sadar bahwa ibunya sudah benar-benar menerima apa yang terjadi pada pernikahan anaknya dengan Tabitha.
Hampir satu tahun yang lalu, saat Sakha pulang ke rumah Ibu dengan membawa seluruh barang yang ia miliki dan berkata bahwa pernikahannya dengan Tabitha telah karam, Ibu menangis tersedu-sedu. Tidak mau percaya dengan apa yang wanita itu dengar. Ibu menentang keras perceraian itu. Bahkan, esok harinya Ibu langsung menemui Tabitha untuk mengonfirmasi apa yang Sakha katakan. Dan seperti yang telah Sakha perkirakan, setelah menemui Tabitha, Ibu pulang dengan membawa tangis yang lebih menyakitkan.
Sejak hari itu, berkali-kali Ibu menangis dan memohon kepada Sakha agar tidak berpisah dengan Tabitha. Ibu baru menyerah saat Sakha berkata bahwa Tabitha tidak bahagia dalam pernikahan mereka dan perceraian itu adalah pilihan yang Sakha ambil agar Tabitha bahagia.
Sakha tidak ingin menjadi egois dengan menahan Tabitha di sisinya. Yang mana sebenarnya itu adalah kebohongan belaka. Karena Sakha menginginkan Tabitha bahagia bersamanya. Bukan dengan orang lain. Jika seandainya bisa, Sakha ingin egois dan menahan Tabitha agar tidak pergi. Sayangnya, ia tidak bisa. Sekeras apa pun ia menahan Tabitha, wanita itu pada akhirnya tetap pergi juga.
Sakha tersenyum pahit.
Ia tahu jika Ibu sangat menyayangkan perceraiannya dengan Tabitha. Namun, ibunya juga menyadari bahwa tidak ada yang bisa wanita itu lakukan selain berusaha untuk ikhlas dan menerima. Sementara Sakha sendiri masih belum bisa melangkah ke tahap itu.
“Anak Tante Ratih pernah menikah juga?” tanya Sakha kemudian.
Kali ini Ibu menggeleng.
Sakha menatap Ibu sekilas sebelum kembali fokus pada jalanan yang padat pagi itu.
“Dan Tante Ratih nggak keberatan kalau anaknya dijodohkan dengan laki-laki yang pernah menikah?”
“Memangnya apa yang salah dengan laki-laki yang pernah menikah?”
Sakha mendesah.
“Normalnya orang-orang akan menghindari berhubungan dengan orang yang pernah gagal.”
“Setiap orang pasti pernah mengalami kegagalan dalam hidup. Itu nggak lantas membuat hal-hal baik dalam diri kita hilang, Kha. Pernah gagal jangan kamu jadikan sebagai alasan untuk merendahkan diri sendiri. Ibu nggak suka kamu begitu.”
Sakha masih ingin membantah dan mengatakan bahwa tidak semua orang berpikiran seperti Ibu, tetapi urung ia lakukan. Ia sedang tidak ingin mendebat ibunya. Karena ia pasti akan kalah. Tidak hanya dengan Tabitha, saat berdebat dengan Ibu, Sakha tidak pernah menang.
Semesta tampaknya belum berkenan melancarkan keinginan Ibu Sakha dengan mudah. Sebab, saat sudah setengah perjalanan menuju rumah Tante Ratih, tiba-tiba Ibu mendapat telepon dari sepupu Sakha yang mengabari kalau Om Tirta, adik kandung Ibu yang tinggal di Bandung baru saja mengalami kecelakaan saat sedang dalam perjalanan menuju Jakarta. Om Tirta dilarikan ke rumah sakit yang rupanya lokasinya paling dekat dengan posisi Ibu dan Sakha saat ini. Maka, Sakha langsung melajukan mobilnya ke rumah sakit.
.
***
.
Karena kecelakaan yang dialami Om Tirta ternyata cukup parah dan harus mendapatkan tindakan medis yang beragam, Om Tirta akhirnya dirujuk ke rumah sakit yang memiliki fasilitas terlengkap dan terbaik di Jakarta. Sehingga selama tiga minggu, Ibu dan istri Om Tirta bergantian berjaga di rumah sakit.
Namun, meski sibuk pulang pergi ke rumah sakit, Ibu masih belum melupakan niatnya untuk menjodohkan Sakha dengan anak teman arisannya. Padahal, Sakha sudah mengira bahwa perjodohan itu batal. Ternyata sama sekali tidak. Pagi tadi, setelah sarapan Ibu tiba-tiba berkata bahwa wanita itu dan Tante Ratih sudah menentukan waktu dan tempat untuk kencan pertama anak mereka.
“Ibu masih sempat mikir itu? Nanti saja, Bu, kalau kondisi Om Tirta sudah lebih baik−”
“Kondisi Om Tirta nggak ada sangkut pautnya dengan urusan jodohmu,” Ibu langsung memotong ucapan Sakha.
“Jodoh itu urusan Tuhan denganku, Ibu. Aku nggak mau melakukan sesuatu dengan terpaksa. Karena sesuatu yang dipaksakan nggak akan berakhir dengan baik, Bu,” balas Sakha dengan sabar.
“Apa Ibu memaksa kamu untuk menikah sekarang juga?” Ibu membalas dengan nada yang membuat Sakha bungkam.
“Ibu cuma mau kamu membuka hati. Ibu mau kamu nggak menutup diri lagi. Ibu nggak suka melihat anak Ibu terus menerus terkungkung dalam masa lalu. Kalau kamu menolak Ibu kenalkan dengan Juda, Ibu juga nggak masalah. Tapi Ibu mau kamu mulai membuka diri.”
Perkataan Ibu yang dilontarkan dengan nada sedih itu membuat perasaan Sakha terpilin. Sakha sadar jika selama ini Ibu selalu menunggu dirinya untuk bangkit dan kembali melanjutkan hidup. Ibu nyaris tidak pernah menyinggung soal perceraian Sakha dengan Tabitha karena ingin menjaga perasaan anaknya.
Sakha sangat menghargai apa yang ibunya lakukan. Karena memang tidak mudah bangkit setelah dunianya diruntuhkan begitu saja oleh orang yang ia cintai. Hingga hari ini, Sakha terkadang masih suka menyangkal, bahwa apa yang pernah ia miliki dengan Tabitha tidak benar-benar hilang. Bahwa kisahnya dengan Tabitha masih belum berakhir. Bahwa suatu hari nanti, ia dan Tabitha bisa kembali merajut kisah bersama.
“Sakha,” Ibu menatap anak semata wayangnya dengan tatapan sayang, “Ibu cuma mau kamu bahagia, Nak.”
Sakha tersenyum getir. Laki-laki itu bisa melihat dari pancaran mata ibunya bahwa wanita itu benar-benar mengharapkan anaknya bahagia. Bahwa tidak ada hal lain yang diinginkan wanita itu selain kebahagiaan anaknya. Sehingga Sakha tidak mungkin membuat Ibu kecewa dengan menolak apa yang diinginkan ibunya. Jika dengan bertemu Juda bisa membuat Ibu tidak terus menerus mengkhawatirkan kebahagiaannya, maka itu yang akan Sakha lakukan.
.
.
to be continued
[Oktober 2021] Juda adalah teman mengobrol yang menyenangkan. Itu adalah kesan pertama yang Sakha dapatkan setelah satu jam mengobrol dengan wanita itu. Mereka berdua bekerja di bidang yang berbeda. Sakha adalah fotografer profesional yang bekerja di NatGeo, sementara Juda adalah seorang akuntan yang bekerja di sebuah rumah sakit ternama di Jakarta. Namun, obrolan di antara mereka bisa mengalir lancar. Sakha bahkan tertawa beberapa kali−selama setahun terakhir Sakha nyaris lupa caranya tersenyum dan tertawa lepas−karena lelucon yang dibuat oleh Juda. Bahkan saat Juda mengucapkan kata-kata sarkas pun Sakha bisa terhibur. Selama mengobrol sama sekali tidak ada pembahasan tentang ke mana arah hubungan mereka ke depannya, sebab sejak mereka berkenalan di awal Juda menegaskan bahwa pertemuan itu murni karena permintaan orang tua. Sakha pun tidak mempermasalahkan itu karena ia pun tidak menaruh ekspektasi tinggi pada pertemuannya dengan wanita yang dijodohkan dengannya itu. Juda baru mula
[Maret 2022] Tabitha menatap dua tanaman kaktus yang ia beri nama Kha dan Bee dengan tatapan kosong. Meski kaktus-kaktus itu mengingatkannya pada Sakha−mantan suami Tabitha yang menghadiahkan tanaman itu saat anniversary pernikahan mereka yang kedua−dan selalu menyebabkan rasa sakit di dada, Tabitha tak tega membuang dua tanaman yang masih tumbuh dengan subur itu. Sehingga sampai hari ini, kedua tanaman itu masih Tabitha rawat dengan sepenuh hati meski harus menahan rasa sakit setiap kali bayangan tentang Sakha terlintas di kepalanya. Pernah suatu hari Tabitha menyerahkan dua kaktus itu kepada ibunya untuk dirawat di rumah−beberapa minggu setelah resmi bercerai dari Sakha. Namun, selang dua minggu, mendadak ibunya mengabari jika kaktus-kaktus Tabitha nyaris mati. Tabitha langsung datang ke rumah ibunya untuk mengambil kembali dua kaktus itu−Tabitha bawa ke tempat kerjanya−dan ajaibnya mereka bisa kembali tumbuh dengan baik setelah satu bulan Tabitha mati-matian merawatnya. Kejadian
Tabitha tersenyum miris. Bukannya memakan bekal yang ia bawa dari rumah, Tabitha malah meraih ponselnya yang sejak tadi tergeletak di meja kerjanya dan membuka salah satu akun sosial medianya. Selama ini, Tabitha hanya memanfaatkan sosial media untuk mengikuti trend terkini yang berhubungan dengan pekerjaannya di bidang kreatif itu. Namun, dalam beberapa minggu terakhir ini Tabitha mendadak semakin sering membuka second account yang sengaja ia buat untuk kepentingan pribadi. Hal itu bermula sejak Tabitha tak sengaja melihat mantan suaminya mengunggah sebuah foto di suatu tempat yang ingin wanita itu datangi tetapi belum kesampaian. Sakha mengunggah foto pemandangan kota Yunani ketika senja. Saat matahari sudah nyaris tenggelam sepenuhnya di peraduan. Foto yang diunggah Sakha itu tidak bisa Tabitha abaikan begitu saja. Sebab, caption di unggahan itu langsung menarik perhatian Tabitha. Sakha menuliskan sepenggal lirik lagu milik Secondhand Serenade yang berjudul Your Call. . 🎵And I’
[April 2022]Sakha menatap nanar cincin kawinnya dengan Tabitha yang masih ia simpan meski sudah bercerai dari wanita itu selama setahun. Cincin itu yang dulunya menghuni jari manis Sakha. Tidak pernah laki-laki itu lepaskan, karena itu adalah salah satu bukti−selain buku nikah−bahwa ia telah mengikatkan diri pada sebuah ikatan sakral bernama pernikahan dengan wanita yang ia cintai.Setelah bercerai, Sakha masih mengenakan cincin itu selama lebih dari satu bulan. Sakha baru melepaskan cincin itu saat beberapa kali Ibu menegurnya. Bahkan Ibu menyuruh Sakha agar menjual cincin itu saja, tetapi Sakha tidak melakukannya. Sakha menyimpan cincin kawin itu di sudut lemari yang paling jauh agar tidak tergelitik untuk mengenakannya lagi.Hari ini adalah hari spesial.Sangat spesial bagi Sakha jika saja pernikahannya dengan Tabitha tidak kandas di tengah jalan. Tepat di hari ini, Sakha resmi menjadikan Tabitha sebagai kekasihnya, delapan tahun yang lalu. Dan juga lima tahun lalu, Sakha meminang
“Ini udah setahun, kan?” tanya Albert yang menyandarkan tubuh di sofa dengan tubuh sedikit melorot.Kaki Albert terjulur lurus di lantai yang berlapis karpet. Laki-laki itu terlalu kekenyangan setelah menyantap berbagai menu makanan cepat saja yang tadi ia dan Alex bawa saat Sakha meminta mereka untuk datang.Meski Alex tadi bercanda soal ajakannya untuk merayakan kegalauan Sakha, Albert menganggapnya serius. Laki-laki itu mengajak Alex membeli banyak makanan dan berkaleng-kaleng soda. Saat tiba di rumah Sakha, Albert bahkan begitu saja mengatakan bahwa laki-laki itu tahu kalau hari ini adalah hari anniversary pernikahan Sakha dan Tabitha.Kata Albert, daripada hanya bersedih sendirian dan mengurung diri di kamar, akan lebih baik jika merayakan kemuramannya bersama sahabat-sahabatnya yang selalu bersabar menghadapi bagaimana merananya Sakha pada tanggal-tanggal pentingnya bersama Tabitha. Sakha sempat mengumpati Albert karena tak berhenti mengejeknya, tetapi tak urung laki-laki itu be
Rasanya seperti sudah setahun lamanya Sakha tidak menginjakkan kaki di kantor pusat NatGeo. Tetapi, nyatanya Sakha memang jarang ke kantor bahkan nyaris tidak pernah, kecuali saat diminta untuk datang menghadiri meeting penting atau dipanggil oleh Bos Besar. Sebab, pekerjaannya menuntut laki-laki itu untuk lebih sering berada di luar ruangan. Sehari-harinya bersinggungan dengan sinar matahari.Hari ini, Sakha datang ke kantor karena pagi-pagi sekali tadi sudah dihubungi sekretaris bosnya untuk membahas sesuatu yang penting. Sakha mau tidak mau menyeret kakinya ke kantor dengan malas-malasan. Masih dengan mata mengantuk, Sakha masuk ke dalam lift yang akan mengantarkan laki-laki itu menuju lantai 5.Ada beberapa wajah familiar yang Sakha kenali saat keluar dari lift dan melewati bilik-bilik ruang kerja yang sebagian besar kosong. Sakha juga punya satu bilik di sana, tetapi nyaris tidak pernah Sakha singgahi karena terlalu sibuk bekerja di lapangan. Sakha menyapa mereka singkat dan lang
Sakha butuh waktu untuk memproses informasi yang diserapnya pagi ini, saat matanya bahkan masih terasa berat karena kurang tidur. Saat selesai mengedit foto subuh tadi, Sakha hanya berencana untuk hunting foto sebentar, lalu menghabiskan waktunya untuk tidur. Menghimpun energi yang telah terkuras karena beberapa hari terakhir ia sibuk ke sana kemari untuk memotret. Berangkat pagi buta dan pulang tengah malam. Bahkan sempat tidak pulang selama dua hari hanya untuk mendapatkan satu dua lembar foto yang sempurna dari angle yang berbeda. “Kira-kira berapa lama proyek ini berlangsung?” Sakha memecah keheningan. Pramudya yang sudah sibuk dengan tablet di tangannya itu mendongak. “Bisa sebulan atau dua bulan. Tergantung kalian bisa kerja cepat atau tidak. Targetnya maksimal enam bulan harus sudah selesai.” Kerja cepat yang dimaksud Pramudya bukan hanya menyelesaikan tugas yang diberikan dengan hasil seadanya. Tetapi harus SEMPURNA. Setidaknya itu yang menjadi pegangan Sakha dalam menggel
Karena masih belum tahu seberapa lama waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan proyek barunya bersama gabungan tim dari berbagai cabang NatGeo di dunia, Sakha bingung harus mengepak apa saja. Sakha juga belum tahu negara mana saja yang harus didatangi. Sehingga ia tidak punya referensi pakaian yang cocok untuk dibawa. Yang membuat Sakha sejak tadi hanya berdiri di depan lemari dengan dua pintu yang terbuka lebar adalah kenangan sialan yang dengan lancang mampir ke otaknya.Sakha sudah lama sekali tak bepergian jauh. Setiap kali harus ke luar kota atau ke luar negeri, ada Tabitha yang membantu mengepak pakaian dan barang-barang yang ia perlukan. Tabitha selalu tahu apa yang Sakha butuhkan. Sakha nyaris tidak pernah protes karena Tabitha mengepak dengan rapi dan ajaibnya, kopernya muat menampung banyak. Sekarang, Tabitha sudah tidak ada dalam hidupnya. Itu artinya Sakha harus mengepak keperluannya seorang sendiri.Sakha pun menurunkan beberapa pakaian yang sudah terlipat rapi di lemari