Benar yang dikatakan oleh papanya. Cepat atau lambat Amanda bakalan menjadi istri Radit. Mau diundur berapa lama pun toh tetap pada akhirnya mereka akan menikah juga.
Tak banyak yang harus dipersiapkan mengingat di rumah mewah milik Tuan Yuda suasana masih berkabung. Sore tadi pria paruh baya tersebut bernapas lega lantaran sudah diperbolehkan pulang oleh sang dokter. Jadilah malam ini semua sanak keluarga dikumpulkan untuk memberitahu berita penting yang akan berlangsung esok harinya.
“Bagus itu, Yud. Kami dukung kalau Radit jadinya naik ranjang,” celetuk salah satu dari keluarga besar yang ada di ruang tengah rumah tersebut.
“Iya. Ayra enggak akan kehilangan kasih sayang karena langsung diurus sama budenya.”
Dan masih banyak lagi dukungan yang diterima oleh Tuan Yuda. Membuat papa Amanda menjadi semakin percaya diri untuk memantapkan rencana. Sementara dua orang calon mempelai pengantin tengah berdiskusi di taman belakang. Sengaja memilih tempat yang agak sepi agar pembicaraan mereka tidak kedengaran yang lain.
“Ingat ya, Radit. Status kita hanya berlaku di atas kertas. Jangan pernah berharap lebih,” ucap Amanda memperingati mantan adik ipar sekaligus calon suaminya itu. “Aku melakukan ini cuma untuk menyenangkan papa. Dan setelahnya aku akan cari cara untuk bercerai. Titik.”
“Aku tahu,” sahut Radit cepat.
“Setelah menikah aku tidak mau terlibat dalam hal yang berkaitan dengan dirimu. Semua hanya untuk Ayra,” tandas Amanda yang membuat Radit lagi-lagi hanya mengiyakan.
Amanda hendak mengeluarkan ancamannya lagi. Namun, urung lantaran mendengar derap langkah dari arah belakang. Dia pun kembali membungkam mulutnya.
“Ngomongin apa sih? Lagi pendekatan ya?” tanya wanita paruh baya yang merupakan sepupu papanya.
“Enggak kok,” elak Amanda memaksakan senyumnya. “Cuma mau bahas point penting aja.”
“Iya juga enggak pa-pa. Lagian sebentar lagi sudah mau jadi suami istri.” Tantenya itu terkekeh pelan. “Ingat ya Nak Radit. Bedakan Dinda dengan Manda walaupun mereka kakak beradik. Kau juga, Manda. Jadilah istri yang baik dan ibu untuk Ayra.”
Nasihat barusan hanya dibalas Amanda dengan gumaman singkat. Sungguh dia merasa tersiksa karena pernikahan ini semakin menambah beban untuk kehidupannya. Ah.
***
Tidak seperti calon pengantin pada umumnya. Baik Amanda maupun Radit sama sekali jelas tak menunjukkan rasa bahagia yang terpancar dari wajah mereka.
Kesedihan kembali menyapa hati ketika Amanda mendongak dan melihat figura berisi foto dirinya dan Dinda. Dia merasa seperti mengkhianati sang adik karena menikahi pria yang sama.
“Cantik,” puji seorang penata rias yang baru saja menyudahi gerakan tangannya untuk memperindah penampilan Amanda. “Gimana, Kak? Ada yang kurang menurut Kakak?”
Wanita berkebaya putih gading itu menggeleng lemah. “Mau penampilan gimana pun tetap aja nasibnya sama.”
“Maaf, Kak. Saya hanya … bekerja.”
“Enggak pa-pa juga kok.” Amanda tersenyum tipis.
“Saya hanya bisa mendo’akan semoga Kakak bahagia. Banyak juga kok kasus turun atau naik ranjang yang endingnya baik-baik aja.”
Pernyataan barusan tak digubris oleh Amanda. Dia memilih menatap gawainya yang sejak tadi malam sepi. Buliran bening kini tidak lagi bisa dibendung usai melihat wajah sang kekasih di seberang sana.
“Mbak boleh pergi. Aku pengen sendiri,” kata Amanda memberi kode agar penata rias tersebut meninggalkannya di kamar.
“Baik, Kak. Saya permisi.”
“Andre!!” Amanda berusaha mati-matian meredam tangisnya saat melihat nama sang pemanggil di layar ponsel itu.
[“Sayang, kamu baik-baik aja ‘kan? Sorry aku belum bisa ke Medan buat temuin papa kamu lagi. Lagian rasanya enggak enak aja ngasih tahu rencana pernikahan kita. Rumah kamu masih dalam keadaan berduka.”]
“Hu um.”
[“Hei? Are you okay?”]
“I-iya. Udah dulu ya.”
KLIK!
Tepat saat Amanda menyudahi panggilan tadi, wajah Radit tampak di ambang pintu. Entah sejak kapan pria itu ada di sana.
“Apa?” Amanda memandangnya tanpa merasa bersalah sama sekali. Toh sebelumnya dia sudah mengingatkan kalau hubungan mereka tidak berarti apapun baginya.
“Aku belum sempat tanya mahar Kakak. Maaf,” jawab Radit kemudian.
Amanda malah tergelak mendengarnya. Menganggap pernyataan barusan bagai lelucon saja. “Terserah aja. Aku enggak peduli.”
Radit mengangguk pelan. Lantas berbalik badan meninggalkan wanita yang akan menjadi istrinya tersebut.
Saat yang dinantikan tiba. Lebih tepatnya hanya bagi Tuan Yuda yang sangat mengharapkan pernikahan Amanda dan Radit terjadi. Namun, bagi keduanya menjadi gerbang awal menuju penderitaan.
Dengan sekali pengucapan ijab kabul saja kini mereka sudah sah menjadi pasangan suami istri. Ucapan do’a dan selamat diberikan untuk keduanya. Berharap langgeng sampai maut memisahkan.
“Manda!” panggil Tuan Yuda dengan suara tegas namun pelan. Putri cantiknya itu pun menoleh. “Salim ke Radit! Kenapa malah bengong?”
Amanda langsung tergagap dan menoleh Radit yang kini berada tepat di hadapannya. Dia pun terpaksa mengulurkan tangan pada sang suami. Menempelkan dahi pada punggung tangan pria yang berusia jauh di bawahnya tersebut.
Sementara Radit? Pria yang hanya menyandang status duda lebih dari seminggu itu mendaratkan bibirnya di puncak kepala Amanda.
CKREK! CKREK!
Tangkapan kamera pun tertuju pada mereka berdua. Sekarang status yang tadinya sebagai ipar telah resmi berubah menjadi pasangan suami istri dalam sejekap.
Tidak ada perayaan mewah seperti pernikahan pada umumnya. Semua tamu yang diundang pun hanya keluarga dekat dan tetangga di sekitaran rumah saja. Yang terpenting mereka tahu kalau sekarang Radit telah naik ranjang.
“Oh ya. Ayra mana?” tanya Tuan Yuda pada istrinya.
“Sebentar ya. Tadi sih tidur. Mama lihatin ke dalam dulu ya, Pa.”
Mama Tiara pun segera menepi. Tak lama kemudian dia kembali dengan seorang bayi perempuan mungil yang ada di gendongannya.
“Mulai sekarang kau bukan budenya Ayra lagi ya, tetapi sudah jadi mamanya.”
Amanda hanya menggubris pernyataan tersebut dengan lirikan pada si kecil Ayra yang masih bisa merespon dengan tangisan saja. Bagaimana tidak, usianya masih satu bulan. Tentu sangat belia dan bahkan tidak akan mengingat siapa ibu kandungnya.
Wajah sang keponakan yang sekarang menjadi anak sambungnya itu mengingatkan Amanda pada Dinda. Seketika air matanya tak lagi dapat dibendung.
“Ayra,” lirihnya yang kemudian menyentuh tangan mungil tersebut.
Hatinya langsung menghangat saat merasakan genggaman erat dari si kecil Ayra. Bayi mungil itu memandangnya dalam waktu yang cukup lama.
“Ini Mama Amanda, Ayra. Kau sekarang sudah punya mama lagi.” Mama Tiara tersenyum sembari menatap Amanda yang tengah disibukkan dengan pikirannya sendiri. “Mama yang jagain Ayra sampai besok ya. Kau dan Radit pasti capek seharian ini.”
Ah ya ampun. Amanda baru sadar kalau nanti adalah malam pertama mereka. Tidak. Radit tidak akan meminta hal aneh mengingat mereka sudah membuat kesepakatan sebelumnya bukan?
Suara pintu yang diketuk dari luar membuat Amanda menghentikan kegiatannya yang sedang mengeringkan rambut. Gadis itu bergegas menuju ambang pintu dan mendapati Radit yang sudah berdiri tegak di sana.
“Dinda?”
Pupil Amanda langsung melebar usai mendengarkan panggilan barusan.
“Kau mabuk ya?” Amanda melangkah mundur saat tubuh pria yang menjadi suaminya justru semakin bergerak maju. Beruntung tadi dia sempat mengunci pintu. Kalau tidak pastilah ada saja orang iseng yang masuk atau mengintip kamar mereka nanti. Apalagi di luar sana masih ada beberapa sanak saudara yang menginap di rumah ini.“Dinda.”“Aku Manda!!” Suara itu membuat Radit menggeleng lemah. Terlebih saat mengerjap pelan dan menemukan wajah yang tadi sempat ia lihat adalah mendiang istrinya.“Maaf,” ucapnya dengan nada menyesal. “Aku tadi —”“Cepat ganti bajumu! Aku tidak suka bau itu,” ketus Amanda seraya menghalau tangannya agar Radit segera enyah dari hadapannya. Percayalah. Ada setitik rasa sakit yang mencubit ulu hatinya. Amanda terkekeh pelan. Menertawakan diri sendiri yang masih tak menyangka jika dia dan Radit sudah resmi menjadi pasangan suami istri.“Mbak?”Amanda buru-buru menghapus rasa kecewa di dalam hatinya lalu berkata, “Kau
CIIT!!Radit memilih menepikan mobil yang ia kendarai tepat di rest area yang berada di ruas kanan jalan tol. Tak ingin situasi tadi berubah semakin memanas. Terbukti saat ini kedua wanita yang saling menatap sengit tersebut lekas memutuskan kontak mata mereka."Istirahat sebentar ya. Aku mau ngopi. Mungkin Ibu dan Mbak Manda mau ke toilet juga."Ibunya mengangguk cepat. "Sekalian ibu nitip teh anget ya, Dit.""Baik, Bu."Usai mengatakan titah barusan wanita paruh baya tadi lekas meninggalkan mobil. Tak pedulikan Amanda yang masih membungkam mulut. Radit pun berinisiatif untuk turun dan membukakan pintu untuknya—wanita yang bahkan belum ada hitungan 24 jam menjadi istrinya itu."Maaf ya, Mbak.""Enggak usah minta maaf. Lama-lama kupingku panas dengerin kau ngomong hal yang sama terus," dengkus Amanda dengan wajah masamnya."Iya iya. Sabar aja ya, Mbak. Ibu memang suka ketus. Sebenarnya dia baik kok. Buktinya bisa luluh sama Dinda."Amanda hanya memutar malas bola matanya. Sama sekali
Anggukan kepala Radit yang tampak mantap membuat semua pengunjung di warung sana terdiam seketika. Setelahnya memandang Amanda dengan tatapan tak percaya.“Kenapa? Ada yang salah?” tanya Radit kemudian. “Tidak ada peraturan yang mengatakan kalau pria yang ditinggal mati istrinya butuh waktu untuk menikah lagi ‘kan?” Sontak mereka menggeleng kompak. Radit pun mengulum senyum lalu menyelesaikan pembayaran untuk makanan yang dipesannya. Semula suasana di rumah nan asri milik peninggalan keluarga Radit tampak hening selepas makan siang berlangsung. Sang ibu memilih beristirahat di kamar. Sementara dua pasangan suami istri tersebut masih berada di meja makan.“Ck. Bahkan wastafel saja tidak ada?” kekeh Amanda dengan raut wajah meremehkan.Radit menanggapinya dengan anggukan santai. Tak pelak menyambar peralatan makan yang baru saja mereka gunakan. “Sekalian aku tunjukin kamar mandinya yuk. Kali aja kau mau pipis atau apa. Bantuin aku cuci piring ju
“Manda!” Suara barusan tak dipedulikan oleh sang pemilik nama. Dia terus memacu langkahnya hingga terhenti di ambang pintu kamar. Terhambat oleh tubuh tegap tinggi Radit yang sudah berada di sana.“Enggak usah menjelaskan. Aku tahu!” ketus Amanda yang membuat wajah tegang suaminya sirna dalam sekejap.“Makasih ya. Maaf karena kita harus tinggal sedikit lebih lama di sini. Ibu cuma tinggal sendiri. Aku enggak mau dia kenapa-napa lantaran banyak pikiran nantinya,” jelas Radit panjang lebar. Dia melirik handuk yang tersampir di bahu kanan Amanda. “Aku antar yuk. Kau pasti belum terbiasa mandi dengan kondisi begini.” Ucapan Radit ada benarnya. Amanda kembali melangkah hingga sempat berpapasan dengan sang mertua yang tengah menghidangkan makan malam.“Radit itu anakku. Dia pasti akan memilih ibunya.”“Bu,” tegur Radit yang merasa tak enak hati.“Sudahlah. Cepat temani istri manjamu. Ibu sudah lapar.” Bu Ningsih menghalaukan tangannya ke udara agar Radit tak memb
Perempuan bernama Arini itu menatap lekat manik mata kecokelatan milik Amanda. Berusaha meyakinkan diri kalau rumor yang ia dengar tidaklah benar. Sayangnya anggukan dari sang lawan bicara lekas memusnahkan harapan yang sempat terjalin.“Iya. Aku istrinya,” gumam Amanda kemudian. Gurat kecewa yang tergambar dari wajah Arini sangat kelihatan jelas sebenarnya. “Kenapa?”“Enggak.” Suasana menjadi canggung seketika. Beruntung beberapa detik kemudian Radit muncul bersama Bu Ningsih. Arini pun segera memasang tampang ceria seperti semula.“Ke sini kok enggak ngomong dulu sih, Rin? Tahu gitu ‘kan bude nyiapin makanan. Yang ada cuma teh aja,” ucap Bu Ningsih sambil tersenyum.Arini menggeleng pelan. Tak pelak menyeruput teh yang disajikan untuknya. “Aku enggak lama kok, Bude. Niatnya mampir untuk ngasih oleh-oleh aja. Habisnya kemarin bude ke Medan ‘kan?”“Iya. Ibu hadirin acara pernikahanku dengan Manda.” Kali ini Radit yang bersuara. Tak pedulikan lirikan sebal dari ibunya.“A
“Mau berapa kali sih harus dibilangin, hah?! Sudah jam berapa ini?” Suara lengkingan barusan berhasil merenggut akal liar Radit. Pria itu buru-buru menyudahi mandinya. Pun begitu juga dengan Amanda yang sekarang sedang berganti pakaian.“Sudah?” tanya Radit dengan sedikit berbisik. Istrinya mengangguk pelan dengan wajah yang tampak menahan kesal. Kini keduanya kompak ke luar dari kamar mandi dan langsung mendapatkan tatapan tajam dari Bu Ningsih. Wanita paruh baya itu memandangi mereka dengan heran.“Kalian … mandi bersama?”“Iya, Bu. Kenapa sih? Namanya juga suami istri. Apa ada yang salah?” ucap Radit balik bertanya. Ibunya menggeleng cepat. Radit lantas lekas menarik lengan Amanda untuk segera bergegas ke kamar. Tahu bahwa mereka tak mungkin diomeli lantaran waktu mendesak menjelang Maghrib.Jangan merasa bersalah, Radit. Dia ‘kan sudah jadi istrimu. Sah-sah saja kok. Batinnya kembali bersuara. Radit mengembuskan napas kasar l
[“Iya, Nak. Kami bahkan sudah di rumah sekarang.”] Sahutan di seberang sana membuat Radit mengembuskan napas lega. Bagaimana tidak. Luka kehilangan karena kepergian mendiang Dinda masih sangat menyesakkan dada. Apalagi mendengar kabar buruk tentang putrinya sendiri. Dunianya bisa saja runtuh seketika.[“Maaf ya, Nak. Papa saja yang panik makanya langsung mengabari kalian. Ternyata Ayra hanya demam karena efek imunisasi tadi sore.”] Terdengar suara omelan setelahnya. Tentu saja Mama Tiara yang memprotes sikap ceroboh pria paru baya tadi. Kini Amanda dan Radit saling menoleh tanpa suara. Sama-sama menyimpan perasaan tenang usai mendapatkan pencerahan dari pasangan suami istri tersebut.[“Syukurlah kalau Ayra baik-baik saja. Tolong jagain ya, Ma, Pa. Aku sama Manda lagi dalam perjalanan pulang.”] Radit pun menyerahkan ponsel yang ia genggam barusan pada sang empu. Kemudian kembali fokus pada kemudinya lagi.“Ya udah ya. Aku tutup teleponnya dulu,
Pagi-pagi sekali seisi kamar sudah dihebohkan oleh suara tangis Ayra. Sementara dua orang dewasa di sana terus saja berdebat. “Kau saja yang tidur seperti orang mati. Kalau saja Ayra bisa bicara, dia pasti membelaku. Dasar payah!” ketus Amanda yang berusaha menenangkan bayi mungil di gendongannya. Radit mendengkus pelan. “Aku minta maaf. Sumpah. Suaramu tidak terdengar.” “Alasan. Kau terlalu banyak bicara. Baru satu malam saja sudah terbukti gagal.” “Hei! Namanya juga belum terbiasa.” Radit masih membela diri. “Mungkin dia haus makanya nangis terus.” Amanda memicingkan matanya. Memberi kode lewat gerakan dagu agar Radit melihat botol susu yang masih berisi susu di dalam boks bayi. “Dia menolak. Tidak pipis juga kok. Entahlah,” erangnya hampir frustrasi. “Sini, Sayang. Papa yang gendong ya?” Tangan Radit sudah terjulur di depan Amanda. Namun, Ayra malah menggerak-gerakkan kakinya. Membuat sepasang suami istri itu kebingungan sendiri. “Hah. Kita pangg