Share

5. Menjadi Budak

Hari-hari yang kulewati di rumah mertua sangat melelahkan. Bukan hanya fisik, tetapi juga hati. Rasanya apa pun yang kulakukan takada yang benar di mata Mama Laely.

Setiap hari, saat jam menunjukkan pukul empat pagi, jika aku tidak segera keluar kamar, Mama Laely akan membuat kegaduhan di depan kamarku. Entah sengaja menghentak-hentakkan kakinya yang memakai sandal ke lantai, kadang membangunkan Rizki yang tidur di sebelah kamar kami dengan berteriak, bahkan takjarang terdengar suara wajan dan sutil besi yang sengaja diadu.

Sedangkan aku, di kehamilan yang semakin membesar, pergerakanku semakin terbatas. Aku juga semakin cepat merasakan kelelahan. Namun, Mama Laely takmau tahu akan kondisiku. Jika aku melawan atau menjawab perkataannya, maka mertuaku itu akan mengadu yang tidak-tidak pada Bang Doni.

"Rizki! Nia! Cepat bereskan semua mainan kalian ini! Nenek nggak suka rumah nenek jadi berantakan seperti ini karena kalian, paham!" Terdengar suara bentakan Mama Laely pada anak-anakku di ruang tamu. Membuatku yang tengah melipat pakaian di ruang keluarga, bergegas menghampiri mereka.

Terlihat Nia yang sedang menangis ketakutan, di sampingnya Rizki juga terlihat ketakutan, tetapi berusaha untuk tidak menangis. Jelas saja mereka ketakutan, kami bahkan tak pernah membentak mereka. Namun, seseorang yang mereka sebut nenek, malah menjadi orang pertama yang menyakiti anak-anakku.

Nia dan Rizki langsung memelukku ketika aku sudah berada di dekat mereka, tangis mereka berdua meledak melihatku. 

"Mama, Nenek jahat. Nenek marah-marah, Nenek cubit Abang dan Adek juga, hiks ...," adu Riski padaku.

"Ma, Mama kenapa tega sekali sama mereka? Apa salah anak-anakku, Ma? Mereka ini cucu Mama!" sentakku pada Mama Laely.

"Ajarin anak-anakmu itu dengan benar. Seenaknya saja membuat rumah berantakan! Jangan cuma bisa buat anak saja kerjamu!" ucapnya pedas sembari mendelikkan kedua bola matanya.

"Ya, Allah, Ma. Mama, kan, bisa ngomong baik-baik sama mereka. Gak harus membentak dan mencubit juga. Mereka itu masih kecil. Kalau diberitahu baik-baik juga menurut, kok. Lagian, aku juga udah mengajarkan mereka untuk beberes setelah bermain. Biasanya juga mereka pandai membereskan mainannya," jawabku panjang.

"Halah, banyak alasan kamu. Bela saja terus anak-anakmu. Ingat, ya! Kamu itu menumpang di sini! Jangan macam-macam kalau gak mau diusir!" ancamnya padaku. "Satu lagi, apa pun kesalahan yang dilakukan oleh anak-anakmu, maka aku menganggap kalau kamu sebagai ibunya yang tidak becus mendidik mereka!" lantangnya sembari mengacungkan telunjuknya di depan mataku. Setelah itu, Mama Laely lalu pergi dari hadapan kami.

Badanku merosot ke lantai, bersandar pada dinding yang berlapis cat berwarna abu-abu. Aku lelah, sangat lelah. Rasanya ingin segera mengakhiri semua ini. Andai saja saat itu aku bisa meyakinkan Bang Doni untuk tidak pindah ke rumah ini. Namun, sekarang semua telah terjadi.

Waktu telah menunjukkan pukul sembilan malam. Rizki telah tidur di kamarnya. Begitu pun Nia yang juga telah terlelap di sampingku. Saat ini aku sudah berada di kamar. Sedangkan Bang Doni, sekarang lebih sering lembur dan pulang paling cepat jam sembilan malam, bahkan terkadang jam sebelas malam.

Sejak tinggal di rumah mertua, hanya kamar ini yang masih menjadi tempat ternyaman untukku bersantai, sejenak melepas lelah setelah seharian penuh berkutat dengan pekerjaan rumah yang seperti takada habisnya. Berbeda dengan di kontrakan kami dulu, meski kecil, tetapi terasa aman dan nyaman. Saat santai, kami bisa menghabiskan waktu bersama-sama di mana saja. Entah di ruang tengah, di dapur, ataupun di teras.

Kehamilan ketigaku ini memang bukan kehamilan yang direncanakan. Aku dan Bang Doni sebenarnya hanya menginginkan dua anak saja, apalagi kami telah mendapatkan sepasang putra dan putri. 

Sebenarnya, aku telah memakai alat kontrasepsi berupa pil. Namun, entah bagaimana kehamilanku bisa terjadi. Entah aku yang terlupa meminum pilnya atau anak di dalam kandunganku ini memang sudah menjadi rezeki untuk kami.

Aku tidak pernah berniat untuk menggugurkan kandungan ini. Biar bagaimanapun dia adalah darah dagingku. Meski tidak merencanakan kehadirannya, tetapi dia adalah anugerah dari Allah. Siapa aku yang berani untuk tidak bersyukur ketika diberikan titipan oleh Sang Maha Pemberi, sedangkan di luar sana, masih banyak pasangan yang sedang berusaha untuk mendapatkan keturunan.

Akan tetapi, semakin tua usia kandungan ini, terlebih setelah tinggal di sini, aku tidak merasakan kebahagiaan akan kehamilanku. Berbeda dengan saat mengandung Rizki dan Nia. Bahkan timbanganku turun saat memeriksakan kehamilan minggu lalu. Yang ada hanya rasa lelah, letih, dan beberapa rasa yang takdapat kuungkapkan dengan kata-kata. Ingin rasanya segera mengakhiri semua ini.

"Hiks, Ya, Allah, maafkan aku atas kekhilafanku. Maafkan aku yang tak pandai bersyukur. Nak, maafkan Bunda, ya. Bunda telah membuatmu bersedih di dalam sana. Sehat-sehat, ya, sayang. Kita pasti bisa melewati ini semua bersama-sama," ucapku terisak sembari mengelus perutku yang semakin membuncit.

Akhir-akhir ini, menangis menjadi rutinatasku setiap malam. Hanya ini yang dapat kulakukan di tengah ketidakberdayaanku.

"Ris-,"

Terdengar suara Bang Doni memanggil namaku dan membuka handle pintu kamar kami.

Aku segera menghapus air mata yang membasahi pipi dan beranjak dari tempat tidur, lalu menghampirinya.

"Kamu kenapa lagi, hah? Perasaan hampir setiap malam aku disambut dengan wajah jelekmu yang tengah menangis itu. Cuci muka sana! Ada yang mau aku bicarakan. Pulang kerja bukannya disambut dengan cantik, malah begitu," titah Bang Doni padaku.

Perkataan Bang Doni lagi-lagi menyakiti hatiku. Entah kenapa, sejak tinggal di sini perangainya mulai berubah. Suamiku itu jadi begitu mudah mengucapkan kata-kata hinaan untukku. Dia yang dulu menasehatiku dengan lembut, kini dengan terang-terangan mencerca. Bang Doni yang sekarang juga sangat gampang tersulut emosi dan tidak percaya lagi pada perkataanku.

Tanpa berkata-kata, dengan hanya menganggukkan kepala saja, aku pergi ke kamar mandi yang berada di dalam kamar. Di rumah mertuaku ini, tiga kamar utama memiliki kamar mandi masing-masing. Hanya kamar yamg ditempati Rizki saja yang tidak ada kamar mandinya.

Setelah mencuci muka, memastikan penampilanku sudah lebih baik, juga perasaanku sudah lebih tenang, aku baru keluar dari kamar mandi dan duduk di samping Bang Doni di pinggir ranjang.

"Kamu kenapa lagi sama mama, Ris?" tanya Bang Doni membuka percakapan di antara kami.

"Memangnya mama cerita apalagi sama Abang?" tanyaku.

"Kamu ini, ditanya malah nanya balik. Jawab aja pertanyaanku kenapa, sih?" 

"Ya, gimana, ya, Bang. Jawabanku pasti tidak akan membuat Abang percaya karena Mama pasti telah lebih dulu cerita yang tidak-tidak padamu," jelasku.

"Kamu kenapa, sih, Ris? Kamu, kok, jadi sering menjelekkan mama sekarang? Kalau ada yang tidak kamu sukai atau mengganjal di hatimu, kamu bisa cerita padaku. Aku ini suamimu." 

"Iya," jawabku pendek.

"Ini bukan Risa yang aku kenal. Risa istriku tidak membangkang seperti ini," ucapnya kesal.

"Sudahlah, Bang. Aku lelah, ngantuk. Aku mau istirahat. Besok Subuh aku sudah harus bangun sebelum nyonya ratu menggedor kamar dan melempar wajan penggorengan ke sini," sindirku ketus. “Lagi pula, cerita dengan Abang juga takada gunanya. Itu takbisa membuat Abang percaya padaku.”

"Risa!" bentak Bang Doni.

"Oh, ya, kata mama kamu boros sekali berbelanja," ucapnya lagi yang sama sekali takaku hiraukan. Aku taktahu, entah drama apa lagi yang sedang dimainkan mertuaku kali ini.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status