Share

BAB 4

Beberapa minggu berlalu. Naya tidak memberi kabar sama sekali. Aku berpikir mungkin karena masa iddahnya belum habis jadi dia belum bisa memutuskan. Ketika aku meneleponnya, ternyata nomornya sudah tidak aktif. Dia memutuskan akses komunikasi dengan memblokir nomorku. 

Kudatangi lagi rumahnya tapi rumah tersebut sudah digembok pintunya. Pihak Bank sudah menyita dan Naya pergi. Aku terlambat, mengapa aku tak terpikirkan ini? Di mana perempuan itu sekarang? Tak rela dia menghilang.

Hampir saja aku putus asa jika seseorang tidak memberitahu. Aku sudah bertanya-tanya dan mencarinya kemana-mana. Dengan berbekal informasi dari orang itu aku pergi ke tempat Naya berada.

Mobil kuberhentikan di depan sebuah rumah berhalaman cukup luas. Baru saja hendak keluar, Naya muncul dari dalam rumah tersebut bersama dua orang laki-laki dan satu perempuan. Aku urung turun. Kaca mobil kubuka memperhatikan mereka. 

Ekspresi Naya datar, satu laki-laki paruh baya terus menatapnya seraya tersenyum. Pandangan matanya terhadap Naya tampak lain. Sebagai lelaki aku tahu arti semua itu. 

"Pertimbangkan tawaranku ya, Dek. Lepas masa iddahmu nanti pasti langsung kunikahi jika setuju. Tidak ada salahnya jadi istri ketiga. Toh, aku mampu."

Bedebah! Lelaki tua hendak menjadikan Naya istri kesekian? Aku lekas turun dari mobil. Mereka semua kebingungan melihat kedatanganku, tak terkecuali Naya. Perempuan itu menunduk. 

"Selamat malam." Kuucapkan dua baris kalimat mengusik mereka yang masih diam. 

"Malam. Kamu siapa?" Perempuan di sisi Naya bertanya. 

"Saya Sendy. Calon suami Naya." 

"Calon suami?" Lelaki tua bereaksi. Tampak tidak senang mendengar yang aku ucapkan. 

"Ya. Calon suami." Kuperjelas lagi padanya. Keterkejutan Naya kuabaikan dulu. 

"Naya belum bubar iddah. Kamu jangan ke sini."

"Anda sendiri kenapa ada di sini? Anda sudah lancang berani menemui calon istri saya." 

"Rita, katamu tidak ada lelaki yang dekat dengan Naya. Tapi, laki-laki ini?" Lelaki tua itu menunjukku. Dia berbicara pada perempuan di samping Naya. 

"Saya gak tau, Pak Juragan." 

"Sebaiknya Juragan pulang dulu. Biar kami berbicara dengan Nak Sendy." Laki-laki lebih muda usianya dengan Pak Juragan berbicara bijak. Bapak itu melihat padaku dan tersenyum ramah. 

Pak Jurangan mendengus. "Baik saya pulang. Jangan tolak mentah-mentah tawaranku Dek Naya. Lelaki yang baru datang ini belum tentu bisa menjamin hidupmu. Bisa saja mobil yang dibawanya mobil rentalan." 

Aku ingin tertawa rasanya. Tua bangka sombong. Tapi, aku tidak ingin membalasnya. Biar Pak tua itu cepat pergi dan aku bisa berbicara banyak hal dengan Naya. 

Setelah memastikannya pergi, kutatap perempuan yang kurindukan. Naya melengos dan masuk ke dalam. 

"Naya!" Rita memanggilnya melihatnya pergi begitu saja. 

"Biarkan saja, Bu." 

"Tapi, dia gak sopan sama tamu ini, Pak." 

Kedua orang ini suami istri. Mereka kompak melihat padaku. "Mari masuk Nak Sendy." 

"Mohon maaf sebelumnya, Pak. Kalian siapanya Naya?" Aku tidak bisa menahan rasa penasaran. Sama sekali tidak mengenal mereka.

"Saya Masdi, kakak tertua Naya." 

Kakak? Aku terdiam memindai wajahnya. Tidak ada kemiripan. 

"Ayo, kita bicara di dalam," ajaknya lagi. 

Sepasang suami istri itu memasuki rumah. Aku mengikuti mereka. Keduanya mempersilakan duduk. Rita memberiku air minum meletakkannya di meja. Dia membawa Naya keluar kamar untuk gabung bersama kami. Janda muda itu tampak enggan, tapi Kakak Iparnya memaksanya. 

"Saya mencari Naya kemana-mana. Ternyada ada di sini." 

Naya melihatku sekilas. Jari-jari tangannya ditautkan.

"Loh, kamu gak ngasih tau, Nay?" tanya Rita.

"Dia ingin kabur dari Saya." 

"Bukan kabur. Aku ke sini karena tidak punya tempat tinggal lagi." 

"Kamu bisa memberitahuku, tapi tidak. Nomorku kamu blokir. Itu artinya kamu memang ingin menghindar bukan?" 

"Aku ingin tenang dan lagi masih dalam masa iddah. Mengertilah." 

"Ingin tenang bukan berarti harus memutus kontak."

Naya diam tidak melakukan pembelaan lagi. 

"Sejak kapan kalian punya hubungan? Nay, suami kamu belum lama meninggal kamu sudah pacaran dengannya?" Masdi bertanya pada adiknya dengan raut curiga. Itu tidak pantas terjadi aku tahu.  

"Aku tidak ada hubungan apa-apa dengannya, Kak."

"Tapi, dia bilang calon suami kamu, Nay. Itu artinya kalian sudah kenal dekat." Rita ikut bicara. 

"Dia teman Mas Akbar. Sungguh, aku tidak pacaran dengannya. Mana mungkin aku melakukan itu sementara kepergian Mas Akbar masih baru ...." 

"Ya, kami memang tidak pacaran," kataku.

"Kenapa kamu mengklaim Naya calon istri kalau tidak ada hubungan." Masdi menyahut cepat masih menyelidiki. 

"Karena saya peduli padanya." Kukatan seraya menatap lurus Naya yang sama sedang menatap ke arahku. "Saya berniat menjadikannya sebagai istri saya." 

"Naya belum lama ditinggal mati suaminya. Ini terlalu cepat. Masa iddahnya saja belum habis." 

"Mungkin maksud Sendy menikahi Naya setelah selesai masa itu, Pak." Rita menimpali suaminya. 

"Tetap saja terlalu cepat." 

"Aku juga tidak mau menikah dengannya, Kak." 

Kuhela napas. Masih berani kamu menolakku, Nay? "Jadi, kamu memilih lelaki tua bangka tadi?" 

"Daripada Pak Juragan itu mending kamu sama Sendy aja, Nay." Rita lebih dulu menjawab. Suaminya meliriknya. 

 

"Aku tidak kenal lelaki tua itu. Dia tiba-tiba datang mengatakan ingin melamarku. Baik kamu atau pun dia aku tidak ingin menikah dulu." Naya menjelaskan. 

"Kamu punya banyak hutang, jangan lupakan itu."

"Sudah kubilang akan mennggantinya. Aku akan kerja." Naya tampak emosi. 

"Jadi ... Orang yang meminjami hutang ke Akbar adalah Nak Sendy ini?" Masdi rupanya sudah mengetahui perihal piutang itu. Naya sudah bercerita hanya belum memberi tahu siapa orangnya.

"Iya. Saya orangnya. Jika menikah dengan saya Naya tidak perlu membayar hutangnya." 

"Kak." Naya melirik Masdi. Menatapnya memelas. "Tolong bantu Naya. Pinjami Naya uang." 

"Jumlah hutangnya seratus juta lebih, Pak. Kita punya uang sebanyak itu dari mana untuk meminjami Naya?" Rita tampak keberatan. Dia pun tau soal piutang itu. "Kita tidak punya banyak tabungan. Boro-boro ratusan juta. Ada tapi gak banyak, itu pun untuk kebutuhan anak-anak kita. Terutama buat kuliah si sulung, biayanya tidak sedikit. Belum lagi cicilan kendaraan." 

Aku tersenyum tipis mendengar perkataan Rita sementara Naya terdiam murung. 

"Yang berhutang Akbar, kok kamu repot sendiri, Nay? Keluarganya harusnya bantu." 

"Keluarga Akbar sudah tidak peduli dan tidak mau tahu." Aku memberi tahu. Mereka memang abai pada kesulitan Naya. Sudah menjauhi semenjak Akbar bangkrut. 

"Keluarga Mas Akbar gak ada yang bisa bantu." Naya berujar lirih.

"Kalau begitu apa bedanya dengan keluarga kamu sendiri? Kamu bahkan sudah yatim piatu. Kakakmu yang di sini pun bukan orang kaya. Sodaramu yang lain juga sudah gak ada." 

Naya seperti tampak ingin menangis. Kepiluan itu semakin jelas di wajahnya. Masdi melihat adiknya dengan kebingungan. Sedari tadi dia membiarkan istrinya mendominasi percakapan. 

"Kakakmu bukan pengusaha, Nay. Gajinya sebagai guru tidak besar. Cukup buat makan keluarga kami. Sedikit-sedikit bisa nabung karena kubantu usaha juga."  

Naya tidak menimpali Kakak iparnya. Hanya membisu dalam kegetiran. 

"Memangnya tidak bisa dicicil saja Nak Sendy? Dan membiarkan Naya mencari pekerjaan dulu." Masdi baru angkat suara lagi meminta opsi keringanan padaku.

"Kalau mau dibayar harus secepatnya dan sekaligus lunas." Tidak peduli jika itu menyulitkan. Sudah kuberi pilihan enak dengan menjadi nyonya di hidupku masih saja Naya keras kepala. 

"Kamu bisa melunasi hutang itu kalo mau menikah dengan Pak Juragan. Dia pasti bantu. Tapi, dari pada jadi istri ketiga lelaki tua itu mending kamu sama Sendy saja." Rita terus mensuportku. Tentu masih lebih pantas aku yang menjadi suami Naya, daripada lelaki tua itu. Dan aku pantang menyerah! 

"Kak ... Aku tidak ingin cepat menikah. Terlintas untuk menikah lagi pun tidak." Naya kembali mengadu nasib pada Kakaknya.

Masdi menatapku lurus. "Tidak kah kamu bisa menunggu Naya, hingga dia siap?" 

Naya termangu. Ucapan itu bukan yang ingin dia dengar aku tahu. "Saya mau secepatnya. Saya tidak mau lelaki tua yang disebut juragan itu datang lagi kemari." 

"Jika Naya tetap tidak mau?" Masdi mempertanyakan itu.

"Saya bisa memperkarakan piutang jika menolak." Aku melihat keterkejutan di wajah semuanya, terutama Naya. Perempuan itu seketika menatap tajam aku. 

"Kamu terima Sendy saja, Nay. Jangan suka memperumit diri sendiri." 

"Kamu ngancam?" Naya tidak mempedulikan omongan Rita dan melempar tanya. 

"Apa susahnya menerimaku? Aku berniat baik kok." 

"Naya masih masa iddah." Masdi mengingatkanku lagi. 

Aku tahu. "Setelah selesai nanti saya menikahinya." 

"Dua minggu lagi masa iddah Naya selesai. Kamu beri restu saja, Pak." Rita meminta suaminya menyetujui. 

Masdi menghela napas panjang. Dipandanginya Naya yang kembali memelas, kemudian menatapku. "Baik, saya akan jadi wali nikah Naya nanti." 

"Kak ...." Naya tak bisa banyak berkata-kata. Matanya sudah memerah. Wujud ketidak berdayaanya luruh di pipi. 

"Mungkin jodoh kamu dekat, Nay. Tidak apa-apa menikah saja dengannya. Kakak tidak ingin kamu lebih sulit." 

Aku tersenyum puas. Kutatap Naya yang tertunduk terisak-isak. Air mata itu akan kuganti dengan kebahagiaan.  

Kuberitahu keluarga dan mereka setuju aku menikah dengan Naya. Setelah satu bulan selesai dari masa iddahnya aku pun menghalalkannya. Melakukan ijab qobul di rumahku sendiri. Naya ada di sampingku ikut mendengarkan sekaligus menyaksikan. Lega rasanya begitu kata 'sah' terucap.

***

Sekarang Naya ada di sisiku. Melempar pandangan ke samping mobil. Kami dalam perjalanan menuju TPU. Aku tersenyum sendiri ingat proses hubungan kami terjalin. Memang ada paksaan, tapi bisa kupastikan aku tidak main-main dengannya. Berharap dialah pelabuhan hati terakhirku. 

Kami turun dari mobil saat sampai. Naya melangkah lebih dulu, aku membuntutinya. Kami terus berjalan dalam diam mencari tempat peristirahatan terakhir Akbar. Naya tiba-tiba menghentikan langkah membuat aku sedikit mengenai tubuhnya yang di depanku. 

"Kenapa?" 

Naya tidak menjawab. Pandangannya tetap lurus ke depan. Aku yang sedari tadi cuek pada sekitar mencoba mengikuti arah pandangnya berlabuh. 

Dua orang perempuan tengah berdiri membelakangi makam Akbar. Mereka kemudian berbalik. Aku kenal, itu Ibu dan adik Akbar. Keduanya telah selesai mengunjunginya dan hendak pulang. 

"Kamu mau kita balik aja, atau gimana?" Naya melirikku. Ketidaknyamanan terlihat jelas di wajahnya. 

"Ibu, itu Naya!" Naya seketika melihat pada adik Akbar yang menyerukan namanya. Ibu Akbar pun ikut memanggilnya. Naya masih diam. Aku berpindah ke sisinya melihatnya gelisah. Aku mengerti apa yang dipikirkannya. 

"Naya! Jangan pura-pura budeg kamu, ya!" 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status