Home / Romansa / MENJEMPUT ISTRIKU / 002 Perpisahan

Share

002 Perpisahan

Author: Wolfy
last update Last Updated: 2022-11-12 23:24:58

**Bab 002: Perpisahan**

Helena menatap dengan mata terbuka lebar saat melihat Atthy yang tampaknya begitu tenang meski dalam situasi yang sangat emosional. Tidak ada air mata yang keluar dari matanya, hanya ketenangan yang tampak begitu kontras dengan perasaan gelisah yang menguasai Helena. Tangan Helena masih menahan tangan Atthy yang menggenggam erat dokumen perceraian itu.

"Duchess..." suara Helena sedikit gemetar, "Apa yang sebenarnya terjadi? Mengapa Tuan Hugh mengirimkan surat ini?"

Atthy menarik napas panjang, matanya kosong sejenak seolah mencerna apa yang harus dikatakan. Wajahnya yang lembut terlihat begitu letih. Bahkan, dengan senyum pahit di bibirnya, Atthy tetap terlihat terjaga dalam keadaan hati yang hancur.

"Kau bertanya pada orang yang salah, Helena. Bahkan aku sendiri tidak tahu kenapa aku harus menerima semua perlakuan ini!"

"Karena itu, jangan gegabah!"

"Aku lelah, Helena... Aku ingin berhenti..."

"Tapi, Duch..."

"Helena!" panggil Atthy dengan tatapan tegas menegur Helena meski suaranya datar. "Aku tidak pantas menyandang gelar itu. Tuanmu mengingatkan dari mana aku berasal dengan sangat baik."

Helena terdiam, merasakan hati yang berat mendengar kata-kata itu keluar dari mulut Atthy. Dia tahu Atthy tidak mudah membuka diri, dan saat ini, untuk pertama kalinya, dia merasakan kerapuhan dalam diri nyonya mudanya yang sangat dihormati. Namun, ia juga tidak bisa menahan rasa penasaran yang membelenggu hatinya.

Helena ingin sekali memeluk Atthy, namun dia berusaha menahan diri. Menjaga jarak sebagai seorang abdi.

"Jika Tuan Hugh yang menginginkan ini, maka pasti ada sesuatu yang lebih besar yang sedang terjadi," kata Helena dengan lembut. "Saya akan berbicara dengan Tuan Hugh, memastikan apa yang sebenarnya terjadi."

Atthy menoleh, tatapan matanya penuh dengan keputusasaan. "Sudah cukup, Helena. Aku tidak ingin mengemis belas kasihan. Harga diriku sudah cukup terluka..."

Helena merasakan getaran kegelisahan yang begitu mendalam di dalam diri Atthy. Apa yang terjadi sebenarnya antara mereka berdua? Kenapa pernikahan ini bisa berubah menjadi seperti ini? Di balik semua kedamaian luar yang terlihat, pasti ada sesuatu yang lebih gelap sedang terjadi.

"Baiklah, Duchess, beri saya waktu. Saya akan mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi," jawab Helena dengan suara penuh tekad. "Tetapi, tolong jangan menandatangani surat perceraian itu. Menunggu sedikit lebih lama tidak akan merugikan Anda..."

"Kau keras kepala, Helena..."

Helena terdiam, dia hanya bisa mengerutkan dahi dengan tatapan memelas menanggapi Atthy.

Bibir Atthy tersenyum, tetapi getir. Dengan tetap memegang erat surat cerai yang ada di tangannya, ia menoleh ke arah jendela yang terbuka, membiarkan angin pagi yang dingin masuk.

"Duchess.." Helena berbicara dengan air mata yang sulit dibendung. "Maafkan saya... Saya tidak bisa menerimanya," serunya tegas, suara hatinya bergejolak. "Saya akan mencari tahu mengapa Duke memutuskan untuk mengirimkan dokumen ini padamu."

Helena membalikkan badan, meninggalkan ruangan dengan langkah terburu-buru, meskipun hatinya penuh dengan kebingungannya sendiri. Setiap keputusan Atthy semakin sulit untuk dipahami, dan itu membuat hatinya semakin tidak tenang. Dia merasa seperti ada sesuatu yang lebih besar yang tersembunyi di balik tindakan ini.

Langkahnya cepat, matanya mencari sosok Hugh yang seharusnya sedang berada di ruang makan, namun saat ia tiba, ruang makan itu tampak kosong.

"Ada apa, Nyonya Whitmore?" tanya seorang pelayan yang tengah membereskan meja makan.

"Apakah Tuanku Duke makan siang hari ini?" tanya Helena, menyembunyikan kegelisahannya.

"Sepertinya tidak, Nyonya," jawab pelayan itu dengan ragu. "Tadi saya mendengar beliau membatalkan makan siangnya karena ada urusan mendadak."

"Apa?!" Helena hampir berteriak, matanya setengah melotot. "Dan Tuan Alwyn? Apakah beliau bersama Duke?"

"Tidak, Nyonya," jawab pelayan itu. "Tuan Gusev mungkin sedang di kantor, karena Tuan Duke tiba-tiba pergi dengan Tuan Rozenfeld."

Helena menggertakkan giginya, mencoba menahan emosinya yang memuncak. Ia mengingat pesan terakhir dari Atthy dan merasakan perasaan cemas yang tak terbendung.

"Baiklah, terima kasih," serunya dengan nada tegas.

Namun, sebelum dia bisa pergi, pelayan itu menambahkannya dengan suara cemas.

"Ah, Nyonya Whitmore, maaf, ada satu hal lagi..." kata pelayan itu, tampak ragu.

"Ada apa lagi?" tanya Helena, suaranya ketus.

"Bagaimana dengan Duchess?" tanya pelayan itu dengan wajah cemas. "Apakah kami perlu menyiapkan makan siang untuknya?"

"Ya, lakukan!" seru Helena tanpa berpikir panjang. "Panggil pelayan pribadi Duchess untuk segera menemui Duchess di ruangannya!"

Setelah itu, Helena menuju ruang kerja Alwyn, hatinya penuh dengan pertanyaan. Setiap langkah terasa seperti memikul beban yang semakin berat.

Tiba di ruang kerja Alwyn, Helena lupa mengetuk pintu dan langsung masuk. Alwyn langsung menegurnya.

"Nyonya Helena! Apa yang Anda lakukan?!"

Helena tidak peduli. Ia langsung berbicara, "Apa maksud dari dokumen yang Anda berikan pada saya tadi pagi?"

Alwyn terdiam. "Maksud Anda, dokumen perceraian untuk Duchess Atthaleyah Griffith?"

"Jadi Anda tahu?"

"Bagaimana mungkin saya tidak mengetahui jika saya sendiri yang menyerahkannya pada Anda?!"

"Kenapa? Apa yang terjadi dengan mereka? Apa alasan di balik semua ini?"

"Itu bukan urusan kita, Nyonya. Kita hanya melakukan apa yang diperintahkan."

"Duchess dipercayakan pada saya, saya harus tahu apa yang terjadi!"

Saat perdebatan mereka semakin memanas, suara ketukan pintu menginterupsi.

"Maafkan kami, Tuan Gusev, apakah Nyonya Whitmore ada di dalam?"

Alwyn mengizinkan mereka masuk, dan ketiga pelayan yang tampak terengah-engah masuk dengan wajah penuh kecemasan.

"Kami tidak bisa menemukan Duchess di mana-mana..."

"Salah satu penjaga melihat Duchess keluar melalui gerbang belakang."

"APA?!" Helena dan Alwyn serempak berseru, terkejut.

Jantung Helena berdebar kencang. Rasa cemas kini berubah menjadi ketakutan yang semakin menguasai dirinya.

"Di mana?! Kenapa kalian baru memberitahuku sekarang?!"

---

Di Manor, Atthy nyaris tidak pernah mengeluh. Nyonya muda yang tenang, seorang wanita rumahan. Menjaga jarak dari hiruk-pikuk sekitar. Namun, ketika benar-benar diperlukan, dia tidak akan ragu untuk bertindak. Sebagian besar waktunya dihabiskan di dalam, menikmati ketenangan dengan penuh tanggung jawab. Hal ini cukup mengejutkan bagi penghuni Manor, yang sejak awal memandangnya dengan kecurigaan. Mereka telah mendengar banyak rumor tentang calon istri Duke Hugh Griffith—sosialita flamboyan dengan kisah cinta yang bertebaran di mana-mana. Tapi kenyataannya, Atthy jauh berbeda dari yang mereka bayangkan.

Awalnya, keberadaannya tidak disukai. Seorang lady dari bangsawan tingkat rendah yang memasuki pernikahan politik demi ambisi. Namun, waktu membuktikan sebaliknya. Atthy tidak hanya membawa dirinya dengan kewibawaan, tetapi juga menunjukkan kecerdasan dan ketenangan yang tak terduga. Hingga satu hal yang membuat semua orang di Manor benar-benar tercengang—Atthy pergi dari Manor sendirian. Tanpa pengawal, tanpa pelayan, tanpa siapa pun. Begitu saja, dia melangkah keluar.

---

"Apa maksudmu?!"

Teriakan Alwyn menggema di ruangan, suaranya bergetar menahan amarah. Mata tajamnya menusuk pelayan yang berdiri gemetar di hadapannya.

"Maaf... Maafkan kami, Tuan Gusev... Kami... Kami tidak tahu..." jawab seorang pelayan dengan wajah pucat pasi. "Tapi, salah satu penjaga melihat Duchess keluar melalui gerbang belakang."

"Apa?!" Mata Alwyn membelalak. Sebelum dia bisa berkata lebih jauh, ketukan terdengar di pintu.

"Masuk!" perintahnya tajam.

Seorang penjaga muda melangkah masuk dengan ragu. Wajahnya menegang saat berhadapan dengan Alwyn.

"Kau... Bukankah kau penjaga baru?" Alwyn menyipitkan mata.

"I-iya... Maafkan saya, Tuan Gusev. Saya penjaga di gerbang belakang... Duchess meminta saya memberikan ini pada Tuan..." tangannya gemetar saat menyerahkan amplop besar.

"Ah!" seru penjaga itu begitu melihat Helena di dalam ruangan. "Nyonya Whitmore, Duchess juga menitipkan ini untuk Anda."

Helena mengambil amplop itu dengan ekspresi curiga. "Kenapa harus kau yang menyerahkannya?!"

"Saya... Saya tidak tahu, Nyonya... Duchess hanya bilang, Tuan Duke sudah tahu tentang kepergiannya," jawab penjaga itu terbata.

"Lalu, di mana Duchess?!" suara Helena meninggi, sorot matanya tajam seperti pedang.

"B-beliau... sudah pergi..." jawabnya pasrah.

"Apa?! Pergi?! Dengan siapa?!" Helena nyaris menerjang ke depan.

"S-sendirian... B-beliau tidak memberi tahu saya apa-apa... Maafkan saya..."

Ruangan membeku. Pelayan-pelayan menunduk, tak berani bersuara. Penjaga itu tampak seperti bayangan yang ingin menghilang, tubuhnya gemetar hebat.

---

"APA INI?!"

Alwyn membanting amplopnya ke meja. Kertas-kertas berhamburan saat napasnya memburu.

**'Aku tidak butuh kompensasi perceraian. Asalkan Tuanmu membiarkan aku sendiri, itu sudah cukup untukku.'**

Sepotong kertas dengan dua kalimat tajam menyertai surat cerai yang sudah ditandatangani Atthy.

Tak seorang pun bersuara. Semua menatap Alwyn yang berdiri kaku, wajahnya memerah karena amarah yang mendidih.

"T-tuan Gusev..." gumam penjaga itu lemah.

Alwyn menatapnya dengan sorot dingin yang mengunci. "Siapa yang merekomendasikanmu?" suaranya lebih rendah, namun lebih mengancam daripada teriakan sebelumnya.

"Saya... Saya hanya menjalankan tugas, Tuan..."

"Bodoh!" suara Alwyn meledak. "Kecerobohanmu bisa membawa bencana! Apa kau tidak berpikir dua kali saat melihat seorang Duchess meninggalkan Manor sendirian?!"

Penjaga itu hampir jatuh mundur, kakinya goyah. Namun sebelum ia bisa berbicara lagi, Alwyn mengangkat tangannya, menghentikan segala bentuk pembelaan.

"Panggil semua pengawal! Cari Duchess sekarang juga!"

Penjaga itu segera berlari keluar, meninggalkan ruangan yang kini terasa semakin panas oleh ketegangan.

Helena, yang masih memegang suratnya, meremas kertas itu dengan jemari gemetar. Matanya bergerak cepat membaca isi yang ditinggalkan Atthy.

---

**Dear Helena,**

Kepala pelayan yang selalu tegas, namun sangat aku sayangi. Terima kasih untuk segalanya. Maafkan aku karena tidak sempat berpamitan dengan cara yang lebih baik.

Sampaikan salamku pada Lily dan Miriam, aku sangat menyayangi mereka. Sayang, waktu kita sangat singkat.

Aku kembalikan semua pakaian dan aksesori yang diberikan oleh tuanmu. Tidak ada satu pun yang aku bawa, karena semua itu bukan seleraku. Begitu juga dengan Stella, Bela, dan Rosa. Mereka adalah pelayan yang Tuanmu kirimkan padaku, dan aku ingin kau yang mengurus mereka sekarang.

Aku tidak bisa membayar mereka, karena aku tidak punya uang. Aku hanya bisa menitipkan mereka padamu. Aku mohon, minta tuanmu untuk membayar upah mereka, karena mereka bukan pelayan yang aku pilih. Aku harap kau mengerti.

Maafkan aku, Helena, karena harus pergi seperti ini, tanpa memberi peringatan. Namun, aku tahu, kau pasti akan menghalangiku jika mengetahui keputusanku.

Aku sudah berjanji pada Tuanmu, dan aku harus menepatinya.

PS. Aku sangat menyayangimu. Kau seperti ibu bagiku.

---

Ruangan itu tenggelam dalam kesunyian yang mencekam.

Helena menggenggam surat itu erat, bibirnya bergetar. Pelayan-pelayan menunduk, sementara Alwyn menatap meja dengan wajah kelam. Tangannya mengepal, seolah menahan badai yang mengancam pecah kapan saja.

Tiba-tiba, pintu terbuka keras.

"Maaf, saya terlambat!" Sarah, sang dokter muda, melangkah masuk dengan riang, membawa tas peralatan medis. "Saya tadi dipanggil ke dapur, katanya ada pelayan yang—"

Dia berhenti mendadak, menyadari suasana yang begitu berbeda. Senyumnya perlahan memudar.

Matanya menyapu ruangan. Wajah-wajah pucat. Helena yang tampak terguncang. Dan Alwyn, yang berdiri kaku dengan ekspresi yang begitu gelap.

"Ada... apa?" tanya Sarah pelan.

Alwyn menoleh perlahan. "Dr. Sarah," suaranya rendah, hampir seperti bisikan, tapi cukup untuk membuat Sarah menegakkan punggung. "Ini bukan waktu untuk bertanya. Ambil semua peralatan medis yang kau punya. Bersiaplah. Kau mungkin akan menghadapi sesuatu yang sulit."

Sarah menelan ludah. "Apa yang terjadi?"

---

Salju putih terus berjatuhan, satu per satu menyelimuti kepala Atthy yang tertunduk. Ia berusaha sekuat tenaga untuk melangkahkan kaki di atas tumpukan salju yang mengubur jalan setapak hingga lutut.

Hembusan angin dingin menggigit kulitnya, bahkan menembus mantel tebal yang membungkus tubuh rapuhnya. Napasnya memburu, berpadu dengan uap hangat yang sekejap hilang dikecup udara dingin.

"Ke mana aku harus pergi?" pikir Atthy dengan putus asa, langkahnya semakin berat, seolah bumi sendiri menolak keberadaannya.

Sudah tiga bulan ia tinggal di Skythia, tetapi suasana luar Manor baginya hanyalah misteri. Ia hanya tahu jalan-jalan yang dilalui kereta kuda, dan bahkan itu kini tampak asing dalam lautan salju yang menyamarkan segalanya. Hutan yang mengelilingi wilayah itu hanya menambah kengerian dalam kesunyian malam. Pepohonan menjulang tinggi, seperti raksasa hitam yang mengawasinya dalam diam.

Atthy terus melangkah, meski tidak tahu ke mana arah yang dituju. Salju yang menutupi jalan seakan mencabut segala petunjuk, membuat dunia di sekitarnya tampak seperti labirin putih tanpa akhir. Tubuhnya yang terbiasa dengan gurun pasir panas dan sabana luas kini merasakan penderitaan baru—dingin yang mengiris, menelanjangi kekuatan terakhir yang tersisa dalam dirinya.

Angin bersiul, menciptakan suara yang menyerupai jeritan hantu. Tubuhnya mulai menggigil hebat. Ujung jarinya yang semula terasa ngilu kini berangsur mati rasa. Ketika akhirnya ia tak lagi sanggup melangkah, ia terjatuh di bawah sebuah pohon besar yang akarnya mencuat dari tanah beku.

Duduk bersandar, napasnya tersengal. Atthy memandangi langit kelabu yang perlahan mulai ditelan malam. Pandangannya kosong, seperti memutar kembali nasibnya yang tragis. Dari seorang cucu bangsawan rendah yang bersahaja, menjadi Duchess dengan kekuasaan besar, hingga kini ia hanyalah seorang perempuan yang kehilangan identitas—bukan lagi seorang Galina, apalagi seorang Griffith.

Suhu dingin tanpa belas kasihan terus menyerangnya, membuat setiap serat tubuhnya seolah berteriak meminta kehangatan yang tak pernah datang. Pelayan-pelayan yang dulu setia melayaninya, perapian hangat di Manor, semuanya terasa seperti mimpi yang mustahil terulang.

Perlahan, tubuhnya mulai kehilangan rasa. Rasa sakit yang menusuk tulang saat ia berjalan tadi kini berubah menjadi kehampaan. Ia tahu persis apa yang sedang terjadi—hipotermia. Kepalanya terasa berat, tapi pikirannya mulai melayang, mengembara di antara kenangan yang menyakitkan.

Wajah keluarganya melintas di benaknya. Kakek yang berwibawa tapi juga ramah, ayahnya yang tegas tapi penuh kasih, suara tawa adik-adiknya di sabana. Air mata menggenang di sudut matanya, membeku sebelum sempat jatuh.

Namun, bayangan itu tiba-tiba tergantikan oleh sosok lain—matanya yang tajam, sikap dingin yang penuh wibawa, suara yang memanggil namanya dengan nada datar namun begitu memikat.

"Duke Hugh Griffith..." bisiknya lemah, hampir tanpa suara.

Sekelebat rasa sakit yang membara muncul di dadanya, bercampur dengan kerinduan yang menyesakkan. Apakah ini akhir dari segalanya? Apakah ia akan mati sendirian di tempat asing ini tanpa sempat menuntaskan luka yang membebani hatinya?

Ketika pikirannya hampir tenggelam sepenuhnya, dari kejauhan terdengar derap langkah berat. Sesuatu mendekat—entah itu keajaiban atau kehancuran. Atthy memejamkan mata, membiarkan dirinya menyerah pada takdir yang akan datang.

Suara langkah itu semakin jelas, memecah kesunyian hutan yang mencekam. Atthy tidak tahu lagi apakah ia harus merasa takut atau berharap.

"Seseorang... tolong aku..." gumamnya lemah, sebelum kesadaran sepenuhnya lepas dari genggamannya.

---

Wolfy

Hai, aku wolfy... Penulis cerita ini. Simak juga ceritaku yang lainnya... WANITA UNTUK MANUSIA BUAS (sudah tamat tapi sulit sekali mendapat kontrak dari GOODNOVEL) PAMANKU SUAMIKU MENJEMPUT ISTRIKU DUNIA MANUSIA BUAS SINGA BETINA MILIKKU (sequel lanjutan dari WANITA UNTUK MANUSIA BUAS, hanya saja kali ini wanita dari DUNIA MANUSIA BUAS yang terlempar ke DUNIA MODERN dan bertemu dengan CEO gahar.

| Like
Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • MENJEMPUT ISTRIKU   083 Rapat Tahunan 3

    **Bab 083 Rapat Tahunan 2**Ruangan kembali sunyi sejenak setelah pernyataan Vadim. Kata-katanya tidak menyudutkan secara langsung, tetapi cukup untuk membuat semua orang merenung.Cavero menatap Aldrich dengan ekspresi netral. "Saya ingin bertanya satu hal, Count Veraga. Jika selatan ingin diberikan kesempatan untuk memperbaiki diri, strategi konkret apa yang Anda miliki untuk memastikan keadaan tidak akan terus seperti ini di tahun-tahun mendatang?"Aldrich terdiam. Ia jelas tidak menyangka pertanyaan itu akan langsung diarahkan kepadanya. Beberapa perwakilan selatan yang hadir tampak gelisah, menyadari bahwa jawaban yang diberikan bisa menentukan bagaimana mereka akan diperlakukan ke depannya.Laurent tersenyum tipis dan melirik Cavero. "Pertanyaan yang menarik. Jika selatan memang ingin mempertahankan otonominya, maka seharusnya ada solusi yang bisa mereka tawarkan. Saya kira kita semua di sini ingin mendengar itu."Aldrich menarik napas dalam. "Kami... kami sedang berupaya mening

  • MENJEMPUT ISTRIKU   082 Rapat Tahunan

    **Bab 082 Rapat Tahunan**Tegang menyelimuti para bangsawan selatan seketika itu juga ketika Cavero akhirnya menunjuk giliran mereka untuk tampil bersuara setelah diam hampir di sepanjang rapat.Cavero menatap Aldrich dengan penuh perhatian. Jawaban yang diberikan perwakilan selatan barusan tidak lebih dari pengakuan terselubung bahwa mereka memang tidak memiliki kendali penuh atas wilayah mereka sendiri. Beberapa peserta rapat mulai berbisik satu sama lain, tetapi tidak ada yang secara langsung menanggapi. Hingga akhirnya, suara Laurent terdengar di ruangan."Rumit, ya?" Laurent mengulangi kata-kata Veraga dengan nada datar. "Saya kira itu adalah penjelasan yang paling sering kita dengar dari faksi selatan setiap tahunnya. Tapi mungkin kali ini Anda bisa menjelaskan lebih rinci, Count Aldrich Veraga. Apa yang sebenarnya terjadi di wilayah Anda? Apakah ada ancaman nyata, atau ini hanya sekadar masalah ketidakmampuan untuk mengelola para aristokrat di sana?"Beberapa kepala menoleh ke

  • MENJEMPUT ISTRIKU   081 Dampak

    **Bab 081 Dampak****Di barak para prajurit**''Yang benar saja...'' ujar Kevin dengan nada kesal, matanya menyapu ruangan yang terasa begitu berat oleh ketegangan.''Apa? Baru datang dan langsung mengeluh...'' sahut Saihan, nada suaranya tajam, tak kalah kesal.''Justru itu! Setelah sebulan penuh berkutat dengan dokumen yang tidak ada habisnya, akhirnya aku punya waktu untuk mengunjungi kalian. Tapi... apakah separah ini?''''Kau mau mengeluh?''Kevin menghela napas panjang, menekan emosinya yang mulai mendidih. ''Duchess menghilang tanpa jejak selama satu bulan, dan penyelidikan yang dilakukan Grand Duke hingga bersitegang dengan Margrave tetap tidak menemukan apa pun. Apa ini masuk akal? Sejak kapan kualitas kita menurun seperti ini?''---FLASHBACK satu minggu yang lalu**Rapat Tahunan Kerajaan **Di aula megah istana kerajaan Xipil, para bangsawan terkemuka telah berkumpul untuk menghadiri rapat tahunan. Meja besar yang melingkar di tengah ruangan diisi oleh perwakilan dari berba

  • MENJEMPUT ISTRIKU   080 Kerja Sama

    **Bab 080 Kerja Sama**Siang itu, sinar matahari yang masuk melalui jendela besar ruang kerja Alwyn tidak cukup untuk menghangatkan suasana. Ketegangan memenuhi udara, seakan ruangan itu semakin sempit akibat amarah yang beradu."Tuan Alwyn!" suara Saihan meledak, penuh kemarahan. Ia berdiri di depan meja, tubuhnya menegang, kedua tangannya mengepal di sisi tubuhnya. "Jangan bercanda denganku!"Alwyn yang duduk di balik meja hanya mengangkat sebelah alisnya, tetap tenang menghadapi luapan emosi di hadapannya. "Apa aku tampak sedang bermain-main?" suaranya datar, tajam, dan tanpa keraguan."Aku tidak peduli jika Anda mengirimku ke mana pun," tukas Saihan cepat, nadanya penuh penolakan, "tapi kenapa harus bersamanya?"Alwyn menyandarkan punggungnya ke kursi, menautkan jemarinya di atas meja. "Karena dia tahu seluk-beluk Nauruan.""Aku juga!" sahut Saihan, suaranya meninggi. "Jangan lupa, aku lahir dan besar di Nauruan!""Di jalanan, Saihan Malaken." Alwyn menekankan namanya dengan nada

  • MENJEMPUT ISTRIKU   079 Perasaan Hati

    **Bab 079 Perasaan Hati**Dapur Manor Eldoria terasa sunyi meski api di perapian masih menyala redup. Aroma teh yang mulai mendingin bercampur dengan udara dingin yang menyelinap masuk dari celah jendela. Helena duduk diam di kursinya, jemarinya mengaduk perlahan cangkir teh yang sudah kehilangan uapnya. Matanya menatap kosong ke permukaan meja, pikirannya melayang entah ke mana.Saihan melangkah masuk dengan ekspresi datar, namun sorot matanya tajam. Ia bersedekap sambil bersandar pada ambang pintu, memperhatikan Helena yang tampak muram."Kau belum tidur sejak semalam," ujar Saihan akhirnya.Helena menghela napas panjang sebelum menjawab lirih, "Aku tidak bisa. Aku terus memikirkan Duchess. Dia pasti ketakutan..."Saihan menggerakkan bahunya sedikit, seolah menepis pemikiran itu. "Leah tidak akan mudah menyerah. Aku mengenalnya lebih lama daripada kalian semua. Dia akan bertahan."Helena mengangkat pandangannya, menatap Saihan penuh keraguan. "Aku ingin percaya itu. Tapi tiga minggu

  • MENJEMPUT ISTRIKU   077 Tekad

    **Bab 078 Tekad**Manor Eldoria – Ruang Kerja DukeMalam telah larut, tetapi Hugh masih berdiri di depan jendela besar ruang kerjanya, menatap hamparan salju yang perlahan menutupi halaman Manor Eldoria. Udara dingin merayap masuk melalui celah kecil di jendela, seakan mencerminkan kebekuan yang masih tersisa dalam dirinya. Di luar sana, Ash telah pergi, membawa serta beban kekhawatiran seorang ayah. Namun, tanggung jawab kini sepenuhnya berada di pundaknya.Ruang kerja yang biasanya teratur kini tampak kacau. Beberapa peta terbuka di meja, dokumen berserakan, dan lilin yang hampir habis terbakar menunjukkan berapa lama Hugh telah tenggelam dalam pikirannya. Api di perapian menyala redup, menciptakan bayangan samar di dinding batu yang dingin.Hugh mengambil salah satu lembaran peta yang terbuka di mejanya. Matanya menelusuri titik-titik yang terhubung, mencoba merangkai jejak yang menghilang. Dengan gerakan tegas, ia mulai menunjuk satu per satu kemungkinan, mengolah setiap potongan

  • MENJEMPUT ISTRIKU   077 Kembali ke Caihina

    **Bab 077 Kembali Ke Caihina**Lorong di Manor Eldoria terasa sunyi ketika Ash akhirnya menemukan Helena berdiri di dekat jendela besar, menatap langit malam yang kelam. Cahaya lilin dari dinding menerangi wajahnya yang terlihat tenang, tetapi Ash tahu ada beban berat yang disembunyikannya."Lady Helena," panggil Ash dengan suara lembut.Helena menoleh, sedikit terkejut. "Tuan Galina.""Ash, saja."Helena terdiam sesaat, seolah menimbang sesuatu sebelum menjawab. "Bagaimana saya akan memanggil begitu pada—""Lady Helena, putriku telah mengakuimu sebagai sosok pengganti ibunya. Aku tahu siapa putriku, dia tidak akan mengakui itu pada sembarangan orang."Helena tertegun. Tatapan Ash serius, penuh kehangatan seorang ayah yang menilai seseorang tidak hanya dari tindakan, tetapi juga dari hatinya."Aku sendiri pun memahami kenapa putriku bisa bersikap seperti itu padamu. Kau memang memberikan kenyamanan. Aku tidak tahu bagaimana Atthy melihatnya, tapi aku nyaman bersamamu."Helena menunduk

  • MENJEMPUT ISTRIKU   076 Meyakinkan

    **Bab 076 Meyakinkan**Manor Eldoria – Ruang Perjamuan PribadiHawa dingin masih terasa meskipun api di perapian menyala terang. Dua pria duduk berhadapan, keduanya memancarkan aura yang tak bisa diabaikan. Ashton Galina, dengan ekspresi tegas dan bahunya yang menegang, menatap Vadim Griffith yang tetap duduk tenang, meski sorot matanya tajam dan tak kalah kuat.Sejenak, keduanya hanya diam, menakar satu sama lain dalam keheningan yang penuh ketegangan.“Bagaimana bisa hingga saat ini, tidak ada satu pun petunjuk tentang keberadaan putri saya?” tanya Ash akhirnya, suaranya terdengar berat dan dipenuhi kekecewaan. “Dengan kekuasaan sebesar ini, Anda ingin saya percaya bahwa Anda benar-benar tidak memiliki apa pun di tangan?”Vadim tetap tak bereaksi. Dia hanya mengambil cangkir teh di depannya, meniup uapnya sebentar, lalu menyeruputnya dengan tenang sebelum akhirnya menjawab, “Aku mengerti frustrasimu, Tuan Galina. Kau ingin jawaban cepat, seperti seorang ayah yang kehilangan putrinya

  • MENJEMPUT ISTRIKU   075 Introspeksi

    **Bab 075 Introspeksi**Ruang Rapat Manor EldoriaSalju yang terus turun di luar jendela membuat suasana di dalam ruangan terasa semakin dingin dan suram. Cahaya lampu minyak berpendar samar di dinding batu, menciptakan bayangan yang bergerak seiring api yang bergetar.Vadim Griffith duduk di kursinya, wajahnya tanpa ekspresi seperti patung marmer. Di hadapannya berdiri tiga orang: Helena, Alwyn, dan Saihan."Grand Duke," Alwyn akhirnya memecah keheningan, "kami harus membicarakan sesuatu yang penting."Vadim menatapnya sekilas, lalu menoleh ke arah Saihan dan Helena. "Bicaralah.""Tiga minggu sudah berlalu, tapi kita belum memiliki kepastian tentang keberadaan Duchess," ujar Saihan, tangannya mengepal di sisi tubuhnya. "Tuan Ash jelas semakin tidak sabar. Dan Duke Hugh… kondisinya semakin buruk.""Aku tahu itu." Suara Vadim tetap datar."Tapi apakah Anda benar-benar menyadari dampaknya?" kali ini Helena yang angkat bicara. "Duke Hugh adalah pemimpin Skythia, tetapi dia juga seorang p

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status