**Bab 003: Konspirasi**
Di waktu yang lain, jauh sebelum pernikahan Atthy.
---
Di dalam kediaman pribadi Ratu Silvia, suasana terasa berat, penuh perhitungan dan intrik yang tidak terucapkan. Ruangan besar yang dipenuhi furnitur kayu tua berwarna gelap ini jarang sekali menyambut pengunjung luar, hanya mereka yang memiliki peran signifikan dalam kerajaan yang diizinkan melangkah ke dalamnya. Hari ini, hanya ada tiga orang yang memenuhi ruangan tersebut. Grand Duke Margrave, Pangeran Davion, dan Ratu Silvia, wanita bangsawan yang memiliki pemikiran tajam dan ambisi yang besar.
"Skythia telah jatuh," kata Silvia, suaranya dalam dan berat, seolah mengandung beban yang terlalu besar untuk ditanggung sendirian. "Kemenangan Hugh Griffith adalah masalah yang tidak bisa kita abaikan. Kita tahu bahwa ini hanya permulaan. Skythia sudah dikuasainya, dan dia tidak akan berhenti di sana."
Pangeran Davion duduk dengan tenang di kursi sebelah kanan kakeknya, memandangi Margrave dengan mata yang tajam. "Griffith semakin kuat," jawabnya, suara tegas namun terkendali. "Dengan Skythia dalam genggamannya, dia tak hanya menambah kekuasaannya di luar, tetapi juga di dalam kerajaan. Jika kita tidak bergerak cepat, dia akan menjadi ancaman yang lebih besar."
"Dan kita tahu siapa yang mengendalikan takhta saat ini. Hanya kita yang bisa memutuskan apa yang terjadi selanjutnya." Silvia menyipitkan matanya, penuh perhitungan.
Margrave mengangguk perlahan, ekspresinya tetap serius. "Davion, kamu tahu posisimu sendiri. Kita perlu lebih dari sekadar klaim kekuasaan. Kita membutuhkan pengaruh yang jauh lebih besar. Griffith sedang membangun kekuasaannya di luar, tetapi kita yang berada di dalam istana, kita yang mengendalikan alur sejarah. Kita tak bisa membiarkan mereka merebut itu."
Silvia menatap Margrave dengan penuh perhatian. "Dan kita tahu siapa yang mengendalikan takhta saat ini. Kita hanya butuh langkah yang lebih tajam."
Margrave tersenyum tipis. "Dan langkah itu ada di luar kerajaan. Kita butuh seseorang yang bisa kita kendalikan dari dalam."
"Seorang 'tumbal'," kata Silvia pelan. "Seseorang yang cukup berani untuk memasuki wilayah Griffith, namun cukup naif untuk tidak mengetahui bahayanya."
Margrave menatapnya, suara tegasnya penuh perhitungan. "Kita harus menemukan 'tumbal' yang tepat."
Viscount Darius Malenor Mencari Peluang
Viscount Darius Malenor mendekati Silvia dengan langkah terukur, matanya penuh perhitungan. Ia tahu bahwa Ratu tengah mencari peluang untuk memperkuat posisinya—dan itu adalah kesempatan yang tidak boleh dilewatkan.
"Permaisuri, saya mendengar Anda sedang mencari seseorang yang dapat memberikan dukungan strategis," katanya, nadanya penuh kehati-hatian, namun langsung ke inti. "Saya rasa saya bisa menawarkan sesuatu yang lebih dari sekadar dukungan."
Silvia mengangkat alis, tidak terkejut. Ia memperhatikan setiap gerakan Viscount dengan teliti, menilai lebih dari sekadar kata-kata yang diucapkannya. "Apa yang Anda tawarkan, Viscount?"
Viscount menundukkan kepala dengan hormat. "Saya tahu situasi politik di ibu kota cukup rumit, dengan persaingan yang terus berkembang. Namun, saya juga tahu bahwa tidak semua orang bisa melihat peluang di balik kabut ini. Klan Griffith dan Klan Margrave terjebak dalam pertarungan yang tak berkesudahan, dan saya yakin ada celah untuk dimainkan untuk Anda dan Pangeran Davion."
Silvia tetap tenang, menimbang kata-kata Viscount. "Anda pikir saya butuh seseorang seperti Anda untuk memanfaatkan itu?" tanyanya datar.
"Saya hanya ingin memberi tahu Anda bahwa saya memiliki koneksi yang bisa berguna bagi Anda, Permaisuri," jawab Viscount, suaranya rendah, hampir seperti bisikan. "Dan saya tahu bagaimana bergerak tanpa menarik terlalu banyak perhatian... baik bagi saya maupun bagi Anda."
Silvia mengamatinya sejenak. "Tunggu sebentar," katanya akhirnya, "Saya tidak tertarik pada permainan yang berisiko. Apa yang Anda tawarkan lebih dari sekadar bisikan kosong, Viscount?"
Viscount tersenyum tipis. "Kita semua tahu bahwa Anda tidak bermain dengan risiko, Permaisuri. Tapi terkadang, risiko terbesar adalah mengabaikan peluang yang ada di depan mata."
Silvia tidak segera menjawab. Namun dalam benaknya, ia tahu bahwa Viscount ini lebih dari sekadar pencari keuntungan biasa.
---
**Bidak**
Di ruang pertemuan pribadi, ketiganya duduk dalam sikap elegan namun penuh kewaspadaan.
Margrave menyesap anggurnya dengan malas, sebelum bersuara dengan nada sarkastis, "Viscount Darius Malenor—burung pipit yang terbang lebih tinggi dari anginnya. Hanya soal waktu sebelum dia lelah dan jatuh."
Davion menyeringai tipis. "Terlalu kecil untuk langit ini. Dia hanya burung yang ingin terbang, tapi sayapnya terlalu rapuh."
Silvia, yang lebih berhati-hati, menyandarkan tangannya di atas meja. "Tapi kadang burung pipit bisa mematuk jika kita lengah. Kita tahu dia baru, tapi mulut manisnya sudah berhasil menjangkau telinga yang lebih berpengaruh."
Margrave tertawa pelan. "Dia bisa berbicara sepanjang hari, tapi tak akan mengubah apa pun. Biarkan dia mengepakkan sayap, kita punya angin yang jauh lebih kuat."
Namun Davion justru menggeleng pelan, matanya menyipit. "Bukan itu yang menggangguku. Jika hanya ambisi, dia bukan ancaman. Tapi dia bukan hanya burung pipit yang berisik. Dia tahu ke mana dia ingin terbang."
Silvia menatapnya dengan tajam. "Maksudmu?"
Davion menekan ujung jarinya ke meja, berpikir. "Viscount ini... bukan hanya mencoba naik ke atas, tapi dia juga tahu ke mana arah angin. Ada seseorang yang membimbingnya, atau setidaknya, seseorang yang memberinya cukup keberanian untuk berbicara di hadapanmu, Permaisuri."
Ruangan itu jatuh dalam keheningan sejenak. Margrave, yang semula menganggap enteng, kini terlihat sedikit lebih serius.
Silvia akhirnya bersuara, suaranya dingin. "Tikus atau bukan, kita tak bisa terlena. Kadang yang tersembunyi adalah yang paling berbahaya."
Margrave menyudahi pembicaraan dengan senyum dingin. "Kita tahu tempat kita di langit ini. Biarkan si pipit itu terbang rendah. Jika dia terlalu berani, kita akan menghancurkan sayapnya."
---
**Konfrontasi Tiga Count**
Di sebuah ruangan mewah yang diterangi temaram cahaya lilin, tiga tokoh berpengaruh duduk mengelilingi meja bundar dari kayu hitam berukir. Aroma anggur tua bercampur dengan asap dupa tipis, menciptakan suasana yang sarat ketegangan. Bayangan mereka terpantul samar di permukaan kaca jendela besar yang menghadap ke kota, seolah menggambarkan permainan kekuasaan yang tengah berlangsung.
Count Markus Hazen membuka percakapan, senyumnya samar, namun tajam bak belati terselubung sutra.
"Viscount Darius Malenor? Bidak baru yang dibawa ke papan permainan ini. Aku bertanya-tanya, apa yang dilihat Margrave dalam dirinya selain sekadar ambisi mentah?"
Count Frendel Belatrix mendengus ringan, jari-jarinya mengetuk perlahan pada cangkir anggur yang belum ia teguk. Matanya menelusuri ruangan sebelum akhirnya menetap pada Markus.
"Ambisi mentah sering kali menjadi alat terbaik. Dia datang dari Nauruan, wilayah pinggiran yang bahkan tidak dipandang oleh sebagian besar bangsawan. Namun kini, dia berusaha menancapkan pengaruhnya di lingkaran ini. Aku hampir mengagumi keberaniannya, atau mungkin kebutaannya."
Viscount Dalmar Yegev, yang selama ini hanya menyimak dengan ekspresi santai, akhirnya berkomentar.
"Keberanian atau kebodohan? Kadang batasnya tipis, dan lebih sering daripada tidak, yang satu akan mengarah pada yang lain. Tapi satu hal yang jelas, Margrave tidak akan bertaruh pada seseorang tanpa alasan. Aku ingin tahu, apakah Darius Malenor benar-benar bidak… atau mungkin sesuatu yang lebih berbahaya?"
Markus mengetuk meja dengan jemarinya, irama ketukannya teratur, nyaris seperti hitungan waktu sebelum eksekusi. Suaranya tetap dingin, penuh perhitungan.
"Margrave memiliki mata yang tajam untuk memilih alat. Tapi alat ini, Darius Malenor, terlalu rapuh. Satu langkah yang salah, dan dia akan runtuh sebelum mencapai tujuannya."
Frendel menyeringai, kilauan licik terlihat dalam matanya. Ia menyandarkan tubuhnya, menikmati setiap kata yang keluar dari bibirnya.
"Itulah keindahannya. Seorang bidak seperti dia mudah diarahkan, bahkan lebih mudah dihancurkan. Pertanyaannya bukan apakah kita akan bergerak, tapi kapan kita mulai bermain?"
Dalmar mengangkat gelasnya, memutar anggur di dalamnya sebelum akhirnya menyesap perlahan. Nada suaranya sarat dengan ironi.
"Kita biarkan permainan berjalan. Tapi jika Margrave berpikir dia bisa menggunakan bidak seperti Darius Malenor tanpa konsekuensi, maka dia jelas meremehkan permainan ini."
Markus menatap kedua rekannya, matanya gelap, menyimpan rencana yang belum diutarakan.
"Kita awasi mereka. Biarkan Darius Malenor melangkah sejauh mungkin, sampai ia merasa memiliki kekuatan. Saat itulah kita tunjukkan bahwa kekuatan sejati hanya dimiliki oleh mereka yang tahu cara menggunakannya."
Frendel mengangkat cangkir anggurnya dengan senyum yang nyaris predatoris.
"Untuk kekuatan sejati, dan kejatuhan mereka yang tak cukup cerdik untuk bertahan."
Tiga cangkir beradu dalam dentingan halus. Di ruangan itu, kemenangan yang belum tercapai telah dirayakan dalam diam, sementara di luar sana, bidak yang mereka bicarakan mungkin baru saja melangkahkan kakinya ke dalam perangkap yang tak kasat mata.
---
**Bujuk Rayu**
---
Ruang pertemuan di Manor Baron Galina dipenuhi suasana yang mencoba menampilkan elegansi. Karpet tebal berwarna merah tua membentang di sepanjang lantai, sementara dinding dihiasi dengan lukisan potret keluarga Galina yang mencoba memberikan kesan aristokrat. Lilin-lilin di tempatnya memancarkan cahaya hangat, menciptakan bayangan di setiap sudut ruangan. Namun, kesan ini lebih terasa seperti upaya untuk menutupi kekurangan ketimbang menunjukkan kemegahan.
Viscount memasuki ruangan dengan langkah tenang, senyumnya tipis, tetapi matanya penuh perhitungan. Ia melirik sekeliling, jemarinya menyusuri tepi sarung tangannya dengan santai—gestur kecil yang tampak sepele, tetapi cukup untuk mengingatkan siapa pun yang memperhatikannya bahwa ia terbiasa memiliki kendali. Baron Galina segera berdiri dari kursinya, menyambut dengan nada yang dibuat-buat penuh semangat.
"Ah, Tuan Viscount! Sebuah kehormatan bagi rumah ini untuk menerima kunjungan Anda," kata Baron dengan gestur berlebihan, seperti seorang aktor di atas panggung.
Viscount menundukkan kepala sedikit, menahan senyum sinisnya. "Baron Galina, kehormatan ini sepenuhnya milik saya. Manor Anda memiliki suasana yang... khas."
Baron, yang tidak menangkap sindiran itu, tersenyum lebar. "Oh, terima kasih. Saya mencoba untuk menjaga standar aristokrat meskipun, tentu saja, tantangan selalu ada." Ia menunjuk kursi di seberangnya. "Silakan duduk, Tuan. Saya yakin kita memiliki banyak hal untuk dibicarakan."
Mereka duduk berhadap-hadapan. Viscount membiarkan keheningan menggantung beberapa saat, mengamati Baron seperti pemangsa menilai mangsanya. Baron menggenggam gelas anggur di depannya, jarinya mengetuk-ngetuk tepi kaca seolah mencari pegangan.
"Rencana kita berjalan sesuai yang diharapkan," kata Viscount akhirnya, nadanya santai tetapi penuh kendali. "Margrave telah menerima gagasan pernikahan Athaleyah dengan Duke Hugh. Sebuah langkah besar untuk memperkuat posisi keluarga Galina."
Baron Galina berseri-seri, rasa bangga memenuhi wajahnya. "Luar biasa! Saya tahu rencana ini akan berhasil. Athaleyah adalah permata keluarga kami, dan dia akan menjadi Duchess yang sempurna. Count Veraga pasti akan menyesal telah meremehkan saya."
Viscount mengangguk perlahan, membiarkan Baron berbicara lebih banyak. "Namun, saya harus mengingatkan Anda, Baron," katanya, nada suaranya berubah menjadi lebih serius, "bahwa langkah ini harus dikelola dengan sangat hati-hati. Anda paham betul, ini bukan hanya soal kehormatan keluarga Galina. Ini tentang memainkan peran dalam strategi besar Margrave."
Baron mengangguk cepat, meskipun sedikit bingung dengan maksud Viscount. "Tentu saja, tentu saja. Saya akan memastikan semuanya berjalan lancar. Anda tahu saya selalu setia kepada tujuan kita."
Viscount tersenyum, tetapi tatapannya dingin. "Kesetiaan Anda tidak diragukan, Baron. Namun, ada banyak mata yang mengamati setiap langkah kita. Satu langkah yang salah bisa menjadi senjata bagi musuh. Anda mengerti maksud saya?"
Baron tampak tegang sejenak sebelum menyembunyikannya dengan tawa canggung. Ia menyesap anggurnya, tetapi tidak cukup untuk menyembunyikan cara tangannya sedikit gemetar saat meletakkan kembali gelasnya. "Tentu, saya mengerti. Semua ini untuk kebaikan bersama. Dan tentu saja, untuk kepentingan Margrave."
"Tepat sekali," kata Viscount, mengamati reaksi Baron dengan saksama. "Namun, saya ingin memastikan Anda benar-benar siap menghadapi apa pun. Count Veraga mungkin akan mencoba mengacaukan rencana ini. Dan, tentu saja, Athaleyah sendiri harus diarahkan dengan bijak."
Baron bersandar ke depan, nada suaranya penuh semangat. "Jangan khawatir tentang Athaleyah. Dia sangat pintar, dia tahu apa yang harus dilakukan. Dengan sedikit arahan, dia akan menjadi Duchess yang tak tertandingi."
Viscount tersenyum kecil, tetapi matanya tetap tajam. "Kecerdasan bisa menjadi pedang bermata dua, Baron. Pastikan Athaleyah tahu ke mana harus mengarahkannya."
Baron mengangguk, meskipun mulai tampak sedikit gelisah dengan nada Viscount. "Tentu saja. Semua akan berjalan sesuai rencana."
Viscount berdiri, memberi isyarat bahwa pertemuan itu selesai. "Bagus. Saya akan melaporkan kemajuan ini kepada Grand Duke Margrave. Pastikan Anda tidak membuat kesalahan, Baron."
Baron juga berdiri, tergesa-gesa membungkuk dalam-dalam. "Anda dapat mengandalkan saya, Tuan."
Viscount membalas dengan senyum tipis sebelum meninggalkan ruangan. Saat pintu tertutup di belakangnya, senyum itu berubah menjadi ekspresi dingin dan penuh perhitungan. Di dalam ruangan, Baron menghela napas lega, tanpa menyadari bahwa dalam permainan ini, ia bukan pemain, melainkan hanya bagian dari papan.
---
Beberapa waktu setelahnya.
---
Seorang ayah duduk di tepi meja. Wajahnya serius, menatap anak perempuannya yang duduk diam di hadapannya.
"Kau harus menerima ini, anakku. Menikahlah dengannya. Ini akan mengubah hidupmu... dan hidup kita."
Anak perempuannya menunduk, jemarinya mencengkeram ujung gaunnya. "Tapi aku tidak bisa, Ayah... Beban ini terlalu berat. Aku tidak ingin menjadi bagian dari permainan ini."
Ayahnya menghela napas panjang. "Kau tidak punya pilihan. Ini lebih besar dari kita. Percayalah padaku, ini adalah jalan terbaik."
Gadis itu menggigit bibirnya, matanya dipenuhi ketakutan. "Tapi bagaimana jika aku gagal? Bagaimana jika aku tidak bisa menghadapinya?"
Ayahnya meraih bahunya, genggamannya dingin. "Kau tidak akan gagal. Kau hanya perlu mengikuti rencana ini. Jika ini berhasil... kita akan berada di puncak."
---
---
Sementara itu, di kediaman milik Baron Galina di Nauruan, Darius sedang menunggu di ruang tamu besar yang memiliki jejak kemewahan yang sudah mulai memudar. Ruangan itu cukup luas, dihiasi dengan furnitur antik yang terkesan mahal, namun sudah terlihat usang karena kurangnya perawatan. Lampu lilin bergoyang di meja panjang yang terbuat dari kayu gelap, memberikan cahaya temaram yang membentuk bayangan di dinding-dinding ruangan, yang meskipun luas, tampak suram dan tidak terurus. Di luar, angin malam menggoyang tirai tebal yang tampak usang, seakan menggambarkan betapa ruangan ini tidak lagi dipenuhi kehidupan seperti dulu.
Darius duduk dengan santai di kursi empuk yang seharusnya menjadi simbol kekayaan, namun terlihat sedikit kusam. Senyum tipisnya tidak bisa disembunyikan, merasa puas dengan segala perhitungan yang sudah dibuat. "Baron," kata Viscount dengan suara rendah namun tegas, "ini adalah kesempatan yang tak boleh disia-siakan. Peringatan saya jelas—kita berada di titik yang tepat. Pernikahan ini bukan hanya soal keuntungan politik, tetapi tentang meruntuhkan Veraga dan mengendalikan semuanya."
Robert, yang duduk di kursi seberang dengan postur canggung, menatap Darius dengan tatapan yang campur aduk antara harapan dan keraguan. Meskipun hidupnya penuh kemewahan, Robert selalu merasa ada yang kurang, sesuatu yang tidak bisa ia capai meskipun memiliki kekayaan. "Tapi, bisakah kita benar-benar mempercayai Duke Griffith? Dia tidak akan begitu saja jatuh dalam jebakan kita, bukan?" Suaranya terdengar ragu, seolah masih mencoba meyakinkan dirinya sendiri.
Darius tertawa pelan, nada suaranya penuh kepercayaan diri. "Duke Griffith bukan masalah, Baron. Kita bisa mengatur semuanya dengan mudah. Begitu kita memiliki Lady Athaleyah di sisi kita, tidak ada yang bisa menghalangi kita. Saya sudah memikirkan semuanya, termasuk bagaimana menanggulangi Veraga. Semua yang kita butuhkan adalah dorongan kecil dan bantuan dari putri Anda." Senyum Darius semakin lebar, penuh arti. "Lady Athaleyah akan bisa menundukkan Duke Griffith, bahkan mungkin para pengikutnya juga. Saya yakin dia memiliki kemampuan itu."
Robert merasa tenggorokannya kering, meskipun ia berusaha keras untuk tetap tenang. Setiap kata yang keluar dari mulut Darius terasa semakin menekan dirinya. "Athaleyah… ya, jika dia berhasil, maka ini akan mengubah segalanya," jawabnya, mencoba meyakinkan dirinya sendiri bahwa ini adalah kesempatan yang harus diambil.
Darius menatapnya lebih tajam, seolah mengukur setiap reaksi dari Robert. "Lady Athaleyah adalah kunci kita, Baron. Jika dia bisa mendapatkan posisi di sisi Duke Griffith, kita tidak hanya akan menguasai wilayah ini. Kita akan mengendalikan lebih banyak hal—lebih dari yang bisa Anda bayangkan." Kata-katanya menggantung di udara, memberikan beban berat yang seakan mengikat setiap kata yang keluar dari mulutnya.
Robert terdiam, matanya mengalihkan pandangannya ke jendela besar yang menghadap ke luar. Meskipun kediamannya besar dan mewah, terasa ada kekosongan yang mengganggu. Ia tahu ini adalah kesempatan besar, tetapi juga tak bisa menghilangkan perasaan bahwa dirinya sedang memainkan permainan yang jauh lebih berbahaya dari yang ia kira.
---
Beberapa waktu setelahnya
Di dalam manor yang diterangi cahaya temaram, sepasang suami istri duduk berhadap-hadapan di pojok ruangan.
Wanita itu menunduk, suaranya hampir tidak terdengar. "Aku takut... kita tak bisa keluar dari ini."
Lelaki itu menghela napas panjang, matanya penuh kebingungan dan kemarahan. "Kita terpojok. Tak ada pilihan lain. Semua ini... karena dia."
Wanita itu menggigit bibirnya, tangannya mengepal di atas pangkuan. "Jika mereka tahu... kita tidak hanya kehilangan segalanya. Kita akan mati."
Lelaki itu menatapnya dengan tajam, ekspresinya suram. "Kita sudah sampai di titik ini. Tidak ada jalan untuk mundur. Jika ini gagal... kita akan mati. Tapi kita harus maju, apapun yang terjadi."
---
Di luar manor, angin malam berembus kencang. Di kejauhan, cahaya dari ibu kota berkilauan di bawah langit yang gelap. Dan di dalam bayang-bayang, sesuatu telah mulai bergerak.
---
Hai, aku wolfy... Penulis cerita ini. Simak juga ceritaku yang lainnya... WANITA UNTUK MANUSIA BUAS (sudah tamat tapi sulit sekali mendapat kontrak dari GOODNOVEL) PAMANKU SUAMIKU MENJEMPUT ISTRIKU DUNIA MANUSIA BUAS SUAMIKU YANG BERBAHAYA KARENA KEBODOHANKU, AKU HAMPIR KEHILANGAN SUAMIKU SINGA BETINA MILIKKU (sequel lanjutan dari WANITA UNTUK MANUSIA BUAS, hanya saja kali ini wanita dari DUNIA MANUSIA BUAS yang terlempar ke DUNIA MODERN dan bertemu dengan CEO gahar.
**Bab 099 Julius Amshel**Kerumunan di stasiun Nauruan tetap ramai, namun kehadiran seorang pria berseragam militer di antara mereka perlahan menciptakan ruang kosong di sekitarnya.Tatapan Julius Amshel begitu dominan.Sosoknya tegak dan berwibawa, mantel militernya menjuntai sempurna tanpa ada satu pun lipatan yang tidak pada tempatnya. Dia tidak tergesa-gesa, tetapi tatapannya menuntut perhatian.Saat matanya menangkap sosok yang dicarinya, bibirnya menyunggingkan senyum tipis, bukan kehangatan, melainkan otoritas."Lady Athaleyah."Athaleyah, yang tengah berjalan bersama Saihan dan Kevin, segera berhenti.Sesaat, matanya membesar karena terkejut, tetapi hampir seketika juga ia kembali tenang, menyembunyikan reaksinya di balik ekspresi lembut yang tak terbaca.Dari sudut matanya, Saihan dan Kevin bertukar pandang s
**Bab 098 Kedengkian Seorang Wanita**Hanya tiga stasiun lagi sebelum kereta mencapai Nauruan. Perjalanan panjang mereka hampir berakhir. Besok pagi, mereka akan tiba di stasiun utama Nauruan, mengakhiri perjalanan yang penuh ketegangan terselubung dan pertemuan tak terduga.Saat kereta berhenti di Stasiun Velgrad, salah satu persinggahan terakhir sebelum perbatasan Nauruan, para penumpang turun untuk meregangkan tubuh atau mencari makanan. Seperti biasa, Athaleyah memilih duduk di salah satu kedai kecil, menikmati secangkir kopi sambil membaca koran.Ketenangan sesaat itu kembali terusik."Hei."Suara yang akrab itu terdengar di sampingnya. Tanpa perlu menoleh, Athaleyah sudah tahu siapa yang datang. Adrian Velmore.Dia tidak bergerak, hanya melirik sekilas dari sudut matanya sebelum kembali menatap lembaran koran. Sejak pertemuan pertama mereka beberapa har
**Bab 097 Memancing di Air Keruh**Setelah percakapan dengan Adrian dan Casandra berakhir, Athaleyah dengan tenang melangkah kembali ke kompartemen mereka. Saihan dan Kevin sudah lebih dulu berjalan di depannya, tidak memberikan komentar apa pun tentang interaksi yang baru saja terjadi di ruang tunggu Stasiun Grevin.Saat mereka memasuki kompartemen, Kevin duduk lebih dulu dengan santai, menyandarkan kepalanya pada dinding gerbong sambil menghela napas panjang. "Akhirnya, kita bisa kembali duduk dengan tenang. Aku tidak mengira kita harus berhenti selama ini hanya karena longsoran salju."Saihan tetap diam, memilih untuk duduk di dekat jendela, menatap pemandangan bersalju yang mulai bergerak perlahan saat kereta kembali berjalan. Wajahnya tidak menunjukkan ekspresi apa pun, seakan tidak tertarik dengan percakapan sebelumnya maupun kondisi perjalanan mereka.Athaleyah mengambil tempat duduk di sebera
**Bab 096 Pertemuan**Saat menunggu keberangkatan kembali di Stasiun Grevin, Athaleyah duduk dengan anggun di salah satu kursi kayu yang berjejer di ruang tunggu kelas atas. Matanya menatap jendela besar yang memperlihatkan hamparan salju di luar, seakan menikmati ketenangan sebelum perjalanan kembali berlanjut. Namun, ketenangan itu tidak berlangsung lama."Athaleyah?"Sebuah suara yang akrab namun membawa kenangan masa lalu menyapanya. Athaleyah menoleh dan mendapati seorang pria berpenampilan rapi berdiri di hadapannya. Rambut hitamnya tertata dengan sempurna, mantel panjang berwarna gelap membungkus tubuhnya dengan kesan aristokrat yang khas."Adrian Velmore," jawab Athaleyah dengan senyum tipis, menampilkan kesopanan yang terlatih.Adrian menatapnya dengan ekspresi yang sulit dibaca. Ada keterkejutan, ada rasa penasaran, dan ada sesuatu yang lebih dalam di balik sorot matany
**Bab 095 Syal**Udara di ruang kerja Hugh berat oleh kelelahan yang tidak diucapkan. Matahari musim dingin menyusup pelan melalui celah jendela tinggi, memantulkan bayangan panjang di atas lantai batu. Di belakang meja kayu besar, Hugh duduk membungkuk sedikit, tangan kirinya menopang pelipis, sementara tangan kanan menelusuri dokumen dengan gerakan lambat, nyaris malas. Bukan karena ia lengah, tapi karena pikirannya sudah jauh melampaui tinta dan lembaran-lembaran kertas itu.Di hadapannya, Alwyn berdiri seperti biasa, ramping, rapi, tak tergoyahkan. Sementara di samping Alwyn, Helena berdiri dengan sikap tenang, namun matanya mengamati Duke muda itu dengan kecemasan yang tak ia tunjukkan secara terang-terangan."Helena, ini saja yang kita dapatkan?" tanya Hugh. Suaranya tidak keras, tapi cukup untuk menghentikan detak jarum jam di ruangan itu."Ya, Tuanku," jawab Helena pelan, tapi mantap. "Tuan A
**Bab 094 Kekhawatiran**Senja di Kedai MegravUdara di luar kedai membeku hingga menusuk tulang. Tapi di dalam, hangatnya api dari tungku, aroma seduhan herbal, dan suara kayu yang berderak menciptakan suasana yang nyaris nyaman. Langit di luar berwarna jingga pekat saat pintu kayu berat itu terbuka, dan Marek melangkah masuk, mengguncang salju dari ujung mantel bulunya.Beberapa kepala mendongak. Pengembara hanya melirik sekilas, tapi para penduduk asli Megrav yang mengenalnya langsung menyapa dengan senyum ramah.''Selamat sore, Ibu Marek!'' seru Pak Rollo, tukang sepatu tua yang duduk di pojok bersama istrinya.''Ah, sore, Pak Rollo. Kau masih ingat janjimu untuk memperbaiki sepatu suamiku?'' balas Marek dengan senyum kecil.Rollo terkekeh. ''Tentu saja. Tapi beliau jarang di desa akhir-akhir ini. Terlalu sering mengurus para prajurit yang nyasar!''