Share

8. UANG SEKOPER

Hari itu, Santi sudah menemani Aisha seharian di rumah sakit, namun sampai hari menjelang malam, Samudra tak kunjung menunjukkan batang hidungnya di rumah sakit.

Bahkan setelah Santi sudah berulang kali menghubungi tetangganya itu, Samudra tak sama sekali membalas pesan yang dikirim Santi.

Sampai akhirnya, Santi pun memutuskan untuk pulang karena dia pun khawatir akan kondisi Shaka di rumah, sementara Hendrik suaminya harus berangkat bekerja malam ini.

"Aisha, Mbak pulang dulu ya? Shaka nggak ada yang jagain di rumah, gimana ini?" Ucap Santi yang jadi tak enak hati. Tapi mau bagaimana lagi, dia tak punya pilihan lain, Shaka jelas membutuhkannya di rumah.

Aisha yang memang sudah sadar sejak tadi siang hanya mengangguk pelan. Kondisinya masih sangat lemah.

Setelah menitipkan Aisha pada suster jaga, Santi pun pulang meski saat itu dia sendiri berat meninggalkan Aisha sendirian.

Untungnya, di depan rumah sakit, sewaktu Santi sedang menunggu angkutan umum, dia melihat Samudra di kejauhan yang juga baru turun dari angkutan umum lain.

Lelaki itu tersenyum lebar seraya melambaikan tangannya ke arah Santi. Menyebrang jalan dengan setenteng belanjaan yang berisi makanan ringan.

"Maaf ya Mbak tadi ponsel saya mati," katanya yang jadi tak enak hati. "Oh ya, ini uang yang tadi saya pinjam, dan ini ada sedikit jajanan untuk Shaka," ucap Samudra sembari memberikan salah satu kantong belanjaan yang dibawanya pada Santi.

"MasyaAllah, ini banyak banget makanannya? Buat Shaka semua?" Pekik Santi terkejut melihat banyaknya makanan di dalam kantong belanjaan itu.

"Iya buat Shaka."

"Memangnya kamu dapat uang darimana sampai bisa belanja segini banyak?" Tanya Santi terheran-heran.

"Adalah pokoknya Mbak. Rejekinya Aisha. Yaudah Mbak, saya masuk dulu. Makasih banyak ya udah mau jagain Aisha. Maaf banget kalau merepotkan,"

"Ahk, nggak apa-apa. Kayak sama siapa aja kamu,"

Samudra baru saja melangkah hendak memasuki pekarangan halaman depan rumah sakit ketika langkahnya dihadang oleh beberapa petugas berseragam kepolisian.

Santi yang saat itu masih berdiri di tepi jalan menunggu angkutan umum jadi ikutan menoleh karena mendengar suara teriakan Samudra.

Saat itu, Santi melihat Samudra yang mencoba melepaskan diri dari borgolan pada tangannya oleh beberapa orang polisi yang tadi menghadangnya.

"Eh, ini ada apa Pak? Ini tetangga saya mau dibawa kemana? Dia salah apa?" Tanya Santi yang sekonyong-konyong menghampiri Samudra hendak menolong.

"Lepasin saya Pak, saya nggak mencuri, Pak! Ini fithah! Ini fitnah Pak!" Teriak Samudra lagi yang jadi memancing perhatian orang-orang disekitar.

"Pak Samudra diduga sudah mencuri beberapa barang elektronik mahal di kediaman Tuan Adipati Atlanta. Itulah sebabnya, kami harus menahannya sekarang," jelas salah satu polisi itu pada Santi.

"Mbak Santi, percaya sama saya Mbak, saya nggak mencuri! Saya ambil barang-barang itu dari rumah saya sendiri! Saya nggak mencuri!" Teriak Samudra lagi yang masih terus mencoba untuk berontak.

Santi jadi bingung.

Rumah sendiri?

Memangnya Samudra punya rumah?

Gumam wanita itu dalam hati.

Santi yang memang tak sama sekali tahu latar belakang keluarga Samudra jelas dibuat bingung dengan apa yang terus dikatakan Samudra padanya, hingga akhirnya dia hanya bisa diam.

Bahkan saat Samudra terus berteriak padanya.

Santi masih saja diam.

"Mbak, Mbak Santi! Tolong saya Mbak! Saya nggak mencuri! LEPAS BRENGSEK!" Jerit Samudra saat kini tubuhnya sudah berhasil dimasukkan ke dalam mobil dinas para polisi tersebut.

Lelah berteriak, di dalam mobil Samudra malah jadi menangis. Dia benar-benar bingung.

"Pak, tolong lepaskan saya Pak. Saya nggak mencuri, Pak! Saya dapat uang ini dari hasil menjual barang-barang elektronik milik saya sendiri, Pak! Bapak bisa hubungi Papa saya sekarang, beliau yang memberikan saya izin untuk menjual barang-barang itu! Lepaskan saya Pak! Saya harus ke rumah sakit sekarang, Pak! Istri saya sedang sakit, dia butuh saya, Pak... Tolong...."

"Anda bisa jelaskan semuanya nanti di kantor polisi Pak Samudra," jawab salah satu polisi.

"Telepon Papa saya sekarang! Kalian belum tahu siapa Papa saya!" Ucap Samudra kalap.

"Justru yang melaporkan anda atas tuduhan pencurian hari ini adalah Tuan Adipati sendiri! Jadi sekali lagi saya peringatkan anda untuk diam dan jelaskan semuanya nanti di kantor polisi! PAHAM!"

Mendengar hal itu, tubuh Samudra pun luruh di atas jok mobil.

Dia benar-benar tak menyangka.

Papanya yang melaporkan dirinya?

Tapi, bukankah tadi, Adipati terlihat begitu baik?

Ada apa sebenarnya?

Samudra benar-benar tak habis pikir.

*****

Tahu kini Samudra dibawa ke kantor polisi, setelah menghubungi Hendrik agar sang suami libur bekerja dulu untuk menjaga Shaka, Santi pun kembali memasuki ruang rawat Aisha, berniat untuk memberitahu Aisha mengenai apa yang kini terjadi menimpa Samudra.

Hanya saja, langkah Santi yang hendak memasuki ruang rawat itu terhenti ketika ada beberapa orang berjas hitam menghadang langkahnya di depan pintu ruang rawat Aisha.

"Anda siapanya Aisha?" Tanya salah satu lelaki yang berdiri paling depan. Lelaki dengan postur tubuh tinggi tegap, berwajah sedikit brewok dan terlihat cukup tampan. Yang pasti, lelaki ini masih terbilang cukup muda dan gagah.

"Sa-saya tetangga Aisha, Pak," jawab Santi apa adanya. Hadir sebersit rasa takut melihat keberadaan orang-orang itu. Sebab dari penampilan mereka yang super rapi, terlihat sekali bahwa mereka bukan orang sembarangan.

"Perkenalkan, saya Gara. Saya adalah utusan dari keluarga Samudra yang akan mengambil alih pengobatan atas diri Aisha." Jelas lelaki bernama Gara itu seraya mengulurkan tangan.

Santi menerima uluran tangan Gara dan menyebutkan namanya. Lalu, Gara mengajak Santi untuk duduk di salah satu bangku tunggu di lorong rumah sakit dan mengatakan pada Santi bahwa di dalam sana, keadaan Aisha baik-baik saja karena sudah ada yang menjaganya.

Gara memberi isyarat pada salah satu bawahannya yang membawa koper untuk mendekat.

Bawahan Gara itu pun membuka koper berukuran sedang yang dibawanya, tepat di hadapan Santi.

Kedua bola mata Santi seketika terbelalak saat dilihatnya isi koper tersebut yang penuh dengan uang.

"Apa benar anak anda sedang sakit keras, Mbak Santi?" Tanya Gara saat itu.

Santi hanya menjawab dengan anggukan kepala.

Uang yang begitu banyak di hadapannya saat itu membuat Santi seketika merasa gugup.

"Lalu, bagaimana dengan hutang rentenir yang kini melilit anda? Sudah dilunasi?" Tanya Gara lagi.

Kali ini Santi menggeleng.

Gara mengambil alih koper di tangan anak buahnya, menutupnya kembali dan meletakkan koper tersebut tepat di pangkuan Santi.

"Anggap saja ini hadiah dari keluarga Samudra karena anda sudah sangat baik pada Samudra dan Aisha selama ini," kata Gara dengan senyumnya yang menawan dan mempesona.

Santi meneguk salivanya susah payah. Tubuhnya bergetar hebat seolah koper yang berada di pangkuannya saat ini begitu berat.

"T-tapi saya ikhlas membantu mereka, Pak. Karena mereka pun sangat baik pada saya selama ini," jawab Santi terbata.

"Ya, saya paham. Saya sangat paham akan hal itu. Itulah sebabnya, keluarga Samudra kini memberikan Mbak Santi uang ini sebagai rasa terima kasih. Dan untuk benar-benar bisa mendapatkan uang ini, Mbak hanya perlu melakukan satu hal saja untuk kami,"

"Me-melakukan hal apa, Pak?" Tanya Santi masih dengan kegugupannya yang semakin menjadi.

Gara menegakkan tubuhnya, memberikan sebuah alamat lapas di mana Samudra kini ditahan.

"Minggu depan, datang ke alamat ini, dan katakan pada Samudra, bahwa Aisha sudah meninggal. Lalu, setelah itu, Mbak dan keluarga bisa pergi dari kota ini sejauh-jauhnya. Pergilah ke tempat di mana Samudra tidak akan pernah menemukan kalian lagi. Paham, Mbak Santi?"

*****

Yang suka dengan cerita ini jangan lupa komen dan Vote ya...

Salam Herofah...

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status