Aku bercengkrama bersama Papa dan Mama di sebuah taman. Taman ini, seperti taman di dekat rumah kami, tempat aku bermain semasa kecil. Namun, taman ini terlihat lebih indah. Bahkan, lebih tepatnya sangat indah. Bunga-bunga bermekaran penuh warna, mengeluarkan aroma harum mewangi. Di atasnya, kupu-kupu hilir-mudik mengepakkan sayapnya yang berwarna-warni, lalu singgah dan menghisap nektar bunga. Aneka mainan anak-anak berjejer rapi di salah satu sudut taman. Ada ayunan, jungkat-jungkit, juga perosotan.
Orang tuaku tampak sangat bahagia berada di sini, wajah mereka terlihat cerah berseri. Saat ini kami duduk di salah satu bangku taman yang berjejer rapi di sepanjang sudut taman. Taman ini juga terlihat sangat bersih, takada sampah bekas bungkus makanan ataupun daun yang berserakan. “Risa, hiduplah bahagia dengan keluargamu, ya,” kata Mama.“Kamu pasti bisa karena kamu kuat!” ucap Papa.“Ingatlah, kami selalu ada untukmu!” sambung Mama lagi.Tiba-tiba, aku dikejutkan oleh suara aneh. Hingga kemudian aku tersadar bahwa yang kualami tadi adalah mimpi.Oh, tidak! Bukankah aku akan melahirkan? Aku mendengar suara mesin pendeteksi detak jantung, suara yang sama yang kudengar saat menunggu Papa dan Mama di rumah sakit waktu itu. Juga langkah kaki yang berlalu lalang, lalu menghilang.Akan tetapi, aku takdapat menggerakkan seluruh anggota tubuhku, bahkan untuk membuka mata pun taksanggup. Entah sudah berapa lama mencoba, hingga akhirnya dengan susah-payah aku dapat membuka mata.Seorang perawat datang menghampiriku, lalu mengecek infus juga alat medis lain yang bersambung dengan tubuhku. Taklama kemudian, aku dipindahkan ke ruangan lain.Bang Doni masuk ke ruangan tempatku dirawat, disusul oleh Mama Laely. Aku hanya tersenyum menyambut kedatangan mereka karena tubuhku belum dapat digerakkan. Mama Laely menampakkan raut wajah taksuka."Alhamdulillah, Dek. Syukurlah kamu sudah sadar," ucap Bang Doni menghampiriku. Sudah lama sekali panggilan itu takpernah diucapkan lagi oleh Bang Doni untukku. Hatiku berbunga mendengar panggilan sayangnya."Kenapa gak sekalian steril saja, sih?" celetuk Mama Laely, membuatku istigfar di dalam hati dan memejamkan mata untuk meredakan rasa kecewa juga amarahku.Sungguh, andai bisa, saat ini aku ingin berkata kasar. Bagaimana bisa mertuaku itu berkata begitu pada menantunya, yang bahkan belum bisa menggerakkan tubuh paska operasi caesar untuk melahirkan cucunya.Aku mengalihkan pandangan pada Bang Doni, memberi isyarat lewat tatapan mata, bahwa aku mencari anak kami. Untungnya Bang Doni memahami isyaratku."Alhamdulillah anak kita sehat, dia cantik sepertimu, Dek. Untuk saat ini, dia masih harus berada di ruangan khusus bayi. Kata dokter, besok kalau kamu sudah bisa bergerak, baru dibawa ke sini untuk disusui," jelas Bang Doni padaku. Dia lalu menambahkan, "Rizki dan Nia, Abang titipkan pada tetangga. Nanti setiap Rani pulang kerja, baru anak-anak di rumah sama Rani. Kemarin, saat kamu pendarahan dan dibawa ke sini, Mama dan anak-anak, Abang tinggalkan. Pak Ridho, pemilik mobil yang kita pinjam, ditelpon Mama, diminta Mama untuk menjemput mereka. Setelah menitipkan anak-anak karena Rani belum pulang, Mama menyusul ke sini pakai travel. Untung masih ada travel tadi malam."Aku hanya sedikit menganggukkan kepala dan mengedipkan kedua mata pertanda aku menyimak penjelasan Bang Doni. Mataku rasanya masih mengantuk, padahal baru terbangun pasca operasi caesar semalam.Taklama kemudian, Kak Rafka datang menjengukku. Sayangnya, dia takbisa berlama-lama di rumah sakit karena kesibukannya. Kak Rafka terlihat iba melihat kondisiku. Dia pamit pada kami setelah sedikit berbasa-basi dengan Bang Doni.Hari kedua pasca operasi, aku belajar menggerakkan anggota tubuhku. Perawat membantuku untuk belajar duduk. Sayatan bekas operasi terasa menyayat-nyayat bagian bawah perutku. Begitu pun badan yang terasa remuk redam.Akan tetapi, semua terbayar ketika Nina-putri kecilku diantarkan ke ruangan tempatku dirawat. Aku melihatnya haru dengan mata berkaca-kaca. Tubuh mungil itu begitu menggemaskan. Kulitnya putih dengan rambut hitam dan lurus seperti rambut ayahnya.Perawat membantuku untuk memberikan ASI untuknya. Dia terlihat kelaparan, mulutnya menganga mencari sumber air kehidupannya. Sekian menit mencoba, sayangnya ASIku takkunjung keluar. Padahal, tadi perawat sudah memberiku suplemen pelancar ASI, juga membantu memijit payudaraku. Kami terpaksa memberinya sufor lagi sementara waktu sebagai pengganti ASI."Kenapa ASIku gak keluar juga, Bu?" tanyaku pada perawat yang membantuku."Sabar, Bu. Ini biasa terjadi pada ibu pasca melahirkan dengan caesar," ucap perawat tersebut."Itulah, itu akibatnya kalau melahirkan caesar. ASImu jadi gak mau keluar. Makanya, lahiran tuh yang normal saja. Jangan banyak gaya, jadinya caesar!" omel mertuaku yang semakin menambah beban mentalku.Perawat yang mendengar ucapan mertuaku menjawab omongan Mama Laely sambil menggelengkan kepalanya, "Bu, bukan begitu. Ibu gak boleh ngomong seperti itu ke pasien. Normal ataupun caesar, seorang ibu sama-sama berjuang untuk melahirkan."Mama Laely hanya mendengus mendengar penjelasan perawat tersebut. Untungnya dia takbersuara lagi.Hari ketiga pasca operasi, aku sudah bisa berjalan perlahan-lahan. Kateter juga sudah dibuka karena aku sudah bisa ke kamar mandi. Dokter menyarankan untukku berada di sini sehari atau dua hari lagi, tetapi Mama Laely bersikeras membawaku pulang. Sedangkan Bang Doni hanya menurut saja apa kata ibunya.Setelah mengurus semua administrasi, akhirnya aku diperbolehkan pulang dengan catatan dari dokter. Dokter mengatakan pihak rumah sakit tidak akan bertanggung jawab padaku jika terjadi sesuatu yang tidak diinginkan karena aku pulang lebih awal dari jadwal yang ditetapkan oleh mereka.Sesampainya di rumah Mama Laely, Bang Doni menuntunku ke kamar. Sembari membawa Nina dalam dekapanku, aku berjalan perlahan-lahan ke kamar. Rizki dan Nia datang menghampiriku, sesaat setelah aku meletakkan adiknya yang tertidur pulas di kasur. Mereka berdua tampak bahagia menyambut kehadiran anggota baru dalam keluarganya. Saat malam tiba, Rani juga datang ke kamarku untuk melihat keponakan barunya. Dia menyerahkan sebuah kotak kado dan sebuah amplop untukku. Aku menerima pemberian Rani dan berterima kasih padanya."Makasih, ya, Rani. Tapi amplop ini untuk apa?" tanyaku."Iya, Kak. Selamat, ya, Kak. Yeay, sekarang aku punya tiga keponakan. Itu untuk Kakak, untuk nambah-nambah beli susu dedek bayi. Nina ya, namanya? Tadi mama cerita, katanya ASI Kakak gak keluar, ya?" tanyanya padaku."Iya, Ran. Kakak juga bingung kenapa gak mau keluar juga. Sedangkan ini sudah hari ketiga. Padahal, dulu saat melahirkan Rizki dan Nia, ASI kakak lancar-lancar aja, langsung deras malahan. Mungkin ini efek melahirkan dengan operasi caesar," jawabku.Setelah puas berbasa-basi, Rani pun keluar dari kamarku.Malam hari, saat waktu menunjukkan pukul dua dini hari, Nina menangis dengan kencang. Aku sudah berusaha untuk meredakan tangisannya, tetapi takkunjung membuahkan hasil. Kucoba memberikan ASI padanya, yang terjadi bukanlah yang kuharapkan. Tangis Nina bukannya berhenti, tetapi malah semakin menjadi-jadi. Bang Doni juga sudah mencoba mengambil alih Nina dari gendonganku, tetapi juga tidak meredakan tangis Nina. Akhirnya, karena putus asa, aku terpaksa meminta Bang Doni membuatkan sufor untuk Nina.Ketika Bang Doni sedang di dapur untuk membuatkan Nina susu, mertuaku datang dan masuk ke kamar yang memang taktertutup.Dia datang dengan wajah kusutnya khas orang baru bangun tidur, lalu marah-marah padaku. "Makanya, melahirkan itu jangan operasi. Biar ASImu langsung keluar deras. Kalau kayak gini, kan, mengganggu orang tidur namanya!" hardiknya padaku.Hari keempat setelah melahirkan. Badanku masih terasa taknyaman, terutama di bagian perut. Ditambah dengan begadang semalaman, membuat tubuhku tidak fit. Namun, aku tetap harus mengurus diri dan anak-anakku seorang diri karena di rumah ini, takada yang bisa kuharapkan untuk membantuku.Hari ini Bang Doni sudah mulai bekerja kembali karena cutinya sudah habis. Sedari pagi, Mama Laely beberapa kali kudapati berlalu lalang, sembari melirik-lirik ke arah kamarku yang pintunya sengaja dibiarkan terbuka, sambil memiringkan sebelah bibirnya ketika melihat ke arahku. Sedangkan Rizki kuminta membawa Nia ke kamarnya untuk bermain di sana saja. Untunglah mereka menurut.Sekitar pukul sepuluh pagi, Mama Laely ke kamarku. "Risa, Mama mau pergi arisan dulu. Nasi sudah Mama masak di magic com, lauknya nanti saja Mama masak. Mama perginya gak lama," ucapnya padaku. "Iya, Ma. Makasih," jawabku. Ternyata mertuaku takseburuk yang kupikirkan. Mama Laely masih mau memasak untukku."Hhmmm," katanya.Aku m
Tujuh hari sudah usia Nina. Namun, belum ada peningkatan pada ASIku. Sejak mendengar fitnah yang dilontarkan oleh Mama Laely, aku merasa takada gunanya bertahan di sini. Namun, meminta Bang Doni untuk pindah pun, rasanya akan sia-sia. Bang Doni pasti takmau pindah dari rumah ibunya.Harusnya hari ini jadwalku kontrol jahitan bekas operasi ke dokter, tetapi Bang Doni sibuk. Sejak dua hari yang lalu dia lembur dan pulang jam sembilan malam. Sejujurnya, aku butuh kehadiran Bang Doni, tetapi kami juga membutuhkan biaya yang besar, terlebih setelah operasi dan untuk membeli susu formula untuk Nina. Sehingga aku takbisa melarang Bang Doni untuk lembur.***Siang ini mataku terasa sangat berat. Saat menidurkan Nia dan Nina di kamar, tanpa sadar aku ikut tertidur."Ya, ampun, Risa! Kalau anak tidur itu, kamu jangan ikut tidur! Apa kamu gak lihat pekerjaan rumah masih banyak? Piring dan pakaian belum dicuci! Kamu ini gimana, sih? Jadi ibu, kok, gak becus!" hardik Mama Laely setelah dia membuka
"Risa!"Bang Doni masuk ke kamar kami tepat saat aku meletakkan bantal di atas wajah Nina. Dia dengan cepat menyingkirkan bantal tersebut dan menggendong Nina. Botol susu yang dibawanya dilemparkan begitu saja ke bagian tempat tidur yang kosong.Aku kembali duduk di pojok kamar, menekuk lutut, memeluk tubuhku sendiri, juga menundukkan kepalaku sampai masuk ke dalam pelukan tanganku dan memejamkan kedua mataku, ketika kulihat kilat kemarahan di wajah suamiku.Pikiranku kosong, tiba-tiba aku merindukan Papa dan Mama. Aku rindu pelukan hangat mereka, juga canda tawa keduanya. Di sini, aku takpernah mendapatkan itu. "Risa!" panggil Bang Doni, yang telah berdiri di depanku. Kubuka mata, lalu kuedarkan pandangan ke sekeliling kamar. Takada Nina di kamar kami, hanya ada Nia yang tertidur dengan pulas. Mungkin Nina sudah dibawa Bang Doni menjauh dariku ke ruangan lain."Kamu itu kenapa, sih? Tadi ribut sama mama. Sekarang malah berbuat yang tidak-tidak ke Nina. Kamu tahu tidak, kalau apa yan
Kemarin, setelah menonton berita tentang pembunuhan dengan menggunakan obat tetes mata, aku langsung mencari obat tersebut di kamar. Aku menemukan dua botol dengan merek yang berbeda. Ini adalah obat yang dipakai Bang Doni beberapa waktu lalu. Suamiku itu memang suka membeli obat tetes mata di apotek setiap kali merasa matanya bermasalah, entah kering atau iritasi. Setiap kali matanya sakit, dia akan terus membeli obat yang baru.Menurut berita yang kudengar kemarin, ada kandungan tetra-tetra yang setelah kubaca di botol obat itu bertuliskan tetrahydrozoline, yang apabila diminum dapat menyebabkan terjadinya peningkatan kadar racun dalam darah karena kandungannya melewati saluran pencernaan dengan cepat.Pagi ini aku melakukan aktifitas seperti biasa. Bahkan sekarang aku juga sudah memasak sendiri. Setelah selesai membuat sarapan, aku membuat kopi untuk Bang Doni dan teh untuk Mama Laely. Taklupa kukeluarkan obat tetes mata dari dalam saku bajuku. Namun, keraguan menyelimutimu. Sepert
Setelah bergelut dengan pikiranku sendiri, aku akhirnya memutuskan untuk mengikuti Bang Doni ke kamar Mama Laely. Aku sampai ke sana tepat saat Bang Doni masuk ke kamar mamanya yang ternyata takterkunci. Kulihat Bang Doni sepertinya taktahu keberadaanku. Jadi, aku memutuskan untuk menunggu di depan pintu kamar mertuaku itu saja.Terlihat dari depan pintu kamar yang terbuka, mertuaku itu sedang berbaring lemas. Selimut tebal menyelimuti lebih dari separuh bagian tubuhnya, hingga hanya menyisakan bagian kepala dan dada yang tidak tertutup selimut. Wanita yang berusia 60 tahun itu tampak tersenyum samar saat melihat anaknya menghampirinya.Saat melihatnya seperti ini, rasa iba dan penyesalan muncul di hatiku. Namun, jika ingat perlakuannya terhadapku juga anak-anakku, membuat rasa sakit itu hadir kembali."Ma," sapa Bang Doni. Aku hanya mendengarkan pembicaraan antara ibu dan anak tersebut."Hhmmm," jawab Mama Laely."Mama kenapa? Mama sakit?" tanya suamiku itu cemas. Dia lantas duduk di
Adakah yang lebih menyakitkan dari rasa sakit saat melahirkan? Yaitu saat semua pengorbanan dan pengabdianku tidak dihargai. Maka, luluh lantaklah hati ini. Terlebih, saat suami yang seharusnya bisa menjadi pelindung, takbisa menjadi tempat untukku bersandar.“Risa!" Lagi-lagi teriakan itu terdengar. Apa mertuaku itu takbisa menggunakan bahasa yang halus dan sopan saat memanggilku? Kenapa dia harus selalu berteriak? Padahal aku tidak tuli, telingaku masih bisa mendengar dengan baik tanpa harus diteriaki."Bunda—," panggil Rizki padaku, sesaat setelah dia menyembulkan kepalanya di balik pintu kamarku. "Iya, Sayang," jawabku."Nenek teriak-teriak manggil Bunda," ucap bocah yang sebentar lagi akan masuk ke sekolah dasar itu."Iya, Nak. Bentar lagi bunda ke kamar nenek. Bunda nidurin Dede Nina dulu. Ini susunya tinggal sedikit lagi," jawabku padanya."Tapi nanti nenek marah-marah," ucapnya sendu. Dia pasti masih ingat dengan kemarahan neneknya dan takut dimarahi lagi."Ya, udah. Sini,
Waktu sudah menunjukkan pukul sembilan lewat tiga puluh malam. Namun, belum ada tanda-tanda kepulangan Bang Doni. Sedangkan Rani, sudah pulang pukul tujuh malam tadi. Setelah makan malam dan memberi mamanya makan, gadis yang ramah dan mudah bergaul itu langsung masuk ke kamarnya.Sempat kutanya kenapa pulang lebih cepat karena biasanya dia pulang jam sembilan malam. Rani berkata, bahwa dia sengaja pulang cepat karena mengingat mamanya yang sedang sakit. Dia taktega padaku yang harus mengurus semuanya sendiri di rumah, ditambah dengan mengurus mamanya. Setelah itu, Rani masuk ke kamarnya. Mungkin dia sudah tidur sekarang. Rizki sudah tidur di kamarnya, begitu pun Nia, gadis kecil itu sudah terlelap di sampingku. Sedangkan Nina, saat ini sedang kuberi sufor dengan botol susu. Sampai sekarang ASIku takada peningkatan. Bukannya bertambah deras, malah semakin seret.Terdengar suara seseorang memberi salam dari depan rumah, tepat saat aku selesai memberi Nina susu dan meletakkan bayi mungi
Pagi ini aku bangun dengan semangat untuk menyambut kedatangan Kak Rafka. Segera setelah bangun dan membersihkan diri, aku bergegas ke dapur untuk memasak sarapan sekaligus memasak makanan kesukaan Kak Rafka, gulai kuning ikan nila.Kemarin, setelah ditelepon Kak Rafka, aku langsung menelepon Bang Doni. Aku meminta izin padanya agar membolehkan Kak Rafka menginap selama semalam di sini. Aku juga meminta tolong pada Bang Doni untuk berbelanja ke pasar sore, membeli bahan untuk membuat gulai kuning ikan nila.Bang Doni terdengar kebingungan di seberang sana mendengar celotehku, tetapi takaku hiraukan. Bagaimana tidak, kami yang sudah beberapa hari perang dingin, bahkan aku yang hampir takada berkomunikasi dengannya, tiba-tiba menelepon dan memintanya untuk berbelanja.Setelah beberapa bulan tinggal di rumah mertua, baru hari ini kurasakan kebahagiaan. Akhirnya, ada seseorang yang bisa menjadi pelindungku dan akan datang ke sini.Anak-anak hari ini lebih tenang, termasuk Nina, yang hanya