Pagi ini Rani menghampiriku saat aku sedang memasukkan pakaian ke dalam pengering mesin cuci. Gadis berkulit kuning langsat dengan rambut lurus sebahu itu tampak telah rapi dan cantik mengenakan kemeja putih dengan blazer berwarna hitam dan rok berwarna senada sebatas lutut. Wajahnya dipoles dengan make up tipis dan lipstik berwarna nude, menambah anggun penampilannya.
"Kak Risa, lagi nyuci, ya?" tanyanya berbasa-basi."Iya, Ran. Tumben datangin kakak pagi gini. Bukannya kamu udah mau berangkat kerja?" tanyaku balik padanya."Iya, Kak. Rani cuma mau bilang, kamar Rani gak usah Kakak bersihin, biar Rani yang bersihin sendiri. Baju kotor Rani juga, biar Rani aja yang nyuci sendiri. Kakak, kan, lagi hamil, pasti capek ngerjain semuanya sendiri. Maaf, ya, kalau mama menyuruh Kakak mengerjakan semuanya sendiri," ucapnya."Tapi kalau nanti mama nanya, gimana?" "Bilang aja kamar Rani terkunci, jadi Kakak gak bisa masuk. Pakaianku juga kusimpan di kamar aja, biar mama gak bisa nyuruh Kakak mencucinya lagi. Nanti saat berangkat kerja, Rani langsung mengunci pintu kamar," jelasnya padaku. "Hhmmm, ya, udah, Rani siap-siap dulu, ya, Kak," lanjutnya padaku.Satu hal yang patut kusyukuri, meskipun mertuaku semakin semena-mena terhadapku, pun suami yang semakin berubah, aku bersyukur karena anak perempuan mertuaku itu tidak sama seperti mamanya, walaupun Rani lebih banyak menghabiskan waktunya di luar ketimbang di rumah ini.***"Nih, belanjaan untuk hari ini!" seru mertuaku sembari meletakkan kantong plastik belanjaan di meja dapur saat aku sedang mencuci piring.Aku lalu menghentikan aktifitasku dan mengeluarkan isi kantong belanjaan yang dibeli Mama Laely. Terdapat seikat kangkung, sepapan tempe seharga tiga ribuan, dan ikan asin sepat. Melihat bahan belanjaan Mama Laely, membuatku menghela nafas panjang. Pasalnya, tadi aku dilarang olehnya untuk pergi berbelanja, dan mertuaku ini selalu membeli bahan yang sama setiap kali berbelanja."Kenapa kamu kayak gak suka, gitu? Lihat, nih! Belanjaan segini, tuh, gak nyampai 30.000. Benar, kan, yang mama bilang, belanja itu sehari 30.000 juga sudah cukup. Kamu saja yang sok-sokan makan harus pakai ayamlah, ikanlah, padahal beli mahal-mahal juga masuk perut dan keluar jadi kotoran juga!" hardiknya."Ma, aku juga gak masalah kalau sesekali makan yang begini, ini juga enak, tapi gak mungkin setiap hari, dong? Rizki dan Nia itu dalam masa pertumbuhan, aku juga sedang hamil, butuh asupan gizi yang baik. Kalau setiap hari makan ikan asin, mau dapat gizi dari mana? Lagian, Mama, kan, juga ada riwayat darah tinggi, Mama gak boleh sering-sering makan ikan asin. Kalau tensi Mama tiba-tiba naik, terus struk, gimana?" ocehku panjang mencoba menjelaskan pada mertuaku itu agar mengerti maksudku.Matanya mendelik taksuka mendengar ocehanku. Mulutnya bergerak ke kanan dan ke kiri ketika aku selesai berbicara. Mama Laely lalu berkata, "Halah, kamu itu, selalu saja menjawab kalau dikasi tahu orang tua! Kamu doain mama sakit, ya?!""Sudahlah, cepat kamu masak semua itu, aku sudah lapar! Kangkungnya banyakin aja kuahnya biar jadi banyak sayurnya! Batangnya diambil, jangan kamu buang!" titahnya padaku."Iya, Ma," jawabku kemudian sambil menggelengkan kepala tak percaya ada manusia seperti itu di muka bumi ini, dan itu mertuaku.Hari ini Bang Doni gajian. Biasanya, saat tanggal gajian begini, dia akan pulang lebih cepat karena sengaja taklembur.Pukul lima sore, aku sudah selesai memandikan kedua anakku, rumah juga sudah kubersihkan untuk ketiga kalinya hari ini. Mama Laely yang sangat mencintai kebersihan itu mengatakan bahwa rumah ini harus dibersihkan minimal tiga kali sehari, tetapi dia membebankan padaku untuk mengerjakannya dengan alasan ibu hamil harus banyak bergerak.Saat akan mandi, terdengar ucapan salam dari luar. Ketika akan melihat siapa yang datang, terlihat Rizki dan Nia sudah menyambut lebih dulu dan meneriakkan papanya. Karena sudah tahu bahwa yang datang adalah suamiku, aku pun ikut keluar untuk menyambutnya.Kami bergantian menyalami Bang Doni. Lalu, Bang Doni menyerahkan kotak martabak dan bungkusan gorengan padaku. Aku menyambut bungkusan itu dengan senyuman. Bang Doni memang selalu membawa martabak durian kesukaan anak-anaknya saat gajian, itulah sebabnya aku tahu bahwa yang dibawa Bang Doni adalah martabak, sedangkan untuk gorengan, itu adalah kesukaan mertuaku."Nih, Ayah bawain martabak sama gorengan. Kalian makan di dapur saja, ya. Nanti sisihkan saja di piring untuk nenek," ucapnya pada kami."Iya, Yah," jawab Rizki dan Nia kompak."Kamu belum mandi, Ris?" tanya Bang Doni saat melihat penampilanku."Belum. Tadi mau mandi, tapi Abang datang. Setelah ini aku langsung mandi. Abang mau dibuatin kopi atau teh?" tanyaku."Hhmmm. Teh saja, deh. Abang udah ngopi tadi pagi," jawabnya."Oke," balasku."Eh, Doni, udah pulang, Nak?" tanya mertuaku yang baru saja keluar dari kamarnya. Wajahnya tampak sumringah melihat kedatangan Bang Doni."Iya, Ma. Ini baru sampai," jawab Bang Doni."Bang, kami ke dapur dulu, ya. Nanti Risa anterin martabak sama gorengannya untuk Abang dan Mama," pamitku padanya. Aku tahu mertuaku pasti akan langsung meminta jatah belanjanya sekarang. Walaupun kami sudah tinggal di sini dan setiap hari aku belanja dengan uang kami, tetapi Mama Laely takpernah lupa dengan jatahnya. Katanya, banyak arisan yang harus dibayar disertai seribu alasan lainnya.Tiba di dapur, aku meminta Rizki dan Nia duduk di kursi makan, sembari menungguku menyiapkan martabak untuk mereka. Setelah selesai memisahkan martabak dan gorengan untuk Rizki dan Nia, juga untuk Bang Doni dan Mama Laely, aku segera menyeduh teh untuk suami dan mertuaku. Mama Laely biasanya akan meminta teh saat makan gorengan, jadi aku sekalian buatkan saja untuknya tanpa bertanya terlebih dahulu."Bunda ke luar sebentar, ya, nganterin ini untuk ayah dan nenek," ucapku pada anak-anakku sembari menunjuk nampan makanan."Baik, Ma,” jawab anak-anakku kompak.Aku pun berjalan keluar membawa nampan yang berisi martabak dan gorengan, juga dua gelas teh. Saat telah mendekati ruang tamu, terdengar suara mertuaku berbicara mengenai uang belanja. Dia mengatakan bahwa aku sangat boros dan takpandai mengelola keuangan. Ini sudah kesekian kalinya mertuaku berkata yang tidak-tidak tentangku di hadapan Bang Doni.Bukan bermaksud menguping, tetapi langkah kakiku terhenti begitu saja ketika mendengar kalimat Bang Doni. "Ya, udah, Ma. Ini, gajiku bulan ini kuserahkan sama Mama. Silakan Mama atur. Akhir-akhir ini Risa mulai bertingkah aneh. Lagi pula dia sebentar lagi akan melahirkan. Jadi, sekarang Mama saja yang mengatur keuangan untuk belanja di rumah ini," ucapnya enteng sembari menyerahkan amplop berisi uang gajinya pada Mama Laely.Mertuaku terlihat tersenyum lebar menerima uang tersebut sembari berkata, "Baik, Don. Kamu tenang saja. Mama akan mengelola gajimu dengan baik." "Ehmm-!" Aku sengaja berdehem sebelum memasuki ruang tamu. Bersikap pura-pura taktahu tentang apa yang mereka bicarakan barusan.Sepertinya sudah takada kepercayaan lagi dalam pernikahan ini. Pernikahan yang sakral, cinta yang suci, perlahan terkikis oleh ulah mertua.Bidukku seperti lili putih. Suci. Namun, beracun. Racun itu perlahan-lahan, tetapi pasti menggerogoti nyawa dalam hubungan pernikahan kami.Kami telah sampai di rumah orang tuaku, tepatnya sekarang rumah Kak Rafka. Anak-anak terlihat begitu antusias. Begitu mobil berhenti, mereka dengan taksabar berebutan untuk segera keluar dan berlari ke rumah.Aku yang baru saja keluar dari mobil dan melihat mereka berlarian, dengan spontan berteriak, "Rizki, Nia, pelan-pelan jalannya. Anak-anak, hati-hat–""Udah, biarkan saja, Dek," kata Bang Doni memotong ucapanku.Aku menoleh dan melotot ke arah Bang Doni yang telah berdiri di belakangku. Merasa kesal karena dia memotong perkataanku untuk memberi peringatan pada anak-anak."Abang! Ih, bikin kesel!" tandasku cemburut, memonyongkan bibir, dan bersedekap tanda aku marah padanya.Bang Doni hanya tersenyum melihat tingkahku, dia berjalan mendekat dan mengelus kepalaku. Suamiku itu lalu mendekatkan bibirnya ke telingaku, dan berbisik, "Cantik banget kalau lagi manyun gitu, Dek. Jadi pengen di sosor.""Abang! Emangnya Risa bebek?!" Kupukul pelan lengannya karena kesal sekaligus malu menden
Seminggu sudah kepergian Mama Laely. Sudah satu minggu pula aku tinggal di rumah peninggalan mertuaku. Selain untuk menyambut tamu yang datang melayat, kami tetap di sini sementara waktu untuk menemani Rani. Sedangkan Bang Doni, sejak jatah cutinya habis tiga hari yang lalu, dia berangkat kerja dari sini."Dek, kamu mau tetap di sini apa pulang ke rumah kita?" tanya Bang Doni pagi ini, ketika membantuku memasak dan membereskan dapur.Akhir-akhir ini, Bang Doni lebih sering memanggilku dengan panggilan adek saat kami berdua. Dia juga lebih rajin membantu pekerjaanku, juga mengurus anak-anak."Risa terserah Abang saja, tapi Risa ada jadwal ke psikolog besok. Menurut Abang, bagusnya gimana?" "Hhmmm, bagusnya besok kita ke rumah sakit dari sini saja.""Tapi, kan, kita belum minta surat rujukan dari klinik faskes pertama di tempat tinggal kita sekarang. Gimana, dong?"Oh, ya, udah. Nanti Abang ke klinik jam istirahat kerja. Sekalian mengambil berkas yang belum kebawa. Adek belum bawa semu
Sejatinya, kehidupan dan kematian adalah kodrat manusia. Takada manusia yang hidup abadi, begitu pun takkan ada kematian jika takada kehidupan.Pagi ini kami bersiap-siap untuk berangkat ke rumah sakit tempat Mama Laely dirawat. Jam empat subuh tadi, Rani menelepon. Dia mengabarkan keadaan mamanya yang semakin memburuk.Gadis yang kesehariannya bekerja sebagai admin sebuah bank itu terdengar sangat sedih. Bagaimana tidak, seperti apapun perbuatan orang tua kita, bahkan seburuk apapun seorang ibu, bagi anaknya, dia adalah sosok yang takakan pernah tergantikan oleh siapa pun.Aku juga melihat kesedihan di mata Bang Doni. Laki-laki itu tampak berusaha menutupinya, meski masih terlihat olehku. Ya, begitulah laki-laki, lebih suka menutupi luka seorang diri. Aku paham, mungkin Bang Doni masih berusaha untuk menjaga perasaanku. Hingga ia takada sedikit pun menyinggung akan pergi menjenguk mamanya yang sudah sekarat. Namun, aku bukanlah siapa-siapa yang dengan keras hati takmau memaafkan ora
Sudah satu minggu Mama Laely dirawat di rumah sakit. Namun, Bang Doni masih enggan untuk datang menjenguknya. Hal ini membuat hatiku taktenang. Aku takut Bang Doni akan menyesal di kemudian hari.Bukan bermaksud mendoakan hal buruk, tetapi usia manusia takada yang tahu. Kondisi Mama Laely saat ini, membuatku berpikir yang tidak-tidak. Aku terus kepikiran soal kondisi mertuaku itu, juga hubungannya dengan Bang Doni. Bagaimana kalau Mama Laely pergi saat mereka belum saling memaafkan, bahkan belum saling jumpa sejak kejadian malam itu.Agh, apa ini salahku? Karena aku, ibu dan anak itu bertengkar. Apa yang harus kulakukan? Aku harus bagaimana?Oh, iya, Rani. Aku harus menelepon Rani. Baiklah, aku akan meneleponnya sekarang. Mumpung anak-anak juga sedang tidur siang semua. Semoga Rani tidak sibuk. Kulihat jarum jam menunjukkan pukul 12.45 Wib. Semoga saat ini Rani sedang istirahat, jadi aku bisa berbicara dengannya.Tuutt tuuttt tuutttt(Nomor yang anda tuju-)Ternyata Rani tidak menga
Hari ini Bang Doni bekerja seperti biasa. Sebelum berangkat, dia menyempatkan diri membantuku mencuci pakaian dan menjemurnya.Nina si bungsu mulai bisa diajak berinteraksi. Hal itu membuat Rizki dan Nia senang bermain dengan adik bungsu mereka. Meskipun hanya dibalas dengan senyuman.Saat ini mereka bertiga sedang bermain di kamar Rizki. Aku sengaja membawa Nina ke sini untuk memudahkanku mengawasi ketiganya saat aku sedang melakukan pekerjaan rumah."Adek, cilukba!" seru Rizki sembari meletakkan kedua telapak tangannya di muka dan membuka telapak tangannya kembali."Cicak dindindin, diam layap-layap. Datang ekol nyamuk, hap! Lalu tangkapkan!" nyanyi Nia takmau kalah."Hahaha, salah, Dek. Bukan gitu nyanyinya," kata Rizki."Bialin. Memang Kakak bica?" tantang Nia pada kakaknya dengan omongan yang cadel. Sedangkan Nina yang menjadi objek perhatian mereka, tertawa melihat tingkah kedua saudaranya yang mungkin dianggap sedang bermain dengannya.Aku bahagia melihat interaksi ketiga anakk
Hari ini kami akan pergi ke rumah sakit untuk terapi ke psikiater. Sebelumnya, setelah kami pindah, Bang Doni sudah mengurus semua administrasi kepindahan kami di sini, termasuk pelayanan faskes tingkat satu. Kemarin Bang Doni juga sudah mengambil surat rujukan di faskes tingkat satu untuk dibawa ke rumah sakit."Sudah siap semuanya?" tanya Bang Doni padaku."Sudah, Bang," jawabku. Kami pun berangkat dengan mengendarai mobil yang kami sewa lewat jasa rental dengan Bang Doni sebagai supirnya.Tiba di rumah sakit, kami pun langsung menuju ke bagian administrasi untuk melakukan pendaftaran, lalu diarahkan ke bagian psikiater dengan surat rujukan yang telah kami bawa.Setelah menunggu beberapa saat, tibalah giliran namaku yang dipanggil. Aku masuk dan duduk di depan Pak Rafly, psikiater yang menanganiku tempo lalu."Selamat datang Bu Risa, selamat datang, Pak. Bapak suaminya Bu Risa, ya?" tanya Pak Rafly."Iya, Pak," jawabku."Oh, baguslah kalau terapi kali ini didampingi oleh suaminya. B