Share

6. Masalah Keuangan

Pagi ini Rani menghampiriku saat aku sedang memasukkan pakaian ke dalam pengering mesin cuci. Gadis berkulit kuning langsat dengan rambut lurus sebahu itu tampak telah rapi dan cantik mengenakan kemeja putih dengan blazer berwarna hitam dan rok berwarna senada sebatas lutut. Wajahnya dipoles dengan make up tipis dan lipstik berwarna nude, menambah anggun penampilannya.

"Kak Risa, lagi nyuci, ya?" tanyanya berbasa-basi.

"Iya, Ran. Tumben datangin kakak pagi gini. Bukannya kamu udah mau berangkat kerja?" tanyaku balik padanya.

"Iya, Kak. Rani cuma mau bilang, kamar Rani gak usah Kakak bersihin, biar Rani yang bersihin sendiri. Baju kotor Rani juga, biar Rani aja yang nyuci sendiri. Kakak, kan, lagi hamil, pasti capek ngerjain semuanya sendiri. Maaf, ya, kalau mama menyuruh Kakak mengerjakan semuanya sendiri," ucapnya.

"Tapi kalau nanti mama nanya, gimana?" 

"Bilang aja kamar Rani terkunci, jadi Kakak gak bisa masuk. Pakaianku juga kusimpan di kamar aja, biar mama gak bisa nyuruh Kakak mencucinya lagi. Nanti saat berangkat kerja, Rani langsung mengunci pintu kamar," jelasnya padaku. "Hhmmm, ya, udah, Rani siap-siap dulu, ya, Kak," lanjutnya padaku.

Satu hal yang patut kusyukuri, meskipun mertuaku semakin semena-mena terhadapku, pun suami yang semakin berubah, aku bersyukur karena anak perempuan mertuaku itu tidak sama seperti mamanya, walaupun Rani lebih banyak menghabiskan waktunya di luar ketimbang di rumah ini.

***

"Nih, belanjaan untuk hari ini!" seru mertuaku sembari meletakkan kantong plastik belanjaan di meja dapur saat aku sedang mencuci piring.

Aku lalu menghentikan aktifitasku dan mengeluarkan isi kantong belanjaan yang dibeli Mama Laely. Terdapat seikat kangkung, sepapan tempe seharga tiga ribuan, dan ikan asin sepat. Melihat bahan belanjaan Mama Laely, membuatku menghela nafas panjang. Pasalnya, tadi aku dilarang olehnya untuk pergi berbelanja, dan mertuaku ini selalu membeli bahan yang sama setiap kali berbelanja.

"Kenapa kamu kayak gak suka, gitu? Lihat, nih! Belanjaan segini, tuh, gak nyampai 30.000. Benar, kan, yang mama bilang, belanja itu sehari 30.000 juga sudah cukup. Kamu saja yang sok-sokan makan harus pakai ayamlah, ikanlah, padahal beli mahal-mahal juga masuk perut dan keluar jadi kotoran juga!" hardiknya.

"Ma, aku juga gak masalah kalau sesekali makan yang begini, ini juga enak, tapi gak mungkin setiap hari, dong? Rizki dan Nia itu dalam masa pertumbuhan, aku juga sedang hamil, butuh asupan gizi yang baik. Kalau setiap hari makan ikan asin, mau dapat gizi dari mana? Lagian, Mama, kan, juga ada riwayat darah tinggi, Mama gak boleh sering-sering makan ikan asin. Kalau tensi Mama tiba-tiba naik, terus struk, gimana?" ocehku panjang mencoba menjelaskan pada mertuaku itu agar mengerti maksudku.

Matanya mendelik taksuka mendengar ocehanku. Mulutnya bergerak ke kanan dan ke kiri ketika aku selesai berbicara. Mama Laely lalu berkata, "Halah, kamu itu, selalu saja menjawab kalau dikasi tahu orang tua! Kamu doain mama sakit, ya?!"

"Sudahlah, cepat kamu masak semua itu, aku sudah lapar! Kangkungnya banyakin aja kuahnya biar jadi banyak sayurnya! Batangnya diambil, jangan kamu buang!" titahnya padaku.

"Iya, Ma," jawabku kemudian sambil menggelengkan kepala tak percaya ada manusia seperti itu di muka bumi ini, dan itu mertuaku.

Hari ini Bang Doni gajian. Biasanya, saat tanggal gajian begini, dia akan pulang lebih cepat karena sengaja taklembur.

Pukul lima sore, aku sudah selesai memandikan kedua anakku, rumah juga sudah kubersihkan untuk ketiga kalinya hari ini. Mama Laely yang sangat mencintai kebersihan itu mengatakan bahwa rumah ini harus dibersihkan minimal tiga kali sehari, tetapi dia membebankan padaku untuk mengerjakannya dengan alasan ibu hamil harus banyak bergerak.

Saat akan mandi, terdengar ucapan salam dari luar. Ketika akan melihat siapa yang datang, terlihat Rizki dan Nia sudah menyambut lebih dulu dan meneriakkan papanya. Karena sudah tahu bahwa yang datang adalah suamiku, aku pun ikut keluar untuk menyambutnya.

Kami bergantian menyalami Bang Doni. Lalu, Bang Doni menyerahkan kotak martabak dan bungkusan gorengan padaku. Aku menyambut bungkusan itu dengan senyuman. Bang Doni memang selalu membawa martabak durian kesukaan anak-anaknya saat gajian, itulah sebabnya aku tahu bahwa yang dibawa Bang Doni adalah martabak, sedangkan untuk gorengan, itu adalah kesukaan mertuaku.

"Nih, Ayah bawain martabak sama gorengan. Kalian makan di dapur saja, ya. Nanti sisihkan saja di piring untuk nenek," ucapnya pada kami.

"Iya, Yah," jawab Rizki dan Nia kompak.

"Kamu belum mandi, Ris?" tanya Bang Doni saat melihat penampilanku.

"Belum. Tadi mau mandi, tapi Abang datang. Setelah ini aku langsung mandi. Abang mau dibuatin kopi atau teh?" tanyaku.

"Hhmmm. Teh saja, deh. Abang udah ngopi tadi pagi," jawabnya.

"Oke," balasku.

"Eh, Doni, udah pulang, Nak?" tanya mertuaku yang baru saja keluar dari kamarnya. Wajahnya tampak sumringah melihat kedatangan Bang Doni.

"Iya, Ma. Ini baru sampai," jawab Bang Doni.

"Bang, kami ke dapur dulu, ya. Nanti Risa anterin martabak sama gorengannya untuk Abang dan Mama," pamitku padanya. Aku tahu mertuaku pasti akan langsung meminta jatah belanjanya sekarang. Walaupun kami sudah tinggal di sini dan setiap hari aku belanja dengan uang kami, tetapi Mama Laely takpernah lupa dengan jatahnya. Katanya, banyak arisan yang harus dibayar disertai seribu alasan lainnya.

Tiba di dapur, aku meminta Rizki dan Nia duduk di kursi makan, sembari menungguku menyiapkan martabak untuk mereka. Setelah selesai memisahkan martabak dan gorengan untuk Rizki dan Nia, juga untuk Bang Doni dan Mama Laely, aku segera menyeduh teh untuk suami dan mertuaku. Mama Laely biasanya akan meminta teh saat makan gorengan, jadi aku sekalian buatkan saja untuknya tanpa bertanya terlebih dahulu.

"Bunda ke luar sebentar, ya, nganterin ini untuk ayah dan nenek," ucapku pada anak-anakku sembari menunjuk nampan makanan.

"Baik, Ma,” jawab anak-anakku kompak.

Aku pun berjalan keluar membawa nampan yang berisi martabak dan gorengan, juga dua gelas teh. Saat telah mendekati ruang tamu, terdengar suara mertuaku berbicara mengenai uang belanja. Dia mengatakan bahwa aku sangat boros dan takpandai mengelola keuangan. Ini sudah kesekian kalinya mertuaku berkata yang tidak-tidak tentangku di hadapan Bang Doni.

Bukan bermaksud menguping, tetapi langkah kakiku terhenti begitu saja ketika mendengar kalimat Bang Doni. "Ya, udah, Ma. Ini, gajiku bulan ini kuserahkan sama Mama. Silakan Mama atur. Akhir-akhir ini Risa mulai bertingkah aneh. Lagi pula dia sebentar lagi akan melahirkan. Jadi, sekarang Mama saja yang mengatur keuangan untuk belanja di rumah ini," ucapnya enteng sembari menyerahkan amplop berisi uang gajinya pada Mama Laely.

Mertuaku terlihat tersenyum lebar menerima uang tersebut sembari berkata, "Baik, Don. Kamu tenang saja. Mama akan mengelola gajimu dengan baik." 

"Ehmm-!" Aku sengaja berdehem sebelum memasuki ruang tamu. Bersikap pura-pura taktahu tentang apa yang mereka bicarakan barusan.

Sepertinya sudah takada kepercayaan lagi dalam pernikahan ini. Pernikahan yang sakral, cinta yang suci, perlahan terkikis oleh ulah mertua.

Bidukku seperti lili putih. Suci. Namun, beracun. Racun itu perlahan-lahan, tetapi pasti menggerogoti nyawa dalam hubungan pernikahan kami.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status