Share

8. ASI VS SUFOR

Aku bercengkrama bersama Papa dan Mama di sebuah taman. Taman ini, seperti taman di dekat rumah kami, tempat aku bermain semasa kecil. Namun, taman ini terlihat lebih indah. Bahkan, lebih tepatnya sangat indah. Bunga-bunga bermekaran penuh warna, mengeluarkan aroma harum mewangi. Di atasnya, kupu-kupu hilir-mudik mengepakkan sayapnya yang berwarna-warni, lalu singgah dan menghisap nektar bunga. Aneka mainan anak-anak berjejer rapi di salah satu sudut taman. Ada ayunan, jungkat-jungkit, juga perosotan. 

Orang tuaku tampak sangat bahagia berada di sini, wajah mereka terlihat cerah berseri. Saat ini kami duduk di salah satu bangku taman yang berjejer rapi di sepanjang sudut taman. Taman ini juga terlihat sangat bersih, takada sampah bekas bungkus makanan ataupun daun yang berserakan. 

“Risa, hiduplah bahagia dengan keluargamu, ya,” kata Mama.

“Kamu pasti bisa karena kamu kuat!” ucap Papa.

“Ingatlah, kami selalu ada untukmu!” sambung Mama lagi.

Tiba-tiba, aku dikejutkan oleh suara aneh. Hingga kemudian aku tersadar bahwa yang kualami tadi adalah mimpi.

Oh, tidak! Bukankah aku akan melahirkan? Aku mendengar suara mesin pendeteksi detak jantung, suara yang sama yang kudengar saat menunggu Papa dan Mama di rumah sakit waktu itu. Juga langkah kaki yang berlalu lalang, lalu menghilang.

Akan tetapi, aku takdapat menggerakkan seluruh anggota tubuhku, bahkan untuk membuka mata pun taksanggup. Entah sudah berapa lama mencoba, hingga akhirnya dengan susah-payah aku dapat membuka mata.

Seorang perawat datang menghampiriku, lalu mengecek infus juga alat medis lain yang bersambung dengan tubuhku. Taklama kemudian, aku dipindahkan ke ruangan lain.

Bang Doni masuk ke ruangan tempatku dirawat, disusul oleh Mama Laely. Aku hanya tersenyum menyambut kedatangan mereka karena tubuhku belum dapat digerakkan. Mama Laely menampakkan raut wajah taksuka.

"Alhamdulillah, Dek. Syukurlah kamu sudah sadar," ucap Bang Doni menghampiriku. Sudah lama sekali panggilan itu takpernah diucapkan lagi oleh Bang Doni untukku. Hatiku berbunga mendengar panggilan sayangnya.

"Kenapa gak sekalian steril saja, sih?" celetuk Mama Laely, membuatku istigfar di dalam hati dan memejamkan mata untuk meredakan rasa kecewa juga amarahku.

Sungguh, andai bisa, saat ini aku ingin berkata kasar. Bagaimana bisa mertuaku itu berkata begitu pada menantunya, yang bahkan belum bisa menggerakkan tubuh paska operasi caesar untuk melahirkan cucunya.

Aku mengalihkan pandangan pada Bang Doni, memberi isyarat lewat tatapan mata, bahwa aku mencari anak kami. Untungnya Bang Doni memahami isyaratku.

"Alhamdulillah anak kita sehat, dia cantik sepertimu, Dek. Untuk saat ini, dia masih harus berada di ruangan khusus bayi. Kata dokter, besok kalau kamu sudah bisa bergerak, baru dibawa ke sini untuk disusui," jelas Bang Doni padaku. Dia lalu menambahkan, "Rizki dan Nia, Abang titipkan pada tetangga. Nanti setiap Rani pulang kerja, baru anak-anak di rumah sama Rani. Kemarin, saat kamu pendarahan dan dibawa ke sini, Mama dan anak-anak, Abang tinggalkan. Pak Ridho, pemilik mobil yang kita pinjam, ditelpon Mama, diminta Mama untuk menjemput mereka. Setelah menitipkan anak-anak karena Rani belum pulang, Mama menyusul ke sini pakai travel. Untung masih ada travel tadi malam."

Aku hanya sedikit menganggukkan kepala dan mengedipkan kedua mata pertanda aku menyimak penjelasan Bang Doni. Mataku rasanya masih mengantuk, padahal baru terbangun pasca operasi caesar semalam.

Taklama kemudian, Kak Rafka datang menjengukku. Sayangnya, dia takbisa berlama-lama di rumah sakit karena kesibukannya. Kak Rafka terlihat iba melihat kondisiku. Dia pamit pada kami setelah sedikit berbasa-basi dengan Bang Doni.

Hari kedua pasca operasi, aku belajar menggerakkan anggota tubuhku. Perawat membantuku untuk belajar duduk. Sayatan bekas operasi terasa menyayat-nyayat bagian bawah perutku. Begitu pun badan yang terasa remuk redam.

Akan tetapi, semua terbayar ketika Nina-putri kecilku diantarkan ke ruangan tempatku dirawat. Aku melihatnya haru dengan mata berkaca-kaca. Tubuh mungil itu begitu menggemaskan. Kulitnya putih dengan rambut hitam dan lurus seperti rambut ayahnya.

Perawat membantuku untuk memberikan ASI untuknya. Dia terlihat kelaparan, mulutnya menganga mencari sumber air kehidupannya. Sekian menit mencoba, sayangnya ASIku takkunjung keluar. Padahal, tadi perawat sudah memberiku suplemen pelancar ASI, juga membantu memijit payudaraku. Kami terpaksa memberinya sufor lagi sementara waktu sebagai pengganti ASI.

"Kenapa ASIku gak keluar juga, Bu?" tanyaku pada perawat yang membantuku.

"Sabar, Bu. Ini biasa terjadi pada ibu pasca melahirkan dengan caesar," ucap perawat tersebut.

"Itulah, itu akibatnya kalau melahirkan caesar. ASImu jadi gak mau keluar. Makanya, lahiran tuh yang normal saja. Jangan banyak gaya, jadinya caesar!" omel mertuaku yang semakin menambah beban mentalku.

Perawat yang mendengar ucapan mertuaku menjawab omongan Mama Laely sambil menggelengkan kepalanya, "Bu, bukan begitu. Ibu gak boleh ngomong seperti itu ke pasien. Normal ataupun caesar, seorang ibu sama-sama berjuang untuk melahirkan."

Mama Laely hanya mendengus mendengar penjelasan perawat tersebut. Untungnya dia takbersuara lagi.

Hari ketiga pasca operasi, aku sudah bisa berjalan perlahan-lahan. Kateter juga sudah dibuka karena aku sudah bisa ke kamar mandi. Dokter menyarankan untukku berada di sini sehari atau dua hari lagi, tetapi Mama Laely bersikeras membawaku pulang. Sedangkan Bang Doni hanya menurut saja apa kata ibunya.

Setelah mengurus semua administrasi, akhirnya aku diperbolehkan pulang dengan catatan dari dokter. Dokter mengatakan pihak rumah sakit tidak akan bertanggung jawab padaku jika terjadi sesuatu yang tidak diinginkan karena aku pulang lebih awal dari jadwal yang ditetapkan oleh mereka.

Sesampainya di rumah Mama Laely, Bang Doni menuntunku ke kamar. Sembari membawa Nina dalam dekapanku, aku berjalan perlahan-lahan ke kamar. Rizki dan Nia datang menghampiriku, sesaat setelah aku meletakkan adiknya yang tertidur pulas di kasur. Mereka berdua tampak bahagia menyambut kehadiran anggota baru dalam keluarganya. 

Saat malam tiba, Rani juga datang ke kamarku untuk melihat keponakan barunya. Dia menyerahkan sebuah kotak kado dan sebuah amplop untukku. Aku menerima pemberian Rani dan berterima kasih padanya.

"Makasih, ya, Rani. Tapi amplop ini untuk apa?" tanyaku.

"Iya, Kak. Selamat, ya, Kak. Yeay, sekarang aku punya tiga keponakan. Itu untuk Kakak, untuk nambah-nambah beli susu dedek bayi. Nina ya, namanya? Tadi mama cerita, katanya ASI Kakak gak keluar, ya?" tanyanya padaku.

"Iya, Ran. Kakak juga bingung kenapa gak mau keluar juga. Sedangkan ini sudah hari ketiga. Padahal, dulu saat melahirkan Rizki dan Nia, ASI kakak lancar-lancar aja, langsung deras malahan. Mungkin ini efek melahirkan dengan operasi caesar," jawabku.

Setelah puas berbasa-basi, Rani pun keluar dari kamarku.

Malam hari, saat waktu menunjukkan pukul dua dini hari, Nina menangis dengan kencang. Aku sudah berusaha untuk meredakan tangisannya, tetapi takkunjung membuahkan hasil. Kucoba memberikan ASI padanya, yang terjadi bukanlah yang kuharapkan. Tangis Nina bukannya berhenti, tetapi malah semakin menjadi-jadi. Bang Doni juga sudah mencoba mengambil alih Nina dari gendonganku, tetapi juga tidak meredakan tangis Nina. Akhirnya, karena putus asa, aku terpaksa meminta Bang Doni membuatkan sufor untuk Nina.

Ketika Bang Doni sedang di dapur untuk membuatkan Nina susu, mertuaku datang dan masuk ke kamar yang memang taktertutup.

Dia datang dengan wajah kusutnya khas orang baru bangun tidur, lalu marah-marah padaku. "Makanya, melahirkan itu jangan operasi. Biar ASImu langsung keluar deras. Kalau kayak gini, kan, mengganggu orang tidur namanya!" hardiknya padaku.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status