Hari keempat setelah melahirkan. Badanku masih terasa taknyaman, terutama di bagian perut. Ditambah dengan begadang semalaman, membuat tubuhku tidak fit. Namun, aku tetap harus mengurus diri dan anak-anakku seorang diri karena di rumah ini, takada yang bisa kuharapkan untuk membantuku.
Hari ini Bang Doni sudah mulai bekerja kembali karena cutinya sudah habis. Sedari pagi, Mama Laely beberapa kali kudapati berlalu lalang, sembari melirik-lirik ke arah kamarku yang pintunya sengaja dibiarkan terbuka, sambil memiringkan sebelah bibirnya ketika melihat ke arahku. Sedangkan Rizki kuminta membawa Nia ke kamarnya untuk bermain di sana saja. Untunglah mereka menurut.Sekitar pukul sepuluh pagi, Mama Laely ke kamarku. "Risa, Mama mau pergi arisan dulu. Nasi sudah Mama masak di magic com, lauknya nanti saja Mama masak. Mama perginya gak lama," ucapnya padaku. "Iya, Ma. Makasih," jawabku. Ternyata mertuaku takseburuk yang kupikirkan. Mama Laely masih mau memasak untukku."Hhmmm," katanya.Aku masih berusaha untuk bisa menyusui langsung lewat payudaraku. Berbagai cara kulakukan, termasuk memijatnya seperti yang dilakukan perawat di rumah sakit. Namun, belum membuahkan hasil seperti yang kuharapkan. Meski airnya sudah keluar, tetapi belum deras. Seorang tetangga mengantarkan pompa ASI untukku tadi pagi. Aku taktahu dia dapat informasi dari mana tentang ASIku yang taklancar, tetapi pompa ASI ini cukup membantu. Hari ini, aku takterlalu bergantung pada sufor lagi.Ketika jam makan siang tiba, Rizki dan Nia datang ke kamarku meminta makan. Kukatakan pada mereka untuk menunggu neneknya pulang. Untunglah mereka mau mengerti.Akan tetapi, sampai waktu menunjukkan pukul dua sore, mertuaku belum juga pulang. Anak-anak semakin merengek kelaparan. Dengan terpaksa, aku ke dapur dan memasak mie instan yang kutemukan tersisa sebungkus di lemari penyimpanan bahan makanan. Kami memakan sebungkus mie tersebut bertiga, dengan tambahan nasi. Aku meneteskan air mata melihat kedua anakku yang makan dengan lahap karena kelaparan. Teringat saat melahirkan Rizki dan Nia. Saat itu aku tinggal di rumah orang tuaku.Papa dan Mama takpernah membiarkanku makan mie setelah melahirkan. Mereka selalu menyuguhkan makanan yang enak dan bergizi untukku dan anakku. Aku juga dirawat selayaknya wanita yang baru melahirkan. Anak-anakku diurus bersama-sama.Sangat berbeda dengan di sini, yang bahkan untuk memandikan Nina saja, harus kulakukan sendiri. Yah, tentu saja semuanya takakan sama. Aku juga takmungkin memaksakan keinginanku pada keluarga suamiku.Taklama setelah kami selesai makan, Mama Laely baru pulang ke rumah. Wanita paruh baya itu langsung masuk ke kamarnya dan belum keluar hingga Bang Doni pulang. Aku mendapat laporan itu dari Rizki dan Nia, yang melihat nenek mereka pulang.Malam harinya, Nina menangis lagi seperti malam sebelumnya. Aku dan Bang Doni bergantian menggendongnya untuk mendiamkan tangisan bayi kami itu. Setelah beberapa kali memompa ASI dan memberikannya pada Nina, akhirnya Bang Doni memutuskan untuk memberi sufor lagi padanya. Beruntung, malam ini Mama Laely tidak terbangun dan memarahiku lagi.Hari kelima setelah melahirkan, Mama Laely seperti sengaja membuat kegaduhan di depan kamar kami di pukul empat pagi. Takingin tidur Nina terganggu, aku memutuskan untuk keluar kamar. Meskipun rasa ngantuk masih mendominasiku. Ternyata mertuaku takmau membiarkanku istirahat sedikit lebih lama setelah melahirkan.Wajahnya tampak tidak bersahabat ketika melihatku sampai di dapur. Anehnya, wanita yang memiliki bobot tubuh yang lumayan berisi itu, langsung menghentikan aktivitasnya mencuci piring ketika melihatku berada di sini. Mama Laely langsung meninggalkan pekerjaannya begitu saja, seperti sengaja untuk menyuruhku mengerjakan semuanya sendiri.Dengan gerakan lambat, aku terpaksa mengerjakan semua pekerjaan rumah. Aku hanya masih membatasi diri untuk tidak mengangkat beban, demi menjaga jahitan bekas operasi dari hal-hal yang tidak diinginkan.Ketika sedang menyelesaikan cucian pakaian, suara tangisan Nia terdengar dari dalam kamar kakaknya. Aku pun lantas meninggalkan pekerjaanku dan menghampiri Nia dengan langkah pelan. Ini sudah kesekian kalinya aku meninggalkan pekerjaanku di dapur karena suara tangisan, entah itu Nia atau Nia secara bergantian.Raga dan hatiku sudah terasa amat lelah, rasanya percuma saja aku tinggal di sini kalau pada akhirnya, semuanya kukerjakan sendiri setelah melahirkan. Mama Laely sama sekali takmau membantu menenangkan cucunya jika Bang Doni takada di rumah.Siang harinya, beberapa tetangga datang menjengukku, ketika aku sedang memberi ASI kepada Nina lewat botol susu di kamar. Meski sedikit repot, tetapi memompa ASI rasanya lebih baik dari pada memakai susu formula. Namun, apa boleh buat kalau memang terpaksa seperti tadi malam.Salah seorang tetangga yang melihat hal itu pun bertanya,"Kok, anakmu dikasi sufor, Ris?""Ya, begitu kalau melahirkan operasi. Sudahlah operasi, jadi gak bisa memberi ASI!" celetuk mertuaku ketika aku hendak menjawab pertanyaan tetangga tersebut."Hhmmm, ini ASI, kok, Bu. Cuma tadi Risa pompa. Soalnya kalau langsung, Nina belum pandai menghisapnya," jawabku."Itu juga, kan, Mama yang minjamin sama si Rita. Tetangga yang belum lama melahirkan itu. Kalau gak, pasti kamu masih pakai sufor sampai sekarang," ucap mertuaku bangga karena merasa telah berjasa padaku, di hadapan para tetangga. Mendengar penjelasan Mama Laely, barulah kutahu dari mana tetangga yang bernama Rita itu tahu tentang keluhanku yamg belum bisa menyusui secara langsung."Kamu, kok, bisa melahirkan operasi gitu, Ris? Kan, ini sudah anak ketiga? Lagian, yang si Rizki dan Nia dulu normal, kan, seingatku?" tanya ibu itu lagi yang bernama Winda. Bu Winda ini memang banyak tanya, dia orang yang terkenal dengan keingintahuannya terhadap semua masalah warga di lingkungan ini. Bu Winda ini termasuk dekat dengan Mama Laely. Mereka sering pergi bersama, seperti pergi arisan kemarin."Sudah jalannya, Bu," jawabku singkat. Sengaja takingin menjelaskan panjang lebar padanya.Setelah mengobrol cukup lama, para tetangga yang berjumlah lima orang itu akhirnya berpamitan padaku. Satu persatu dari mereka memberi kado untuk anakku. Taklupa doa juga terucap dari mereka semua untuk kesehatan dan kebaikan kami.Setelah sekitar satu jam kepergian mereka dari kamarku, aku bersiap-siap untuk membersihkan tubuh Nina. Aku memang hanya memandikannya sekali sehari saja. Saat sore hari, Nina hanya kulap dengan air hangat.Langkah kakiku yang hendak menuju ke dapur untuk merebus air panas terhenti, ketika sayup-sayup terdengar obrolan dari teras yang menyebut-nyebut namaku. Aku pun membelokkan langkah kaki menuju teras. Kali ini, terdengar suara mertuaku yang sedang berbicara."Halah, Risa itu selama tinggal di rumah ini, gak pernah ngapa-ngapain. Ngurus anak saja masih aku yang bantuin. Semua pekerjaan rumah, aku yang ngerjain lho, Jeng! Dia juga malas bergerak. Kalian pasti gak pernah, kan, melihat Risa jalan-jalan santai keliling gang. Harusnya, kan, kalau mau melahirkan itu harus banyak gerak, jalan kaki. Ini mah, si Risa kerjaannya tidur mulu sepanjang hari. Alasannya badannya sakitlah, gak kuatlah. Namanya juga hamil, kan? Ya, wajar, dong sakit sedikit. Lagian, siapa suruh hamil lagi! Makanya, Risa akhirnya harus dioperasi! Gitu, Jeng," ucap mertuaku menggebu-gebu.Tujuh hari sudah usia Nina. Namun, belum ada peningkatan pada ASIku. Sejak mendengar fitnah yang dilontarkan oleh Mama Laely, aku merasa takada gunanya bertahan di sini. Namun, meminta Bang Doni untuk pindah pun, rasanya akan sia-sia. Bang Doni pasti takmau pindah dari rumah ibunya.Harusnya hari ini jadwalku kontrol jahitan bekas operasi ke dokter, tetapi Bang Doni sibuk. Sejak dua hari yang lalu dia lembur dan pulang jam sembilan malam. Sejujurnya, aku butuh kehadiran Bang Doni, tetapi kami juga membutuhkan biaya yang besar, terlebih setelah operasi dan untuk membeli susu formula untuk Nina. Sehingga aku takbisa melarang Bang Doni untuk lembur.***Siang ini mataku terasa sangat berat. Saat menidurkan Nia dan Nina di kamar, tanpa sadar aku ikut tertidur."Ya, ampun, Risa! Kalau anak tidur itu, kamu jangan ikut tidur! Apa kamu gak lihat pekerjaan rumah masih banyak? Piring dan pakaian belum dicuci! Kamu ini gimana, sih? Jadi ibu, kok, gak becus!" hardik Mama Laely setelah dia membuka
"Risa!"Bang Doni masuk ke kamar kami tepat saat aku meletakkan bantal di atas wajah Nina. Dia dengan cepat menyingkirkan bantal tersebut dan menggendong Nina. Botol susu yang dibawanya dilemparkan begitu saja ke bagian tempat tidur yang kosong.Aku kembali duduk di pojok kamar, menekuk lutut, memeluk tubuhku sendiri, juga menundukkan kepalaku sampai masuk ke dalam pelukan tanganku dan memejamkan kedua mataku, ketika kulihat kilat kemarahan di wajah suamiku.Pikiranku kosong, tiba-tiba aku merindukan Papa dan Mama. Aku rindu pelukan hangat mereka, juga canda tawa keduanya. Di sini, aku takpernah mendapatkan itu. "Risa!" panggil Bang Doni, yang telah berdiri di depanku. Kubuka mata, lalu kuedarkan pandangan ke sekeliling kamar. Takada Nina di kamar kami, hanya ada Nia yang tertidur dengan pulas. Mungkin Nina sudah dibawa Bang Doni menjauh dariku ke ruangan lain."Kamu itu kenapa, sih? Tadi ribut sama mama. Sekarang malah berbuat yang tidak-tidak ke Nina. Kamu tahu tidak, kalau apa yan
Kemarin, setelah menonton berita tentang pembunuhan dengan menggunakan obat tetes mata, aku langsung mencari obat tersebut di kamar. Aku menemukan dua botol dengan merek yang berbeda. Ini adalah obat yang dipakai Bang Doni beberapa waktu lalu. Suamiku itu memang suka membeli obat tetes mata di apotek setiap kali merasa matanya bermasalah, entah kering atau iritasi. Setiap kali matanya sakit, dia akan terus membeli obat yang baru.Menurut berita yang kudengar kemarin, ada kandungan tetra-tetra yang setelah kubaca di botol obat itu bertuliskan tetrahydrozoline, yang apabila diminum dapat menyebabkan terjadinya peningkatan kadar racun dalam darah karena kandungannya melewati saluran pencernaan dengan cepat.Pagi ini aku melakukan aktifitas seperti biasa. Bahkan sekarang aku juga sudah memasak sendiri. Setelah selesai membuat sarapan, aku membuat kopi untuk Bang Doni dan teh untuk Mama Laely. Taklupa kukeluarkan obat tetes mata dari dalam saku bajuku. Namun, keraguan menyelimutimu. Sepert
Setelah bergelut dengan pikiranku sendiri, aku akhirnya memutuskan untuk mengikuti Bang Doni ke kamar Mama Laely. Aku sampai ke sana tepat saat Bang Doni masuk ke kamar mamanya yang ternyata takterkunci. Kulihat Bang Doni sepertinya taktahu keberadaanku. Jadi, aku memutuskan untuk menunggu di depan pintu kamar mertuaku itu saja.Terlihat dari depan pintu kamar yang terbuka, mertuaku itu sedang berbaring lemas. Selimut tebal menyelimuti lebih dari separuh bagian tubuhnya, hingga hanya menyisakan bagian kepala dan dada yang tidak tertutup selimut. Wanita yang berusia 60 tahun itu tampak tersenyum samar saat melihat anaknya menghampirinya.Saat melihatnya seperti ini, rasa iba dan penyesalan muncul di hatiku. Namun, jika ingat perlakuannya terhadapku juga anak-anakku, membuat rasa sakit itu hadir kembali."Ma," sapa Bang Doni. Aku hanya mendengarkan pembicaraan antara ibu dan anak tersebut."Hhmmm," jawab Mama Laely."Mama kenapa? Mama sakit?" tanya suamiku itu cemas. Dia lantas duduk di
Adakah yang lebih menyakitkan dari rasa sakit saat melahirkan? Yaitu saat semua pengorbanan dan pengabdianku tidak dihargai. Maka, luluh lantaklah hati ini. Terlebih, saat suami yang seharusnya bisa menjadi pelindung, takbisa menjadi tempat untukku bersandar.“Risa!" Lagi-lagi teriakan itu terdengar. Apa mertuaku itu takbisa menggunakan bahasa yang halus dan sopan saat memanggilku? Kenapa dia harus selalu berteriak? Padahal aku tidak tuli, telingaku masih bisa mendengar dengan baik tanpa harus diteriaki."Bunda—," panggil Rizki padaku, sesaat setelah dia menyembulkan kepalanya di balik pintu kamarku. "Iya, Sayang," jawabku."Nenek teriak-teriak manggil Bunda," ucap bocah yang sebentar lagi akan masuk ke sekolah dasar itu."Iya, Nak. Bentar lagi bunda ke kamar nenek. Bunda nidurin Dede Nina dulu. Ini susunya tinggal sedikit lagi," jawabku padanya."Tapi nanti nenek marah-marah," ucapnya sendu. Dia pasti masih ingat dengan kemarahan neneknya dan takut dimarahi lagi."Ya, udah. Sini,
Waktu sudah menunjukkan pukul sembilan lewat tiga puluh malam. Namun, belum ada tanda-tanda kepulangan Bang Doni. Sedangkan Rani, sudah pulang pukul tujuh malam tadi. Setelah makan malam dan memberi mamanya makan, gadis yang ramah dan mudah bergaul itu langsung masuk ke kamarnya.Sempat kutanya kenapa pulang lebih cepat karena biasanya dia pulang jam sembilan malam. Rani berkata, bahwa dia sengaja pulang cepat karena mengingat mamanya yang sedang sakit. Dia taktega padaku yang harus mengurus semuanya sendiri di rumah, ditambah dengan mengurus mamanya. Setelah itu, Rani masuk ke kamarnya. Mungkin dia sudah tidur sekarang. Rizki sudah tidur di kamarnya, begitu pun Nia, gadis kecil itu sudah terlelap di sampingku. Sedangkan Nina, saat ini sedang kuberi sufor dengan botol susu. Sampai sekarang ASIku takada peningkatan. Bukannya bertambah deras, malah semakin seret.Terdengar suara seseorang memberi salam dari depan rumah, tepat saat aku selesai memberi Nina susu dan meletakkan bayi mungi
Pagi ini aku bangun dengan semangat untuk menyambut kedatangan Kak Rafka. Segera setelah bangun dan membersihkan diri, aku bergegas ke dapur untuk memasak sarapan sekaligus memasak makanan kesukaan Kak Rafka, gulai kuning ikan nila.Kemarin, setelah ditelepon Kak Rafka, aku langsung menelepon Bang Doni. Aku meminta izin padanya agar membolehkan Kak Rafka menginap selama semalam di sini. Aku juga meminta tolong pada Bang Doni untuk berbelanja ke pasar sore, membeli bahan untuk membuat gulai kuning ikan nila.Bang Doni terdengar kebingungan di seberang sana mendengar celotehku, tetapi takaku hiraukan. Bagaimana tidak, kami yang sudah beberapa hari perang dingin, bahkan aku yang hampir takada berkomunikasi dengannya, tiba-tiba menelepon dan memintanya untuk berbelanja.Setelah beberapa bulan tinggal di rumah mertua, baru hari ini kurasakan kebahagiaan. Akhirnya, ada seseorang yang bisa menjadi pelindungku dan akan datang ke sini.Anak-anak hari ini lebih tenang, termasuk Nina, yang hanya
Pagi ini Kak Rafka akan pulang ke Pekanbaru. Ada perasaan sedih dalam hatiku untuk melepas kepergian saudaraku satu-satunya itu. Namun, takada yang bisa kulakukan karena kami telah memiliki hidup masing-masing. Kak Rafka takmungkin berlama-lama meninggalkan usaha toko rotinya. Begitu pun aku yang takmungkin meninggalkan keluargaku.Teringat perbincangan kami tadi malam. Takbisa kubayangkan reaksi Kak Rafka jika tahu apa yang kualami selama tinggal di sini. Untungnya, tadi malam aku selamat dari pertanyaan Kak Rafka karena kedatangan Bang Doni.Kemarin, begitu melihat kedatangan Bang Doni, aku dengan cepat mengalihkan perhatian Kak Rafka dengan memanggil nama Bang Doni dan segera ke dapur mengambil gelas untuk mereka berdua, tempat teh telur yang dibeli Bang Doni. Setelahnya, aku langsung pamit ke kamar.Seperti biasa, rutinitas pagiku diawali dengan membuat sarapan dan minuman untuk Bang Doni dan Mama Laely, kali ini ditambah dengan minuman untuk Kak Rafka.Saat ke dapur, aku mendenga