Share

9. FITNAH

last update Last Updated: 2024-03-10 06:24:40

Hari keempat setelah melahirkan. Badanku masih terasa taknyaman, terutama di bagian perut. Ditambah dengan begadang semalaman, membuat tubuhku tidak fit. Namun, aku tetap harus mengurus diri dan anak-anakku seorang diri karena di rumah ini, takada yang bisa kuharapkan untuk membantuku.

Hari ini Bang Doni sudah mulai bekerja kembali karena cutinya sudah habis. Sedari pagi, Mama Laely beberapa kali kudapati berlalu lalang, sembari melirik-lirik ke arah kamarku yang pintunya sengaja dibiarkan terbuka, sambil memiringkan sebelah bibirnya ketika melihat ke arahku. Sedangkan Rizki kuminta membawa Nia ke kamarnya untuk bermain di sana saja. Untunglah mereka menurut.

Sekitar pukul sepuluh pagi, Mama Laely ke kamarku. "Risa, Mama mau pergi arisan dulu. Nasi sudah Mama masak di magic com, lauknya nanti saja Mama masak. Mama perginya gak lama," ucapnya padaku. 

"Iya, Ma. Makasih," jawabku. Ternyata mertuaku takseburuk yang kupikirkan. Mama Laely masih mau memasak untukku.

"Hhmmm," katanya.

Aku masih berusaha untuk bisa menyusui langsung lewat payudaraku. Berbagai cara kulakukan, termasuk memijatnya seperti yang dilakukan perawat di rumah sakit. Namun, belum membuahkan hasil seperti yang kuharapkan. Meski airnya sudah keluar, tetapi belum deras. Seorang tetangga mengantarkan pompa ASI untukku tadi pagi. Aku taktahu dia dapat informasi dari mana tentang ASIku yang taklancar, tetapi pompa ASI ini cukup membantu. Hari ini, aku takterlalu bergantung pada sufor lagi.

Ketika jam makan siang tiba, Rizki dan Nia datang ke kamarku meminta makan. Kukatakan pada mereka untuk menunggu neneknya pulang. Untunglah mereka mau mengerti.

Akan tetapi, sampai waktu menunjukkan pukul dua sore, mertuaku belum juga pulang. Anak-anak semakin merengek kelaparan. Dengan terpaksa, aku ke dapur dan memasak mie instan yang kutemukan tersisa sebungkus di lemari penyimpanan bahan makanan. Kami memakan sebungkus mie tersebut bertiga, dengan tambahan nasi. 

Aku meneteskan air mata melihat kedua anakku yang makan dengan lahap karena kelaparan. Teringat saat melahirkan Rizki dan Nia. Saat itu aku tinggal di rumah orang tuaku.

Papa dan Mama takpernah membiarkanku makan mie setelah melahirkan. Mereka selalu menyuguhkan makanan yang enak dan bergizi untukku dan anakku. Aku juga dirawat selayaknya wanita yang baru melahirkan. Anak-anakku diurus bersama-sama.

Sangat berbeda dengan di sini, yang bahkan untuk memandikan Nina saja, harus kulakukan sendiri. Yah, tentu saja semuanya takakan sama. Aku juga takmungkin memaksakan keinginanku pada keluarga suamiku.

Taklama setelah kami selesai makan, Mama Laely baru pulang ke rumah. Wanita paruh baya itu langsung masuk ke kamarnya dan belum keluar hingga Bang Doni pulang. Aku mendapat laporan itu dari Rizki dan Nia, yang melihat nenek mereka pulang.

Malam harinya, Nina menangis lagi seperti malam sebelumnya. Aku dan Bang Doni bergantian menggendongnya untuk mendiamkan tangisan bayi kami itu. Setelah beberapa kali memompa ASI dan memberikannya pada Nina, akhirnya Bang Doni memutuskan untuk memberi sufor lagi padanya. Beruntung, malam ini Mama Laely tidak terbangun dan memarahiku lagi.

Hari kelima setelah melahirkan, Mama Laely seperti sengaja membuat kegaduhan di depan kamar kami di pukul empat pagi. Takingin tidur Nina terganggu, aku memutuskan untuk keluar kamar. Meskipun rasa ngantuk masih mendominasiku. Ternyata mertuaku takmau membiarkanku istirahat sedikit lebih lama setelah melahirkan.

Wajahnya tampak tidak bersahabat ketika melihatku sampai di dapur. Anehnya, wanita yang memiliki bobot tubuh yang lumayan berisi itu, langsung menghentikan aktivitasnya mencuci piring ketika melihatku berada di sini. Mama Laely langsung meninggalkan pekerjaannya begitu saja, seperti sengaja untuk menyuruhku mengerjakan semuanya sendiri.

Dengan gerakan lambat, aku terpaksa mengerjakan semua pekerjaan rumah. Aku hanya masih membatasi diri untuk tidak mengangkat beban, demi menjaga jahitan bekas operasi dari hal-hal yang tidak diinginkan.

Ketika sedang menyelesaikan cucian pakaian, suara tangisan Nia terdengar dari dalam kamar kakaknya. Aku pun lantas meninggalkan pekerjaanku dan menghampiri Nia dengan langkah pelan. Ini sudah kesekian kalinya aku meninggalkan pekerjaanku di dapur karena suara tangisan, entah itu Nia atau Nia secara bergantian.

Raga dan hatiku sudah terasa amat lelah, rasanya percuma saja aku tinggal di sini kalau pada akhirnya, semuanya kukerjakan sendiri setelah melahirkan. Mama Laely sama sekali takmau membantu menenangkan cucunya jika Bang Doni takada di rumah.

Siang harinya, beberapa tetangga datang menjengukku, ketika aku sedang memberi ASI kepada Nina lewat botol susu di kamar. Meski sedikit repot, tetapi memompa ASI rasanya lebih baik dari pada memakai susu formula. Namun, apa boleh buat kalau memang terpaksa seperti tadi malam.

Salah seorang tetangga yang melihat hal itu pun bertanya,"Kok, anakmu dikasi sufor, Ris?"

"Ya, begitu kalau melahirkan operasi. Sudahlah operasi, jadi gak bisa memberi ASI!" celetuk mertuaku ketika aku hendak menjawab pertanyaan tetangga tersebut.

"Hhmmm, ini ASI, kok, Bu. Cuma tadi Risa pompa. Soalnya kalau langsung, Nina belum pandai menghisapnya," jawabku.

"Itu juga, kan, Mama yang minjamin sama si Rita. Tetangga yang belum lama melahirkan itu. Kalau gak, pasti kamu masih pakai sufor sampai sekarang," ucap mertuaku bangga karena merasa telah berjasa padaku, di hadapan para tetangga. Mendengar penjelasan Mama Laely, barulah kutahu dari mana tetangga yang bernama Rita itu tahu tentang keluhanku yamg belum bisa menyusui secara langsung.

"Kamu, kok, bisa melahirkan operasi gitu, Ris? Kan, ini sudah anak ketiga? Lagian, yang si Rizki dan Nia dulu normal, kan, seingatku?" tanya ibu itu lagi yang bernama Winda. Bu Winda ini memang banyak tanya, dia orang yang terkenal dengan keingintahuannya terhadap semua masalah warga di lingkungan ini. Bu Winda ini termasuk dekat dengan Mama Laely. Mereka sering pergi bersama, seperti pergi arisan kemarin.

"Sudah jalannya, Bu," jawabku singkat. Sengaja takingin menjelaskan panjang lebar padanya.

Setelah mengobrol cukup lama, para tetangga yang berjumlah lima orang itu akhirnya berpamitan padaku. Satu persatu dari mereka memberi kado untuk anakku. Taklupa doa juga terucap dari mereka semua untuk kesehatan dan kebaikan kami.

Setelah sekitar satu jam kepergian mereka dari kamarku, aku bersiap-siap untuk membersihkan tubuh Nina. Aku memang hanya memandikannya sekali sehari saja. Saat sore hari, Nina hanya kulap dengan air hangat.

Langkah kakiku yang hendak menuju ke dapur untuk merebus air panas terhenti, ketika sayup-sayup terdengar obrolan dari teras yang menyebut-nyebut namaku. Aku pun membelokkan langkah kaki menuju teras. Kali ini, terdengar suara mertuaku yang sedang berbicara.

"Halah, Risa itu selama tinggal di rumah ini, gak pernah ngapa-ngapain. Ngurus anak saja masih aku yang bantuin. Semua pekerjaan rumah, aku yang ngerjain lho, Jeng! Dia juga malas bergerak. Kalian pasti gak pernah, kan, melihat Risa jalan-jalan santai keliling gang. Harusnya, kan, kalau mau melahirkan itu harus banyak gerak, jalan kaki. Ini mah, si Risa kerjaannya tidur mulu sepanjang hari. Alasannya badannya sakitlah, gak kuatlah. Namanya juga hamil, kan? Ya, wajar, dong sakit sedikit. Lagian, siapa suruh hamil lagi! Makanya, Risa akhirnya harus dioperasi! Gitu, Jeng," ucap mertuaku menggebu-gebu.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • MERTUAKU RACUN RUMAH TANGGAKU   30. Merajut Kembali

    Kami telah sampai di rumah orang tuaku, tepatnya sekarang rumah Kak Rafka. Anak-anak terlihat begitu antusias. Begitu mobil berhenti, mereka dengan taksabar berebutan untuk segera keluar dan berlari ke rumah.Aku yang baru saja keluar dari mobil dan melihat mereka berlarian, dengan spontan berteriak, "Rizki, Nia, pelan-pelan jalannya. Anak-anak, hati-hat–""Udah, biarkan saja, Dek," kata Bang Doni memotong ucapanku.Aku menoleh dan melotot ke arah Bang Doni yang telah berdiri di belakangku. Merasa kesal karena dia memotong perkataanku untuk memberi peringatan pada anak-anak."Abang! Ih, bikin kesel!" tandasku cemburut, memonyongkan bibir, dan bersedekap tanda aku marah padanya.Bang Doni hanya tersenyum melihat tingkahku, dia berjalan mendekat dan mengelus kepalaku. Suamiku itu lalu mendekatkan bibirnya ke telingaku, dan berbisik, "Cantik banget kalau lagi manyun gitu, Dek. Jadi pengen di sosor.""Abang! Emangnya Risa bebek?!" Kupukul pelan lengannya karena kesal sekaligus malu menden

  • MERTUAKU RACUN RUMAH TANGGAKU   29. Sembuh

    Seminggu sudah kepergian Mama Laely. Sudah satu minggu pula aku tinggal di rumah peninggalan mertuaku. Selain untuk menyambut tamu yang datang melayat, kami tetap di sini sementara waktu untuk menemani Rani. Sedangkan Bang Doni, sejak jatah cutinya habis tiga hari yang lalu, dia berangkat kerja dari sini."Dek, kamu mau tetap di sini apa pulang ke rumah kita?" tanya Bang Doni pagi ini, ketika membantuku memasak dan membereskan dapur.Akhir-akhir ini, Bang Doni lebih sering memanggilku dengan panggilan adek saat kami berdua. Dia juga lebih rajin membantu pekerjaanku, juga mengurus anak-anak."Risa terserah Abang saja, tapi Risa ada jadwal ke psikolog besok. Menurut Abang, bagusnya gimana?" "Hhmmm, bagusnya besok kita ke rumah sakit dari sini saja.""Tapi, kan, kita belum minta surat rujukan dari klinik faskes pertama di tempat tinggal kita sekarang. Gimana, dong?"Oh, ya, udah. Nanti Abang ke klinik jam istirahat kerja. Sekalian mengambil berkas yang belum kebawa. Adek belum bawa semu

  • MERTUAKU RACUN RUMAH TANGGAKU   28. Sekarat

    Sejatinya, kehidupan dan kematian adalah kodrat manusia. Takada manusia yang hidup abadi, begitu pun takkan ada kematian jika takada kehidupan.Pagi ini kami bersiap-siap untuk berangkat ke rumah sakit tempat Mama Laely dirawat. Jam empat subuh tadi, Rani menelepon. Dia mengabarkan keadaan mamanya yang semakin memburuk.Gadis yang kesehariannya bekerja sebagai admin sebuah bank itu terdengar sangat sedih. Bagaimana tidak, seperti apapun perbuatan orang tua kita, bahkan seburuk apapun seorang ibu, bagi anaknya, dia adalah sosok yang takakan pernah tergantikan oleh siapa pun.Aku juga melihat kesedihan di mata Bang Doni. Laki-laki itu tampak berusaha menutupinya, meski masih terlihat olehku. Ya, begitulah laki-laki, lebih suka menutupi luka seorang diri. Aku paham, mungkin Bang Doni masih berusaha untuk menjaga perasaanku. Hingga ia takada sedikit pun menyinggung akan pergi menjenguk mamanya yang sudah sekarat. Namun, aku bukanlah siapa-siapa yang dengan keras hati takmau memaafkan ora

  • MERTUAKU RACUN RUMAH TANGGAKU   27. Menyesal

    Sudah satu minggu Mama Laely dirawat di rumah sakit. Namun, Bang Doni masih enggan untuk datang menjenguknya. Hal ini membuat hatiku taktenang. Aku takut Bang Doni akan menyesal di kemudian hari.Bukan bermaksud mendoakan hal buruk, tetapi usia manusia takada yang tahu. Kondisi Mama Laely saat ini, membuatku berpikir yang tidak-tidak. Aku terus kepikiran soal kondisi mertuaku itu, juga hubungannya dengan Bang Doni. Bagaimana kalau Mama Laely pergi saat mereka belum saling memaafkan, bahkan belum saling jumpa sejak kejadian malam itu.Agh, apa ini salahku? Karena aku, ibu dan anak itu bertengkar. Apa yang harus kulakukan? Aku harus bagaimana?Oh, iya, Rani. Aku harus menelepon Rani. Baiklah, aku akan meneleponnya sekarang. Mumpung anak-anak juga sedang tidur siang semua. Semoga Rani tidak sibuk. Kulihat jarum jam menunjukkan pukul 12.45 Wib. Semoga saat ini Rani sedang istirahat, jadi aku bisa berbicara dengannya.Tuutt tuuttt tuutttt(Nomor yang anda tuju-)Ternyata Rani tidak menga

  • MERTUAKU RACUN RUMAH TANGGAKU   26. Sakit

    Hari ini Bang Doni bekerja seperti biasa. Sebelum berangkat, dia menyempatkan diri membantuku mencuci pakaian dan menjemurnya.Nina si bungsu mulai bisa diajak berinteraksi. Hal itu membuat Rizki dan Nia senang bermain dengan adik bungsu mereka. Meskipun hanya dibalas dengan senyuman.Saat ini mereka bertiga sedang bermain di kamar Rizki. Aku sengaja membawa Nina ke sini untuk memudahkanku mengawasi ketiganya saat aku sedang melakukan pekerjaan rumah."Adek, cilukba!" seru Rizki sembari meletakkan kedua telapak tangannya di muka dan membuka telapak tangannya kembali."Cicak dindindin, diam layap-layap. Datang ekol nyamuk, hap! Lalu tangkapkan!" nyanyi Nia takmau kalah."Hahaha, salah, Dek. Bukan gitu nyanyinya," kata Rizki."Bialin. Memang Kakak bica?" tantang Nia pada kakaknya dengan omongan yang cadel. Sedangkan Nina yang menjadi objek perhatian mereka, tertawa melihat tingkah kedua saudaranya yang mungkin dianggap sedang bermain dengannya.Aku bahagia melihat interaksi ketiga anakk

  • MERTUAKU RACUN RUMAH TANGGAKU   25. Kesepian

    Hari ini kami akan pergi ke rumah sakit untuk terapi ke psikiater. Sebelumnya, setelah kami pindah, Bang Doni sudah mengurus semua administrasi kepindahan kami di sini, termasuk pelayanan faskes tingkat satu. Kemarin Bang Doni juga sudah mengambil surat rujukan di faskes tingkat satu untuk dibawa ke rumah sakit."Sudah siap semuanya?" tanya Bang Doni padaku."Sudah, Bang," jawabku. Kami pun berangkat dengan mengendarai mobil yang kami sewa lewat jasa rental dengan Bang Doni sebagai supirnya.Tiba di rumah sakit, kami pun langsung menuju ke bagian administrasi untuk melakukan pendaftaran, lalu diarahkan ke bagian psikiater dengan surat rujukan yang telah kami bawa.Setelah menunggu beberapa saat, tibalah giliran namaku yang dipanggil. Aku masuk dan duduk di depan Pak Rafly, psikiater yang menanganiku tempo lalu."Selamat datang Bu Risa, selamat datang, Pak. Bapak suaminya Bu Risa, ya?" tanya Pak Rafly."Iya, Pak," jawabku."Oh, baguslah kalau terapi kali ini didampingi oleh suaminya. B

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status