"Mas Fandi ...," lirih Karin.
Dokter Fandi mendekat dan langsung menggendong Kamal yang meronta-ronta dari gendongan Karin. Bayi lucu itu tersenyum dan tertawa saat wajahnya diciumi pria yang sebentar lagi akan menjadi Papa sambungnya.
Bolehkah aku cemburu?
Kamal darah dagingku, tapi kenapa dia seolah lebih dekat dengan Dokter Fandi?
Aku menoleh pada Papa yang menepuk pundak, lalu tersenyum dan segera menyeka air mata.
"Papa bangga padamu," ucapnya dengan mata berembun.
Mendengar ucapan itu, aku langsung memeluk Papa. Aku butuh kekuatan agar bisa ikhlas dan kuat menerima kenyataan kalau dua orang yang kusayangi akan menjadi milik orang lain.
"Kamu kuat, Mal. Kamu hebat
Jangan lupa dukung cerita ini dengan memberikan vote kalian. Terima kasih banyak.
Semakin mendekati akad nikahku dengan Mas Malik, keraguan kembali hadir menggangu pikiran. Aku sampai tidak bisa tidur nyenyak hingga kesehatan menjadi terganggu. Aku merasa ada yang dia sembunyikan. Entahlah. Semakin dipikirkan, kepala ini malah semakin sakit. Terlebih lagi, aku tidak berani bertanya karena takut menyinggung perasaannya. Sakit kepalaku semakin menjadi sejak mimpi buruk kembali hadir mengusik ketenangan. Tak hanya itu, tapi sering muncul sekelebatan bayangan aku tengah bersama laki-laki, tapi tidak jelas seperti apa rupanya. Mungkinkah itu wajah Mas Fandi atau Mas Malik? Sayang, semakin mencoba mengingatnya, malah membuatku semakin tertekan dan stress. Aku frustasi sendiri. Terlebih lagi, Mas Fandi tak pernah sekali pun mengirim pesan atau menghubungi.
Sebulan telah berlalu sejak hari di mana terukir sejarah manis untuk Karin, tapi pahit untukku. Kini, wanita berhati lembut itu telah berbahagia dengan pasangan baru, sedangkan diri ini masih merana. Meratapi kebodohan yang membuatku harus kehilangan berlian indah. Sesal ini tak bertepi karena Karin takkan pernah kembali di hidupku. Kondisi kakiku sudah membaik. Akan tetapi, sesekali masih harus melakukan pengecekan dan terapi. Dokter juga melarang mengangkat beban berat yang mengharuskan bertumpu kuat pada kaki. Ekonomi semakin memburuk, sedangkan hidup harus terus berjalan. Aku berusaha mencari pekerjaan ke sana-kemari, tapi belum juga berhasil. Kemarin sempat pergi ke alamat kantor yang diberikan Anthony. Katanya, di sana sedang buka lowongan untuk staf baru. Sayang seribu sayang, aku ditolak karena saingan yang lebih tinggi pendidikannya dan lebih banyak pengalaman.
Aku tengah duduk di ayunan besi bersama Kamal, saat tiba-tiba setangkai mawar terulur padaku dari belakang. Senyum ini langsung merekah saat menghidu aroma maskulin yang sangat kusuka darinya."Mas ...." Aku menoleh, tersenyum. Begitu juga dengan Mas Fandi."Assalamu'alaikum, Bidadariku," salamnya, lalu mengecup pipiku dan kepala Kamal yang ada di pangkuan."Wa'alaikumsalam," sahutku sembari menerima bunga pemberiannya. "Mas datang dari tadi?" tanyaku saat menyadari dia sudah berganti pakaian santai."Hem, lumayan. Lima belas menitan yang lalu." Mas Fandi mengitari ayunan, lalu ikut duduk di sampingku. Mengambil Kamal dan memindahkan ke pangkuannya."Papapapa," celoteh Kamal sembari menepuk-nepuk pipinya.Mas Fandi tertawa saat melihat putra kami meniup-niup udara sampai bibirnya bergetar. Dengan gemasnya dia
~MALIK~🌸🌸🌸Aku yang masih berada di bengkel mendapatkan panggilan dari Fandi. Dia memberitahu kalau sekarang tengah dalam perjalanan menuju rumahnya Ayu bersama Karin. Lekas kutinggalkan motor yang masih di periksa dan bergegas menyusul keduanya ke sana.Bertepatan dengan aku yang turun dari ojek, mobil Fandi pun baru tiba di sana. Keduanya kompak melempar senyum ramah seraya berjalan mendekat. Melihatku, Kamal langsung meronta-ronta dari gendongan Karin dengan tangannya yang terjulur ke arahku."Kangen papanya dia," ujar Fandi sembari tersenyum."Jagoan papa. Sini," ucapku seraya mengambilnya dari gendongan Karin. Mencium kedua pipinya berkali-kali hingga dia tertawa geli. "Maaf, ya, Jagoan. Seminggu ini papa nggak datang," ucapku seraya mengusap kepalanya. "Ayo kita masuk!"&nb
~KARIN~ 🌸🌸🌸 Terkadang, dalam hidup kita tidak mendapatkan apa yang diinginkan. Bahkan, kisah hidup kadang tak sejalan dengan impian. Tak jarang kita melepas sesuatu yang berharga dan baru menyesal setelah kehilangan. Sebenarnya, kita tidak pernah kehilangan apa pun dalam hidup. Mungkin saja semua itu ditukar atau diganti dengan sesuatu yang lebih indah. Seperti kisah hidupku sekarang. Aku pernah kehilangan pria yang sangat kucintai, tapi lihatlah sekarang. Aku mendapatkan pria yang jauh berkali-kali lipat lebih baik dan tahu bagaimana menghargai pasangan. Tak perlu kita menyesal apa yang terjadi dalam hidup karena itu semua sudah menjadi skenario-Nya. Begitu juga dengan yang tengah dialami Ayu sekarang. Dia mungkin kehilangan dua orang yang p
~MALIK~ 🌸🌸🌸 Aku tersenyum melihat interaksi Fandi dan Karin yang romantis. Ikut merasakan bahagia meski tak kupungkiri cemburu itu masih ada. Keduanya menoleh saat aku memanggil untuk berpamitan pulang. Sempat kulambaikan tangan yang dibalas Fandi dengan melambaikan tangan mungil Kamal. Ketiganya benar-benar terlihat serasi dan harmonis. Gambaran keluarga bahagia yang tak Karin dapatkan saat bersamaku dulu. Motor melaju sedang membelah keramaian jalanan. Sempat terbayang adegan ketiganya tadi seolah Fandi berubah menjadi diriku. Aku tersenyum, menggeleng cepat demi mengusir pikiran yang sempat melintas itu. Karin sudah bahagia ... itu yang terpenting sekarang. Kuhembuskan napas panjang saat sesak kembali mendera. Susah sekali melupa
~KARIN~🌸🌸🌸Tak pernah diduga berita duka itu akan datang pagi ini. Aku yang tengah menyiapkan sarapan dibantu Bi Wati, seketika syok saat mendengar kabar dari Mas Malik bahwa Mama meninggal. Beliau memang lumpuh, tapi kondisi fisiknya sehat. Tak kusangka beliau akan pergi secepat ini. Sudah pasti Mas Malik terpukul berat. Bisa terdengar dari bagaimana dia menangis tadi.Aku dan Mas Fandi bergegas ke sana. Kamal yang masih tertidur pulas pun terpaksa dibangunkan. Hanya diganti pakaiannya tanpa mandi terlebih dahulu. Sepanjang perjalanan, aku masih tak bisa berhenti menitikkan air mata meski Mas Fandi berusaha menenangkan.Kilas balik hubungan kami kembali hadir satu per satu memenuhi kepala. Beliau memang tak pernah sekali pun bersikap baik, tapi tak pernah aku menyimpan dendam. Meski beliau tak pernah menerima diri ini sebagai menantu, ta
~KARIN~ 🌸🌸🌸🌸 Aku tertegun melihat wanita dengan pakaian celana jeans ketat dan atasan polos yang dibalut dengan cardigan. Bukan hanya itu yang membuatku terkejut, tapi luka lebam di wajahnya . "Maaf, siapa, ya?" tanyaku lembut. "Ini rumahnya Fandi?" Wanita itu bertanya balik. "Fandi?" "Iya. Fandi Setiawan." "Benar. Kamu ada perlu apa mencari suamiku?" "Em, boleh aku masuk dulu?" "Oh ... iya, iya. Silakan masuk," ucapku meski sempat sedikit bingung. Ayu yang sedang duduk di karpet bersama Kamal, seketika menatap pada kami yang berjalan beriringan. "Duduklah,"