Dalam hitungan detik, Awan sudah tergeletak di tanah dengan posisi kedua tangan menutupi bagian wajah. Berusaha melindungi bagian-bagian sensitif seperti mata dan kepalanya agar tidak mengalami cedera.
Cantigi yang juga terperanjat melihat mahluk itu melompat, menyambar ke arah Awan pun tidak berpikir panjang segera melangkah dengan tergesa-gesa, berniat menolong Awan. Sialnya, lumut-lumut membuat pijakannya begitu licin, ia pun gagal mempertahankan keseimbangan tubuhnya. Ketika tubuh Cantigi siap terjatuh ke belakang, tiba-tiba saja muncul seseorang dari belakang.
“Kau tidak apa-apa?” tanya seorang laki-laki sambil menarik tangan Cantigi tepat waktu sebelum benar-benar terjatuh.
“Eh, tidak apa-apa, terima kasih!” jawab Cantigi singkat, lantas melihat ke arah Awan.
Awan ternyata sudah berdiri sambil menggendong mahluk berbulu belang itu. Ternyata, mahluk itu hanyalah seekor kelinci hutan, yang melompat karena kaget saja dengan kehadiran manusia. Ukurannya yang besar dengan corak khasnya memang membuatnya sekilas terlihat seperti seekor harimau muda.
Melihatnya, Cantigi pun mulai bernapas lega. Awan mengembalikan kelinci hutan itu ke semak-semak. Cantigi menyumpah dalam hati. Bisa-bisanya dirinya dibuat tegang oleh seekor kelinci hutan seperti tadi.
“Kalian sedang apa?” laki-laki yang menolong Cantigi pun ragu-ragu bertanya, tidak mengerti dengan apa yang sedang terjadi.
“Eh, oh tidak apa-apa” jawab Cantigi sambil nyengir, tidak ingin membahas kejadian tadi lebih panjang lagi.
‘Bisa malu sih kalau sampai ada orang tahu tentang kejadian tadi’ gumam Cantigi dalam hati.
Awan yang baru menyadari keberadaan laki-laki itu pun memberikan tatapan penuh kecurigaan. Laki-laki itu bisa dibilang adalah orang pertama yang berhasil menyembunyikan keberadaannya dari Awan.
Bahkan sekecil apapun suara, Awan akan bisa mendengarnya. Lantas, bagaimana mungkin laki-laki ini bisa muncul, tanpa terdeteksi oleh Awan sama sekali sebelumnya?
“Sudah selesai ambil airnya?” tanya laki-laki itu.
“Eh, iya!” jawab Cantigi singkat.
“Kalau sudah selesai ambil air, sebaiknya segera tinggalkan tempat ini. Sudah menjelang gelap, hewan liar kehausan mungkin sedang menuju ke sini.”
Mereka pun segera beranjak, kembali ke tenda. Sepanjang perjalanan kembali, Cantigi dan Tegar banyak mengobrol. Sedangkan Awan hanya melangkah bersama mereka tanpa mengeluarkan sepatah kata, seperti biasa. Dari obrolan inilah Cantigi tahu bahwa, laki-laki itu bernama Tegar, alumni dari jurusan berbeda di kampus yang sama dengannya.
Ketika sudah dekat dengan area tenda, dari kejauhan tampak Jhagad sedang memperhatikan mereka. Sampai di depan tenda Cantigi, Tegar berpamitan sambil menunjuk ke arah di mana letak tendanya berada. Tegar pun sempat memberikan senyuman tipis ke arah Jhagad yang berdiri di samping tenda saat melewatinya. Jhagad hanya membalasnya dengan senyum tipis juga.
“Siapa?” Jhagad bertanya kepada Cantigi.
“Oh itu, senior!” Cantigi menjawab singkat kemudian bergabung dengan Rosie untuk menyiapkan makanan. Sementara Jhagad masih memperhatikan Tegar dari kejauhan.
Malam pun mulai menjelang, suhu di area Pos Empat malam ini jauh lebih dingin dibandingkan malam sebelumnya. Api unggun pun dinyalakan. Jazlan, Cantigi dan Rosie menghangatkan diri di dekat api unggun sambil menghabiskan camilannya. Sedangkan Jhagad menemani Awan menikmati indahnya langit, di batang pohon tumbang tidak jauh dari tenda.
“Kalian tidak penasaran dengan Hutan Terlarang?” tanya Jazlan iseng.
“Tidak sama sekali. Horor begitu!” jawab Rosie datar.
Di sisi lain, Cantigi terkesiap setelah mendengar kata Hutan Terlarang disebut. Tangannya yang sejak tadi aktif sekali menyuapkan camilan ke mulutnya pun terhenti. Nafsu makannya hilang begitu saja.
“Atas alasan apa pun, kalian jangan pernah memasuki wilayah Hutan Terlarang!” kata Cantigi memperingatkan.
“Ah, tidak seru!” ucap Jazlan sembarangan.
“Jangan bercanda! Kali ini aku serius!” nada bicara Cantigi berubah menjadi lebih tegas.
Tegar yang datang mendekat ke arah api unggun pun mendengar obrolan mereka. Kemudian menimpali, memberikan pendapatnya.
“Cantigi benar. Kalau kalian ingin pulang ke rumah dengan selamat maka jangan pernah menginjakkan kaki di wilayah Hutan Terlarang”
Rosie dan Jazlan memandang ke arah Tegar dengan ekspresi penuh tanya. ‘Siapa orang ini, baru datang, tidak memperkenalkan diri langsung nimbrung saja di sini?’
“Oh maaf, perkenalkan Tegar.”
Setelah merasa terintimidasi dengan tatapan Rosie dan Jazlan akhirnya Tegar pun sadar dan memperkenalkan diri.
Jazlan dan Rosie pun memperkenalkan diri mereka balik kepada Tegar. Pembicaraan tentang Hutan Terlarang pun dilanjutkan dengan Tegar yang bergabung bersama mereka sebagai sumber informasi tambahan.
“Kenapa orang bisa tidak selamat, Bang?” tanya Jazlan penuh keingintahuan.
Melihat kilatan dari tatapan mata Jazlan, membuat Tegar pun mau tidak mau mulai menceritakan apa saja yang diketahuinya tentang Hutan Terlarang.
“Tempat itu sudah memakan banyak korban sampai sekarang. Setiap pendaki yang tersesat tidak pernah ditemukan, atau jika ditemukan pasti dalam keadaan yang sudah tidak bernyawa. Kalian pasti sudah pernah dengar isu tentang mahluk penghuni Hutan Terlarang bukan?”
“Pernah, memangnya benar ada, Bang?” tanya Rosie ikut penasaran.
Tegar awalnya ragu-ragu ketika ingin menjelaskan tentang mahluk ini. Karena mungkin ini bisa mengusik ingatannya yang telah lalu. Kenangan buruk yang membuatnya setiap tahun paling tidak satu kali datang ke Gunung Argon ini.
Tapi, entah kenapa ia berpikir bahwa sudah saatnya orang-orang mengetahui lebih banyak tentang Hutan Terlarang. Ia pun mulai memberanikan diri, menjelaskan satu per satu apa yang diketahui.
“Entah kalian akan percaya atau tidak. Tapi, salah satu temanku ada yang menjadi korbannya.”
Mendengarnya, Cantigi yang sejak tadi diam memperhatikan pun menatap Tegar lamat-lamat. Rosie dan Jazlan pun jadi tidak enak sendiri karena merasa sudah membangkitkan kenangan yang menyedihkan seseorang.
“Eh, kalian tidak perlu merasa bersalah seperti itu.”
Tegar jadi salah tingkah sendiri melihat cara mereka menatapnya. Untuk kemudian melanjutkan ceritanya.
“Dulu, temanku tanpa sengaja memasuki Hutan Terlarang. Namun, dia berhasil ditemukan oleh tim pencari. Kondisinya benar-benar mengenaskan, dia seperti orang yang mengalami gangguan mental. Sebelum akhirnya..”
Tiba-tiba saja Tegar tercekat, tidak bisa melanjutkan kalimatnya. Cantigi menunduk, seperti merasakan apa yang sedang Tegar coba jelaskan. Rosie dan Jazlan semakin merasa bersalah mendengarnya.
“Sebelum akhirnya, temanku itu meninggal.”
Suasana hening sejenak.
“Kalian tahu? Sampai meninggal, temanku itu sering sekali berteriak ketakutan. Selayaknya menyuruh mahluk tertentu menjauh darinya”.
Semua diam, tidak ada seorang pun yang berani menanggapi kalimat Tegar barusan.
“Aku pun sudah bertanya kepada beberapa penduduk asli yang tinggal di sekitar Gunung Argon ini. Tapi percuma, tidak satu pun orang mau menjelaskan tentang mahluk ini. Setiap kali aku menyebut mahluk ini, orang yang mendengarnya pasti langsung ketakutan dan memilih pergi.”
“Lalu?” Jazlan keceplosan bertanya karena saking penasarannya.
Rosie reflek menyikut lengan Jazlan. Memperingatkannya agar bisa membaca kondisi dan tidak berbuat seenaknya sendiri. Sementara Cantigi, entah kenapa malam ini menjadi lebih pendiam sekali.
“Lalu bagaimana? Sayangnya tidak ada lanjutannya, sampai sekarang pun aku sendiri tidak tahu kebenarannya. Tapi, entah kenapa aku memilih percaya bahwa mahluk itu memang ada. Kalian tentu berhak untuk tidak percaya. Seperti yang sudah kukatakan di awal.”
Jazlan dan Rosie hanya terdiam mendengarnya. Cantigi apalagi, hanya duduk menggenggam tangan, berusaha menyembunyikan tangannya yang bergetar.
“Tunggu dulu. Kenapa aku bisa bercerita panjang lebar begini kepada kalian yang jelas-jelas baru beberapa menit lalu kutahu namanya?” Tegar berusaha mencairkan suasana yang kelabu sekali di antara mereka.
“Maaf Bang, Rosie memang begitu, kebanyakan tanya, jadilah orang-orang sering keceplosan cerita dibuatnya” Jazlan mencoba bergurau.
“Enak saja! Kau duluan yang tanya!” ucap Rosie kesal sambil memukul lengan Jazlan sedikit keras.
“Aduh, iya iya, sakit tahu!” kata Jazlan sambil menghindari pukulan dari Rosie.
Suasana di sekitar api unggun pun menjadi lebih mencair.
Saking hanyutnya dalam cerita Tegar, mereka sampai tidak sadar ada mata yang sedari tadi menatap tajam. Bukan milik kelinci hutan atau bahkan mahluk penghuni terlarang, Jhagadlah pemiliknya.
Walaupun Jhagad secara fisik berada di sebelah Awan, namun fokusnya tidak di sana. Angin malam yang dingin mungkin tidak dirasakannya. Tubuhnya terasa panas, entah karena apa. Sementara itu, Awan merasakan sesuatu yang berbeda malam itu.
“Ada yang aneh,” Awan mulai bicara.
“Memang aneh,” jawab Jhagad ketus sambil tetap memperhatikan arah api ungun.
“Firasatku tidak enak,” ucap Awan dengan nada sedikit khawatir.
“Sejak pertama aku sudah tahu,” ucap Jhagad ketus.
‘Tahu apa?’ gumam Awan dalam hati.
Awan yang menyadari ada yang berbeda dengan fokus pembicaraannya dengan Jhagad pun menoleh ke arah Jhagad. Benar saja, apa yang dimaksud Jhagad tidak sama dengannya.
Mereka sedang membicarakan hal yang berbeda. Awan pun menghembusan napas panjang. Kemudian menyikut lengan Jhagad, membuatnya sadar. Jhagad pun menoleh.
“Eh, kenapa?” ucap Jhagad sambil terheran-heran melihat ekspresi Awan yang sudah masam.
“Lupakan!” jawab Awan ketus.
“Eh, jangan begitu, maaf maaf, kau bilang sesuatu tadi?” ucap Jhagad dengan nada memohon.
Awan hanya memasang wajah datar, “Bukan apa-apa.”
Jhagad pun menyerah. Jika sudah begini, Jhagad tahu benar bahwa Awan sudah tidak akan mau menjelaskan apa-apa lagi kepadanya. Di desak sampai mulutnya berbusa pun tidak akan mengubah apa-apa. Suasana pun kembali hening.
***
Sementara itu, jauh di arah timur, tepatnya di area Hutan Terra didekat Pos Tiga, ada segerombolan orang yang tengah menyisir hutan. Dua orang berseragam merah dengan logo rangers gunung di bagian dada memimpin di depan, dan satu lagi diposisi paling belakang. Sementara di tengah, terdapat tiga orang berseragam coklat dengan pistol di saku kanan celananya.
Satu orang berjaket hitam sedang mengendap-endap di balik semak-semak. Seperti sedang bersembunyi dari sesuatu. Orang berjaket hitam itu berjalan semakin menjauhi jalur pendakian, masuk lebih dalam ke arah Hutan Terra di sekitar Pos Tiga.
Bukan hanya Cantigi yang panik, Rosie, Tegar dan Jazlan juga. Kedua orang laki-laki itu tampak melongok ke jembatan yang sudah tergantung ke sisi jurang.Melihat Jhagad bergelantungan, Jazlan mau bergerak menolong. “Gad!?”“Biar aku saja, kau tunggu di sini,” cegah Tegar sambil sudah bergerak, menuruni jembatan itu.“Bertahan, Gad!” teriak Jazlan.Jhagad sendiri tampak sedang bergelantungan, tangannya berpegang ke tali jembatan terbawah sambil kakinya menendang-nendang Mahluk Haus Darah yang memegangi kakinya.“Bantu aku,” Awan tiba-tiba berteriak, membuat Jazlan menoleh.Ternyata, laki-laki itu sedang memegangi tali jembatan yang masih terikat di pohon.Beruntungnya, kebakarannya tidak sampai melahap tanaman di sekitar jembatan gantung itu.“Talinya sudah menipis sekali,” kata Jazlan seketika melihat kondisi talinya.Sementara itu, Tegar tampak sudah akan sampai di posisi Jhagad.“Hati-hati!” teriak Cantigi, Rosie menatap harap-harap cemas.“Naik, buat apa kau turun?!” ucap Jhagad ke
Para perempuan tampak istirahat. Jazlan dan Tegar juga. Lumayan, masih tersisa beberapa jam sebelum mereka harus berlari nanti.Tinggallah Awan dan Jhagad saja yang masih terjaga. “Kau tidak tidur?” tanya Jhagad kepada Awan.“Bisa kita bicara di luar?” Awan justru bertanya balik.“Bicara apa?”“Tempat buang air,” ucap Awan dengan nada serius sambil melirik ke arah sahabatnya.Paham dengan maksud Awan, Jhagad mengiyakan. “Oh, ok.”Kepada yang lain mungkin Jhagad bisa pura-pura dan menyembunyikan semuanya. Tapi, kepada Awan lain cerita.Di saat orang-orang tidak curiga, hanya Aw
“Tenang, sepertinya, mereka tidak bisa melihat kita dalam kabut ini,” kata Awan, berdiri di samping Rosie.“Benar. Sebaiknya kita bergegas,” Jhagad yang di depan pun segera memberikan komando.Mereka terus berjalan, sambil melihat ke bayangan di kabut untuk jaga-jaga.Tapi, Mahluk Haus Darah itu tidak menyerang. Sepertinya benar, mereka aman di dalam lingkup kabut itu.Beberapa menit kemudian, sebuah cahaya lampu kuning terlihat.“Jogoboyo?!” sapa Jhagad.“Cepat ikuti aku,” ucap Jogoboyo sambil berjalan.Jhagad dan rekan-rekannya pun mengikuti ke mana Jogoboyo pergi.
“Benar, ‘kan? Ini bukan langkah manusia,” ucap Tegar kepada Jhagad. “Aku tahu, tapi tidak perlu membuat orang semakin takut bukan?” sindir Jhagad, membuat Tegar menoleh ke belakang. Melihat Rosie dan rombongan perempuan lainnya, ia pun merasa bersalah karena membuat mereka tegang begitu. “Sorry-sorry, kemungkinan itu suara langkah hewan. Jangan panik” “Heh. Langkahnya semakin mendekat, mengarah ke sini,” kata Jazlan sambil bersiap dengan tongkat pendaki yang ia bawa sejak tadi. “Jangan menyerang lebih dulu. Matikan saja headlampnya,” usul Tegar. “Ha? Serius?” sahut Sivi seolah tidak setuju dengan ide Tegar itu. “Serius. Ini ruangan tertutup, kalau itu hewan buas, kita sebaiknya tidak menyerang, tapi bersembunyi. Satu-satunya cara sembunyi ya cuma membuat gelap ruangan, agar hewan itu tidak melihat.” “Kalau itu hewan yang peka dengan bau manusia bagaimana?” “Iya juga.” Tegar jadi berpikir ulang.
“Sepertinya benar ini lorong bawah tanah. Ujungnya tidak terlihat, masuklah,” jawab Tegar.Mendengarnya, Jhagad dan Jazlan pun saling tatap. Seolah sudah bersepakat, Jhagad masuk ke dalam peti itu lebih dulu.Jhagad sudah ada bersama Tegar, giliran Jazlan menyusul.Dengan bantuan cahaya headlamp yang redup, mereka bertiga pun mulai melihat lorong bawah tanahnya.“Coba lihat ini!” kata Tegar yang sedang memeriksa sebuah lukisan di dinding sebelah kanan.Jhagad dan Jazlan berjalan mendekat. Melihat lukisan itu, Jazlan berceletuk. “Peta?”“Sepertinya iya. Ini benteng, ini padang rumputnya.” Jhagad berkata sambil menunjuk ke arah peta, menunjuk tempat yang ia sebut.“Dan yang ini, sepertinya jalur lorong ini.” Tegar menunjuk jalur di peta itu. “Kalau dari sini, lorongnya terhubung dengan salah satu gua di dekat jembatan. Benar ‘kan?”“Kupikir juga begitu.” Jhagad setuju.“Hah…!” Jazlan menghela napas lega. “Ok, aku akan menyusuri lorong ini kalau begitu.”“Kalau menurutku, sebaiknya kita
Bukannya menjawab pertanyaan Cantigi, Jazlan justru memanggil Awan, “Wan!”Awan pun menoleh. Jazlan menatapnya, mereka pun saling tatap untuk beberapa detik. Sementara, yang lainnya masih menunggu. Jhagad mulai menyadari bahwa ada hal yang serius hanya dari melihat ekspresi Jazlan saat itu. Jazlan orang yang penuh humor tiba-tiba saja menunjukkan ekspresi tegang, jelas bukan pertanda baik. Bahkan Rosie pun juga ikut tegang dibuatnya.“Kau ingat jembatan gantungnya?” tanya Jazlan sambil masih menatap Awan.Untuk sejenak, Awan terlihat berpikir. Mencoba mengingat-ingat kembali tentang jembatan gantung yang menjadi pembatas dan satu-satunya penghubung antara Hutan Terra dan Hutan Terlarang. Ekspresi Awan lantas berubah ketika akhirnya mengingat sesuatu. Hal kecil yang ternyata bisa berdampak kepada risiko dan ancaman yang skalanya lebih besar.“Gerbang jembatan gantungnya terbuka,” ucap Awan dengan nada suara yang tampak menyesal.“Benar,” Jazlan membenarkan.“Gerbang jembatan gantung? M