Share

BAB 8: Teror Padang Rumput

Di sisi lain Hutan Terlarang, terlihat para pendaki juga mulai kelelahan. Di area yang cukup luas, mereka satu persatu terduduk di tanah, melemaskan kaki yang sedari tadi dipaksa berlari. Ada yang mengeluarkan air untuk sekadar melepas dahaganya. Ada juga yang memilih menggeletakkan tubuhnya, telentang melepas lelah.

Beberapa pendaki lain masih terus berdatangan ke area tersebut. Seorang laki-laki tinggi tegap, yang tidak lain adalah Jazlan, terlihat berjalan sempoyongan, sambil menggandeng bahu seorang pendaki muda yang jalannya terseok-seok.

<<Flashback>>

           

Ketika hendak menuju jembatan gantung, kerumunan para pendaki yang berlarian kian tidak terbendung. Jazlan yang notabennya memiliki badan tinggi besar pun sampai terseret karena saking banyaknya pendaki yang menyerbu, berebut untuk menuju jembatan gantung itu. Apalagi Rosie, astaga, melihatnya terseret di tengah kerumunan pendaki pasti membuat siapapun jeri.

“Hei! Awas, minggir-minggir, aku mau lewat!” Jazlan yang posisinya terlalu jauh mencoba untuk melawan arus kerumunan pendaki, untuk menyelamatkan Rosie.

Namun sia-sia, badannya malah semakin terbawa kerumunan dan mulai memasuki jembatan. Beruntungnya, dari kejauhan, Jazlan melihat posisi Awan yang lebih dekat dengan Rosie mulai memaksa menyibak kerumunan dan merangsek ke arah Rosie. Jazlan pun hanya bisa berharap Awan akan dapat menjangkau dan menyelamatkan Rosie.

Sementara itu, Jazlan yang sudah berada di jembatan gantung pun bertabrakan dengan seorang pendaki muda. Dari caranya berjalan, tampak kakinya sedang terluka.

Jazlan kemudian mengambil posisi di sampingnya dan berusaha menyeimbangkan diri, meraih pundak pendaki itu, menuntunnya berjalan agar tidak terjatuh dan berkata, “Kubantu.”

“Eh. Aku bisa sendiri,” kata pendaki muda itu, sambil melepaskan tangan Jazlan dari pundaknya.

“Baiklah!” Jazlan pun menjawabnya agak kesal.

Tapi, tiba-tiba pendaki muda itu terdorong lagi, oleh kerumunan pendaki. Belum sampai benar-benar terjatuh, Jazlan lagi-lagi menarik tubuhnya.

“Lepaskan!” kata pendaki muda itu dengan nada kasar.

“Diamlah! Aku tidak mau melihat orang mati terinjak-injak,” kali ini Jazlan mengabaikan perkataan pendaki muda itu, dan tetap menuntunnya berjalan.

Pendaki muda itu hanya diam. Sekeras apapun dia berusaha menyingkirkan tangan Jazlan dari pundaknya, dia tidak bisa. Sebenarnya dia malu karena untuk berjalan saja harus dituntun oleh orang lain, yang bahkan belum dia kenal. Dan memang sudah tabiatnya tidak ingin bergantung pada orang lain.

Sejak kecil dia selalu melakukan apapun sendiri, bagaimanapun keadaannya, dia tidak sudi untuk meminta bantuan kepada orang lain. Tapi kali ini dia membiarkan orang membantunya, toh dia tidak meminta, jadi terima saja, pikirnya.

“Kau sendirian?” Jazlan bertanya sambil menuntun pendaki muda itu berjalan.

“Tidak!”  kata pendaki muda itu sambil sesekali meringis kesakitan.

“Lantas di mana teman-temanmu sekarang?”

“Cih, teman macam apa!” jawab pendaki muda itu ketus.

“Katamu tidak sendiri tadi, kalau bukan teman berarti keluarga?” Jazlan bingung, kenapa juga dia marah.

“Bukan!”

“Lantas?”

“Hanya orang yang pergi diklat bersama saja.”

“Itu teman,” ucap Jazlan sedikit kesal.

“BUKAN!,” ucap pendaki muda itu tidak kalah kesal.

“Terserah kau saja lah… Lantas di mana orang-orang itu sekarang?”

“Aku tidak tahu!”

Dalam hati, Jazlan bergumam, ‘astaga, teman-temanku juga terpencar, entah di mana’.

Sambil tetap melangkah maju, Jazlan melirik ke arah Awan dan Rosie, namun sayang mereka tidak terlihat lagi. Bahkan sekarang nasibnya sama dengan pemuda ini. Ia pun menghembuskan napas pelan.

“Beberapa menit lalu teman-temanku masih terlihat, tapi sekarang kami terpencar-pencar juga. Yasudah, kuantar kau dulu sampai bertemu teman-temanmu”

“Mereka bukan temanku”

“Apapun kau menyebutnyalah! Namamu?”

“Riki,” jawab pendaki muda itu ketus.

“Aku Jazlan,” kata Jazlan sambil berusaha menahan amarahnya. ‘Anak ini benar-benar menyebalkan’, gumamnya dalam hati.

Kali ini, Jazlan memilih lebih fokus membantu Riki terlabih dahulu. Rosie pasti sudah aman bersama Awan, pikirnya. Sampai di ujung jembatan gantung, Jazlan membantu memapah Riki berjalan mencari teman-temannya, masuk ke dalam Hutan Terlarang.

“Kalau melihat temanmu, segera bilang,” kata Jazlan.

“Berapa kali kubilang, mereka bukan temanku,” jawab Riki kesal.

“Iya, iya, siapapun itulah,” Jazlan tidak kalah kesal.

Sudah terlalu jauh mereka berdua berjalan, masuk ke dalam hutan terlarang. Tapi teman-teman Riki masih belum juga terlihat. Sampai di tempat di mana asap sudah mulai tidak menjamah, banyak pendaki yang mulai melepas lelah.

“Kita istirahat sebentar di sini,” kata Jazlan sambil menuntun Riki mencari tempat istirahat.

<<< Flashback End>>>

           

Jazlan membantu Riki duduk di sebuah batang pohon tumbang. Kemudian melihat ke sekeliling.

“Dari semua pendaki yang di sini, teman-temanmu, eh, maksudku orang yang kau kenal tidak terlihat?” tanya Jazlan.

“Tidak,” kata Riki setelah melihat satu per satu ke arah para pendaki di sekeliling tempat ini.

“Tapi teman-temanmu, eh maksudku kenalanmu itu, kau yakin pergi ke arah hutan terlarang?”

“Kemungkinan besar.”

“Mereka itu juga pakai seragam yang sama denganmu?”

“Iya.”

“Oke, kau tunggu di sini, aku akan berkeliling sebentar mencari mereka. Siapa tahu ketemu.”

Riki diam saja. Tidak menjawab perkataan Jazlan.

“Santai saja,” ucap Jazlan sok keren sambil melangkah pergi setelah menepuk pundak Riki.

Jazlan berkeliling, mencari pendaki yang menggunakan seragam diklat warna orange, sama seperti yang dikenakan oleh Riki. Sebenarnya Jazlan juga berusaha mencari Awan dan Rosie, walaupun memang tidak mungkin menemukan mereka di sini, pikirnya.

Jazlan ingat benar, Awan bilang mereka akan menyisir sungai, jadi tidak mungkin masuk ke dalam area hutan terlarang ini. Pikirannya pun juga masih dipenuhi kekhawatiran terhadap Jhagad dan Cantigi.

“Bagaimanapun, aku harus segera menemukan teman-teman Riki agar bisa segera mencari teman-temanku sendiri”, kata Jazlan pelan, sambil menyemangati dirinya sendiri.

Jazlan pun melempar jauh matanya ke segala arah. Jarang sekali dia melihat pendaki menggunakan baju berwarna orange. Namun, matanya terhenti pada satu pendaki yang memakai baju warna orange, di arah jam 12 di mana ia berdiri.

Tidak menunggu lama, Jazlan pun menghampiri pendaki  berbaju orange itu. Kemudian, ia menepuk punggung pendaki itu. Pendaki itu pun menoleh.

“Eh, maaf, salah orang,” kata Jazlan salah tingkah karena tidak melihat bet organisi di saku depan baju orange pendaki itu.

Pendaki berbaju orange itu pun hanya mengangguk. Kemudian melanjutkan bicara dengan teman-temannya. Jazlan segera mengambil langkah seribu, sebelum bertambah malu.

Agak frustasi, Jazlan melanjutkan langkahnya, mencari lebih jauh lagi. Tiba-tiba, dari arah jembatan gantung, banyak pendaki yang berlari-lari, diikuti oleh asap yang mulai menyebar lagi. Sepertinya kebakaran di hutan keraton semakin parah. Jazlan pun berlari menuju ke arah Riki.

Riki bingung melihat Jazlan datang sambil berlari.   

“Ayo, negara api menyerang,” kata Jazlan sembarangan.

Riki pun mengernyitkan alisnya, tanda tidak mengerti maksud perkataan Jazlan.

“Asapnya mulai menyebar lagi, bahaya bisa mati sesak napas kalau tetap disini,” jawab Jazlan sedikit lebih serius.

Mendengarnya, Riki pun mulai berdiri, dibantu oleh Jazlan dan mereka pun melanjutkan berjalan. Masuk semakin jauh, ke dalam Hutan Terlarang. Benar kata orang-orang, Hutan Terlarang memang benar-benar masih perawan. Lebat tanamannya seperti belum pernah terjamah.

“Ayo kita bergegas! Tanaman di sini dominan tanaman yang mudah sekali terbakar. Bisa gawat jika ada sedikit saja kebakaran,” kata Jazlan.

Riki pun menyadari hal itu. Ia pun mulai memaksakan diri, mempercepat kaki, menahan sakit.

KRU.. KRU..KRU..

Kicauan burung juga menemani sepanjang mereka berjalan. Semakin lama, datarannya semakin tidak terlihat dasarnya. Mereka pun sampai di area yang sangat luas yang dipenuhi rumput setinggi betis orang dewasa.

“Tempat apa lagi ini?” tanya Jazlan sembarangan setelah melihat Padang Rumput yang begitu lebat dan rapat.

“Tunggu!” Riki tiba-tiba memberhentikan langkahnya tepat sebelum memasuki area Padang Rumput itu.

“Kenapa?” tanya Jazlan tidak mengerti.

“Di film, orang-orang tersesat yang berjalan terlalu jauh akan mati!”

“Hahahaha.” Jazlan tidak bisa membendung tawanya.

Riki pun langsung melototinya.

“Eh, maaf-maaf. Jadi, kau takut?” tanya Jazlan usil.

Riki hanya diam, dengan raut wajah yang kesal.

“Tenanglah, jangan takut, aku akan menjagamu!” kata Jazlan semakin usil.

“Siapa? Aku? Jangan bercanda! Aku hanya memperingatkanmu saja,” kata Riki sambil memaksakan diri melangkah memasuki area Padang Rumput.

“Dasar anak nakal! Hei tunggu!” kata Jazlan sambil menyusul Riki dan membantunya melangkah lagi.

Ketika memasuki area Padang Rumput itu, para pendaki yang awalnya berjalan cepat pun menjadi melambat. Takut-takut menyibak lebatnya rumput liar di sepanjang jalan.

Ketakutan itu bukan tanpa alasan. Di tengah rimbunnya rumput liar ini tidak akan ada yang tahu jika ada ular yang menggeliat disela-selanya. Atau bahkan hewan buas yang sedang mengintai mangsanya. Tempat ini sungguh cocok sekali.

SREK.. SREK..

Para pendaki pun terjingkat, kala mendengar suara gesekan rumput dari arah yang tidak ada satupun pendaki di sana. Suara itu sukses membuat para pendaki terdiam, memperhatikan sekitar, termasuk Jazlan dan Riki tentunya.

“Hei! Kau dengar?” tanya Riki sedikit berbisik kepada Jazlan.

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status