Sekitar jam tujuh pagi, terlihat seorang gadis sedang duduk di depan meja rias miliknya. Bukan untuk merias wajah, melainkan hanya memandangi wajahnya yang sembab dan penuh air mata hingga detik ini. Tatapan itu selalu kosong ketika rasa sakit menyerang hatinya. Terhitung sejak semalam dia tak bisa tidur nyenyak hanya karena memikirkan nasibnya yang selalu tidak beruntung. Dada terasa sesak, kepala penuh masalah, dan lagi-lagi dia merasa diambang kematian.
Gebrakan pintu membuat isak tangisnya terhenti seketika, menekan dada yang tiba-tiba sakit akibat terlampau terkejut."Airyn, kamu punya simpanan uang? Beri Papa uang sedikit dong. Pinjam, Papa ngutang dulu sama kamu, besok Papa ganti. Papa butuh banget buat pagi ini."Pria paruh baya yang terdapat banyak uban di kepalanya itu tak memedulikan tangis maupun kepiluan hati putrinya, langsung menggeledah tas gadis bernama Airyn tersebut.Apa Airyn akan menolak dan berontak?Tentu saja tidak. Dia tidak punya keberanian dan itu juga akan berujung sia-sia.Kalau papanya berkata A, dia akan melakukan segala cara agar mendapatkannya tanpa mendengarkan rengekan Airyn buat berhenti.Ketika menemukan uang sekitar seratus tiga puluh ribu, pria itu mengukir senyum lebar dengan mata berbinar terang."Papa pinjam semuanya. Kamu berangkat kuliah sendiri dulu ya, naik angkot. Ah, ini Papa sisain sepuluh ribu buat ongkos bolak balik. Cukup, 'kan? Kalau kurang, ngutang dulu sama Kang Ujang, bilang nanti Papa yang bayar kalau menang judi.""Pa, sampai kapan mau kayak gini terus?"Tidak ada jawaban.Papanya pergi begitu saja setelah meletakkan uang sepuluh ribuan di atas tempat tidur Airyn. Naik angkot cukup, bahkan masih ada kembalian. Hanya saja, jalur angkot tidak sampai ke depan kampusnya. Airyn harus jalan kaki yang terbilang jauh atau naik ojek lagi untuk mempersingkat waktu tempuh. Bolak balik rumah setidaknya memerlukan lima belas sampai dua puluh ribu.Airyn malu kalau harus minta tolong Kang Ujang, apalagi dengan alasan ngutang untuk kesekian kalinya. Papa Airyn lupa jika hutang yang sebelumnya saja belum dibayar, tidak mungkin ngutang lagi."Papa kapan mau berubah?" Bibir Airyn kembali bergetar. "Pantas aja Mama tinggalin kita, sikap Papa dari dulu nggak pernah mau lebih baik. Setiap hari sibuk mengurus pelacur, mabuk, judi, dan bikin masalah. Aku malu, Pa, aku juga sedih liat Papa kayak gini terus."Tidak lama sekitar dua bulan lalu, Mama dan Papa Airyn resmi bercerai—setelah berbulan-bulan mamanya pergi dari rumah. Wanita itu memaksa sang suami untuk menceraikannya agar bisa bebas bersanding dengan pria lain.Airyn tidak mungkin ikut mamanya, meski sangat ingin. Wanita itu bersikeras melarang Airyn tinggal bersamanya, sebab tak sanggup jika harus menanggung biaya hidup dan Airyn juga masih duduk di bangku perkuliahan.Sebenarnya mama dan papa Airyn sama saja. Mereka punya sikap sebelas dua belas. Oleh karena sama-sama keras, akhirnya pernikahan mereka tidak bisa diselamatkan lagi.Menyudahi aksi menangisnya, Airyn mengambil tas dan langsung pergi ke kampus. Dia ada kelas tepat pukul delapan.Tidak ada rasa senang selama menjalani perkuliahan, Airyn justru sangat tertekan. Papanya yang sangat ingin Airyn masuk perguruan tinggi dengan biaya nekat. Akhirnya setiap masa pembayaran tiba, pria itu selalu membuat masalah untuk mendapatkan uang. Entah mencopet, menipu, atau merampas secara paksa kepunyaan orang-orang lemah yang tak bisa melawan. Dia seseorang preman yang diakuti di daerah mereka."Airyn, di mana Mas Guntur?" Seorang wanita berpakaian seksi menghampiri Airyn, menghadangnya di pinggir jalan. Dia salah seorang pelacur yang dirawat oleh papanya."Papa di tempat biasa, main judi." Airyn tersenyum simpul, tidak malu mengakuinya karena sudah sangat terbiasa dengan orang-orang sekitar. Asal tidak teman-temannya yang tahu, Airyn tidak masalah."Ada anak baru mau gabung, cantik dan masih muda. Kayaknya masih perawan, mahal ini sekali mainnya. Mas Guntur pasti suka."Airyn tidak menanggapi, memilih melanjutkan langkahan menuju terminal angkot.Selain preman, papa Airyn juga bekerja sebagai mucikari—merawat dan memfasilitasi para pelacur yang ingin bekerja pada rumah bordil. Bahkan rumah yang saat ini Airyn tinggali bersama papanya masih berada di kawasan para pelacur. Rumah khusus untuk mereka yang diberi nama rumah susun Anggrek.Tidak heran Airyn memilih tak punya teman dekat sejak dulu, dia takut dikucilkan jika di antara teman-temannya mengetahui siapa Airyn sebenarnya. Meski dia tak pernah melacur, tapi tempat tinggalnya membawa pengaruh buruk bagi pandangan setiap orang.Sesampainya di terminal angkot, Airyn mengerutkan kening jika tak ada satu pun angkot yang berada di sana."Pak, angkot pada ke mana?""Sebagian dipesan untuk acara nikahan, sebagian lagi sedang narik, Neng.""Astaga, aku telat dong." Airyn mendesah kecewa, padahal waktunya tidak banyak lagi jika harus menunggu ada angkot yang kembali ke terminal.Saat Airyn nyaris frustasi memikirkan cara untuk sampai ke kampus, pertolongan datang. Kang Ujang tiba-tiba menawarkan tumpangan."Ayo, Neng, saya antarkan seperti biasa."Tatapan Airyn menyendu. "Utang yang kemarin udah dibayar Papa, Kang? Aku nggak enak, soalnya Kang Ujang juga susah cari duit buat keluarga.""Tenang, Neng Airyn, kemarin udah dilunasin."Senyum kecil Airyn terbit, dia sangat lega. Selama ini beban pikiran Airyn terbagi-bagi, dia bahkan sampai menghindari Kang Ujang dan beberapa orang lainnya karena malu akibat hutang maupun perlakuan kejam papanya.***Ternyata setibanya di kelas, Airyn dikabari temannya jika perkuliahan hari ini terpaksa harus dikosongkan karena dosen pengampu memiliki rapat penting yang tidak bisa ditinggalkan. Untunglah ada mata kuliah kedua yang akan masuk satu setengah jam akan datang, jadi Airyn tidak terlalu merasa sia-sia sudah mengorbankan waktu, tenaga, dan biaya untuk sampai ke kampus."Ai, ternyata rumah lo di daerah rumah susun Anggrek? Gue baru tau. Nyokap lo pelacur sana atau lo juga bagian dari mereka?" Salah seorang cowok sekelasnya mencegat Airyn di pintu, geleng-geleng dengan kedua tangan terlipat di dada.Semalam cowok itu ke rumah susun Anggrek, tidak disangka melihat Airyn tengah mengobrol dengan seorang pria paruh baya di sana. Ternyata setelah dia pastikan, Airyn anak dari salah seorang mucikari."Polos-polos gini ternyata pelacur?" Dia mengulum senyum, berusaha menyentuh pipi Airyn. "Jadi penasaran gimana rasa lo.""Aldo, cukup!" Airyn geregetan pada cowok bernama Aldo ini. Dia pernah menyukai Airyn, tetapi dengan tegas Airyn tolak untuk melindungi dirinya sendiri.Siapa yang tidak tahu kelakuan Aldo, dia cowok berandalan yang selalu sombong dengan kekayaannya. Seolah apa pun bisa dia dapatkan dengan uangnya."Berapa semalamnya, Ai?"Airyn memicing, menatap ke arah luar di mana dua teman Aldo sedang menunggu cowok itu selesai bicara padanya."Gue mau semalam. Gue bayar dua atau tiga kali lipat. Atau perlu hubungin bokap lo dulu kalau mau nyewa pelacurnya?"Karena sejatinya Airyn ini banyak takutnya, akhirnya dia hanya bisa menangis mendengar Aldo merendahkan dirinya. Bukan tidak bisa melawan, lebih tepatnya takut semakin dipermalukan hingga harga dirinya habis terinjak-injak. Aldo bisa melakukan apa pun, Airyn takut sisa perkuliahannya berujung sia-sia."Kenapa menangis, sih? Gue nggak nyakitin lo, Ai, setop berlebihan nanggepin gue. Jawab aja, berapa? Nanti sekitar jam sebelas gue ke rumah susun Anggrek. Lo mau kita di sana atau ke hotel?"Airyn menggenggam erat tasnya, lalu nekat melewati Aldo dan mendobrak pintu secara paksa hingga terjatuh di hadapan teman-teman. Airyn tidak memedulikan tatapan orang-orang yang menyadari tangis dan ketakutannya, dia segera menuju toilet yang berada tepat di ujung lorong kelas.Airyn melangkah sambil menunduk, tidak nyaman jika tangisnya menjadi pemandangan yang lain. Dia tidak bisa berhenti menangis, karena suasana hatinya pun sudah terlanjur kacau.Belum sampai toilet, Airyn tidak sengaja menabrak seseorang hingga membuatnya hampir saja terjatuh lagi andai tidak ditahan oleh dia yang saat ini berada di hadapannya. Pria bertubuh jangkung yang sedang mengangkat telepon.Bukannya meminta maaf pada pria itu, Airyn malah dengan lancang memeluknya tanpa tahu malu. Menjadikan dada pria yang tak dikenal sebagai sandaran untuk meluapkan tangis."K-kamu baik-baik saja?" tanya si pria cukup kaget mendengar isak tangis Airyn. Di tengah kebingungan, pria itu tak sengaja mendapati Aldo dan dua temannya yang sedang menguntit. "Tiga cowok itu mengancam kamu?"Airyn mengangguk cepat dengan tubuh bergemetar kecil.Pria itu menepuk-nepuk pelan punggung Airyn, memberi tatapan tajam pada Aldo yang sedang mengawasi mereka beberapa saat sebelum akhirnya memilih pergi. "Tenanglah. Kamu aman sekarang.""Mereka pergi?""Sudah."Airyn segera melepaskan pelukannya, menjaga jarak dengan wajah memerah padam sampai ke telinga. Dia malu, tapi tidak ada pilihan lain. Airyn takut Aldo menyekap dan nekat memerkosanya di toilet."Maaf.""Ambil ini." Pria itu memberikan sapu tangan, barulah Airyn mengangkat wajah untuk menatapnya. "Enggak usah."Tidak membiarkan dirinya ditolak, pria itu mengambil tangan Airyn, meletakkan sapu tangannya di sana. "Kamu sedang membutuhkannya."Airyn mengeluarkan ingus yang sejak tadi membuat hidungnya padat. "Terima kas
Selesai memimpin rapat, dia memasuki salah satu ruangan khusus untuk mencari data diri seorang gadis yang memeluknya tadi. Hanya memerlukan waktu beberapa puluh menit, dia menemukannya secara lengkap.Airyn Gershon, gadis berusia dua puluh tahun yang saat ini sedang duduk di bangku perkuliahan semester lima. Dia berada di fakultas ekonomi, mengambil bagian manajemen bisnis. Sejauh ini perolehan nilai Airyn sangat bagus dengan indeks prestasi komulatif sementara di angka 3.97 dari 4.00.Saat membaca bagian beasiswa yang didapatkan Airyn, pria itu tersenyum miring."Pak Arion, ini dokumen yang Bapak perlukan tadi." Seorang dekan menghampiri pria bernama Arion ini, menyerahkan map berisikan beberapa dokumen penting yang harus dia tanda tangani."Terima kasih, Bu."Mengesampingkan tentang Airyn, Arion lebih dulu mendahulukan berkas pentingnya untuk di tanda tangani segera. Setelah ini dia harus secepatnya kembali ke kantor untuk mengurus kerjaan yang lain. Hari ini Arion hanya mewakili ay
"Arion, kamu baru pulang, Nak? Segera bebersih, Bunda punya tamu spesial buat kamu." Nyonya Harrison menyapa hangat ketika mendapati putra sulungnya datang. Masih sama seperti biasa ketika dia pulang ke rumah, selalu menerima kasih sayang yang tiada tanding meski usianya sudah kepala tiga.Biasanya Arion tinggal di Penthouse pada salah satu gedung apartemen paling mewah di Ibu Kota atas kepemilikan keluarganya, Harrison Group. Apartemen itu masih satu kawasan dengan kantor, sehingga memudahkan Arion untuk pulang pergi melakukan kewajibannya sebagai Direktur Muda penerus ayahnya kelak."Siapa, Bun?""Rahasia. Ada di ruang baca Mama, nanti kita makan malam bersama. Kamu bersiaplah seganteng dan serapi mungkin.""Andre datang bersama istri dan anaknya?" Arion bisa menebak dengan mudah, sebab tadi sempat dapat kabar jika si sulung akan datang sesuai pinta ayahnya yang sedang sakit. "Itu nggak salah, tapi masih ada kejutan lain."Arion tersenyum, mengecup pipi sang bunda dengan penuh kasi
Nyonya Harrison membuka gorden yang langsung menghadap pada tempat tidur Arion, membuat sang empunya silau. "Bangun, Nak, sudah jam sembilan."Arion menggeliat di bawah selimut tebal berwarna hitam, mengubah posisi kepalanya membelakangi gorden. Dia belum berniat bangun, masih mengantuk akibat semalam begadang hingga hampir subuh bermain poker bersama Andre.Tidak sia-sia, Arion yang menang hingga meraup puluhan juta rupiah."Ajak Fevita jalan-jalan sambil mengobrol lebih banyak, Arion, nikmati waktu libur kamu berkenalan dengan wanita."Fevita Adiyaksa, wanita cerdas dan mandiri berusia dua puluh lima tahun yang saat ini menduduki jabatan sebagai Co-Founder di perusahaan keluarganya, PT. Adiyaksa Utama."Berhenti jodohin aku, Bun, nggak bakal berhasil.""Belum kamu coba, jangan menyerah dulu. Umur kamu sudah berapa, Arion, nggak berniat menikah?" dumel Nyonya Harrison sambil merapikan buku-buku Arion di meja. Sejak semalam Nyonya Harrison gemas pada Arion, putranya itu tampak mendia
"Pa, kenapa malah mintain Pak Arion uang?" Airyn memejam jengah dengan sikap Guntur, tidak habis pikir jika berdebatan mereka malah berujung pemerasan.Guntur berhasil memeras Arion sebesar dua juta akibat perlakuan tidak baik dan pukulan yang diterimanya. Jika tidak, Guntur mengancam akan membawa masalah ini ke pihak berwajib."Sudah sepantasnya dia ganti rugi. Kamu pikir hidung dan bibir Papa nggak berdarah akibat pukul satpamnya yang gendut itu?" Guntur balas mengomeli Airyn yang sejak tadi juga lumayan menyulut emosi di hadapan Arion. Anaknya itu terlalu lemah, padahal Guntur memang sengaja memanfaatkan keadaan.Kapan lagi memeras orang kaya secara cuma-cuma? Uangnya bisa Guntur pakai untuk membeli minuman dan modal berjudi nanti malam.Sementra Airyn, dia hanya tidak ingin papanya semakin dipandang sebelah mata oleh orang lain. Namun, sikap Guntur sendirilah yang membuat dirinya tercela."Apa kata Pak Arion nanti, Pa? Aku nggak enak." Terlebih dia akan bersama Arion selama dua b
Airyn menganga, melihat sekitar mereka untuk mencari keberadaan seseorang yang lain. “Bapak ngapain ke sini?”“Ma, aku mau bicara sebentar. Tunggu dulu.” Dia cepat-cepat menarik tangan pria itu, membawanya agak menjauh dari Sera.“Bapak, jangan bilang aku orang sini sama siapa-siapa, ya?” Airyn berbisik cemas. “Aku juga nggak bakal bilang kok kalau Bapak main-main sama pelacur di sini. Aku janji.”“Kamu menuduh saya yang tidak-tidak,” balas Bagas tidak terima. “Saya hanya tidak sengaja lewat sini, lalu nyasar.” Jika kalian tanya siapa yang pintar membuat alibi, maka Bagas jagonya. Sekarang dia tiba-tiba menjadi detektif handal yang diutus Arion. Bagas mengakui dirinya serba bisa, asal jangan mencari berlian di lubang semut saja.Airyn menatap Bagas tidak percaya. “Ah, gitu, ya? Ya sudah, Bapak aja yang jaga rahasia aku.” Menangkup kedua tangan, meminta sangat serius.“Ai, ayo! Jangan bikin Mama makin murka.” Sera bersungut jengah menunggu Airyn.“Pak, aku harus pergi. Bapak sebaikny
Sekitar jam tujuh, Airyn terbangun dari tidurnya. Dia terlonjak ketika menyadari ruangan yang begitu asing. Buru-buru Airyn mengecek keadaannya, untunglah masih aman seperti semalam. Sementara itu, di nakas tersedia sepotong roti bakar cokelat, obat, air, dan kertas kecil yang menempel pada gelas. "Makan dan minum. Habiskan!”Airyn meminum obatnya untuk meredakan pusing, lalu memakan roti sambil berusaha mengingat kembali kejadian semalam. Dia ingat jika Arion datang mencoba menghentikan, namun bukannya melepaskan, pria tua itu justru semakin kasar mendorong Airyn ke kamar hingga harus bertengkar dulu dengan Arion yang tampak tak terima melihat perlakuannya.Tanpa sengaja di tengah keributan, Pak Sagara mendorong Airyn sampai terbentur pintu. Setelah itu semua gelap, Airyn pingsan.“Dasar om-om tua itu. Untung kepalaku nggak bocor.” Airyn bersungut sebal, lalu salah fokus pada jam kecil yang ada di nakas “Ya Tuhan, telat!” Dia melompat dari kasur, tetapi malah terjungkal karena terl
“Tolong, putus semua kerja sama kita bersama Pak Sagara dan istrinya. Saya tidak ingin mendengar nama maupun melihat wajahnya lagi. Pria itu di depan istrinya saja seperti kambing congek, di belakang berbisa daripada ular.” Arion memutuskan dengan tegas, tanpa pandang bulu. Pak Sagara hanya debu kecil yang sangat mudah Arion singkirkan. Bahkan jika masih saja mengganggu Airyn, Arion tak segan membuatnya gulung tikar.“Anda serius, Pak? Padahal lusa Anda ada pertemuan dengan mereka di hotel Dexonc untuk membahas lebih lanjut mengenai logo kopi dalam kemasan terbaru, bukan?”“Saya tidak peduli. Pria itu mengacaukan gadis saya.” Arion menaikkan bahu, menyeruput kopinya sambil membubuhkan tanda tangan pada beberapa dokumen penting.Bagas memutar bola mata malas. “Arion, dengarkan saya. Airyn juga pelacur kecil, sebenarnya mereka sama-sama cari untung. Mungkin ada beberapa faktor yang bikin Airyn takut, akhirnya semalam dia merasa terancam. Ayolah, jangan bodoh karena baru mengenal cinta.