Share

SEBUAH KEJANGGALAN

Luar biasa! Ultimatum Bu Dila diluar nalar. Inara sangka pikirannya tak sejauh itu, mengingat sejauh ini mertuanya tak pernah mempermasalahkan perihal momongan. Nada bicaranya memang biasa saja, tetapi menusuk hingga ke paling hati.

Hati wanita mana yang tak pilu apabila di rahimnya belum ditumbuhi oleh calon khalifah bumi? Bagaimana mungkin perempuan itu tidak mengusahakan yang terbaik. Tentu ia ingin merasakan menjadi hawa yang sempurna, yakni bisa mengandung, melahirkan dan menyusui.

Perkataan Bu Dila bagai belati menancap di kalbu. Tanpa terasa air mata Inara meluncur membasahi pipi gembilnya. Hanya karena belum bisa punya anak, padahal tidak tahu siapa yang salah, mertuanya sudah mengancam agar dia ditinggalkan sang suami.

"Ya, Allah, Bu. Maksud Ibu apa, ya? Biasanya juga nggak pernah begini." Inara mengusap dadanya berulang kali.

Angga tampak hikmat. Tak membela siapapun dari dua wanita tersebut. Hanya memandang ibu dan istrinya secara bergantian.

"Jangan tersinggung, Inara. Ibu memang sayang sama kamu. Selama ini tentu kamu merasakannya, kan? Tetapi, satu hal yang harus kamu tahu juga; bahwa usia seseorang nggak ada yang tahu. Ibu pengen ngelihat anak Angga, sebelum Ibu berakhir di liang lahat." Tatapan Bu Dila melemah. 

Inara semakin terisak. Ia mencoba untuk memahami posisi mertuanya tersebut. 

"Tetapi, aku dan suami sudah selalu kontrol ke Dokter, Bu. Rahimku subur, kok. Air spe**a Angga juga baik-baik aja."

"Inara, terlepas dari itu semua, biasanya masalahnya ada di perempuan. Ada beberapa menantu perempuan temen Ibu yang mandul kayak kamu ini."

"Aku nggak mandul, Bu!" Setengah mati Inara mempertahankan kesempurnaannya sebagai seorang wanita.

Bukankah dirinya tak pernah mendapat vonis bahwa ia mandul? Tak ada bukti kuat yang bisa mengklaim dirinya, juga Angga. Namun, seakan-akan seluruh ucapan Bu Dika memojokkan perempuan itu. Inara jadi serba salah. Angga selalu laki-laki juga bisa mengalami kemandulan, tetapi Bu Dila tidak berpikir hingga ke sana.

"Kalau begitu, ayo, sekarang kita ke Dokter langganan kami saja! Supaya Ibu tahu, kalau anak dan menantu Ibu ini baik-baik saja," tantang Inara. Jantungnya bertalu-talu, tak sabar ingin membuktikan kebenaran.

"Sudah berulang kali kita ke sana, Mi. Hasilnya ya kita berdua emang positif sehat, kok."

"Tuh, kan. Ibu denger sendiri. Ya, mungkin emang Allah belum mengkaruniai kami keturunan, Bu."

"Saran Ibu lebih baik kalian cek di tempat yang berbeda."

"Eh, nggak usah, Bu. Dokter langganan aku itu merupakan Dokter kandungan paling top kota Ini. Pokoknya kita berpatok sama ucapan beliau aja." Angga menajamkan perintah, tak sudi berpindah Dokter.

"Tetapi, kata Ibu ada benarnya juga, Bi. Siapa tahu pemeriksaan dokter langganan kamu itu salah." Inara juga ingin membuktikan siapa yang sakit diantara mereka berdua. Kelak, mereka bisa mencari solusi terbaik untuk memeroleh buah hati.

"Umi turutin saja kata Abi! Abi tahu mana yang terbaik buat kita. Jangan pernah periksa apapun di rumah sakit lain!" Angga menegaskan dengan sangat, sampai membuat rahang wajahnya mengeras.

Bu Dila membuang udara panjang. Entah mengapa Inara mulai merasakan aura tidak enak dari mertuanya tersebut. Ia tak lagi terlihat selembut biasanya. Terdeteksi sebuah perubahan dari diri wanita setengah abad itu.

"Kayaknya keputusan kita sudah benar, Angga. Ibu pulang dulu." Tak lagi menengok Inara, Bu Dila terlalu cepat meninggalkan ruangan.

Sekarang, giliran Inara yang meminta penjelasan kepada suaminya. Ia sudah puas menjadi bulan-bulanan sang mertua malam itu. Tak lagi terlihat keceriaan seperti semula di parasnya. Tiba-tiba ketakutan itu datang. Apakah maksud perkataan tadi, bahwa Inara akan diduakan demi Angga bisa mempunyai anak? Namun, selama ini Angga terlihat senang air. Jika Angga memang berencana menikah lagi, pastilah dia sudah mengambil ancang-ancang.

"Bi, apa maksud ucapan Ibu? Jelaskan sama Umi sekarang juga!" Inara merasa dadanya semakin sebah.

"Apa yang harus dijelaskan lagi, Mi?" Angga datar sekali.

"Apa Abi mau menikah lagi?" tanya Inara to the point.

Detik itu juga Angga terkekeh di tempat. Tangannya terayun ke puncak kepala Inara, lalu mengusapnya berulang kali. 

"Kamu kok bisa berpikiran seperti itu, Mi?" Lidah Angga menjulur-julur.

"Umi serius, Bi."

"Hahaha. Nggak usah diambil hati! Umi tahu sendiri kalau semakin tua, manusia itu bakalan semakin sensitif. Mungkin memang benar, kalau ibuku kepengen cucu, tetapi bukan berarti anaknya ini harus mendua, kan? Aman, Sayang. Mustahil suamimu itu putar haluan." Angga menyapu punggung tangan istrinya lembut.

"Ya, Allah. Perasaan Umi jadi gelisah, Bi."

"Shhht! Sudah ya, Manis. Itu cuma perasaan was-was dari syaiton saja, supaya Umi berpikiran buruk tentang mertua sendiri. Apapun yang terjadi, Abi nggak akan pernah tinggalin Umi."

Dari nada serta pandangan matanya, Angga menyiratkan sebuah keseriusan. Selama ini yang Inara kenal, Angga memang tak pernah ingkar janji. Bagaimanapun keadaan yang dihadapi, janji sekecil apapun pasti ia tepati. Kedudukan Inara di hati Angga tak pernah tergantikan.

"Janji ya, Bi! Pernikahan ini bukan main-main. Kita sudah mengucap janji suci di hadapan Allah SWT."

"Abi ingat! Sudahlah, jangan bersedih lagi. Ayo, kita usaha bikin cucu buat Ibu lagi, Mi. Hehehe." Angga tersimpul nakal.

Pasangan suami istri dua tahun itu merayap ke kasur. Menjalankan ibadah pasca pernikahan dengan harapan diberi hadiah berupa momongan lucu.

***

SD tempat Inara mengajar kedatangan tamu tak asing. Seorang Ustadz berwajah syurga dan empat orang pengawal. Beritanya mereka hendak bertemu kepala sekolah, karena ada suatu keperluan.

Inara mengintai dari kejauhan. Sesekali menengok Aina yang sibuk memainkan laptop di meja guru. 

Ia hendak mengadu, tetapi takut kejadian seperti malam kemarin terulang kembali.

Tidak tahu apa yang membuat pandangan Inara tertuju pada Ustadz Ridho yang baru saja melintas dua meter dari tempat ia berdiri. Terpatri sebuah cincin besi di jari manis, sementara kuku-kukunya dipenuhi oleh kelir merah.

"Cincin dan inai?" 

Apa maksudnya ini? 

Inara spontan meradang, ketika melihat satu bukti, jika Ustadz Ridho tak lagi perjaka. Dia sudah menikah! Kalau tidak, mana mungkin memakai cincin dan inai merah.

Kepala Inara jadi nyut-nyutan. Apakah keacuhan Aina malam itu adalah kode, bahwa mereka tak lagi bersama? Tega sekali, kalau Aina tidak menceritakannya kepada Inara, sebab keduanya sudah berjanji untuk saling berbagi kisah apapun yang terjadi.

Tak mungkin juga, jika Inara sengaja mengejar Ustadz Ridho yang kini sudah memasuki kantor kepala sekolah hanya demi mempertanyakan hubungannya dengan Aina. Sudah jelas-jelas ada pihak perempuan di sana. Sekarang Inara tak bisa lagi menahan hasrat untuk tidak bertanya. Secepat kilat ia berpindah posisi dan kini sudah berdiri di depan meja Aina.

"Ai. Kamu bohong, ya, sama aku? Ternyata kamu udah putus sama Ustadz Ridho, bahkan laki-laki itu sudah menikah."

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status