Brak!
Seluruh mata tertuju pada kebangkitan Aina dari kursi dan mendadak memukul meja guru dengan keras. Wanita dengan jilbab orange itu menjulurkan napas panjang. Angin mulut berembus menampar wajah Inara. Perempuan itu kaget. Tak pernah Aina sekasar itu sebelumnya, yang berarti ia benar-benar marah kali ini.
"Ra, sudah berapa kali katakan untuk tidak ikut campur urusanku dengan Ustadz itu?" Aina mendaratkan kembali bokongnya ke tempat semula, tatkala banyak pasang mata yang memandangnya aneh.
Inara berdiri di hadapan Aina penuh cemas. Apa salah ia hendak memastikan hubungan asmara sahabat sejatinya? Toh, nanti kalau sudah dekat hari H, ia juga yang akan direpotkan oleh Aina. Perempuan itu pernah meminta Inara untuk menjadi salah satu anggota pagar ayu di acara bahagianya. Sangat egois, sekiranya Aina bertindak setertutup sekarang. Entah mengapa.
Masak dia kelihatan seperti tidak terima begitu. Entah di mana salahnya.
"Nggak masalah soal inai dan cincin itu, yang jelas kami bakal menikah di bulan depan."
"Ma- maaf, Ai. Aku cuma..."
"Cuma apa? Cuma kepo? Nggak usah berlebihan, Inara. Kamu cukup tunggu undangannya aja." Dan, Aina masih saja sebal meladeni wanita berkerudung biru tersebut.
Inara menggaruk tengkuk. Satu sisi merasa salah, sementara di sisi lain merasa curiga. Seolah ada yang tak beres dan sengaja Aina sembunyikan.
Terlampau malu dengan guru lain sekaligus trauma. Inara pun kembali ke kursinya sendiri seraya memilin ujung jilbab.
"Jangan marah sama aku ya, Ai!" pintanya memelas.
Aina mengangguk, meski mukanya senantiasa dipenuhi rona kemerahan.
Netranya menerawang jauh. Inggit masih saja menengok rekannya dari haluan lain. Menelisik adakah kebohongan yang Aina simpan.
Kenapa dia? Kenapa tidak terbuka seperti yang dulu? Kenapa sekarang Aina malah suka marah-marah?
***
"Abi, makan apa?" sapa seseorang yang baru saja memasuki rumah.
Angga si suami romantis tampak sedang fokus menyantap sesuatu di atas piring. Pria itu menoleh dengan mulut menggembung.
"Mi, abahskskak ababgsk mkaka."
"Hah, apa sih, Bi? Ditelan dulu itu makanannya." Inara tertawa kecil. Suaminya lucu sekali.
Buru-buru Angga menggapai segelas air di hadapan. "Maaf, Mi. Abi bilang, kalau Abi lagi makan pecel. Umi mau?"
"Oh, itu, toh. Dapat dari mana pecelnya, Bi?" Inara mendekat. Duduk di sebelah Angga sambil mencubit sayur mayur di piring suaminya.
"Ehm, kok rasanya kayak nggak aneh, ya." Dahi Inara berkedut.
"Maksudnya, Mi?"
"Umi kayak tanda ini masakan siapa."
"Siapa emang?"
"Rasanya kayak masakan tetangga, alias si Aina."
"Uhuk! Uhuk!"
"Eh, kenapa, Bi?"
Angga tersedak tanpa sebab. Ditepuknya dada berkali-kali sambil menunggu air putih yang sedang dituangkan oleh Inara. Beberapa kali Angga menelan makanan dengan sulit.
"Minum, Sayang," tutur istrinya sambil membantu Angga minum. "Duh, pelan-pelanlah," ujarnya lagi.
Angga melirik ke arah Inara dalam sekali. Sebuah tatapan yang sulit diartikan. Wanita yang lebih muda darinya itu mengernyitkan kening.
"Abi kenapa, sih?"
"Nggak apa-apa, Mi. Tiba-tiba keselek aja. Terima kasih sudah bantu Abi, ya. Kamu memang istri terbaik." Tak lupa menyelipkan pujian di setiap kesempatan.
"Abi beli pecal ini di dekat sekolah tadi." Setelah sekian lama, barulah Angga mampu menjawab pertanyaan istrinya.
"Masak sih, Bi? Aku pikir Aina sengaja bagi makanan ke sini. Sama persis soalnya. Kekentalan bumbunya, tekstur sayurannya, juga kerupuk ini... setahu Umi cuma Aina yang pakai." Inggit memegang kerupuk ikan khas Palembang. Seingatnya, temannya itu tak pernah mengenakan kerupuk lain.
"Lah, itu kan setahu Umi. Faktanya ini ada yang jual begini, kok."
"Oh, iyalah, Bi. Kapan-kapan bawa Umi ke sana, ya!"
"Iya. Aman itu, Sayangku." Angga merengkuh pundak sang tambatan hati.
Hari ini Angga pulang lebih cepat ketimbang Inara, sehingga tak tahu menahu apa yang suaminya lakukan sebelum kehadiran pecel tersebut. Namun, Inara rasa soal dari mana makanan itu diperoleh, itu tidaklah penting.
Ia dan suaminya makan siang bersama. Inara juga mengeluarkan lauk pauk lain sebagai teman nasi. Kegiatan itu dipenuhi suka cita. Angga selalu memuji makanan istrinya.
"Oh ya, Bi. Habis ini temenin Umi belanja, yuk!" pinta Inara di sela makan siang.
"Belanja apa, Mi?"
"Kebutuhan bulanan. Kan, sudah mau habis."
"Ehm..." Angga tampak berpikir keras. "Kayaknya hari ini belum bisa deh, Mi. Abi harus jenguk temen yang lagi sakit. Kasihan dia. Apa nggak bisa kita belanja besok aja?"
"Hem, Abi. Apa nggak bisa jenguk temennya yang besok?" Bibir Inara jungkit.
"Oalah, Mi. Bukannya meminta, ya, tetapi usia seseorang siapa yang tahu?"
Kepala Inara mengangguk-angguk. "Kalau gitu Umi minta temeni Aina sajalah. Nggak bisa nunggu besok juga, Bi. Umi takut kerepotan besok pagi mau masak nggak ada bahan."
"Oh, boleh, kalau begitu. Umi hati-hati, ya!"
Seusai makan siang bersama, Inara membersihkan badan dan langsung menuju kediaman Aina di sebelah.
Pintu terbuka, sesaat setelah diketuk selama beberapa waktu. Aina hadir dengan pakaian bagus dan wajah yang penuh riasan.
"Loh, Ai. Kamu mau ke mana?"
"Aku mau pergi, Inggit. Ada apa?"
"Aku baru aja mau minta temenin kamu belanja bulanan." Inara menyampaikan maksud dan tujuan.
"Duh, aku lagi nggak bisa pula ini. Mau lihat sepupu yang habis lahiran."
Aina mustahil berbohong, mengingat penampilannya yang serapi sekarang.
Inara yang tak mendapat hasil, pada akhirnya melenggang ke rumah satunya lagi, yaitu kediaman mertuanya.
Inara mendapati Ruby--begitulah nama yang Bu Dila beri untuk anak bungsunya, sedang mengotak-atik sebuah laptop. Melihat kesibukannya membuat Inara sungkan untuk minta ditemani belanja.
Ruby menengok, lalu kembali fokus pada pekerjaannya.
"Kamu lagi sibuk, Ruby?" Sudah terlanjur bertatap muka, jadilah Inara berbasa-basi.
"Iya, Mbak."
"Kira-kira sampai jam berapa, ya?"
"Lama." Sesingkat itu jawaban yang Ruby beri. Inara menarik kesimpulan, kalau adik iparnya itu benar-benar tak bisa diganggu.
"Tadinya Mbak mau minta temenin belanja, tetapi ya sudah deh, kamu juga lagi sibuk. Mbak pamit pulang, ya!"
Ruby sekedar mengangguk tanpa menatap lawan bicaranya.
Langkah Inara belum sempurna memasuki rumah. Namun, tiba-tiba saja ia teringat akan pengakuan Bu Dila tentang Ruby yang telah memiliki kekasih. Secepat kilat Inara balik lagi hanya untuk mengusut kebenaran tersebut.
"Ruby, Mbak boleh tanya sesuatu?" Inara nyelonong dan duduk di sebelah adik suaminya.
Gadis bermuka manis itu menoleh, menanti kalimat yang akan terlontar dari bibir Inara selanjutnya.
"Apa bener kamu sudah punya pacar?"
Ruby menyentak kepala ke belakang. "Pacar? Aku nggak punya. Kata siapa?"
Entah Bu Dila menyembunyikan sesuatu atau bagaimana. Kalau Ruby tak punya pacar, sekali lagi, calon menantu mana yang kemarin Ibu mertua maksud?
Muka Inara pias seketika, jelas kaget sejak menerima kebenaran. Tawa renyah menyambut. Kalau Ruby tak punya pasangan, maka hanya ada satu anak yang tersisa, yaitu Angga. Namun, Angga sendiri sudah mempunyai istri. Apa mungkin mertuanya mau menikahkan Angga dengan perempuan lain? Rasanya betul-betul lucu membayangkan, jika kejadian itu nyata adanya. Saat ini Inara tentu tak percaya. Sudahlah. Mungkin kemarin Bu Dila cuma bergurau atau sedang gabut dan mencari pelampiasan."Abi. Umi pergi sendiri saja, ya. Rupanya Aina juga nggak bisa." Inara melapor saat menemui suaminya sedang mengambil baju di lemari."Hah, emang berani?" Raut khawatir terlukis."Beranilah. Umi kan wonder woman." Inara mengangkat kedua lengan, mempertontonkan otot-ototnya."Hahaha. Umi bisa saja. Ya, sudah. Hati-hati ya, Sayang. Ini Abi juga lagi siap-siap mau pergi.""Iya, Bi." Inara mengambil pakaian dari sumber yang sama."Ngomong-ngomong, Umi pulang jam berapa?" "Kemungkinan jam lima sore, Abi." Inara menurunkan
"Mas Angga! Mas!"Dari balik pintu pekikan itu kian berlangsung. Inggit berlari cepat disusul oleh ayunan kaki suaminya dari belakang. Ia turut panik. Panggilan itu seolah mendesak. "Aina?" Netra Inggit serasa lepas dari tempat. Udara di kawasan tersebut seketika pengap. Inara menutup mulut dengan telapak tangan kanannya. Sungguh pemandangan di luar akal. Orang yang ia kenal selama ini tak pernah membuka aurat, malah tiba-tiba nyelonong ke kediamannya tanpa pakaian syar'i dan meneriaki nama suami Inara.Dia adalah tetangga Inara sendiri sekaligus teman dekatnya. Aina yang melihat kemunculan sosok lain lantas menghentikan laju. Ia dan perempuan di hadapannya hanya terpaut jarak beberapa cm saja. Sama seperti Inara, Aina juga mengalami kekagetan yang sama.Inara tak sempat menengok bagaimana reaksi suaminya yang sekarang berada di belakang tubuh. Ia menyorot fokus perempuan di depannya itu. Beribu spekulasi mencuat."Aina, kamu kenapa manggil-manggil suamiku dengan keadaan seperti ini
"Abi, baru pulang? Umi telepon nomornya nggak aktif. Umi pikir Abi kenapa-kenapa." Inara bergelayut manja di lengan suaminya, menepi sebuah pertanyaan yang bersarang di kepala.Angga menyambut istrinya penuh cinta. Mendaratkan sebuah ciuman mesra nan singkat di bibir. "Maaf, Umi. Batre Handphone Abi low.""Lain kali, kalau mau berpergian itu bawa power bank ya, Abi.""Siap, Sayangku. Abi masuk dulu, ya! Mau mandi. Udah bau asem, nih." Angga mengerutkan hidung.Inara bergulir menghampiri mertuanya yang kelihatan sulit membawa banyak barang."Ibu baru sampai juga? Aku bantu, ya!" Bu Dila dengan senang hati menyerahkan dua buah plastik besar kepada menantunya tersebut. Sebuah pertolongan datang di waktu yang tepat."Ibu, sudah selesai fitting baju pengantinnya?" Inara si paling tidak tahu apa-apa bertanya."Apa?" Dada Bu Dila sesak. Langkahnya melamban. "Kamu tahu, kalau Ibu fitting baju pengantin?""Kenapa kaget begitu, Bu? Tadi Ruby bilang, kalau ikut fitting baju pengantin anaknya t
Inara mendekap gawai di dada. Mukanya menebal. Ia berhasil menuduh lelaki tersebut selingkuh, tetapi faktanya perempuan itu adalah istri dari Ustadz Ridho sendiri. Sungguh, ini bukan kemauan Inara. Ainalah yang tak pernah mengumumkan tentang perpisahannya dengan pria berilmu itu."A- apa?" Inara tercengang. "Sejak kapan Ustadz Ridho menikah? Ke- kenapa tidak dengan sahabatku?" Inara menggeleng samar.Dia sudah menduga, pasti ada sebab khusus kenapa Aina bungkam soal proses ta'aruf itu, tetapi sama sekali tak berpikir, kalau ternyata ia putus. Selama ini Aina kelihatan bahagia-bahagia saja."Dua Minggu lalu."Oh, Ya Tuhan. Pantaslah Inara pernah menengok jemari Ustadz Ridho dipenuhi inai merah bertepatan dengan tenggang waktu yang baru saja disebut."Ta- tapi, kenapa Ustadz?" Masih dengan ketidakpercayaannya."Saya agak sulit menyatakannya, tetapi kalau Anti benar-benar mau tahu, penyebabnya adalah karena Aina menyelingkuhi saya.""Hah?" Suara Inara kian meninggi. Membuat wanita di sam
Inara tentu kaget hampir mampus mengetahui suaminya mengirimkan uang sebesar lima juta kepada Aina, sementara dia sendiri dikurangi jatah bulanannya. Apa karena ini Angga berubah medit? Punya hubungan apa dia dengan Aina?Inara meremas selebaran cek tersebut untuk dijadikan barang bukti atas rahasia yang suaminya sengaja tutupi. Ia menyeduh air mata. Dia memanglah belum mendengar penjelasan orang yang dicurigai, tetapi tak salah juga, kalau perasaannya tak enak. Istri mana yang tidak cemburu dan khawatir, kalau suaminya tiba-tiba mengirim uang kepada sahabat kita sendiri.Wanita yang sedang kebingungan itu bersimpuh lemas. Badannya bersandar pada kaki ranjang. Apa gara-gara ini juga Aina batal menikah dengan Ustadz Ridho? Barangkali, yang dimaksud Ustadz Ridho tentang selingkuhan Aina itu adalah..."Nggak! Nggak mungkin suamiku diambil sahabatku sendiri!" Inara menolak pikiran tersebut.Kepalanya menggeleng laju. Ia tahu betul siapa Aina. Perempuan itu sudah menjadi bagian dari hidupn
Inara mengedarkan pandangan. Gedung Anyar sudah berada di depan mata. Sekujur badan rasanya lunglai. Kalau sampai suaminya sampai menikah diam-diam, mungkin Inara bisa mati berdiri. Namun, apa iya? Entah ini cuma ketakutan Inara saja.Bosan menebak-nebak, ia pun menyusuri gedung yang di bagian belakangnya ada kebisingan. Inara pikir di sanalah suaminya berada.Pikiran-pikiran jahat menyerang. Melangkah penuh keraguan dan..."Angga?" "Ya, Allah..."Inara bersandar pada dinding gedung. Ia menengok sekali lagi ke arah lelaki berpeci hitam yang tengah mengamankan anak-anak tersebut. Inara lega. Rupanya Angga memang betul menjalankan tugas sebagai instruktur pesantren kilat. Terlihat ia dan beberapa bocah berbaju koko sedang melaksanakan baris-berbaris. Pasti sebentar lagi akan berangkat ke sekolah kecamatan sebelah.Seketika rasa bersalah muncul. Akhir-akhir ini Inara mudah sekali su'udzon terhadap suaminya sendiri. Padahal ia tahu betul, kalau Angga adalah suami romantis dan setia. De
Sejak itu hubungan Inara dan Angga menjadi agak renggang. Lelaki itu memang memperlakukan istrinya dengan romantis, tetapi tak jarang bentakan-bentakan kecil terlontar dari bibir Angga, juga perlakuan kasar yang tidak ia sadari. Angga mulai jarang membawa Inara makan di luar atau hanya sekadar menikmati suasana kota pada sore hari. Apalagi menemaninya belanja kebutuhan rumah tangga seperti yang sudah-sudah. Beranjak pada persoalan intim. Lelaki penuh misteri itu setiap malam selalu kelelahan, lalu ketiduran. Katanya banyak tugas dari sekolah. Terlebih saat anak kelas 12 mulai mendekati ujian nasional. Sampai-sampai kerap mengabaikan hasrat istrinya. Inara tak mampu memaksa Angga. Pernah sewaktu-waktu ia ngambek, karena suaminya tak sudi diajak bermain bersama. Namun, Angga dengan keras menegaskan, jika dia tak suka ditekan seperti itu. Setelahnya Inara tak berani lagi meminta. Biarlah Angga sendiri yang lebih dulu menyentuhnya, jika sedang mau.Namun, anehnya; sering pula Inara temu
Waktu magrib tiba. Wanita yang sedang diliputi kesedihan itu sengaja menanti hingga kamar mandi sepi penghuni, barulah ia masuk untuk berwudhu. Sebelum memulai sholat di musholla cafe, diliriknya sambungan CCTV kamar dan ternyata masih menghadirkan adegan tak senonoh itu. Lihatlah! Anak cucu Adam yang sedang dimabuk cinta tersebut, bahkan panggilan Allah tak lagi dipedulikan perkara bercocok tanam. Sebegitu menikmatinya mereka.Inara saking lemasnya sampai tak bisa sholat dalam keadaan berdiri. Dia memilih untuk duduk. Inara sepanjang beribadah masih saja meneteskan air mata. Begitu tersayatnya perasaan. Ternyata laki-laki yang kelihatan setia belum tentu baik isi hatinya. Inara mengadukan hari terburuknya kepada Sang Pencipta. Mempertanyakan kenapa ia yang sudah berusaha sesempurna mungkin di hadapan suami masih juga diduakan. Saat tak ada lagi jamaah perempuan di musholla cafe, itu menjadi kesempatan bagi Inara untuk menumpahkan isak yang sejak tadi dia tahan. Bahunya tiada henti b