Share

5. Menjadi Budak

last update Last Updated: 2024-03-05 12:51:12

Hari-hari yang kulewati di rumah mertua sangat melelahkan. Bukan hanya fisik, tetapi juga hati. Rasanya apa pun yang kulakukan takada yang benar di mata Mama Laely.

Setiap hari, saat jam menunjukkan pukul empat pagi, jika aku tidak segera keluar kamar, Mama Laely akan membuat kegaduhan di depan kamarku. Entah sengaja menghentak-hentakkan kakinya yang memakai sandal ke lantai, kadang membangunkan Rizki yang tidur di sebelah kamar kami dengan berteriak, bahkan takjarang terdengar suara wajan dan sutil besi yang sengaja diadu.

Sedangkan aku, di kehamilan yang semakin membesar, pergerakanku semakin terbatas. Aku juga semakin cepat merasakan kelelahan. Namun, Mama Laely takmau tahu akan kondisiku. Jika aku melawan atau menjawab perkataannya, maka mertuaku itu akan mengadu yang tidak-tidak pada Bang Doni.

"Rizki! Nia! Cepat bereskan semua mainan kalian ini! Nenek nggak suka rumah nenek jadi berantakan seperti ini karena kalian, paham!" Terdengar suara bentakan Mama Laely pada anak-anakku di ruang tamu. Membuatku yang tengah melipat pakaian di ruang keluarga, bergegas menghampiri mereka.

Terlihat Nia yang sedang menangis ketakutan, di sampingnya Rizki juga terlihat ketakutan, tetapi berusaha untuk tidak menangis. Jelas saja mereka ketakutan, kami bahkan tak pernah membentak mereka. Namun, seseorang yang mereka sebut nenek, malah menjadi orang pertama yang menyakiti anak-anakku.

Nia dan Rizki langsung memelukku ketika aku sudah berada di dekat mereka, tangis mereka berdua meledak melihatku. 

"Mama, Nenek jahat. Nenek marah-marah, Nenek cubit Abang dan Adek juga, hiks ...," adu Riski padaku.

"Ma, Mama kenapa tega sekali sama mereka? Apa salah anak-anakku, Ma? Mereka ini cucu Mama!" sentakku pada Mama Laely.

"Ajarin anak-anakmu itu dengan benar. Seenaknya saja membuat rumah berantakan! Jangan cuma bisa buat anak saja kerjamu!" ucapnya pedas sembari mendelikkan kedua bola matanya.

"Ya, Allah, Ma. Mama, kan, bisa ngomong baik-baik sama mereka. Gak harus membentak dan mencubit juga. Mereka itu masih kecil. Kalau diberitahu baik-baik juga menurut, kok. Lagian, aku juga udah mengajarkan mereka untuk beberes setelah bermain. Biasanya juga mereka pandai membereskan mainannya," jawabku panjang.

"Halah, banyak alasan kamu. Bela saja terus anak-anakmu. Ingat, ya! Kamu itu menumpang di sini! Jangan macam-macam kalau gak mau diusir!" ancamnya padaku. "Satu lagi, apa pun kesalahan yang dilakukan oleh anak-anakmu, maka aku menganggap kalau kamu sebagai ibunya yang tidak becus mendidik mereka!" lantangnya sembari mengacungkan telunjuknya di depan mataku. Setelah itu, Mama Laely lalu pergi dari hadapan kami.

Badanku merosot ke lantai, bersandar pada dinding yang berlapis cat berwarna abu-abu. Aku lelah, sangat lelah. Rasanya ingin segera mengakhiri semua ini. Andai saja saat itu aku bisa meyakinkan Bang Doni untuk tidak pindah ke rumah ini. Namun, sekarang semua telah terjadi.

Waktu telah menunjukkan pukul sembilan malam. Rizki telah tidur di kamarnya. Begitu pun Nia yang juga telah terlelap di sampingku. Saat ini aku sudah berada di kamar. Sedangkan Bang Doni, sekarang lebih sering lembur dan pulang paling cepat jam sembilan malam, bahkan terkadang jam sebelas malam.

Sejak tinggal di rumah mertua, hanya kamar ini yang masih menjadi tempat ternyaman untukku bersantai, sejenak melepas lelah setelah seharian penuh berkutat dengan pekerjaan rumah yang seperti takada habisnya. Berbeda dengan di kontrakan kami dulu, meski kecil, tetapi terasa aman dan nyaman. Saat santai, kami bisa menghabiskan waktu bersama-sama di mana saja. Entah di ruang tengah, di dapur, ataupun di teras.

Kehamilan ketigaku ini memang bukan kehamilan yang direncanakan. Aku dan Bang Doni sebenarnya hanya menginginkan dua anak saja, apalagi kami telah mendapatkan sepasang putra dan putri. 

Sebenarnya, aku telah memakai alat kontrasepsi berupa pil. Namun, entah bagaimana kehamilanku bisa terjadi. Entah aku yang terlupa meminum pilnya atau anak di dalam kandunganku ini memang sudah menjadi rezeki untuk kami.

Aku tidak pernah berniat untuk menggugurkan kandungan ini. Biar bagaimanapun dia adalah darah dagingku. Meski tidak merencanakan kehadirannya, tetapi dia adalah anugerah dari Allah. Siapa aku yang berani untuk tidak bersyukur ketika diberikan titipan oleh Sang Maha Pemberi, sedangkan di luar sana, masih banyak pasangan yang sedang berusaha untuk mendapatkan keturunan.

Akan tetapi, semakin tua usia kandungan ini, terlebih setelah tinggal di sini, aku tidak merasakan kebahagiaan akan kehamilanku. Berbeda dengan saat mengandung Rizki dan Nia. Bahkan timbanganku turun saat memeriksakan kehamilan minggu lalu. Yang ada hanya rasa lelah, letih, dan beberapa rasa yang takdapat kuungkapkan dengan kata-kata. Ingin rasanya segera mengakhiri semua ini.

"Hiks, Ya, Allah, maafkan aku atas kekhilafanku. Maafkan aku yang tak pandai bersyukur. Nak, maafkan Bunda, ya. Bunda telah membuatmu bersedih di dalam sana. Sehat-sehat, ya, sayang. Kita pasti bisa melewati ini semua bersama-sama," ucapku terisak sembari mengelus perutku yang semakin membuncit.

Akhir-akhir ini, menangis menjadi rutinatasku setiap malam. Hanya ini yang dapat kulakukan di tengah ketidakberdayaanku.

"Ris-,"

Terdengar suara Bang Doni memanggil namaku dan membuka handle pintu kamar kami.

Aku segera menghapus air mata yang membasahi pipi dan beranjak dari tempat tidur, lalu menghampirinya.

"Kamu kenapa lagi, hah? Perasaan hampir setiap malam aku disambut dengan wajah jelekmu yang tengah menangis itu. Cuci muka sana! Ada yang mau aku bicarakan. Pulang kerja bukannya disambut dengan cantik, malah begitu," titah Bang Doni padaku.

Perkataan Bang Doni lagi-lagi menyakiti hatiku. Entah kenapa, sejak tinggal di sini perangainya mulai berubah. Suamiku itu jadi begitu mudah mengucapkan kata-kata hinaan untukku. Dia yang dulu menasehatiku dengan lembut, kini dengan terang-terangan mencerca. Bang Doni yang sekarang juga sangat gampang tersulut emosi dan tidak percaya lagi pada perkataanku.

Tanpa berkata-kata, dengan hanya menganggukkan kepala saja, aku pergi ke kamar mandi yang berada di dalam kamar. Di rumah mertuaku ini, tiga kamar utama memiliki kamar mandi masing-masing. Hanya kamar yamg ditempati Rizki saja yang tidak ada kamar mandinya.

Setelah mencuci muka, memastikan penampilanku sudah lebih baik, juga perasaanku sudah lebih tenang, aku baru keluar dari kamar mandi dan duduk di samping Bang Doni di pinggir ranjang.

"Kamu kenapa lagi sama mama, Ris?" tanya Bang Doni membuka percakapan di antara kami.

"Memangnya mama cerita apalagi sama Abang?" tanyaku.

"Kamu ini, ditanya malah nanya balik. Jawab aja pertanyaanku kenapa, sih?" 

"Ya, gimana, ya, Bang. Jawabanku pasti tidak akan membuat Abang percaya karena Mama pasti telah lebih dulu cerita yang tidak-tidak padamu," jelasku.

"Kamu kenapa, sih, Ris? Kamu, kok, jadi sering menjelekkan mama sekarang? Kalau ada yang tidak kamu sukai atau mengganjal di hatimu, kamu bisa cerita padaku. Aku ini suamimu." 

"Iya," jawabku pendek.

"Ini bukan Risa yang aku kenal. Risa istriku tidak membangkang seperti ini," ucapnya kesal.

"Sudahlah, Bang. Aku lelah, ngantuk. Aku mau istirahat. Besok Subuh aku sudah harus bangun sebelum nyonya ratu menggedor kamar dan melempar wajan penggorengan ke sini," sindirku ketus. “Lagi pula, cerita dengan Abang juga takada gunanya. Itu takbisa membuat Abang percaya padaku.”

"Risa!" bentak Bang Doni.

"Oh, ya, kata mama kamu boros sekali berbelanja," ucapnya lagi yang sama sekali takaku hiraukan. Aku taktahu, entah drama apa lagi yang sedang dimainkan mertuaku kali ini.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • MERTUAKU RACUN RUMAH TANGGAKU   30. Merajut Kembali

    Kami telah sampai di rumah orang tuaku, tepatnya sekarang rumah Kak Rafka. Anak-anak terlihat begitu antusias. Begitu mobil berhenti, mereka dengan taksabar berebutan untuk segera keluar dan berlari ke rumah.Aku yang baru saja keluar dari mobil dan melihat mereka berlarian, dengan spontan berteriak, "Rizki, Nia, pelan-pelan jalannya. Anak-anak, hati-hat–""Udah, biarkan saja, Dek," kata Bang Doni memotong ucapanku.Aku menoleh dan melotot ke arah Bang Doni yang telah berdiri di belakangku. Merasa kesal karena dia memotong perkataanku untuk memberi peringatan pada anak-anak."Abang! Ih, bikin kesel!" tandasku cemburut, memonyongkan bibir, dan bersedekap tanda aku marah padanya.Bang Doni hanya tersenyum melihat tingkahku, dia berjalan mendekat dan mengelus kepalaku. Suamiku itu lalu mendekatkan bibirnya ke telingaku, dan berbisik, "Cantik banget kalau lagi manyun gitu, Dek. Jadi pengen di sosor.""Abang! Emangnya Risa bebek?!" Kupukul pelan lengannya karena kesal sekaligus malu menden

  • MERTUAKU RACUN RUMAH TANGGAKU   29. Sembuh

    Seminggu sudah kepergian Mama Laely. Sudah satu minggu pula aku tinggal di rumah peninggalan mertuaku. Selain untuk menyambut tamu yang datang melayat, kami tetap di sini sementara waktu untuk menemani Rani. Sedangkan Bang Doni, sejak jatah cutinya habis tiga hari yang lalu, dia berangkat kerja dari sini."Dek, kamu mau tetap di sini apa pulang ke rumah kita?" tanya Bang Doni pagi ini, ketika membantuku memasak dan membereskan dapur.Akhir-akhir ini, Bang Doni lebih sering memanggilku dengan panggilan adek saat kami berdua. Dia juga lebih rajin membantu pekerjaanku, juga mengurus anak-anak."Risa terserah Abang saja, tapi Risa ada jadwal ke psikolog besok. Menurut Abang, bagusnya gimana?" "Hhmmm, bagusnya besok kita ke rumah sakit dari sini saja.""Tapi, kan, kita belum minta surat rujukan dari klinik faskes pertama di tempat tinggal kita sekarang. Gimana, dong?"Oh, ya, udah. Nanti Abang ke klinik jam istirahat kerja. Sekalian mengambil berkas yang belum kebawa. Adek belum bawa semu

  • MERTUAKU RACUN RUMAH TANGGAKU   28. Sekarat

    Sejatinya, kehidupan dan kematian adalah kodrat manusia. Takada manusia yang hidup abadi, begitu pun takkan ada kematian jika takada kehidupan.Pagi ini kami bersiap-siap untuk berangkat ke rumah sakit tempat Mama Laely dirawat. Jam empat subuh tadi, Rani menelepon. Dia mengabarkan keadaan mamanya yang semakin memburuk.Gadis yang kesehariannya bekerja sebagai admin sebuah bank itu terdengar sangat sedih. Bagaimana tidak, seperti apapun perbuatan orang tua kita, bahkan seburuk apapun seorang ibu, bagi anaknya, dia adalah sosok yang takakan pernah tergantikan oleh siapa pun.Aku juga melihat kesedihan di mata Bang Doni. Laki-laki itu tampak berusaha menutupinya, meski masih terlihat olehku. Ya, begitulah laki-laki, lebih suka menutupi luka seorang diri. Aku paham, mungkin Bang Doni masih berusaha untuk menjaga perasaanku. Hingga ia takada sedikit pun menyinggung akan pergi menjenguk mamanya yang sudah sekarat. Namun, aku bukanlah siapa-siapa yang dengan keras hati takmau memaafkan ora

  • MERTUAKU RACUN RUMAH TANGGAKU   27. Menyesal

    Sudah satu minggu Mama Laely dirawat di rumah sakit. Namun, Bang Doni masih enggan untuk datang menjenguknya. Hal ini membuat hatiku taktenang. Aku takut Bang Doni akan menyesal di kemudian hari.Bukan bermaksud mendoakan hal buruk, tetapi usia manusia takada yang tahu. Kondisi Mama Laely saat ini, membuatku berpikir yang tidak-tidak. Aku terus kepikiran soal kondisi mertuaku itu, juga hubungannya dengan Bang Doni. Bagaimana kalau Mama Laely pergi saat mereka belum saling memaafkan, bahkan belum saling jumpa sejak kejadian malam itu.Agh, apa ini salahku? Karena aku, ibu dan anak itu bertengkar. Apa yang harus kulakukan? Aku harus bagaimana?Oh, iya, Rani. Aku harus menelepon Rani. Baiklah, aku akan meneleponnya sekarang. Mumpung anak-anak juga sedang tidur siang semua. Semoga Rani tidak sibuk. Kulihat jarum jam menunjukkan pukul 12.45 Wib. Semoga saat ini Rani sedang istirahat, jadi aku bisa berbicara dengannya.Tuutt tuuttt tuutttt(Nomor yang anda tuju-)Ternyata Rani tidak menga

  • MERTUAKU RACUN RUMAH TANGGAKU   26. Sakit

    Hari ini Bang Doni bekerja seperti biasa. Sebelum berangkat, dia menyempatkan diri membantuku mencuci pakaian dan menjemurnya.Nina si bungsu mulai bisa diajak berinteraksi. Hal itu membuat Rizki dan Nia senang bermain dengan adik bungsu mereka. Meskipun hanya dibalas dengan senyuman.Saat ini mereka bertiga sedang bermain di kamar Rizki. Aku sengaja membawa Nina ke sini untuk memudahkanku mengawasi ketiganya saat aku sedang melakukan pekerjaan rumah."Adek, cilukba!" seru Rizki sembari meletakkan kedua telapak tangannya di muka dan membuka telapak tangannya kembali."Cicak dindindin, diam layap-layap. Datang ekol nyamuk, hap! Lalu tangkapkan!" nyanyi Nia takmau kalah."Hahaha, salah, Dek. Bukan gitu nyanyinya," kata Rizki."Bialin. Memang Kakak bica?" tantang Nia pada kakaknya dengan omongan yang cadel. Sedangkan Nina yang menjadi objek perhatian mereka, tertawa melihat tingkah kedua saudaranya yang mungkin dianggap sedang bermain dengannya.Aku bahagia melihat interaksi ketiga anakk

  • MERTUAKU RACUN RUMAH TANGGAKU   25. Kesepian

    Hari ini kami akan pergi ke rumah sakit untuk terapi ke psikiater. Sebelumnya, setelah kami pindah, Bang Doni sudah mengurus semua administrasi kepindahan kami di sini, termasuk pelayanan faskes tingkat satu. Kemarin Bang Doni juga sudah mengambil surat rujukan di faskes tingkat satu untuk dibawa ke rumah sakit."Sudah siap semuanya?" tanya Bang Doni padaku."Sudah, Bang," jawabku. Kami pun berangkat dengan mengendarai mobil yang kami sewa lewat jasa rental dengan Bang Doni sebagai supirnya.Tiba di rumah sakit, kami pun langsung menuju ke bagian administrasi untuk melakukan pendaftaran, lalu diarahkan ke bagian psikiater dengan surat rujukan yang telah kami bawa.Setelah menunggu beberapa saat, tibalah giliran namaku yang dipanggil. Aku masuk dan duduk di depan Pak Rafly, psikiater yang menanganiku tempo lalu."Selamat datang Bu Risa, selamat datang, Pak. Bapak suaminya Bu Risa, ya?" tanya Pak Rafly."Iya, Pak," jawabku."Oh, baguslah kalau terapi kali ini didampingi oleh suaminya. B

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status