**Bab 003: Konspirasi**
Di waktu yang lain, jauh sebelum pernikahan Atthy.
---
Di dalam kediaman pribadi Ratu Silvia, suasana terasa berat, penuh perhitungan dan intrik yang tidak terucapkan. Ruangan besar yang dipenuhi furnitur kayu tua berwarna gelap ini jarang sekali menyambut pengunjung luar, hanya mereka yang memiliki peran signifikan dalam kerajaan yang diizinkan melangkah ke dalamnya. Hari ini, hanya ada tiga orang yang memenuhi ruangan tersebut. Grand Duke Margrave, Pangeran Davion, dan Ratu Silvia, wanita bangsawan yang memiliki pemikiran tajam dan ambisi yang besar.
"Skythia telah jatuh," kata Silvia, suaranya dalam dan berat, seolah mengandung beban yang terlalu besar untuk ditanggung sendirian. "Kemenangan Hugh Griffith adalah masalah yang tidak bisa kita abaikan. Kita tahu bahwa ini hanya permulaan. Skythia sudah dikuasainya, dan dia tidak akan berhenti di sana."
Pangeran Davion duduk dengan tenang di kursi sebelah kanan kakeknya, memandangi Margrave dengan mata yang tajam. "Griffith semakin kuat," jawabnya, suara tegas namun terkendali. "Dengan Skythia dalam genggamannya, dia tak hanya menambah kekuasaannya di luar, tetapi juga di dalam kerajaan. Jika kita tidak bergerak cepat, dia akan menjadi ancaman yang lebih besar."
"Dan kita tahu siapa yang mengendalikan takhta saat ini. Hanya kita yang bisa memutuskan apa yang terjadi selanjutnya." Silvia menyipitkan matanya, penuh perhitungan.
Margrave mengangguk perlahan, ekspresinya tetap serius. "Davion, kamu tahu posisimu sendiri. Kita perlu lebih dari sekadar klaim kekuasaan. Kita membutuhkan pengaruh yang jauh lebih besar. Griffith sedang membangun kekuasaannya di luar, tetapi kita yang berada di dalam istana, kita yang mengendalikan alur sejarah. Kita tak bisa membiarkan mereka merebut itu."
Silvia menatap Margrave dengan penuh perhatian. "Dan kita tahu siapa yang mengendalikan takhta saat ini. Kita hanya butuh langkah yang lebih tajam."
Margrave tersenyum tipis. "Dan langkah itu ada di luar kerajaan. Kita butuh seseorang yang bisa kita kendalikan dari dalam."
"Seorang 'tumbal'," kata Silvia pelan. "Seseorang yang cukup berani untuk memasuki wilayah Griffith, namun cukup naif untuk tidak mengetahui bahayanya."
Margrave menatapnya, suara tegasnya penuh perhitungan. "Kita harus menemukan 'tumbal' yang tepat."
Viscount Darius Malenor Mencari Peluang
Viscount Darius Malenor mendekati Silvia dengan langkah terukur, matanya penuh perhitungan. Ia tahu bahwa Ratu tengah mencari peluang untuk memperkuat posisinya—dan itu adalah kesempatan yang tidak boleh dilewatkan.
"Permaisuri, saya mendengar Anda sedang mencari seseorang yang dapat memberikan dukungan strategis," katanya, nadanya penuh kehati-hatian, namun langsung ke inti. "Saya rasa saya bisa menawarkan sesuatu yang lebih dari sekadar dukungan."
Silvia mengangkat alis, tidak terkejut. Ia memperhatikan setiap gerakan Viscount dengan teliti, menilai lebih dari sekadar kata-kata yang diucapkannya. "Apa yang Anda tawarkan, Viscount?"
Viscount menundukkan kepala dengan hormat. "Saya tahu situasi politik di ibu kota cukup rumit, dengan persaingan yang terus berkembang. Namun, saya juga tahu bahwa tidak semua orang bisa melihat peluang di balik kabut ini. Klan Griffith dan Klan Margrave terjebak dalam pertarungan yang tak berkesudahan, dan saya yakin ada celah untuk dimainkan untuk Anda dan Pangeran Davion."
Silvia tetap tenang, menimbang kata-kata Viscount. "Anda pikir saya butuh seseorang seperti Anda untuk memanfaatkan itu?" tanyanya datar.
"Saya hanya ingin memberi tahu Anda bahwa saya memiliki koneksi yang bisa berguna bagi Anda, Permaisuri," jawab Viscount, suaranya rendah, hampir seperti bisikan. "Dan saya tahu bagaimana bergerak tanpa menarik terlalu banyak perhatian... baik bagi saya maupun bagi Anda."
Silvia mengamatinya sejenak. "Tunggu sebentar," katanya akhirnya, "Saya tidak tertarik pada permainan yang berisiko. Apa yang Anda tawarkan lebih dari sekadar bisikan kosong, Viscount?"
Viscount tersenyum tipis. "Kita semua tahu bahwa Anda tidak bermain dengan risiko, Permaisuri. Tapi terkadang, risiko terbesar adalah mengabaikan peluang yang ada di depan mata."
Silvia tidak segera menjawab. Namun dalam benaknya, ia tahu bahwa Viscount ini lebih dari sekadar pencari keuntungan biasa.
---
**Bidak**
Di ruang pertemuan pribadi, ketiganya duduk dalam sikap elegan namun penuh kewaspadaan.
Margrave menyesap anggurnya dengan malas, sebelum bersuara dengan nada sarkastis, "Viscount Darius Malenor—burung pipit yang terbang lebih tinggi dari anginnya. Hanya soal waktu sebelum dia lelah dan jatuh."
Davion menyeringai tipis. "Terlalu kecil untuk langit ini. Dia hanya burung yang ingin terbang, tapi sayapnya terlalu rapuh."
Silvia, yang lebih berhati-hati, menyandarkan tangannya di atas meja. "Tapi kadang burung pipit bisa mematuk jika kita lengah. Kita tahu dia baru, tapi mulut manisnya sudah berhasil menjangkau telinga yang lebih berpengaruh."
Margrave tertawa pelan. "Dia bisa berbicara sepanjang hari, tapi tak akan mengubah apa pun. Biarkan dia mengepakkan sayap, kita punya angin yang jauh lebih kuat."
Namun Davion justru menggeleng pelan, matanya menyipit. "Bukan itu yang menggangguku. Jika hanya ambisi, dia bukan ancaman. Tapi dia bukan hanya burung pipit yang berisik. Dia tahu ke mana dia ingin terbang."
Silvia menatapnya dengan tajam. "Maksudmu?"
Davion menekan ujung jarinya ke meja, berpikir. "Viscount ini... bukan hanya mencoba naik ke atas, tapi dia juga tahu ke mana arah angin. Ada seseorang yang membimbingnya, atau setidaknya, seseorang yang memberinya cukup keberanian untuk berbicara di hadapanmu, Permaisuri."
Ruangan itu jatuh dalam keheningan sejenak. Margrave, yang semula menganggap enteng, kini terlihat sedikit lebih serius.
Silvia akhirnya bersuara, suaranya dingin. "Tikus atau bukan, kita tak bisa terlena. Kadang yang tersembunyi adalah yang paling berbahaya."
Margrave menyudahi pembicaraan dengan senyum dingin. "Kita tahu tempat kita di langit ini. Biarkan si pipit itu terbang rendah. Jika dia terlalu berani, kita akan menghancurkan sayapnya."
---
**Konfrontasi Tiga Count**
Di sebuah ruangan mewah yang diterangi temaram cahaya lilin, tiga tokoh berpengaruh duduk mengelilingi meja bundar dari kayu hitam berukir. Aroma anggur tua bercampur dengan asap dupa tipis, menciptakan suasana yang sarat ketegangan. Bayangan mereka terpantul samar di permukaan kaca jendela besar yang menghadap ke kota, seolah menggambarkan permainan kekuasaan yang tengah berlangsung.
Count Markus Hazen membuka percakapan, senyumnya samar, namun tajam bak belati terselubung sutra.
"Viscount Darius Malenor? Bidak baru yang dibawa ke papan permainan ini. Aku bertanya-tanya, apa yang dilihat Margrave dalam dirinya selain sekadar ambisi mentah?"
Count Frendel Belatrix mendengus ringan, jari-jarinya mengetuk perlahan pada cangkir anggur yang belum ia teguk. Matanya menelusuri ruangan sebelum akhirnya menetap pada Markus.
"Ambisi mentah sering kali menjadi alat terbaik. Dia datang dari Nauruan, wilayah pinggiran yang bahkan tidak dipandang oleh sebagian besar bangsawan. Namun kini, dia berusaha menancapkan pengaruhnya di lingkaran ini. Aku hampir mengagumi keberaniannya, atau mungkin kebutaannya."
Viscount Dalmar Yegev, yang selama ini hanya menyimak dengan ekspresi santai, akhirnya berkomentar.
"Keberanian atau kebodohan? Kadang batasnya tipis, dan lebih sering daripada tidak, yang satu akan mengarah pada yang lain. Tapi satu hal yang jelas, Margrave tidak akan bertaruh pada seseorang tanpa alasan. Aku ingin tahu, apakah Darius Malenor benar-benar bidak… atau mungkin sesuatu yang lebih berbahaya?"
Markus mengetuk meja dengan jemarinya, irama ketukannya teratur, nyaris seperti hitungan waktu sebelum eksekusi. Suaranya tetap dingin, penuh perhitungan.
"Margrave memiliki mata yang tajam untuk memilih alat. Tapi alat ini, Darius Malenor, terlalu rapuh. Satu langkah yang salah, dan dia akan runtuh sebelum mencapai tujuannya."
Frendel menyeringai, kilauan licik terlihat dalam matanya. Ia menyandarkan tubuhnya, menikmati setiap kata yang keluar dari bibirnya.
"Itulah keindahannya. Seorang bidak seperti dia mudah diarahkan, bahkan lebih mudah dihancurkan. Pertanyaannya bukan apakah kita akan bergerak, tapi kapan kita mulai bermain?"
Dalmar mengangkat gelasnya, memutar anggur di dalamnya sebelum akhirnya menyesap perlahan. Nada suaranya sarat dengan ironi.
"Kita biarkan permainan berjalan. Tapi jika Margrave berpikir dia bisa menggunakan bidak seperti Darius Malenor tanpa konsekuensi, maka dia jelas meremehkan permainan ini."
Markus menatap kedua rekannya, matanya gelap, menyimpan rencana yang belum diutarakan.
"Kita awasi mereka. Biarkan Darius Malenor melangkah sejauh mungkin, sampai ia merasa memiliki kekuatan. Saat itulah kita tunjukkan bahwa kekuatan sejati hanya dimiliki oleh mereka yang tahu cara menggunakannya."
Frendel mengangkat cangkir anggurnya dengan senyum yang nyaris predatoris.
"Untuk kekuatan sejati, dan kejatuhan mereka yang tak cukup cerdik untuk bertahan."
Tiga cangkir beradu dalam dentingan halus. Di ruangan itu, kemenangan yang belum tercapai telah dirayakan dalam diam, sementara di luar sana, bidak yang mereka bicarakan mungkin baru saja melangkahkan kakinya ke dalam perangkap yang tak kasat mata.
---
**Bujuk Rayu**
---
Ruang pertemuan di Manor Baron Galina dipenuhi suasana yang mencoba menampilkan elegansi. Karpet tebal berwarna merah tua membentang di sepanjang lantai, sementara dinding dihiasi dengan lukisan potret keluarga Galina yang mencoba memberikan kesan aristokrat. Lilin-lilin di tempatnya memancarkan cahaya hangat, menciptakan bayangan di setiap sudut ruangan. Namun, kesan ini lebih terasa seperti upaya untuk menutupi kekurangan ketimbang menunjukkan kemegahan.
Viscount memasuki ruangan dengan langkah tenang, senyumnya tipis, tetapi matanya penuh perhitungan. Ia melirik sekeliling, jemarinya menyusuri tepi sarung tangannya dengan santai—gestur kecil yang tampak sepele, tetapi cukup untuk mengingatkan siapa pun yang memperhatikannya bahwa ia terbiasa memiliki kendali. Baron Galina segera berdiri dari kursinya, menyambut dengan nada yang dibuat-buat penuh semangat.
"Ah, Tuan Viscount! Sebuah kehormatan bagi rumah ini untuk menerima kunjungan Anda," kata Baron dengan gestur berlebihan, seperti seorang aktor di atas panggung.
Viscount menundukkan kepala sedikit, menahan senyum sinisnya. "Baron Galina, kehormatan ini sepenuhnya milik saya. Manor Anda memiliki suasana yang... khas."
Baron, yang tidak menangkap sindiran itu, tersenyum lebar. "Oh, terima kasih. Saya mencoba untuk menjaga standar aristokrat meskipun, tentu saja, tantangan selalu ada." Ia menunjuk kursi di seberangnya. "Silakan duduk, Tuan. Saya yakin kita memiliki banyak hal untuk dibicarakan."
Mereka duduk berhadap-hadapan. Viscount membiarkan keheningan menggantung beberapa saat, mengamati Baron seperti pemangsa menilai mangsanya. Baron menggenggam gelas anggur di depannya, jarinya mengetuk-ngetuk tepi kaca seolah mencari pegangan.
"Rencana kita berjalan sesuai yang diharapkan," kata Viscount akhirnya, nadanya santai tetapi penuh kendali. "Margrave telah menerima gagasan pernikahan Athaleyah dengan Duke Hugh. Sebuah langkah besar untuk memperkuat posisi keluarga Galina."
Baron Galina berseri-seri, rasa bangga memenuhi wajahnya. "Luar biasa! Saya tahu rencana ini akan berhasil. Athaleyah adalah permata keluarga kami, dan dia akan menjadi Duchess yang sempurna. Count Veraga pasti akan menyesal telah meremehkan saya."
Viscount mengangguk perlahan, membiarkan Baron berbicara lebih banyak. "Namun, saya harus mengingatkan Anda, Baron," katanya, nada suaranya berubah menjadi lebih serius, "bahwa langkah ini harus dikelola dengan sangat hati-hati. Anda paham betul, ini bukan hanya soal kehormatan keluarga Galina. Ini tentang memainkan peran dalam strategi besar Margrave."
Baron mengangguk cepat, meskipun sedikit bingung dengan maksud Viscount. "Tentu saja, tentu saja. Saya akan memastikan semuanya berjalan lancar. Anda tahu saya selalu setia kepada tujuan kita."
Viscount tersenyum, tetapi tatapannya dingin. "Kesetiaan Anda tidak diragukan, Baron. Namun, ada banyak mata yang mengamati setiap langkah kita. Satu langkah yang salah bisa menjadi senjata bagi musuh. Anda mengerti maksud saya?"
Baron tampak tegang sejenak sebelum menyembunyikannya dengan tawa canggung. Ia menyesap anggurnya, tetapi tidak cukup untuk menyembunyikan cara tangannya sedikit gemetar saat meletakkan kembali gelasnya. "Tentu, saya mengerti. Semua ini untuk kebaikan bersama. Dan tentu saja, untuk kepentingan Margrave."
"Tepat sekali," kata Viscount, mengamati reaksi Baron dengan saksama. "Namun, saya ingin memastikan Anda benar-benar siap menghadapi apa pun. Count Veraga mungkin akan mencoba mengacaukan rencana ini. Dan, tentu saja, Athaleyah sendiri harus diarahkan dengan bijak."
Baron bersandar ke depan, nada suaranya penuh semangat. "Jangan khawatir tentang Athaleyah. Dia sangat pintar, dia tahu apa yang harus dilakukan. Dengan sedikit arahan, dia akan menjadi Duchess yang tak tertandingi."
Viscount tersenyum kecil, tetapi matanya tetap tajam. "Kecerdasan bisa menjadi pedang bermata dua, Baron. Pastikan Athaleyah tahu ke mana harus mengarahkannya."
Baron mengangguk, meskipun mulai tampak sedikit gelisah dengan nada Viscount. "Tentu saja. Semua akan berjalan sesuai rencana."
Viscount berdiri, memberi isyarat bahwa pertemuan itu selesai. "Bagus. Saya akan melaporkan kemajuan ini kepada Grand Duke Margrave. Pastikan Anda tidak membuat kesalahan, Baron."
Baron juga berdiri, tergesa-gesa membungkuk dalam-dalam. "Anda dapat mengandalkan saya, Tuan."
Viscount membalas dengan senyum tipis sebelum meninggalkan ruangan. Saat pintu tertutup di belakangnya, senyum itu berubah menjadi ekspresi dingin dan penuh perhitungan. Di dalam ruangan, Baron menghela napas lega, tanpa menyadari bahwa dalam permainan ini, ia bukan pemain, melainkan hanya bagian dari papan.
---
Beberapa waktu setelahnya.
---
Seorang ayah duduk di tepi meja. Wajahnya serius, menatap anak perempuannya yang duduk diam di hadapannya.
"Kau harus menerima ini, anakku. Menikahlah dengannya. Ini akan mengubah hidupmu... dan hidup kita."
Anak perempuannya menunduk, jemarinya mencengkeram ujung gaunnya. "Tapi aku tidak bisa, Ayah... Beban ini terlalu berat. Aku tidak ingin menjadi bagian dari permainan ini."
Ayahnya menghela napas panjang. "Kau tidak punya pilihan. Ini lebih besar dari kita. Percayalah padaku, ini adalah jalan terbaik."
Gadis itu menggigit bibirnya, matanya dipenuhi ketakutan. "Tapi bagaimana jika aku gagal? Bagaimana jika aku tidak bisa menghadapinya?"
Ayahnya meraih bahunya, genggamannya dingin. "Kau tidak akan gagal. Kau hanya perlu mengikuti rencana ini. Jika ini berhasil... kita akan berada di puncak."
---
---
Sementara itu, di kediaman milik Baron Galina di Nauruan, Darius sedang menunggu di ruang tamu besar yang memiliki jejak kemewahan yang sudah mulai memudar. Ruangan itu cukup luas, dihiasi dengan furnitur antik yang terkesan mahal, namun sudah terlihat usang karena kurangnya perawatan. Lampu lilin bergoyang di meja panjang yang terbuat dari kayu gelap, memberikan cahaya temaram yang membentuk bayangan di dinding-dinding ruangan, yang meskipun luas, tampak suram dan tidak terurus. Di luar, angin malam menggoyang tirai tebal yang tampak usang, seakan menggambarkan betapa ruangan ini tidak lagi dipenuhi kehidupan seperti dulu.
Darius duduk dengan santai di kursi empuk yang seharusnya menjadi simbol kekayaan, namun terlihat sedikit kusam. Senyum tipisnya tidak bisa disembunyikan, merasa puas dengan segala perhitungan yang sudah dibuat. "Baron," kata Viscount dengan suara rendah namun tegas, "ini adalah kesempatan yang tak boleh disia-siakan. Peringatan saya jelas—kita berada di titik yang tepat. Pernikahan ini bukan hanya soal keuntungan politik, tetapi tentang meruntuhkan Veraga dan mengendalikan semuanya."
Robert, yang duduk di kursi seberang dengan postur canggung, menatap Darius dengan tatapan yang campur aduk antara harapan dan keraguan. Meskipun hidupnya penuh kemewahan, Robert selalu merasa ada yang kurang, sesuatu yang tidak bisa ia capai meskipun memiliki kekayaan. "Tapi, bisakah kita benar-benar mempercayai Duke Griffith? Dia tidak akan begitu saja jatuh dalam jebakan kita, bukan?" Suaranya terdengar ragu, seolah masih mencoba meyakinkan dirinya sendiri.
Darius tertawa pelan, nada suaranya penuh kepercayaan diri. "Duke Griffith bukan masalah, Baron. Kita bisa mengatur semuanya dengan mudah. Begitu kita memiliki Lady Athaleyah di sisi kita, tidak ada yang bisa menghalangi kita. Saya sudah memikirkan semuanya, termasuk bagaimana menanggulangi Veraga. Semua yang kita butuhkan adalah dorongan kecil dan bantuan dari putri Anda." Senyum Darius semakin lebar, penuh arti. "Lady Athaleyah akan bisa menundukkan Duke Griffith, bahkan mungkin para pengikutnya juga. Saya yakin dia memiliki kemampuan itu."
Robert merasa tenggorokannya kering, meskipun ia berusaha keras untuk tetap tenang. Setiap kata yang keluar dari mulut Darius terasa semakin menekan dirinya. "Athaleyah… ya, jika dia berhasil, maka ini akan mengubah segalanya," jawabnya, mencoba meyakinkan dirinya sendiri bahwa ini adalah kesempatan yang harus diambil.
Darius menatapnya lebih tajam, seolah mengukur setiap reaksi dari Robert. "Lady Athaleyah adalah kunci kita, Baron. Jika dia bisa mendapatkan posisi di sisi Duke Griffith, kita tidak hanya akan menguasai wilayah ini. Kita akan mengendalikan lebih banyak hal—lebih dari yang bisa Anda bayangkan." Kata-katanya menggantung di udara, memberikan beban berat yang seakan mengikat setiap kata yang keluar dari mulutnya.
Robert terdiam, matanya mengalihkan pandangannya ke jendela besar yang menghadap ke luar. Meskipun kediamannya besar dan mewah, terasa ada kekosongan yang mengganggu. Ia tahu ini adalah kesempatan besar, tetapi juga tak bisa menghilangkan perasaan bahwa dirinya sedang memainkan permainan yang jauh lebih berbahaya dari yang ia kira.
---
Beberapa waktu setelahnya
Di dalam manor yang diterangi cahaya temaram, sepasang suami istri duduk berhadap-hadapan di pojok ruangan.
Wanita itu menunduk, suaranya hampir tidak terdengar. "Aku takut... kita tak bisa keluar dari ini."
Lelaki itu menghela napas panjang, matanya penuh kebingungan dan kemarahan. "Kita terpojok. Tak ada pilihan lain. Semua ini... karena dia."
Wanita itu menggigit bibirnya, tangannya mengepal di atas pangkuan. "Jika mereka tahu... kita tidak hanya kehilangan segalanya. Kita akan mati."
Lelaki itu menatapnya dengan tajam, ekspresinya suram. "Kita sudah sampai di titik ini. Tidak ada jalan untuk mundur. Jika ini gagal... kita akan mati. Tapi kita harus maju, apapun yang terjadi."
---
Di luar manor, angin malam berembus kencang. Di kejauhan, cahaya dari ibu kota berkilauan di bawah langit yang gelap. Dan di dalam bayang-bayang, sesuatu telah mulai bergerak.
---
Hai, aku wolfy... Penulis cerita ini. Simak juga ceritaku yang lainnya... WANITA UNTUK MANUSIA BUAS (sudah tamat tapi sulit sekali mendapat kontrak dari GOODNOVEL) PAMANKU SUAMIKU MENJEMPUT ISTRIKU DUNIA MANUSIA BUAS SUAMIKU YANG BERBAHAYA KARENA KEBODOHANKU, AKU HAMPIR KEHILANGAN SUAMIKU SINGA BETINA MILIKKU (sequel lanjutan dari WANITA UNTUK MANUSIA BUAS, hanya saja kali ini wanita dari DUNIA MANUSIA BUAS yang terlempar ke DUNIA MODERN dan bertemu dengan CEO gahar.
**Bab 079 Perasaan Hati**Dapur Manor Eldoria terasa sunyi meski api di perapian masih menyala redup. Aroma teh yang mulai mendingin bercampur dengan udara dingin yang menyelinap masuk dari celah jendela. Helena duduk diam di kursinya, jemarinya mengaduk perlahan cangkir teh yang sudah kehilangan uapnya. Matanya menatap kosong ke permukaan meja, pikirannya melayang entah ke mana.Saihan melangkah masuk dengan ekspresi datar, namun sorot matanya tajam. Ia bersedekap sambil bersandar pada ambang pintu, memperhatikan Helena yang tampak muram."Kau belum tidur sejak semalam," ujar Saihan akhirnya.Helena menghela napas panjang sebelum menjawab lirih, "Aku tidak bisa. Aku terus memikirkan Duchess. Dia pasti ketakutan..."Saihan menggerakkan bahunya sedikit, seolah menepis pemikiran itu. "Leah tidak akan mudah menyerah. Aku mengenalnya lebih lama daripada kalian semua. Dia akan bertahan."Helena mengangkat pandangannya, menatap Saihan penuh keraguan. "Aku ingin percaya itu. Tapi tiga minggu
**Bab 078 Tekad**Manor Eldoria – Ruang Kerja DukeMalam telah larut, tetapi Hugh masih berdiri di depan jendela besar ruang kerjanya, menatap hamparan salju yang perlahan menutupi halaman Manor Eldoria. Udara dingin merayap masuk melalui celah kecil di jendela, seakan mencerminkan kebekuan yang masih tersisa dalam dirinya. Di luar sana, Ash telah pergi, membawa serta beban kekhawatiran seorang ayah. Namun, tanggung jawab kini sepenuhnya berada di pundaknya.Ruang kerja yang biasanya teratur kini tampak kacau. Beberapa peta terbuka di meja, dokumen berserakan, dan lilin yang hampir habis terbakar menunjukkan berapa lama Hugh telah tenggelam dalam pikirannya. Api di perapian menyala redup, menciptakan bayangan samar di dinding batu yang dingin.Hugh mengambil salah satu lembaran peta yang terbuka di mejanya. Matanya menelusuri titik-titik yang terhubung, mencoba merangkai jejak yang menghilang. Dengan gerakan tegas, ia mulai menunjuk satu per satu kemungkinan, mengolah setiap potongan
**Bab 077 Kembali Ke Caihina**Lorong di Manor Eldoria terasa sunyi ketika Ash akhirnya menemukan Helena berdiri di dekat jendela besar, menatap langit malam yang kelam. Cahaya lilin dari dinding menerangi wajahnya yang terlihat tenang, tetapi Ash tahu ada beban berat yang disembunyikannya."Lady Helena," panggil Ash dengan suara lembut.Helena menoleh, sedikit terkejut. "Tuan Galina.""Ash, saja."Helena terdiam sesaat, seolah menimbang sesuatu sebelum menjawab. "Bagaimana saya akan memanggil begitu pada—""Lady Helena, putriku telah mengakuimu sebagai sosok pengganti ibunya. Aku tahu siapa putriku, dia tidak akan mengakui itu pada sembarangan orang."Helena tertegun. Tatapan Ash serius, penuh kehangatan seorang ayah yang menilai seseorang tidak hanya dari tindakan, tetapi juga dari hatinya."Aku sendiri pun memahami kenapa putriku bisa bersikap seperti itu padamu. Kau memang memberikan kenyamanan. Aku tidak tahu bagaimana Atthy melihatnya, tapi aku nyaman bersamamu."Helena menunduk
**Bab 076 Meyakinkan**Manor Eldoria – Ruang Perjamuan PribadiHawa dingin masih terasa meskipun api di perapian menyala terang. Dua pria duduk berhadapan, keduanya memancarkan aura yang tak bisa diabaikan. Ashton Galina, dengan ekspresi tegas dan bahunya yang menegang, menatap Vadim Griffith yang tetap duduk tenang, meski sorot matanya tajam dan tak kalah kuat.Sejenak, keduanya hanya diam, menakar satu sama lain dalam keheningan yang penuh ketegangan.“Bagaimana bisa hingga saat ini, tidak ada satu pun petunjuk tentang keberadaan putri saya?” tanya Ash akhirnya, suaranya terdengar berat dan dipenuhi kekecewaan. “Dengan kekuasaan sebesar ini, Anda ingin saya percaya bahwa Anda benar-benar tidak memiliki apa pun di tangan?”Vadim tetap tak bereaksi. Dia hanya mengambil cangkir teh di depannya, meniup uapnya sebentar, lalu menyeruputnya dengan tenang sebelum akhirnya menjawab, “Aku mengerti frustrasimu, Tuan Galina. Kau ingin jawaban cepat, seperti seorang ayah yang kehilangan putrinya
**Bab 075 Introspeksi**Ruang Rapat Manor EldoriaSalju yang terus turun di luar jendela membuat suasana di dalam ruangan terasa semakin dingin dan suram. Cahaya lampu minyak berpendar samar di dinding batu, menciptakan bayangan yang bergerak seiring api yang bergetar.Vadim Griffith duduk di kursinya, wajahnya tanpa ekspresi seperti patung marmer. Di hadapannya berdiri tiga orang: Helena, Alwyn, dan Saihan."Grand Duke," Alwyn akhirnya memecah keheningan, "kami harus membicarakan sesuatu yang penting."Vadim menatapnya sekilas, lalu menoleh ke arah Saihan dan Helena. "Bicaralah.""Tiga minggu sudah berlalu, tapi kita belum memiliki kepastian tentang keberadaan Duchess," ujar Saihan, tangannya mengepal di sisi tubuhnya. "Tuan Ash jelas semakin tidak sabar. Dan Duke Hugh… kondisinya semakin buruk.""Aku tahu itu." Suara Vadim tetap datar."Tapi apakah Anda benar-benar menyadari dampaknya?" kali ini Helena yang angkat bicara. "Duke Hugh adalah pemimpin Skythia, tetapi dia juga seorang p
**Bab 074 Tamparan**Salju yang turun perlahan membungkus Manor Eldoria dalam keheningan yang semakin menyesakkan. Di beranda kamar Atthy, Hugh berdiri mematung, memandangi hamparan putih yang seolah tak berujung. Dingin yang menggigit tidak ia pedulikan, sama seperti ia tidak memedulikan waktu yang terus berjalan."Tuanku Duke..." panggil Helena, suaranya lembut namun cukup tegas untuk menembus lamunan Hugh.Hugh tidak menjawab, tapi Helena tahu bahwa ia sadar akan keberadaannya."Tuanku Hugh, Anda peduli pada Duchess, bukan?"Hugh tetap diam, tatapannya masih terpaku pada pemandangan luas di hadapannya dengan sorot mata sayu."Apakah Anda benar-benar peduli pada Duchess atau ini hanya formalitas karena harga diri Anda terusik?"Kali ini, mata Hugh beralih menatap Helena—bukan dengan kesedihan, melainkan dengan ketajaman yang menusuk.Helena menahan napas sejenak, lalu melanjutkan dengan suara yang lebih mantap. "Saat ini saya tidak memposisikan diri saya sebagai pelayan Anda, melain
**Bab 073 Kegundahan Ash**Salju turun perlahan di luar Manor Eldoria, menambah kesan sunyi dan muram yang sudah menyelimuti tempat itu selama dua minggu terakhir. Dingin menusuk hingga ke dalam, merayapi dinding-dinding batu yang kokoh. Di halaman, prajurit-prajurit masih berjaga, wajah mereka menunjukkan kelelahan yang tak terucapkan. Pencarian terus berlanjut, namun harapan semakin menipis.Di dalam sebuah ruang tunggu yang diterangi api perapian, suasana tak kalah tegang. Beberapa orang berdiri dalam diam, masing-masing tenggelam dalam pikirannya sendiri.''Tuan Ash, bagaimana dengan Tuan Rowt dan anak-anak?'' tanya Saihan, suaranya penuh kehati-hatian.Ash menghela napas panjang, sorot matanya yang lelah menatap lurus ke depan. ''Bagaimana aku akan pulang jika tidak ada kepastian mengenai putriku?''''Tuan Ash, Anda pun tahu kalau kami telah mengerahkan segala yang kami bisa... Lagi pula, Leah tidak akan diam-diam menunggu. Kita percaya padanya,'' ujar Saihan, mencoba meyakinkan.
**Bab 072 Vadim dan Ash**"Selamat siang, Yang Mulia Grand Duke Griffith." sapa Ash saat memasuki ruangan di mana Vadim telah menunggunya."Selamat siang, Tuan Ashton Galina," balas Vadim sambil mempersilakan Ash duduk di hadapannya. Tatapannya tajam, menilai pria di depannya dengan penuh kewaspadaan."Tuan Galina, mari kita langsung ke pokok permasalahan. Aku yakin kita berdua tidak menyukai basa-basi yang tidak perlu."Ash mengangguk, ekspresinya tetap tegas. "Terima kasih atas pengertiannya, Grand Duke. Kita sama-sama tahu situasi yang sedang terjadi. Maka, izinkan saya bertanya langsung. Sebagai pemimpin keluarga Griffith, bagaimana pertanggungjawaban Anda atas hilangnya anak perempuan saya?"Vadim tidak segera menjawab. Dia menatap Ash, membiarkan ketegangan menggantung di antara mereka sebelum akhirnya berbicara, suaranya dalam dan penuh otoritas. "Aku mengerti keresahanmu. Anak perempuanmu adalah menantuku. Kehormatan Griffith dipertaruhkan atas dirinya."Mata Ash menyipit sedi
**Bab 071 Vadim dan Athaleyah**Kediaman Manor Eldoria - Ruang Tamu KhususRuangan itu luas, namun atmosfernya terasa menekan. Api di perapian menyala redup, memancarkan cahaya keemasan yang membentuk bayangan panjang di dinding batu. Hawa dingin dari luar tetap terasa, meski ruangan ini sudah dihangatkan. Di dalamnya, duduklah seorang wanita dengan sorot mata yang tajam, tetapi posturnya tetap menunjukkan kehormatan yang dijunjungnya.Athaleyah Galina Nauruan.Di hadapannya, berdiri seorang pria dengan aura dominasi yang luar biasa. Vadim Griffith.Sejenak, tak ada yang berbicara. Hanya suara api yang berderak perlahan.Vadim menatapnya, dalam dan tajam. Dia telah mendapatkan cukup banyak informasi tentang wanita di hadapannya, wanita yang memiliki nama yang sama dengan istri putranya. Namun, mengetahui dari laporan dan menghadapinya secara langsung adalah dua hal yang berbeda.Athaleyah tidak gentar. Meskipun di hadapannya berdiri salah satu pria paling berkuasa di wilayah utara, ia