Share

MR. CINDERELLA (INDONESIA)
MR. CINDERELLA (INDONESIA)
Penulis: vivi vanila

Part 1

Braaakkk....

Pintu rolling door kios bercat biru itu terpaksa menganga ringsek tak berbentuk lagi ketika sebuah sedan Honda Jazz merah keluaran terbaru menerabas kencang dan menghantamnya tanpa aba-aba. Hingga setengah badan sedan itu pun nyelonong masuk tanpa permisi dan memporakporandakan sebagian besar isi kios yang berupa bahan-bahan kebutuhan pokok rumah tangga.

Suara benturan yang cukup kencang di pagi buta ini spontan membuat suami istri pemilik kios yang tinggal di lantai dua berhamburan turun dan terperanjat hebat saat melihat pemandangan yang menyesakkan dada mereka.

Tak hanya pemilik kios, orang-orang yang kebetulan berada dan berlalu lalang di jalan raya depan kios itu serentak bergegas menghampiri tempat kejadian perkara. Bola-bola mata mereka bereaksi sama. Terperangah dan terkejut mendapati keadaan kios itu hancur berantakan bagai terhempas badai Tsunami.

Sementara mesin sedan penghantam itu terdengar masih meraung-raung disertai kepulan asap di bagian muka. Hingga mengalihkan perhatian orang-orang pada dua sosok manusia di dalamnya yang tampak terkulai bersandar di punggung kursi karena terdesak oleh airbag yang menggelembung dan menghimpit tubuh keduanya.

“Heh, keluar!”

“Buka pintunya. Hoi!”

Wanita si pemilik kios menggedor-gedor pintu bagian kemudi. Sementara sang suami melakukan hal yang sama di lain sisi. Yang berada disitu pun ikut membantu pasangan suami istri itu mengetuk-ngetuk kaca mobil dan berusaha membuka paksa kedua pintunya.

Berbagai guratan ekspresi tercetak di raut mereka saat melihat kedua manusia di dalam mobil menggeliat berusaha menegakkan kepala. Ada yang menggeram kesal karena sulitnya pintu mobil itu dibuka. Ada yang menunjukkan keprihatinan melihat rusaknya bangunan kios sederhana itu. Dan juga ada yang panik karena takut kalau-kalau dampak buruk lainnya akan menyusul setelah ini.

Demi mendengar suara dengungan dan ketukan riuh di balik pintu mobil, kesadaran Cinta yang ikut terserak akibat hantaman keras mulai terkumpul perlahan. Walaupun dengan pandangan yang masih kabur dan serasa ada bintang-bintang berputar-putar di dalam kepalanya, namun seketika itu juga Cinta dapat menangkap ada sesuatu yang tak beres terjadi padanya, pada mobilnya, terutama pada kios yang terpampang di depan matanya.

“Aaa ... aa ... ada ... apa ... ini?” Cinta menggeliat, menoleh kiri kanan perlahan.

Sakit dan linu yang menjalar di sekujur tubuhnya seolah menyatu dengan rasa heran dan bingung yang melanda benaknya.

Sementara di sebelah kirinya, Sabrina bergerak pelan dan bersusah payah menyibak gelembung airbag yang menekan leher dan dadanya.

“Auuhhh ... pusing ....” Hanya itu lirihan yang terdengar dari bibir Sabrina. Lalu ikut mengedarkan bola matanya pada keadaan di luar yang sudah riuh rendah oleh teriakan, pekikan panik disertai ketukan kencang dan berulang pada kaca mobil.

Sejurus kemudian, tangan Cinta berhasil meraih tombol otomatis di sisi pintu dan menekannya dengan susah payah karena terhalang oleh airbag yang masih ketat menekan tubuhnya. Terdengarlah bunyi flip kunci terbuka, lalu lemah dia mendorong pintu itu dan segera meloloskan diri keluar dari dalam mobil yang sudah mencekung pada bagian muka.

Begitupun yang di lakukan Sabrina di sisi satunya. Dia berhasil mengeluarkan tubuh gempalnya dari dalam mobil lalu terduduk di lantai dengan keadaan lemah dan bola mata lunglai menatap mobil milik Cinta yang tampak memilukan di hadapannya.

“Mabuk ni orang ....”

“Iya, abis dugem kayaknya ....”

“Waaah, mabuk kok nyetir. Bahaya ini.”

“Aduhh ... gimana ini dagangan Owe?”

“Hamsyong dah, Hamsyong! Owe rugi bandar kalo macam begini.”

“Ehh, kayaknya pernah liat cewek yang ini.”

“Kayaknya artis deh.”

Segala ujaran dan perkataan yang memekakan telinga Cinta mendengung bagai lebah dari orang-orang yang kini telah mengerumuninya tanpa ada satupun yang menolongnya ataupun Sabrina.

“Panggil ambulance, buruan!”

“Jangan, orangnya gak kenapa-kenapa kok!”

“Iya, malah kasian nih yang punya toko. Ancur begini.”

“Polisi ... calling Polisi aja, biar ditangkep dua pemabuk ini!”

“Iya bawa aja ke kantor polisi!”

Dan diamini oleh semua warga yang berada di sana. Kacau!

Kesadaran Cinta yang belum sepenuhnya pulih kembali terusik oleh hangover yang masih mencengkram dirinya. Hingga kelopak matanya pun terasa sangat berat, bahkan kembali enggan terbelalak lebar. Sayup-sayup suara penghakiman itu masih terdengar kemudian perlahan menghilang.

Dan pada akhirnya, dia biarkan tubuh lemahnya bersandar pada tepi mobil lalu perlahan merosot turun menyamping, lalu tergelepar di lantai, tepat di samping roda depan mobilnya.

*****  

“Cinta!”

Sekali lagi pekikan kencang menyerukan namanya. Rasa kesal, geram dan emosi jiwa terdengar di nadanya. Namun yang pasti tak terdengar nada iba saat suara laki-laki yang penuh wibawa itu membahana di ruangan bernuansa coklat dan kuning gading itu.

Si pemilik nama membuka kelopak matanya. Dan menangkap sosok pria bertubuh tinggi besar dengan misai tipis melintang di atas bibir yang tengah menekuk ketat, berdiri kaku di samping tubuhnya. Disertai bola mata yang nyaris meloncat keluar dan kedua telapak tangan yang mengepal kencang. Mungkin gelas kaca pun bisa pecah jika berada di dalam genggaman Pak Abraham saat ini. 

“Papa?” Cinta berusaha menegakkan tubuhnya dan melempar pandangan ke sekeliling ruangan.

Dimana dia berada sekarang?

Kenapa banyak sekali orang yang tak dikenalnya kini menatap geram padanya?

Dan kenapa ada pria berseragam polisi diantara mereka?

“Hah? Polisi?”

Cinta membelalak panik saat bola matanya yang berkabut menangkap jelas para petugas kepolisian berdiri di hadapannya. Ada juga beberapa yang duduk di balik meja. Tapi mata mereka terarah tajam pada dirinya.

Tak perlu dia tanyakan lagi. Kini dia berada di kantor polisi.

Sekali lagi. Dia harus berurusan dengan bapak-bapak polisi.

“Owe gak mau tau, pokoknya owe minta ganti rugi. Kalo gak, terpaksa owe jeblosin anak bapak ini ke penjara,” cerocos pria setengah baya dengan logat Tionghoa yang cukup tebal. Tak ketinggalan telunjuknya menunjuk kasar pada Cinta yang hanya terpaku gamang di bangku kayu.  

“Iya, Pak. Saya akan ganti semua kerugian bapak. Silahkan dihitung semuanya,” ucap Pak Abraham berusaha menenangkan pria itu, walaupun sedikit terbata-bata.

“Nah, gimana, Pak? Berarti damai ya? Jadi gak perlu bikin laporan. Silahkan diselesaikan dengan jalan kekeluargaan. Itu lebih baik.” Kali ini seorang petugas kepolisian yang duduk di belakang meja lengkap dengan satu unit PC di hadapannya membuka suara.

“Iya. Damai ... damai. Owe juga nggak mau perpanjang urusan. Yang penting secepatnya Owe bisa dagang lagi. Owe rugi banyak ini hari. Mana hari libur lagi. Biasanya toko Owe rame pas hari libur begini. Owe minta kartu namanya Bapak ini. Setelah Owe hitung kerugian nanti Owe kasih kabar. Pokoknya Owe minta langsung di tranfer secepatnya.” Pria berlogat Tionghoa itu masih saja menggerutu panjang lebar. Menumpahkan rasa kesal ketika otaknya mengkalkulasi berapa rupiah kerugian yang dia alami akibat perbuatan Cinta dini hari tadi.

“Baik, Pak. Ini kartu nama saya. Kabari saja. Pasti saya tranfer untuk ganti ruginya, berapapun,” tegas Pak Abraham seraya menyerahkan selembar kartu nama ke tangan si pria ‘Kalkulator’ itu. Lalu melingkarkan lengannya pada bahu pria Tionghoa itu dan membimbingnya untuk mengikutinya menjauh beberapa meter dari tempat semula.

Tampak keduanya terlibat dalam perbincangan yang cukup serius, namun lebih di dominasi oleh Pak Abraham. Dan hanya sekian menit saja, pria Tionghoa itu pun mengangguk-angguk di sertai senyuman lebar dan tepukan di bahu Pak Abraham.

“Tenang saja, Pak. Owe pastikan berita ini cukup sampai di tempat ini. Kalo ada yang tanya-tanya Owe akan bilang pelakunya orang lain.” Pria itu melisankan janjinya sebelum akhirnya menjauh dan keluar dari kantor polisi itu.

“Cinta, kamu ini benar-benar keterlaluan!”

Cinta yang sudah berhasil sepenuhnya mengumpulkan nyawa dan mengusir sisa-sisa hangovernya, tertunduk dalam diam begitu telunjuk besar itu mengarah tepat di jidatnya. Untung cuma jari telunjuk, bagaimana jika pistol milik pak polisi yang dipinjam untuk mencolek jidat mulus itu?  

Pak Abraham, bersusah payah menahan emosi ketika di dini hari tadi dia menerima telepon dari pihak berwajib yang mengatakan bahwa putrinya berada di kantor polisi dalam keadaan tak sadarkan diri dan menabrak sebuah bangunan kios hingga hancur lebur, bahkan nyaris di hakimi massa.

Beruntung tak ada korban jiwa. Hanya korban perasaan saja dari si empunya kios beserta kerugian materil yang segera dihitung nilainya.

“Sorry, Pa. Nggak sengaja.” Hanya itu jawaban Cinta dengan suaranya yang masih lemah.

“Nggak sengaja? Sebulan lalu kamu juga bilang ‘nggak sengaja’ waktu nabrak gerobak nasi goreng. Dan sebelumnya lagi kamu juga bilang ‘nggak sengaja’ waktu nabrak warung rokok. Dan papa terpaksa keluarin duit juta-jutaan untuk ganti kerugian. Sekarang papa mesti ganti rugi berapa lagi karena ulah bebal kamu ini, Cintaaaa!” kembali telunjuk besar itu mendorong jidat Cinta yang tak bersalah. Hanya isi kepalanya saja yang selalu memberi ide untuk bikin ulah.

“Ya, nanti biar Cinta yang ganti kerugian dia, Pa. Papa nggak usah pusing, deh. Cinta juga punya duit. Paling cuma berapa juta sih yang mesti dibayar,” sergah Cinta nyantai serasa di pantai.

Melihat sikap putri semata wayangnya yang seolah minta dibantai, membuat Pak Abraham makin melotot geram pada gadis yang baru saja genap berusia dua puluh lima tahun itu.

“Ooo, jadi mentang-mentang kamu punya duit, kelakuan kamu jadi seenak udel begini ya! Kamu pikir cuma dengan uang semua urusan beres begitu saja, dan besok-besok kamu ulangi lagi kelakukan bodohmu ini?!”

“Untung Engkoh tadi mau berdamai, kalo tidak gimana? Kamu bisa masuk penjara, Cinta. Pake otakmu untuk berpikir! Kamu ini sudah dewasa, hentikan kebiasaan burukmu ini, dugem sampe pagi dan mabuk-mabukkan kayak orang gila. Papa malu, Cinta!”

Sepertinya ucapan Pak Abraham yang panjang kali lebar kali tinggi itu sama sekali tak tersangkut di otak Cinta yang masih terasa berdenyut kembang kempis di dalam kepala.

Gadis cantik dengan wajah kusut seperti baju yang belum disetrika itu hanya mendengkus sebal seraya membuang pandangan ke arah lain. Dan mengerlingkan sebelah matanya ketika mendapati seorang polisi tampan tengah menatap mupeng padanya. Dan polisi itu pun mengulum senyum.

“Aura Cinta Anastasia!”

Begitu nama lengkapnya disebut, Cinta menoleh lekas dan terbelalak cemas seolah dia melihat lampu kuning menyala di jidat sang papa. Tanda dia harus waspada dan bersiaga menerima hukuman dari pria yang tengah mengepalkan tangan di hadapannya.

Kunci mulutmu Cinta, cukup mengangguk saja jika kamu masih sayang nyawamu. Ingat, kamu bukan kucing yang punya tiga belas nyawa. Kamu seorang fotomodel dan artis superstar (bukan endorse merk wafer ya...) yang cuma punya satu nyawa.

Apa kamu mau, cuma gara-gara nabrak ‘lagi’ kamu gak bisa menikmati dunia gemerlap keartisan lagi, dimana kamu kini sedang berada di puncak kesuksesan dan menyandang popularitas sebagai artis sinetron dan bintang iklan dengan pendapatan setara CEO pabrik batu bata?

Oh No.... Papa sudah pasti sanggup melakukan itu. Mematikan karir keartisanku dan menyeretku ke kantornya untuk bekerja di belakang meja. Tidaaaakkk!

Ya, kalo begitu aku cukup menutup mulut dan telinga saja, apapun kata-kata papa terpaksa aku terima. Anggap saja kalimat-kalimat pedas papa hanya sekedar mampir dan ngopi-ngopi cantik di dalam telinga.

“Kamu juga, Sobri ... “ Kali ini telunjuk besar itu gantian mentoyor jidat sobat karib sekaligus Manajer Cinta yang bergenre jantina (jantan-betina) yang terduduk lemas sambil menyelonjorkan kaki di atas bangku, tepat di sebelah Cinta.

“Sabrina, Om,” ralatnya lekas seraya memutar bola matanya, malas.

“Sabrina dari Hongkong?!”

“Sabrina kan dari Portugal, Om. Purwokerto-Tegal.”

“SOBRI!”

“Eh Iya, Om. Siap 86!” seketika Sobri alias Sabrina Reselovina merubah suaranya yang semula gemulai manja menjadi suara pria yang sesungguhnya. Nge-Bass membahana. Dan menegakkan tubuhnya seperti seorang tentara yang siap menerima perintah.

“Kamu sebagai manajer dan asisten pribadi Cinta seharusnya melarang Cinta dugem gak jelas, apalagi sampe minum minuman keras begini. Kok kamu malah ikut-ikutan mabuk. Ingat, Sob. Reputasi dan karir Cinta bisa hancur jika wartawan entertainment mencium kasus ini. Dan kamu salah satu penyebabnya karena gak becus menghandle artis kamu sendiri.”

Eh iya, bener juga sih apa kata pria setengah baya yang masih terlihat tampan di usianya itu. Apalagi kalau berita tentang kebiasaan buruk Cinta itu sampai ke telinga para penduduk medsos. Dan para netijen yang paling benar dengan segala kenyinyirannya itu mereview kehidupan artis Aura Cinta Anastasia seolah-olah mereka itu adalah malaikat pencatat amal buruk si artis yang tengah naik daun itu.

Jika itu terjadi, bisa dipastikan karir Cinta perlahan akan meredup dan lambat laun akan ditinggalkan para Cinta Cintata - nama fanclub Aura Cinta Anastasia. Hingga yang paling membahayakan, para produser tak lagi memperpanjang kontrak stripping sinetronnya. Dan pemilik produk tak sudi lagi memakai jasa endorsement-nya.

No.... Bisa miskin gue. Dan gue gak mau balik lagi jadi tukang rias penganten di kampung dan kapster salon. Secara jari jemari yang menggemaskan ini sudah terbiasa pegang wajah artis-artis jetset macam Aura Cinta Anastasia, Krisdayantina, Yunie Sarap, Ra’iso Andriana dan Isyana Saras008.

Sabrina Reselovina jelas mengaku salah. Dia berpikir tak ada cara lain, dia harus meluruskan kembali kebiasaan menyimpang artisnya agar tak ada masalah yang lebih buruk lagi di lain hari. Karena bagaimanapun juga dirinya tak ingin mengorbankan profesinya sebagai manajer artis yang sudah dia jalani selama lima tahun ini.

“Sabrina minta maaf, Om. Sabrina janji kejadian ini nggak akan terulang lagi.” Akhirnya Sabrina mengangkat jari telunjuk dan jari tengahnya disisi kepala dan mengucapkan janjinya pada Pak Abraham yang tengah menatap nyalang padanya.

“Sumpah?” Pria tegas itu seperti tak percaya dan mencari keseriusan pada raut wajah Sabrina.

“Sumpah Pemuda, Om. Sumpah Palapa eike juga mau.”

“Oke, kalo ini terjadi lagi, saya pastikan Cinta stop dari dunia entertainment. Dan kamu akan saya pulangkan pada kedua orang tua kamu di Portugal sana.”

“Di cerei kali ah, weiceh.... “ gumam Sabrina yang seharusnya ditujukan pada dirinya, namun Pak Abraham mendengar dan kembali menarik kedua sudut bibirnya, geram.

Tak ingin berlama-lama di kantor pelayanan masyarakat kepolisian Resort Jakarta Barat ini, Pak Abraham bergegas keluar dari ruangan setelah memerintahkan Cinta dan Sabrina untuk pulang bersamanya dan meminta Sabrina mengurus mobil Cinta yang ringsek agar secepatnya di klaim ke pihak asuransi.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status