/ Thriller / MEREKA BEBAS KETIKA KALIAN MATI / BAB 8: Teror Padang Rumput

공유

BAB 8: Teror Padang Rumput

작가: WiRahayuSsi
last update 최신 업데이트: 2022-02-14 10:08:04

Di sisi lain Hutan Terlarang, terlihat para pendaki juga mulai kelelahan. Di area yang cukup luas, mereka satu persatu terduduk di tanah, melemaskan kaki yang sedari tadi dipaksa berlari. Ada yang mengeluarkan air untuk sekadar melepas dahaganya. Ada juga yang memilih menggeletakkan tubuhnya, telentang melepas lelah.

Beberapa pendaki lain masih terus berdatangan ke area tersebut. Seorang laki-laki tinggi tegap, yang tidak lain adalah Jazlan, terlihat berjalan sempoyongan, sambil menggandeng bahu seorang pendaki muda yang jalannya terseok-seok.

<<Flashback>>

           

Ketika hendak menuju jembatan gantung, kerumunan para pendaki yang berlarian kian tidak terbendung. Jazlan yang notabennya memiliki badan tinggi besar pun sampai terseret karena saking banyaknya pendaki yang menyerbu, berebut untuk menuju jembatan gantung itu. Apalagi Rosie, astaga, melihatnya terseret di tengah kerumunan pendaki pasti membuat siapapun jeri.

“Hei! Awas, minggir-minggir, aku mau lewat!” Jazlan yang posisinya terlalu jauh mencoba untuk melawan arus kerumunan pendaki, untuk menyelamatkan Rosie.

Namun sia-sia, badannya malah semakin terbawa kerumunan dan mulai memasuki jembatan. Beruntungnya, dari kejauhan, Jazlan melihat posisi Awan yang lebih dekat dengan Rosie mulai memaksa menyibak kerumunan dan merangsek ke arah Rosie. Jazlan pun hanya bisa berharap Awan akan dapat menjangkau dan menyelamatkan Rosie.

Sementara itu, Jazlan yang sudah berada di jembatan gantung pun bertabrakan dengan seorang pendaki muda. Dari caranya berjalan, tampak kakinya sedang terluka.

Jazlan kemudian mengambil posisi di sampingnya dan berusaha menyeimbangkan diri, meraih pundak pendaki itu, menuntunnya berjalan agar tidak terjatuh dan berkata, “Kubantu.”

“Eh. Aku bisa sendiri,” kata pendaki muda itu, sambil melepaskan tangan Jazlan dari pundaknya.

“Baiklah!” Jazlan pun menjawabnya agak kesal.

Tapi, tiba-tiba pendaki muda itu terdorong lagi, oleh kerumunan pendaki. Belum sampai benar-benar terjatuh, Jazlan lagi-lagi menarik tubuhnya.

“Lepaskan!” kata pendaki muda itu dengan nada kasar.

“Diamlah! Aku tidak mau melihat orang mati terinjak-injak,” kali ini Jazlan mengabaikan perkataan pendaki muda itu, dan tetap menuntunnya berjalan.

Pendaki muda itu hanya diam. Sekeras apapun dia berusaha menyingkirkan tangan Jazlan dari pundaknya, dia tidak bisa. Sebenarnya dia malu karena untuk berjalan saja harus dituntun oleh orang lain, yang bahkan belum dia kenal. Dan memang sudah tabiatnya tidak ingin bergantung pada orang lain.

Sejak kecil dia selalu melakukan apapun sendiri, bagaimanapun keadaannya, dia tidak sudi untuk meminta bantuan kepada orang lain. Tapi kali ini dia membiarkan orang membantunya, toh dia tidak meminta, jadi terima saja, pikirnya.

“Kau sendirian?” Jazlan bertanya sambil menuntun pendaki muda itu berjalan.

“Tidak!”  kata pendaki muda itu sambil sesekali meringis kesakitan.

“Lantas di mana teman-temanmu sekarang?”

“Cih, teman macam apa!” jawab pendaki muda itu ketus.

“Katamu tidak sendiri tadi, kalau bukan teman berarti keluarga?” Jazlan bingung, kenapa juga dia marah.

“Bukan!”

“Lantas?”

“Hanya orang yang pergi diklat bersama saja.”

“Itu teman,” ucap Jazlan sedikit kesal.

“BUKAN!,” ucap pendaki muda itu tidak kalah kesal.

“Terserah kau saja lah… Lantas di mana orang-orang itu sekarang?”

“Aku tidak tahu!”

Dalam hati, Jazlan bergumam, ‘astaga, teman-temanku juga terpencar, entah di mana’.

Sambil tetap melangkah maju, Jazlan melirik ke arah Awan dan Rosie, namun sayang mereka tidak terlihat lagi. Bahkan sekarang nasibnya sama dengan pemuda ini. Ia pun menghembuskan napas pelan.

“Beberapa menit lalu teman-temanku masih terlihat, tapi sekarang kami terpencar-pencar juga. Yasudah, kuantar kau dulu sampai bertemu teman-temanmu”

“Mereka bukan temanku”

“Apapun kau menyebutnyalah! Namamu?”

“Riki,” jawab pendaki muda itu ketus.

“Aku Jazlan,” kata Jazlan sambil berusaha menahan amarahnya. ‘Anak ini benar-benar menyebalkan’, gumamnya dalam hati.

Kali ini, Jazlan memilih lebih fokus membantu Riki terlabih dahulu. Rosie pasti sudah aman bersama Awan, pikirnya. Sampai di ujung jembatan gantung, Jazlan membantu memapah Riki berjalan mencari teman-temannya, masuk ke dalam Hutan Terlarang.

“Kalau melihat temanmu, segera bilang,” kata Jazlan.

“Berapa kali kubilang, mereka bukan temanku,” jawab Riki kesal.

“Iya, iya, siapapun itulah,” Jazlan tidak kalah kesal.

Sudah terlalu jauh mereka berdua berjalan, masuk ke dalam hutan terlarang. Tapi teman-teman Riki masih belum juga terlihat. Sampai di tempat di mana asap sudah mulai tidak menjamah, banyak pendaki yang mulai melepas lelah.

“Kita istirahat sebentar di sini,” kata Jazlan sambil menuntun Riki mencari tempat istirahat.

<<< Flashback End>>>

           

Jazlan membantu Riki duduk di sebuah batang pohon tumbang. Kemudian melihat ke sekeliling.

“Dari semua pendaki yang di sini, teman-temanmu, eh, maksudku orang yang kau kenal tidak terlihat?” tanya Jazlan.

“Tidak,” kata Riki setelah melihat satu per satu ke arah para pendaki di sekeliling tempat ini.

“Tapi teman-temanmu, eh maksudku kenalanmu itu, kau yakin pergi ke arah hutan terlarang?”

“Kemungkinan besar.”

“Mereka itu juga pakai seragam yang sama denganmu?”

“Iya.”

“Oke, kau tunggu di sini, aku akan berkeliling sebentar mencari mereka. Siapa tahu ketemu.”

Riki diam saja. Tidak menjawab perkataan Jazlan.

“Santai saja,” ucap Jazlan sok keren sambil melangkah pergi setelah menepuk pundak Riki.

Jazlan berkeliling, mencari pendaki yang menggunakan seragam diklat warna orange, sama seperti yang dikenakan oleh Riki. Sebenarnya Jazlan juga berusaha mencari Awan dan Rosie, walaupun memang tidak mungkin menemukan mereka di sini, pikirnya.

Jazlan ingat benar, Awan bilang mereka akan menyisir sungai, jadi tidak mungkin masuk ke dalam area hutan terlarang ini. Pikirannya pun juga masih dipenuhi kekhawatiran terhadap Jhagad dan Cantigi.

“Bagaimanapun, aku harus segera menemukan teman-teman Riki agar bisa segera mencari teman-temanku sendiri”, kata Jazlan pelan, sambil menyemangati dirinya sendiri.

Jazlan pun melempar jauh matanya ke segala arah. Jarang sekali dia melihat pendaki menggunakan baju berwarna orange. Namun, matanya terhenti pada satu pendaki yang memakai baju warna orange, di arah jam 12 di mana ia berdiri.

Tidak menunggu lama, Jazlan pun menghampiri pendaki  berbaju orange itu. Kemudian, ia menepuk punggung pendaki itu. Pendaki itu pun menoleh.

“Eh, maaf, salah orang,” kata Jazlan salah tingkah karena tidak melihat bet organisi di saku depan baju orange pendaki itu.

Pendaki berbaju orange itu pun hanya mengangguk. Kemudian melanjutkan bicara dengan teman-temannya. Jazlan segera mengambil langkah seribu, sebelum bertambah malu.

Agak frustasi, Jazlan melanjutkan langkahnya, mencari lebih jauh lagi. Tiba-tiba, dari arah jembatan gantung, banyak pendaki yang berlari-lari, diikuti oleh asap yang mulai menyebar lagi. Sepertinya kebakaran di hutan keraton semakin parah. Jazlan pun berlari menuju ke arah Riki.

Riki bingung melihat Jazlan datang sambil berlari.   

“Ayo, negara api menyerang,” kata Jazlan sembarangan.

Riki pun mengernyitkan alisnya, tanda tidak mengerti maksud perkataan Jazlan.

“Asapnya mulai menyebar lagi, bahaya bisa mati sesak napas kalau tetap disini,” jawab Jazlan sedikit lebih serius.

Mendengarnya, Riki pun mulai berdiri, dibantu oleh Jazlan dan mereka pun melanjutkan berjalan. Masuk semakin jauh, ke dalam Hutan Terlarang. Benar kata orang-orang, Hutan Terlarang memang benar-benar masih perawan. Lebat tanamannya seperti belum pernah terjamah.

“Ayo kita bergegas! Tanaman di sini dominan tanaman yang mudah sekali terbakar. Bisa gawat jika ada sedikit saja kebakaran,” kata Jazlan.

Riki pun menyadari hal itu. Ia pun mulai memaksakan diri, mempercepat kaki, menahan sakit.

KRU.. KRU..KRU..

Kicauan burung juga menemani sepanjang mereka berjalan. Semakin lama, datarannya semakin tidak terlihat dasarnya. Mereka pun sampai di area yang sangat luas yang dipenuhi rumput setinggi betis orang dewasa.

“Tempat apa lagi ini?” tanya Jazlan sembarangan setelah melihat Padang Rumput yang begitu lebat dan rapat.

“Tunggu!” Riki tiba-tiba memberhentikan langkahnya tepat sebelum memasuki area Padang Rumput itu.

“Kenapa?” tanya Jazlan tidak mengerti.

“Di film, orang-orang tersesat yang berjalan terlalu jauh akan mati!”

“Hahahaha.” Jazlan tidak bisa membendung tawanya.

Riki pun langsung melototinya.

“Eh, maaf-maaf. Jadi, kau takut?” tanya Jazlan usil.

Riki hanya diam, dengan raut wajah yang kesal.

“Tenanglah, jangan takut, aku akan menjagamu!” kata Jazlan semakin usil.

“Siapa? Aku? Jangan bercanda! Aku hanya memperingatkanmu saja,” kata Riki sambil memaksakan diri melangkah memasuki area Padang Rumput.

“Dasar anak nakal! Hei tunggu!” kata Jazlan sambil menyusul Riki dan membantunya melangkah lagi.

Ketika memasuki area Padang Rumput itu, para pendaki yang awalnya berjalan cepat pun menjadi melambat. Takut-takut menyibak lebatnya rumput liar di sepanjang jalan.

Ketakutan itu bukan tanpa alasan. Di tengah rimbunnya rumput liar ini tidak akan ada yang tahu jika ada ular yang menggeliat disela-selanya. Atau bahkan hewan buas yang sedang mengintai mangsanya. Tempat ini sungguh cocok sekali.

SREK.. SREK..

Para pendaki pun terjingkat, kala mendengar suara gesekan rumput dari arah yang tidak ada satupun pendaki di sana. Suara itu sukses membuat para pendaki terdiam, memperhatikan sekitar, termasuk Jazlan dan Riki tentunya.

“Hei! Kau dengar?” tanya Riki sedikit berbisik kepada Jazlan.

이 책을 계속 무료로 읽어보세요.
QR 코드를 스캔하여 앱을 다운로드하세요

최신 챕터

  • MEREKA BEBAS KETIKA KALIAN MATI   BAB 87 : TAMAT

    Bukan hanya Cantigi yang panik, Rosie, Tegar dan Jazlan juga. Kedua orang laki-laki itu tampak melongok ke jembatan yang sudah tergantung ke sisi jurang.Melihat Jhagad bergelantungan, Jazlan mau bergerak menolong. “Gad!?”“Biar aku saja, kau tunggu di sini,” cegah Tegar sambil sudah bergerak, menuruni jembatan itu.“Bertahan, Gad!” teriak Jazlan.Jhagad sendiri tampak sedang bergelantungan, tangannya berpegang ke tali jembatan terbawah sambil kakinya menendang-nendang Mahluk Haus Darah yang memegangi kakinya.“Bantu aku,” Awan tiba-tiba berteriak, membuat Jazlan menoleh.Ternyata, laki-laki itu sedang memegangi tali jembatan yang masih terikat di pohon.Beruntungnya, kebakarannya tidak sampai melahap tanaman di sekitar jembatan gantung itu.“Talinya sudah menipis sekali,” kata Jazlan seketika melihat kondisi talinya.Sementara itu, Tegar tampak sudah akan sampai di posisi Jhagad.“Hati-hati!” teriak Cantigi, Rosie menatap harap-harap cemas.“Naik, buat apa kau turun?!” ucap Jhagad ke

  • MEREKA BEBAS KETIKA KALIAN MATI   BAB 86: Sebuah Pengorbanan

    Para perempuan tampak istirahat. Jazlan dan Tegar juga. Lumayan, masih tersisa beberapa jam sebelum mereka harus berlari nanti.Tinggallah Awan dan Jhagad saja yang masih terjaga. “Kau tidak tidur?” tanya Jhagad kepada Awan.“Bisa kita bicara di luar?” Awan justru bertanya balik.“Bicara apa?”“Tempat buang air,” ucap Awan dengan nada serius sambil melirik ke arah sahabatnya.Paham dengan maksud Awan, Jhagad mengiyakan. “Oh, ok.”Kepada yang lain mungkin Jhagad bisa pura-pura dan menyembunyikan semuanya. Tapi, kepada Awan lain cerita.Di saat orang-orang tidak curiga, hanya Aw

  • MEREKA BEBAS KETIKA KALIAN MATI   BAB 85: Identitas Serigala dan ...

    “Tenang, sepertinya, mereka tidak bisa melihat kita dalam kabut ini,” kata Awan, berdiri di samping Rosie.“Benar. Sebaiknya kita bergegas,” Jhagad yang di depan pun segera memberikan komando.Mereka terus berjalan, sambil melihat ke bayangan di kabut untuk jaga-jaga.Tapi, Mahluk Haus Darah itu tidak menyerang. Sepertinya benar, mereka aman di dalam lingkup kabut itu.Beberapa menit kemudian, sebuah cahaya lampu kuning terlihat.“Jogoboyo?!” sapa Jhagad.“Cepat ikuti aku,” ucap Jogoboyo sambil berjalan.Jhagad dan rekan-rekannya pun mengikuti ke mana Jogoboyo pergi.

  • MEREKA BEBAS KETIKA KALIAN MATI   BAB 84: Serigala Penjaga, Siapa Sebenarnya?

    “Benar, ‘kan? Ini bukan langkah manusia,” ucap Tegar kepada Jhagad. “Aku tahu, tapi tidak perlu membuat orang semakin takut bukan?” sindir Jhagad, membuat Tegar menoleh ke belakang. Melihat Rosie dan rombongan perempuan lainnya, ia pun merasa bersalah karena membuat mereka tegang begitu. “Sorry-sorry, kemungkinan itu suara langkah hewan. Jangan panik” “Heh. Langkahnya semakin mendekat, mengarah ke sini,” kata Jazlan sambil bersiap dengan tongkat pendaki yang ia bawa sejak tadi. “Jangan menyerang lebih dulu. Matikan saja headlampnya,” usul Tegar. “Ha? Serius?” sahut Sivi seolah tidak setuju dengan ide Tegar itu. “Serius. Ini ruangan tertutup, kalau itu hewan buas, kita sebaiknya tidak menyerang, tapi bersembunyi. Satu-satunya cara sembunyi ya cuma membuat gelap ruangan, agar hewan itu tidak melihat.” “Kalau itu hewan yang peka dengan bau manusia bagaimana?” “Iya juga.” Tegar jadi berpikir ulang.

  • MEREKA BEBAS KETIKA KALIAN MATI   BAB 83: Bulan Purnama dan ...

    “Sepertinya benar ini lorong bawah tanah. Ujungnya tidak terlihat, masuklah,” jawab Tegar.Mendengarnya, Jhagad dan Jazlan pun saling tatap. Seolah sudah bersepakat, Jhagad masuk ke dalam peti itu lebih dulu.Jhagad sudah ada bersama Tegar, giliran Jazlan menyusul.Dengan bantuan cahaya headlamp yang redup, mereka bertiga pun mulai melihat lorong bawah tanahnya.“Coba lihat ini!” kata Tegar yang sedang memeriksa sebuah lukisan di dinding sebelah kanan.Jhagad dan Jazlan berjalan mendekat. Melihat lukisan itu, Jazlan berceletuk. “Peta?”“Sepertinya iya. Ini benteng, ini padang rumputnya.” Jhagad berkata sambil menunjuk ke arah peta, menunjuk tempat yang ia sebut.“Dan yang ini, sepertinya jalur lorong ini.” Tegar menunjuk jalur di peta itu. “Kalau dari sini, lorongnya terhubung dengan salah satu gua di dekat jembatan. Benar ‘kan?”“Kupikir juga begitu.” Jhagad setuju.“Hah…!” Jazlan menghela napas lega. “Ok, aku akan menyusuri lorong ini kalau begitu.”“Kalau menurutku, sebaiknya kita

  • MEREKA BEBAS KETIKA KALIAN MATI   BAB 82: Harus Kembali Ke Jembatan Gantung

    Bukannya menjawab pertanyaan Cantigi, Jazlan justru memanggil Awan, “Wan!”Awan pun menoleh. Jazlan menatapnya, mereka pun saling tatap untuk beberapa detik. Sementara, yang lainnya masih menunggu. Jhagad mulai menyadari bahwa ada hal yang serius hanya dari melihat ekspresi Jazlan saat itu. Jazlan orang yang penuh humor tiba-tiba saja menunjukkan ekspresi tegang, jelas bukan pertanda baik. Bahkan Rosie pun juga ikut tegang dibuatnya.“Kau ingat jembatan gantungnya?” tanya Jazlan sambil masih menatap Awan.Untuk sejenak, Awan terlihat berpikir. Mencoba mengingat-ingat kembali tentang jembatan gantung yang menjadi pembatas dan satu-satunya penghubung antara Hutan Terra dan Hutan Terlarang. Ekspresi Awan lantas berubah ketika akhirnya mengingat sesuatu. Hal kecil yang ternyata bisa berdampak kepada risiko dan ancaman yang skalanya lebih besar.“Gerbang jembatan gantungnya terbuka,” ucap Awan dengan nada suara yang tampak menyesal.“Benar,” Jazlan membenarkan.“Gerbang jembatan gantung? M

더보기
좋은 소설을 무료로 찾아 읽어보세요
GoodNovel 앱에서 수많은 인기 소설을 무료로 즐기세요! 마음에 드는 책을 다운로드하고, 언제 어디서나 편하게 읽을 수 있습니다
앱에서 책을 무료로 읽어보세요
앱에서 읽으려면 QR 코드를 스캔하세요.
DMCA.com Protection Status