Share

4. Pindah

Penulis: Khilyatul Aulia
last update Terakhir Diperbarui: 2024-03-05 12:50:19

Hari ini Mama Laely akan pulang ke rumahnya. Hari ini juga Bang Doni akan memberitahukan ke Mama Laely keputusannya. Sampai saat ini, aku masih berharap Bang Doni akan menolak keinginan Mama Laely untuk kepindahan kami ke sana.

Saat ini kami sedang berkumpul di ruang tengah untuk sarapan. Tadi aku sudah membuat mie lidi goreng dengan toping kerupuk merah untuk sarapan kami. Taklupa kusuguhkan juga secangkir teh melati kesukaan Mama Laely dan kopi hitam untuk Bang Doni. Hidangan untuk sarapan pun telah tersaji di hadapan kami.

Rencananya setelah sarapan, Bang Doni akan mengantar Mama Laely ke loket agen travel, sekalian berangkat kerja. Sedangkan Rizki, aku yang akan mengantarnya ke sekolah taman kanak-kanak, dengan berjalan kaki karena jaraknya takjauh dari rumah kami.

Setelah membaca doa sebelum makan, kami pun menikmati makanan yang tersaji. Takada yang bersuara saat makan karena aku dan Bang Doni memang sepakat dan mengajarkan anak-anak kami untuk tidak bersuara saat makan.

"Ma," panggil Bang Doni memulai percakapan saat sudah selesai makan. Dia meletakkan sendoknya ke dalam piring yang telah kosong. 

"Ya, ada apa, Don?" tanya Mama Laely yang juga sudah selesai makan.

"Doni sudah memutuskan, kami akan pindah ke rumah Mama."

"Oh, ya? Bagus, deh, kalau gitu. Kapan rencananya kalian pindah? Saran Mama, lebih cepat lebih baik karena Risa saat ini tengah mengandung. Kalau kelamaan, nanti malah keduluan brojol dia di sini," ujar Mama Laely seraya melihat ke arah perutku. "Mama terus terang saja, kalau Risa lahiran di sini, Mama gak bisa bantu. Mama gak nyaman rasanya lama-lama di rumah kalian yang kecil dan pengap ini. Yah, paling lama Mama bisa di sini hanya seminggu saja seperti sekarang. Ini juga sebenarnya Mama gak betah," tambahnya.

Aku mengalihkan pandangan ke arah lain mendengar ucapan Mama Laely. Rasanya lucu mendengar perkataannya karena nyatanya saat melahirkan Rizki dan Nia, Mama tidak pernah membantuku. Alasannya karena aku melahirkan di rumah orang tuaku, sehingga Mama Laely merasa takenak untuk berlama-lama di sana. Saat melahirkan Rizki dan Nia, Mama Laely hanya datang dan menginap sehari untuk menjengukku, lalu langsung pulang ke rumahnya.

Akan tetapi, saat ini aku takingin menjawab omongannya, terlebih lagi saat ini Mama Laely akan pulang. Aku takingin menambah daftar keburukanku di matanya.

"Iya, Ma. Secepatnya kami pindah. Hanya saja, Rizki mungkin takakan melanjutkan sekolah TK-nya karena di sana sekolah taman kanak-kanak lumayan jauh. Nanti Rizki langsung masuk sekolah dasar saja di tahun ajaran baru," jelas Bang Doni.

"Hhmmm, iya iya, terserah kalian saja. Mama gak mau tahu masalah itu. Pandai-pandai kalian saja mengaturnya." Mama Laely lalu beranjak dari duduknya dan mengambil tas berisi pakaian dan satu tas kecil untuk meletakkan handphone juga dompetnya.

"Sudah siap, Ma? Kita berangkat sekarang, ya! Sini, tas Mama biar aku bawakan," ucap Bang Doni seraya ikut berdiri dan mengambil tas berukuran cukup besar itu dari tangan Mama Laely.

Aku dan anak-anak lantas ikut berdiri untuk melepas kepergian Nenek dan Ayah mereka. Setelah berpamitan, Bang Doni dan Mama Laely lalu pergi dengan mengendarai sepeda motor.

Setelah kepergian Bang Doni, aku lalu mengantar Rizki sekolah dengan membawa serta Nia.

"Ayo, Rizki, Nia, kita berangkat ke sekolah," ajakku pada kedua anakku.

"Oke, Bun," jawab mereka serempak.

Saat di jalan, aku bertemu Bu Indah dan Bu Desi.

"Eh, Mama Nia, mau ngantar Rizki sekolah, ya?" tanya mereka kompak.

"Iya, Bu," jawabku.

"Mama Nia, apa benar yang dibilang bu Siska, kalau kamu mau pindah ke rumah mertuamu?" tanya Bu Indah.

Bu Desi yang takmau kalah untuk menggali informasi ikut bertanya, "Iya, Mama Nia. Eh, apa benar yang dibilang bu Siska, katanya mertuamu cerita sama dia, mertuamu bilang kalau selama di rumahmu, dia yang mengerjakan semua pekerjaan di rumahmu?!"

"Hehe. Maaf, buibu, Risa sudah hampir telat, nih, ngantar Rizki ke sekolah. Risa pamit dulu, ya," ucapku beralasan pada mereka.

Aku lalu melanjutkan jalan bersama anak-anak. Masih kudengar ocehan mereka yang kesal karena pertanyaannya tidak mendapatkan jawaban.

Ada-ada saja kelakuan tetangga. Padahal Bang Doni baru memutuskan untuk pindah pagi ini, tetapi kabar kami yang akan pindah telah lebih dulu sampai ke mana-mana karena Mama Laely dan Bu Siska.

Aku taktahu entah apa saja hal yang Mama Laely bicarakan pada Bu Siska kemarin, tetapi kemungkinan ada lebih banyak cerita tentangku dari yang aku dengar barusan. 

Lagi-lagi Mama Laely mengarang cerita, mertuaku itu sudah seperti aktor saja. Harusnya dulu dia ikut main film di chanel ikan terbang, pasti sudah terkenal sekarang. Haha, aku malah berpikir yang tidak-tidak.

Bagaimana tidak, selama di rumahku, yang pernah Mama Laely lakukan hanya memasak gulai cubadak. Selebihnya dia hanya memperhatikan kegiatan yang aku lakukan.

Jika aku bangun di subuh hari untuk membuat sarapan, maka Mama Laely juga ikut bangun dan ke dapur. Namun, dia hanya duduk saja dan memperhatikan gerak-gerikku tanpa berniat membantu.

Mungkin kalau aku masih berjualan, Mama Laely juga akan bangun di jam tiga dini hari, lalu memperhatikan kegiatanku hingga tertidur kembali. Memang lucu sekali kelakuan mertuaku itu.

***

Hari ini akhirnya tiba, kami akan pindah ke rumah mertua. Aku sudah selesai mengepak barang-barang kami ke dalam tas besar dan juga kardus. Untuk hari ini, kami akan mengangkut barang-barang yang kecil seperti kardus dan tas, juga sebagian perkakas rumah tangga. Selebihnya, barang-barang besar seperti lemari pakaian dan kulkas, akan diangkut besok oleh Bang Doni dengan mobil bak L-300 yang kami sewa ini juga seperti sekarang.

Sebelum berangkat, kami berpamitan pada para tetangga, termasuk Bu Indah, Bu Desi, dan Bu Siska. Sedangkan pemilik rumah yang kami tempati tidak tinggal di sini, dia tinggal di Kota Pekanbaru. 

Aku menghampiri satu-persatu tetanggaku, taklupa menitipkan kunci pada Bu Indah. Lalu, kami pun berangkat.

Setelah satu jam perjalanan, akhirnya kami sampai ke rumah mertuaku. Badan terasa lelah karena perjalanan, taksabar rasanya untuk segera merebahkan tubuh ini. Sepanjang jalan tadi, aku memangku Nia, membuat punggung, pinggang, dan perutku terasa lelah dan taknyaman.

"Assalamualaikum, Ma," ucap kami serentak di depan pintu rumah Mama Laely yang tertutup.

"Waalaikumsalam," jawab sebuah suara dari dalam rumah, disertai suara handle pintu yang terbuka.

"Eh, ponakan Tante sudah sampai. Masuk-masuk semuanya," ucap Rani menyambut kedatangan kami.

Setelah sedikit berbasa-basi, Rani berpamitan pada kami karena ada urusan di luar. Rani memang sangat jarang di rumah. Dia lebih banyak menghabiskan waktunya di luar rumah.

Taklama Mama Laely pun muncul. Aku yang sudah sangat lelah, berharap dapat segera beristirahat setelah sedikit berbasa-basi dengan Mama Laely. Bang Doni juga sudah selesai memindahkan barang-barang dari mobil ke dalam rumah.

Akan tetapi, harapanku dipatahkan oleh Mama Laely. Saat akan beranjak ke kamar, dia berkata, "Risa, kamarnya kamu bersihkan dulu, ya. Seprainya juga diganti. Seprainya ada di lemari lama Doni di kamarnya itu. Rizki suruh tidur sama kalian saja dulu karena kamar untuknya juga belum Mama bersihkan. Mama tidak sempat membersihkan kamar untuk kalian," ucapnya enteng, membuat bahuku merosot mendengarnya. 

Lelah, pupus sudah harapanku untuk segera beristirahat. Entah bagaimana selanjutnya kehidupan yang akan kujalani.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • MERTUAKU RACUN RUMAH TANGGAKU   30. Merajut Kembali

    Kami telah sampai di rumah orang tuaku, tepatnya sekarang rumah Kak Rafka. Anak-anak terlihat begitu antusias. Begitu mobil berhenti, mereka dengan taksabar berebutan untuk segera keluar dan berlari ke rumah.Aku yang baru saja keluar dari mobil dan melihat mereka berlarian, dengan spontan berteriak, "Rizki, Nia, pelan-pelan jalannya. Anak-anak, hati-hat–""Udah, biarkan saja, Dek," kata Bang Doni memotong ucapanku.Aku menoleh dan melotot ke arah Bang Doni yang telah berdiri di belakangku. Merasa kesal karena dia memotong perkataanku untuk memberi peringatan pada anak-anak."Abang! Ih, bikin kesel!" tandasku cemburut, memonyongkan bibir, dan bersedekap tanda aku marah padanya.Bang Doni hanya tersenyum melihat tingkahku, dia berjalan mendekat dan mengelus kepalaku. Suamiku itu lalu mendekatkan bibirnya ke telingaku, dan berbisik, "Cantik banget kalau lagi manyun gitu, Dek. Jadi pengen di sosor.""Abang! Emangnya Risa bebek?!" Kupukul pelan lengannya karena kesal sekaligus malu menden

  • MERTUAKU RACUN RUMAH TANGGAKU   29. Sembuh

    Seminggu sudah kepergian Mama Laely. Sudah satu minggu pula aku tinggal di rumah peninggalan mertuaku. Selain untuk menyambut tamu yang datang melayat, kami tetap di sini sementara waktu untuk menemani Rani. Sedangkan Bang Doni, sejak jatah cutinya habis tiga hari yang lalu, dia berangkat kerja dari sini."Dek, kamu mau tetap di sini apa pulang ke rumah kita?" tanya Bang Doni pagi ini, ketika membantuku memasak dan membereskan dapur.Akhir-akhir ini, Bang Doni lebih sering memanggilku dengan panggilan adek saat kami berdua. Dia juga lebih rajin membantu pekerjaanku, juga mengurus anak-anak."Risa terserah Abang saja, tapi Risa ada jadwal ke psikolog besok. Menurut Abang, bagusnya gimana?" "Hhmmm, bagusnya besok kita ke rumah sakit dari sini saja.""Tapi, kan, kita belum minta surat rujukan dari klinik faskes pertama di tempat tinggal kita sekarang. Gimana, dong?"Oh, ya, udah. Nanti Abang ke klinik jam istirahat kerja. Sekalian mengambil berkas yang belum kebawa. Adek belum bawa semu

  • MERTUAKU RACUN RUMAH TANGGAKU   28. Sekarat

    Sejatinya, kehidupan dan kematian adalah kodrat manusia. Takada manusia yang hidup abadi, begitu pun takkan ada kematian jika takada kehidupan.Pagi ini kami bersiap-siap untuk berangkat ke rumah sakit tempat Mama Laely dirawat. Jam empat subuh tadi, Rani menelepon. Dia mengabarkan keadaan mamanya yang semakin memburuk.Gadis yang kesehariannya bekerja sebagai admin sebuah bank itu terdengar sangat sedih. Bagaimana tidak, seperti apapun perbuatan orang tua kita, bahkan seburuk apapun seorang ibu, bagi anaknya, dia adalah sosok yang takakan pernah tergantikan oleh siapa pun.Aku juga melihat kesedihan di mata Bang Doni. Laki-laki itu tampak berusaha menutupinya, meski masih terlihat olehku. Ya, begitulah laki-laki, lebih suka menutupi luka seorang diri. Aku paham, mungkin Bang Doni masih berusaha untuk menjaga perasaanku. Hingga ia takada sedikit pun menyinggung akan pergi menjenguk mamanya yang sudah sekarat. Namun, aku bukanlah siapa-siapa yang dengan keras hati takmau memaafkan ora

  • MERTUAKU RACUN RUMAH TANGGAKU   27. Menyesal

    Sudah satu minggu Mama Laely dirawat di rumah sakit. Namun, Bang Doni masih enggan untuk datang menjenguknya. Hal ini membuat hatiku taktenang. Aku takut Bang Doni akan menyesal di kemudian hari.Bukan bermaksud mendoakan hal buruk, tetapi usia manusia takada yang tahu. Kondisi Mama Laely saat ini, membuatku berpikir yang tidak-tidak. Aku terus kepikiran soal kondisi mertuaku itu, juga hubungannya dengan Bang Doni. Bagaimana kalau Mama Laely pergi saat mereka belum saling memaafkan, bahkan belum saling jumpa sejak kejadian malam itu.Agh, apa ini salahku? Karena aku, ibu dan anak itu bertengkar. Apa yang harus kulakukan? Aku harus bagaimana?Oh, iya, Rani. Aku harus menelepon Rani. Baiklah, aku akan meneleponnya sekarang. Mumpung anak-anak juga sedang tidur siang semua. Semoga Rani tidak sibuk. Kulihat jarum jam menunjukkan pukul 12.45 Wib. Semoga saat ini Rani sedang istirahat, jadi aku bisa berbicara dengannya.Tuutt tuuttt tuutttt(Nomor yang anda tuju-)Ternyata Rani tidak menga

  • MERTUAKU RACUN RUMAH TANGGAKU   26. Sakit

    Hari ini Bang Doni bekerja seperti biasa. Sebelum berangkat, dia menyempatkan diri membantuku mencuci pakaian dan menjemurnya.Nina si bungsu mulai bisa diajak berinteraksi. Hal itu membuat Rizki dan Nia senang bermain dengan adik bungsu mereka. Meskipun hanya dibalas dengan senyuman.Saat ini mereka bertiga sedang bermain di kamar Rizki. Aku sengaja membawa Nina ke sini untuk memudahkanku mengawasi ketiganya saat aku sedang melakukan pekerjaan rumah."Adek, cilukba!" seru Rizki sembari meletakkan kedua telapak tangannya di muka dan membuka telapak tangannya kembali."Cicak dindindin, diam layap-layap. Datang ekol nyamuk, hap! Lalu tangkapkan!" nyanyi Nia takmau kalah."Hahaha, salah, Dek. Bukan gitu nyanyinya," kata Rizki."Bialin. Memang Kakak bica?" tantang Nia pada kakaknya dengan omongan yang cadel. Sedangkan Nina yang menjadi objek perhatian mereka, tertawa melihat tingkah kedua saudaranya yang mungkin dianggap sedang bermain dengannya.Aku bahagia melihat interaksi ketiga anakk

  • MERTUAKU RACUN RUMAH TANGGAKU   25. Kesepian

    Hari ini kami akan pergi ke rumah sakit untuk terapi ke psikiater. Sebelumnya, setelah kami pindah, Bang Doni sudah mengurus semua administrasi kepindahan kami di sini, termasuk pelayanan faskes tingkat satu. Kemarin Bang Doni juga sudah mengambil surat rujukan di faskes tingkat satu untuk dibawa ke rumah sakit."Sudah siap semuanya?" tanya Bang Doni padaku."Sudah, Bang," jawabku. Kami pun berangkat dengan mengendarai mobil yang kami sewa lewat jasa rental dengan Bang Doni sebagai supirnya.Tiba di rumah sakit, kami pun langsung menuju ke bagian administrasi untuk melakukan pendaftaran, lalu diarahkan ke bagian psikiater dengan surat rujukan yang telah kami bawa.Setelah menunggu beberapa saat, tibalah giliran namaku yang dipanggil. Aku masuk dan duduk di depan Pak Rafly, psikiater yang menanganiku tempo lalu."Selamat datang Bu Risa, selamat datang, Pak. Bapak suaminya Bu Risa, ya?" tanya Pak Rafly."Iya, Pak," jawabku."Oh, baguslah kalau terapi kali ini didampingi oleh suaminya. B

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status