Share

BAB 5. (Still) Not Over You

[Oktober 2021]

Rupanya, ibunya tidak main-main saat mengatakan bahwa Sakha harus mulai menjalin hubungan serius dengan wanita baru. Meski Sakha sudah menolak, ibunya tetap memaksa Sakha agar ikut wanita berusia enam puluh tahun itu untuk ikut ke rumah teman arisannya hari ini.

“Bu, aku dan Bitha bahkan belum setahun berpisah. Aku nggak mau buru-buru,” kata Sakha saat mobil yang ia setiri keluar dari area perumahan dan bergabung dengan kendaraan-kendaraan lain di jalanan kota Jakarta pagi tiu.

Ibunda Sakha itu berkali-kali mematut diri di cermin kecil yang selalu wanita itu bawa-bawa ke mana pun ia pergi.

Seraya merapikan kerudungnya, Ibu menjawab, “Cuma kenalan saja, Kha. Daripada kamu mengurung diri terus di rumah. Ibu sedih melihat anak Ibu nggak punya semangat. Ibu rindu anak Ibu yang dulu.”

“Menjodoh-jodohkan aku dengan anak teman Ibu juga nggak akan lantas membuat aku kembali menjadi seperti dulu, Bu,” balas Sakha. Laki-laki itu menambahkan dalam hati, “Kecuali aku kembali bersama Tabitha.”

“Setidaknya dicoba dulu kenalan. Kalau misal nggak cocok ya nggak apa-apa."

Sakha tersenyum kecut seraya memandangi jalanan kota Jakarta yang padat dengan kendaraan. Jika Sakha berusaha, mungkin ia sudah akan bertemu dengan wanita yang cocok dengannya. Namun, Sakha sengaja tidak melakukannya. Sakha tidak mau melakukannya.

Sebab, meski ia dan Tabitha sudah berpisah, meski hubungannya dengan Tabitha sudah berakhir setelah hakim mengetuk palu sebagai tanda resminya perceraiinnya dengan mantan istrinya, Sakha masih merasa bahwa ada sesuatu yang belum terselesaikan. Dan Sakha tidak akan ke mana-mana sebelum menyelesaikan hal yang mengganjal di dadanya.

Satu-satunya cara adalah dengan bertemu Tabitha lagi untuk menuntaskan apa pun itu yang membuat Sakha sulit melanjutkan hidup pasca bercerai. Namun, tentu saja Sakha tidak bisa begitu saja mendatangi Tabitha ke rumah mereka dulu−seluruh aset yang mereka miliki selama menikah laki-laki itu serahkan semuanya kepada Tabitha meski wanita itu sempat menolak−karena Tabitha mengajukan syarat kepada hakim bahwa wanita itu tidak mau bertemu Sakha setidaknya selama satu tahun setelah perceraian.

“Anaknya Jeng Ratih namanya Juda. Umurnya dua puluh enam. Kerja di bank kalau nggak salah,” kata Ibu. Mengabaikan ekspresi tak senang di wajah anaknya. “Anaknya cantik, baik, dan sopan. Ibu sudah beberapa kali ngobrol sama dia.”

Tabitha juga cantik, sopan, dan baik, tapi akhirnya dia pergi juga, Bu,” batin Sakha lagi.

Ibu tidak berhenti menceritakan tentang kelebihan dan daya tarik yang dimiliki Juda, sosok yang Ibu harapkan bisa jadi pelipur lara anak semata wayangnya meski sosok yang diajak bicara tidak benar-benar mendengarkan. Setiap kata dan pujian tentang Juda yang begini begitu, selalu membawa Sakha kembali mengenang Tabitha.

Bahkan, setelah Tabitha meminta cerai, tanpa benar-benar membeberkan alasan kuat yang mendasari keputusannya itu−hanya memberikan alasan abu-abu saat meminta cerai, yang membuat Sakha bertanya-tanya hingga hari ini adalah hal paling jahat yang pernah Sakha terima−Sakha masih menganggap Tabitha adalah sosok wanita yang paling sempurna yang pernah hadir dalam hidupnya.

Tabitha tidak hanya berhati baik, tetapi sangat baik. Tabitha juga sosok istri ideal yang membuat Sakha semakin mencintai wanita itu dari hari ke hari. Sakha pun sepenuhnya sadar bahwa hingga hari ini, Sakha tidak pernah berhenti mencintai Tabitha dengan segala kelebihan dan kekurangan yang dimiliki wanita itu.

“Bu, Tante Ratih tahu kalau aku pernah menikah?” tanya Sakha saat mobil yang ia kemudikan melaju lambat karena di depan agak macet.

Ibu mengangguk.“ Waktu kamu menikah Jeng Ratih juga datang kok.”

Ibu menyentuh lengan Sakha dengan lembut dan lanjut berkata, “Pernah menikah itu bukan aib, Kha. Kamu dan Bitha juga berpisahnya baik-baik. Jadi nggak ada yang perlu Ibu tutup-tutupi.”

Mendengar Ibu menyebut nama Tabitha tanpa nada sedih membuat Sakha sadar bahwa ibunya sudah benar-benar menerima apa yang terjadi pada pernikahan anaknya dengan Tabitha.

Hampir satu tahun yang lalu, saat Sakha pulang ke rumah Ibu dengan membawa seluruh barang yang ia miliki dan berkata bahwa pernikahannya dengan Tabitha telah karam, Ibu menangis tersedu-sedu. Tidak mau percaya dengan apa yang wanita itu dengar. Ibu menentang keras perceraian itu. Bahkan, esok harinya Ibu langsung menemui Tabitha untuk mengonfirmasi apa yang Sakha katakan. Dan seperti yang telah Sakha perkirakan, setelah menemui Tabitha, Ibu pulang dengan membawa tangis yang lebih menyakitkan.

Sejak hari itu, berkali-kali Ibu menangis dan memohon kepada Sakha agar tidak berpisah dengan Tabitha. Ibu baru menyerah saat Sakha berkata bahwa Tabitha tidak bahagia dalam pernikahan mereka dan perceraian itu adalah pilihan yang Sakha ambil agar Tabitha bahagia.

Sakha tidak ingin menjadi egois dengan menahan Tabitha di sisinya. Yang mana sebenarnya itu adalah kebohongan belaka. Karena Sakha menginginkan Tabitha bahagia bersamanya. Bukan dengan orang lain. Jika seandainya bisa, Sakha ingin egois dan menahan Tabitha agar tidak pergi. Sayangnya, ia tidak bisa. Sekeras apa pun ia menahan Tabitha, wanita itu pada akhirnya tetap pergi juga.

Sakha tersenyum pahit.

Ia tahu jika Ibu sangat menyayangkan perceraiannya dengan Tabitha. Namun, ibunya juga menyadari bahwa tidak ada yang bisa wanita itu lakukan selain berusaha untuk ikhlas dan menerima. Sementara Sakha sendiri masih belum bisa melangkah ke tahap itu.

“Anak Tante Ratih pernah menikah juga?” tanya Sakha kemudian.

Kali ini Ibu menggeleng.

Sakha menatap Ibu sekilas sebelum kembali fokus pada jalanan yang padat pagi itu.

“Dan Tante Ratih nggak keberatan kalau anaknya dijodohkan dengan laki-laki yang pernah menikah?”

“Memangnya apa yang salah dengan laki-laki yang pernah menikah?”

Sakha mendesah.

“Normalnya orang-orang akan menghindari berhubungan dengan orang yang pernah gagal.”

“Setiap orang pasti pernah mengalami kegagalan dalam hidup. Itu nggak lantas membuat hal-hal baik dalam diri kita hilang, Kha. Pernah gagal jangan kamu jadikan sebagai alasan untuk merendahkan diri sendiri. Ibu nggak suka kamu begitu.”

Sakha masih ingin membantah dan mengatakan bahwa tidak semua orang berpikiran seperti Ibu, tetapi urung ia lakukan. Ia sedang tidak ingin mendebat ibunya. Karena ia pasti akan kalah. Tidak hanya dengan Tabitha, saat berdebat dengan Ibu, Sakha tidak pernah menang.

Semesta tampaknya belum berkenan melancarkan keinginan Ibu Sakha dengan mudah. Sebab, saat sudah setengah perjalanan menuju rumah Tante Ratih, tiba-tiba Ibu mendapat telepon dari sepupu Sakha yang mengabari kalau Om Tirta, adik kandung Ibu yang tinggal di Bandung baru saja mengalami kecelakaan saat sedang dalam perjalanan menuju Jakarta. Om Tirta dilarikan ke rumah sakit yang rupanya lokasinya paling dekat dengan posisi Ibu dan Sakha saat ini. Maka, Sakha langsung melajukan mobilnya ke rumah sakit.

.

***

.

Karena kecelakaan yang dialami Om Tirta ternyata cukup parah dan harus mendapatkan tindakan medis yang beragam, Om Tirta akhirnya dirujuk ke rumah sakit yang memiliki fasilitas terlengkap dan terbaik di Jakarta. Sehingga selama tiga minggu, Ibu dan istri Om Tirta bergantian berjaga di rumah sakit.

Namun, meski sibuk pulang pergi ke rumah sakit, Ibu masih belum melupakan niatnya untuk menjodohkan Sakha dengan anak teman arisannya. Padahal, Sakha sudah mengira bahwa perjodohan itu batal. Ternyata sama sekali tidak. Pagi tadi, setelah sarapan Ibu tiba-tiba berkata bahwa wanita itu dan Tante Ratih sudah menentukan waktu dan tempat untuk kencan pertama anak mereka.

“Ibu masih sempat mikir itu? Nanti saja, Bu, kalau kondisi Om Tirta sudah lebih baik−”

“Kondisi Om Tirta nggak ada sangkut pautnya dengan urusan jodohmu,” Ibu langsung memotong ucapan Sakha.

“Jodoh itu urusan Tuhan denganku, Ibu. Aku nggak mau melakukan sesuatu dengan terpaksa. Karena sesuatu yang dipaksakan nggak akan berakhir dengan baik, Bu,” balas Sakha dengan sabar.

“Apa Ibu memaksa kamu untuk menikah sekarang juga?” Ibu membalas dengan nada yang membuat Sakha bungkam.

“Ibu cuma mau kamu membuka hati. Ibu mau kamu nggak menutup diri lagi. Ibu nggak suka melihat anak Ibu terus menerus terkungkung dalam masa lalu. Kalau kamu menolak Ibu kenalkan dengan Juda, Ibu juga nggak masalah. Tapi Ibu mau kamu mulai membuka diri.”

Perkataan Ibu yang dilontarkan dengan nada sedih itu membuat perasaan Sakha terpilin. Sakha sadar jika selama ini Ibu selalu menunggu dirinya untuk bangkit dan kembali melanjutkan hidup. Ibu nyaris tidak pernah menyinggung soal perceraian Sakha dengan Tabitha karena ingin menjaga perasaan anaknya.

Sakha sangat menghargai apa yang ibunya lakukan. Karena memang tidak mudah bangkit setelah dunianya diruntuhkan begitu saja oleh orang yang ia cintai. Hingga hari ini, Sakha terkadang masih suka menyangkal, bahwa apa yang pernah ia miliki dengan Tabitha tidak benar-benar hilang. Bahwa kisahnya dengan Tabitha masih belum berakhir. Bahwa suatu hari nanti, ia dan Tabitha bisa kembali merajut kisah bersama.

“Sakha,” Ibu menatap anak semata wayangnya dengan tatapan sayang, “Ibu cuma mau kamu bahagia, Nak.”

Sakha tersenyum getir. Laki-laki itu bisa melihat dari pancaran mata ibunya bahwa wanita itu benar-benar mengharapkan anaknya bahagia. Bahwa tidak ada hal lain yang diinginkan wanita itu selain kebahagiaan anaknya. Sehingga Sakha tidak mungkin membuat Ibu kecewa dengan menolak apa yang diinginkan ibunya. Jika dengan bertemu Juda bisa membuat Ibu tidak terus menerus mengkhawatirkan kebahagiaannya, maka itu yang akan Sakha lakukan.

.

.

to be continued 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status