Share

MERTUA RASA MADU
MERTUA RASA MADU
Author: Ria Abdullah

1. mertua

Author: Ria Abdullah
last update Huling Na-update: 2025-07-14 16:16:55

Dari sekian lama menikah, akhirnya aku tidak mampu memendam lagi semua rasa benci dan penderitaan, lama-lama mental dan kewarasanku tergerus karena selalu menahan sakit hati, sakit hati oleh perbuatan kerabat suamiku.

Mestinya sebagai menantu wanita yang tahu diri, harusnya aku taat, patuh, dan berbakti tanpa perlu bertanya atau interupsi. Dan itu kulakukan selama bertahun-tahun terakhir, namun sekarang, sudah cukup.

"Mas ...."

"Ada apa?"

"Sebaiknya jangan beri aku makan lagi, berikan semua uangmu pada ibumu," ujarku mengembalikan uang belanja yang dia berikan dua hari yang lalu, aku sudah muak dengan cara pembagian yang tidak adil, cenderung pelit.

"Memangnya kenapa?"

"Aku putus asa Mas," jawabku menggeleng pelan.

"Karena apa?"

"Gajimu, sebagian besarnya kau berikan pada ibumu, sebagian lagi untuk kebutuhan pribadimu, sementara aku dan anakku, hanya dapat 800 perbulan," balasku.

"Memangnya kenapa?" tanyanya mengernyit, "bukankah selama ini uang belanjamu hanya segitu?"

"Kalau mau jujur, itu sama sekali tidak cukup! Aku harus membeli beras, sabun dan susu anakmu, lauk hanya telur dan kerupuk, sementara aku harus menahan itu selama sebulan, sedang kau lebih sering makan di rumah ibumu," balasku.

"Ya, wajar dong, Sayang, namanya juga rumah orang tua, kalo aku mampir, ya, sekalian makan, supaya kamu gak repot masak di rumah."

"Lalu bagaimana denganku, tidakkah kau pikir aku juga ingin makan enak?"

"Ya, beli dong Sayang, aku gak larang," jawabnya melengos sambil melanjutkan makan, sikapnya masih santai, seakan aku sedang bercanda..

"Masalahnya aku tidak punya uang," jawabku setengah malu, entah kenapa harus secanggung ini padahal dia adalah suamiku

"Uang yang aku kasih, kamu kemana kan?"

Sepertinya pria ini memang tidak bisa diberi pengertian, apa sulitnya untuk memahami bahwa uang yang diberikannya tidak cukup?

"Kalau begitu mulai sekarang kamu yang beli beras, sembako, kebutuhan rumah, popok dan susu bayi, juga ketika aku ingin membeli sesuatu seperti bedak atau jajan bakso, aku akan minta langsung darimu saja," jawabku dingin.

"Oh, aku paham ini ... kamu iri kan, kalau aku memberikan ibuku uang?" Dia langsung meletakkan sendok di meja makan.

"Tidak, aku hanya menuntut keadilan, aku ingin kau prioritaskan keluarga kecilku, dengan tidak mengesampingkan ibumu. Ada kami yang menunggu untuk dinafkahi dan disejahterakan. Jujur saja uang Rp.800.000 ketika aku masih sendiri dulu, hanya kuhabiskan dalam seminggu."

"Kau boros sekali," desisnya sinis.

"Bukan begitu, aku bekerja, butuh pakaian, makanan, juga kosmetik dan sesekali hiburan, kugunakan semua uangku untuk memenuhi kebutuhan sendiri tapi karena sekarang aku telah bersuami, jadi praktis suamiku yang akan menafkahi istrinya," jawabku.

"Ya, itu kan ... aku sudah memberimu uang," jawabnya mengulang hal tadi.

"Kurang."

"Kalau begitu cari solusi agar bisa lebih."

"Pulanglah kau ke rumah ibumu agar aku mencari pekerjaan sendiri. Berikan semua uang ini padanya dan katakan, lebih baik dia yang mengelola."

"Hah, apaan kamu?" Dia mulai emosi dan terlihat kesal ia berdiri dan siap melayangkan tangan.

"Apa, mau pukul Mas? ayo pukul, kau tidak suka aku mengungkapkan keberatan hatiku 'kan?"

"Kurasa kau terlalu mendramatisir masalah, setahun belakangan semuanya berjalan normal dan kita masih bahagia. Ada apa dengan sekarang?" Dia menggeleng tak habis pikir.

"Perhatikan makanan yang terhidang di meja, itu semua diantar ibumu setiap pagi, kau pikir apa sebabnya? dia protektif, tak percaya pelayananku.

Aku telah membuatkan sarapan, tapi kau tidak pernah memakannya. Aku pikir itu tidak enak sehingga aku membagikannya ke tetangga, tapi menurut mereka masakanku enak, jadi apa yang salah?"

"Tidak ada, aku hanya suka makanan ibuku!"

"Dengan tidak mau makan masakanku itu artinya kau tidak menghargaiku, begitupun pakaianmu, meski aku sudah mencuci dan menyetrikanya dengan rapi kau tetap memakai pakaian yang dipilihkan ibumu. Segala sesuatu harus tentang keputusan dan keinginannya? Lihat segala isi rumah ini, perabotan, warna gorden, pemilihan sofa bahkan aksesoris ruangan, semuanya adalah pilihan ibumu!" Aku mengoceh tanpa koma, meledak bak tabung yang tak mampu lagi menahan tekanan. Aku meledak, menggelegak dan tak terkendali.

"Tidak ada yang salah jika dia menunjukkan kasih sayang kepada anak dan menantunya, memberikan perhatian kepada rumah kita, karena dia merasa perlu melakukan itu." Mas Dirga selalu membelanya.

"Aku paham semua orang mencintai ibunya, mereka akan membela dengan segala argumen yang ada. Tapi satu hal yang aku sesalkan, harusnya dari awal, jika kau hidup mengandalkan ibumu saja, sebaiknya tidak perlu menikah!"

Prang!

Aku terkejut, kaget dan nyaris terjatuh ke belakangku.

Piring beserta makanan yang ada di dalamnya langsung tumpah dilempar Mas Dirga ke lantai.

"Kamu mulai keterlaluan ya," ujarnya sambil menuding wajahku.

Aku mendelik menatap ujung jarinya, sementar anak kami menangis di kereta karena syok, aku langsung meraih untuk menggendong Fais dan berusaha duduk menenangkan tanpa mengatakan apapun. Kebencianku sudah sampai diambang batas.

"Aku akan berangkat kerja sekarang, aku tidak akan memperpanjang perdebatan ini demi menjaga keutuhan rumah tangga kita," balasnya mengambil tas kerja dan pergi begitu saja.

"Iya, berikanlah hasil kerjamu semuanya padanya, jika kau mendapatkan kabar baik atau buruk ceritakan juga padanya jangan padaku, seperti kebiasanmu," gumamku pelan.

"Jangan keterlaluan Mega, cukup katakan saja apa yang kau inginkan!"

"Berikan aku nafkah sesuai dengan kebutuhan yang ada, aku tidak mau berpikir 1000 kali atau gemetar saat meminta sesuatu bahkan untuk membeli pakaian dalamku, aku butuh tanggung jawabmu sebagai suami," tegasku lantang.

"Hah, baru sekarang kau protes Mariana? entah apa yang terjadi pada otakmu hari ini," gumamnya sambil menjauh, membanting pintu dan menyalakan motornya lalu mengebut.

Aku hanya bisa membuang nafas kasar sambil memperhatikan piring yang berserakan di lantai, sementara bayiku masih terus menangis di pelukan. Aku benar-benar bosan berada dalam keadaan seperti ini. Aku tertekan. Aku geram dengan sikap Ibu Lina, seharusnya ibu mertua bersikap selayaknya mertua, saja tidak perlu harus ikut campur sampai ke urusan paling intim dalam rumah tangga anaknya.

Kini, aku sungguh merasa bahwa mertuaku seperti maduku.

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • MERTUA RASA MADU    29

    Setelah berhasil pindah dan kembali menjalani hari-hari yang normal bersama Mas Dirga dan putraku, perlahan ada rasa tenang dan perubahan dalam diri kami berdua, rumah tenang dan nyaris tidak pernah ada lagi pertengkaran.Meski hati telah telah merasa lega, tapi, di lubuk terdalam ada perasaan yang sulit kujabarkan artinya, atau sama sekali tak bisa kuungkapkan. Aku merasa rindu, berhutang budi, masih menyukai, sekaligus malu dan canggung pada kakak iparku yang baik.Entah berdebar tidaknya hati ini saat berjumpa kembali dengannya, yang pasti, mengingat nama dan tatapan saja aku seakan kehilangan akal pikirku. Sempat mendambanya menjadi pasangan hidup, sempat ingin merebutnya demi keegoisanku yang ingin hidup bahagia, tapi kemudian, kekonyolan itu membuatku menyesal dan memukul kepala sendiri.Aku tahu, ada kenyataan yang harus dihadapi, mencoba kembali pada realitas lalu mengorbankan kepentinganku demi kepentingan anakku yang masih kecil dan membutuhkan kasih sayang kedua orang t

  • MERTUA RASA MADU    28

    "film apa maksudmu?"tanya ibu mertua kepada ayah yang tersenyum santai sambil memperlihatkan ponselnya."Saya terpaksa merekam semua perlakuan anda untuk bukti jika suatu saat Anda menyusahkan kami.""Jadi kalian sengaja memancing untuk marah dan membuat diri ini terjebak! begitukah?""Semua itu terjadi dengan alami Anda datang ke sini berbuat onar dan mencak-mencak, sayang yang hanya ingin melindungi anak saya," jawab ayah dengan sikap yang tenang."Kurang ajar benar-benar kurang ajar!"sungutnya sambil berkacak pinggang dan berlalu pergi."Sampai kapanpun aku tidak ridho atas penjualan rumah itu. Aku akan menyumpahi kalian semoga kalian ....""Cukup! cukup menyumpahi seseorang!" Sebagai seorang ibu yang harusnya mengayomi anak, tidak pantas lah kalimat-kalimat yang keluar dari mulut Anda adalah kalimat duri yang menyakitkan!""Kalian semua sama saja," jawab ibu mertua sambil mendengus sinis."Ayo Deka kita pergi dari tempat ini," ajaknya sambil mendelik arah putra sulungnya."Maafkan

  • MERTUA RASA MADU    27

    "Aku capek sekali, aku ingin pulang Mariana," gumamnya sambil mengusap wajah."Kenapa pulang?""Aku sungguh lelah," balasnya."Baru juga sehari Mas ... belum sampai seminggu, bukankah kamu sudah sepakat dengan orang tuaku kalau kita akan tinggal disini demi menenangkan perasaan hatiku sementara waktu?" tanyaku sembari mengingatkan "Iya betul juga sih, tapi ...." Pria itu membuang nafas lalu mengusap wajahnya dengan frustrasi."Apa yang kau rasakan sekarang tidak sebanding dengan apa yang telah kurasakan beberapa waktu yang lalu, Mas. Menghadapi ibumu sungguh makan hati dan lelah jiwa," jawabku mengusap bahunya."Apa ayahmu sedang berusaha memberikanku pelajaran?" tanyanya menatap mata ini dengan tatapan penuh makna "Tidak juga, dia sedang menilai sejauh mana kau bisa memenangkan perasaannya, dia ingin tahu seperti apa kau ingin berbakti dan mengambil hati mertuamu," jawabku lembut.Kuhampiri dia, sementara suamiku meletakkan kepalanya di atas pangkuanku, berkali-kali dia mengeluh d

  • MERTUA RASA MADU    26

    "Hei, kau sadar tidak, dengan ekspresi semacam itu? Apa maksudmu membentak Mariana seperti itu?""Kakak ngapain di sini, apakah Kakak sungguh menaksir istriku, kenapa Kakak sok jagoan sekali di hadapannya, apa kakak ingin meruntuhkan harga diriku di mata Mariana?" Tiba tiba saja Mas Dirga marah tanpa ada alasan yang jelas. Jika itu hanya cemburu, kenapa harus sekasar itu?"Aku datang memeriksa keadaannya," jawab Mas Devan "Untuk apa terus memeriksanya, apa aku tidak cukup baik untuk menjaga istri sendiri," ujar Mas Dirga sambil menarik tanganku lalu menyuruhku masuk ke dalam."Mas ..." Aku gelisah sekali melihat kecemburuan suamiku, terlebih matanya langsung menatap nanar pada plastik dan bungkusan yang dibawa Mas Devan."Apa ini semua, apa ini?" tanyanya dengan emosi."Astaghfirullah, kenapa kamu ini?" tanya Mas Devan heran, " itu untuk Fais.""Aku sudah cukup berusaha sekeras mungkin agar Mariana mau kembali padaku janganlah kakak berdiri di antara kami dan mencoba cari muka!" Hard

  • MERTUA RASA MADU    25

    "Saya akan bersama Mariana," jawab Mas Dirga, pada akhirnya suamiku harus memilih dan terdesak juga."Bagus!" Ayah yang hendak masuk kamar langsung menghentikan langkah dan mengantuk puas."Artinya kau harus pindah kemari," jawabnya."Tapi ...""Kalau mau bersama Mariana, pindah kemari. Tapi kalau tidak, ya, tidak usah berharap lebih," jawab Ayah tegas."Baik, Ayah, baik, aku akan memberi tahu ibu jika kami akan pindah," jawabnya."Setelah ini tidak ada lagi drama begini dan begitu, aku tak mau ada kemarahan dan air mata lagi. Kau tahu ... Anakku sedang mengasuh bayi kecil, aku tak rela dia terus tertekan dan bisa gila karena perbuatan kalian," tegas ayah sambil menjauh."Baik, ayah, jika demikian keinginan ayah, aku akan menuruti," jawabnya pasrah.Ayah kemudian memberi isyarat pada ibu agar kedua orang tuaku itu memberi ruang pada kami. Ketika orang tuaku sudah menjauh Mas Dirga langsung mendekat dan meraih kedua tanganku."Aku akan korbankan semuanya demi kamu dan anakku, aku tid

  • MERTUA RASA MADU    24

    Bukannya Ayah bisa tenang, tapi sesampainya di rumah, pria tercintaku itu langsung marah-marah."Kurang ajar, mereka menyuruhnya untuk mencium kaki ibu mertuanya, dasar tidak beradab!" teriak Ayah sambil melempar kunci motornya ke atas sofa.Ibu yang terlihat sejak tadi menunggu dengan gelisah langsung kaget dan memberi isyarat bertanya padaku."A-apa yang terjadi, Mas?""Hmm, wanita kurang ajar itu ... beserta anak mantunya memperlakukan anak kita seperti budak yang baru saja mencuri dari majikannya," geram ayah."Apa yang terjadi," tanya ibu padaku."Aku sedang minta maaf pada ibu Lina, Bu.""Hah, ya Allah kok sampai segitunya?""Aku mengalah agar rumah tangga kami baik-baik saja," jawabku."Mengalah sih mengalah, tapi tidak dengan merendahkan harga diri," ucap ayah marah."Sudah, Yah, tenangkan dirimu, nanti darah tinggimu kumat," ujar ibu menyela emosi suaminya."Hah, kalau tahu bahwa mertuanya sebiadab itu, tak akan sudi kuserahkan anak gadisku padanya," ucap ayah dengan geramny

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status