Hari jumat merupakan hari bebas untuk Ana, tidak ada kelas dan tidak ada pekerjaan, tapi bukan berarti dia bisa berleha-leha di atas kasur. Dia harus membersihkan kamarnya sekarang. Jika bukan dia sendiri yang membersihkannya siapa lagi? Dia tersenyum bahagia saat menemukan lembaran uang 5 ribu di dalam kantung celananya.
Lumayan.
Ana menegakkan tubuhnya yang terasa kaku begitu telah selesai mencuci semua baju yang ada di dalam ember. Dengan tenaga penuh, dia menarik ember yang beratnya menjadi 2 kali lipat itu ke luar kamar mandi. Ana harus membawa ember itu ke balkon untuk menjemur pakaiannya. Belum sampa
Ana keluar dari kelas sambil mengecek ponselnya. Berharap jika ada pesan masuk dari Davin, tapi dia tidak menemukan apapun di sana. Ana mendengus dan memasukkan ponselnya ke dalam saku celana. Dia harus ekstra sabar saat berpacaran dengan Davin. Entah kenapa pria itu selalu menguji kesabarannya. Seharusnya Davin membujuknya sekarang agar tidak marah lagi, tapi apa? Ana bahkan tidak melihat ada upaya yang benar dilakukan Davin selain tadi malam.Sebenarya Ana hampir saja luluh, tapi saat mendengar ucapan Davin yang
Davin bersandar pada kursinya sambil menikmati pemandangan kota dari balik dinding kaca ruangannya. Tangannya mengelus pelan dagunya sambil berpikir. Dia memang membiarkan Ana untuk sendiri tapi tidak sekalipun dia benar-benar meninggalkan gadis itu. Davin sudah meminta Edo untuk mengawasi Ana dari kejauhan. Dia juga sudah menerima setidaknya 4 kali telepon dari Edo tentang kegiatan gadisnya hari ini.Pintu ruangan terbuka dan muncul Kevin dan Bram yang berdecak melihat Davin yang duduk santai di kursi kerjanya. Meja pria itu juga terlihat bersih, membuktikan jika Davin tidak melakukan apapun sejak pagi.Kevin menghampiri Davin dan menendang kakinya pelan, "Nggak ikut rapat malah enak-enakan di sini.""Udah ada Edo kan tadi?""Kamu kenapa sih, Vin?" tanya Bram yang mulai kesal karena Davin bertingkah seperti orang bodoh.Kevin tersenyum mengejek saat menyadari sesuatu. "Putus ya sama Ana?"Davin mendengus dan berdiri dari kursinya. Dia ikut
Ana duduk di lobi kampus menunggu Edo menjemputnya. Davin sempat menghubunginya tadi untuk tidak pulang terlebih dahulu dan di sinilah dia sekarang, menunggu kedatangan asisten pribadi kekasihnya. Ada perubahan yang terjadi pada teman-teman Ana dan perubahan itu terjadi sejak kejadian di mana Davin berbuat ulah di kampusnya. Berita itu tersebar dengan cepat dan Ana dapat merasakan dampaknya sekarang. Banyak berita yang bermunculan dengan teori-teori yang membuatnya mendengus tidak suka. Untung saja dia masih mempunyai Ally dan Andre yang mengetahui bagaimana jalan kisah asmaranya.Ana menggoyangkan kakinya ketika bosan mulai menyerang. Sepertinya Edo terjebak macet sekarang. Pandangan matanya mengedar ke sekitar dan tak sengaja bertemu dengan Alex yang sedang duduk di sisi lain lobi. Dengan cepat Ana mengalihkan pandangannya berharap jika Alex tidak menyadari keberadaannya."Ana?" panggilan itu membuat Ana menghela nafas kesal dan menatap Alex dengan tersenyum, t
Ana menyantap makanannya dengan lahap. Seharusnya dia tahu jika Davin tidak akan langsung kembali ke kantor setelah bertemu dengan Lucy. Jadi di sinilah mereka sekarang, makan siang di restoran lain. Tangan Ana meraih kembali undangan pernikahan Lucy yang dia letakkan di atas meja. Dia membaca undangan itu sekali lagi dan menatap Davin, "Mas Davin tau siapa Adam?" tanya Ana saat melihat nama Adam yang tertulis sebagai calon suami Lucy. Davin hanya menggeleng dan mengelap mulutnya dengan tisu."Kata Diva, Lucy udah pernah diajak nikah sama orang. Apa orang itu namanya Adam ya?" tanya Ana lagi dengan penasaran."Aku nggak tau Ana, dan nggak mau tau," ucap Davin bersandar di kursi dan mulai memainkan ponselnya.Ana mendengus mendengar respon Davin, kekasihnya itu benar-benar kelewatan. Namun dia tidak bisa berbuat apa-apa, Davin memang sudah memiliki sifat aneh itu sejak lahir.Ana beranjak berdiri membuat Davin menatapnya, "Mau ke mana?" tanya pria itu cepa
Ana terdiam memandang wajah pucat itu. Dia tidak bisa melihat Davin seperti ini. Lebih baik dia melihat wajah kekasihnya yang marah-marah dari pada tidak berdaya seperti sekarang. Ana berusaha untuk tidak menangis, dia harus kuat, dia tidak boleh cengeng."Dia baru minum obat makanya tidur." Ana hanya mengangguk dan menatap Lando yang duduk di sofa. Pria itu terlihat kacau begitupun juga dengan Kevin."Tapi Mas Davin nggak papa kan?" tanya Ana mencoba untuk memastikan.Lando mengangguk dan berbicara, "Nggak papa, nggak ada luka serius. Cuma goresan-goresan aja.""Kenapa bisa kaya gini? Padahal tadi siang kita masih makan siang bareng."Kevin menghela nafas kasar dan duduk di kursi sebelah ranjang. "Rem blong, mobil Vinno nabrak bis yang ada di depannya. Kata polisi sih gitu.""Tapi tadi siang mobilnya nggak ada masalah." Ana meraih jari-jemari Davin dan memilinnya."Makanya itu, supir di rumah selalu cek mobil setiap pagi sebelum dipa
Ana menutup pintu kamar setelah mengantar kepergian Ibu Davin. Dia mulai membuka bekal makanan yang dia bawa untuk makan siang kekasihnya, begitupun sebaliknya, makanan rumah sakit yang akan menjadi makan siangnya. Entah kenapa Davin tidak suka, bukannya makanan rumah sakit lebih sehat? Ana duduk di samping Davin dan siap untuk menyuapi pria itu. Saat akan menyuapkan sesendok nasi ke mulut Davin, Ana menghentikan gerakan tangannya ketika pria itu hanya diam dan menatapnya datar. Paham jika sedang berada dalam masalah, Ana memilih meletakkan piringnya di atas nakas dan menatap Davin dengan wajah konyolnya.Davin mendengus dan mendorong wajah Ana untuk menjauh. Dia tidak bisa jika harus mengomeli Ana, apalagi dengan wajah imut seperti itu. Namun kali ini gadis itu benar-benar keterlaluan. "Kenapa bolos kuliah lagi?""Nggak bolos kok, udah pulang," jawab Ana santai sambil kembali mengambil piring makan siang Davin. Davin kembali menolak nasi pemberian Ana saat gadis itu m
Ana memijat keningnya pelan begitu telah selesai menceritakan semua yang dia alami pada Ally. Tentu saja sahabatnya itu marah dan kesal. Dia tidak menyangka jika teror kembali datang menghantuinya. Ally yakin jika Lucy yang menjadi dalang di balik semua ini. Melihat betapa nekatnya wanita itu, Ally tidak yakin jika Lucy benar-benar sudah sadar."Kebetulan kalian di sini, aku mau kasih ini." Ana dan Ally kompak mengangkat wajahnya saat Alex datang."Wah, kacau nih! Masa ulang tahun dirayain diFlyrock club," ucap Ana membaca undangan yang diberikan Alex.Alex tertawa mendengar itu, "Ya diclublah, Na. Masa di kafe kayak anak SD?"Ally menggeleng dengan keras dan mengembalikan undangan itu pada Alex, "Nggak! Aku nggak bisa, Bang. Kita cewek baik-baik, masa diajak dugem.”"Aku juga undang pacar kamu kok?" Mendengar itu, wajah Ally memerah. Dia tidak menyangka jika berita tentang hubungannya bersama Andre sudah t
Sudah 2 hari berlalu dan keadaan Davin sudah mulai membaik. Saat pertama kali membuka mata, dia terkejut mendapati 3bodyguardyang berjaga di depan ruangannya. Dia juga bingung ketika menempati kamar yang berbeda. Davin sadar dengan apa yang terjadi. Sesuatu kembali meneror Ana, atau bahkan dirinya. Dia sudah meminta semua orang untuk menjelaskan, namun sepertinya tidak ada yang ingin membuka suara."Mas Davin jangan marah ya, kita nggak maksud buat nyembunyiin ini semua. Mas Davin memang harus sembuh dulu baru kita bisa bicara.""Aku nggak papa, jangan anggap aku lemah, Ana.”Mendengar itu, Ana langsung memukul luka Davin keras membuat pria itu meringis. "Sakit kan? Makanya jangan sok. Semua orang tau kalau Mas Davin lagi sakit, jangan sombong!" Davin mendengus dan menutup telinganya.“Jelaskan.” Perintah Davin akhirnya.Bram mengangguk dan membuka suara, "Teror muncul lagi. Bukan cuma Ana yang diteror tapi ka