MasukMata Quensa membelalak, nyaris terlempar keluar dari rongganya saat kata-kata penuh kebencian Aksa menghujam telinganya seperti pisau berkarat. Tubuhnya yang selama ini kuat seketika rapuh, tapi ia memaksakan diri berdiri tegap, berusaha mengumpulkan keberanian yang hampir luntur. "Aku... aku..." suaranya bergetar, tercekik oleh amarah yang membara di wajah pria itu.
Plak! Plak! Plak! Tamparan demi tamparan mendarat keras di pipinya yang mulus, membuat Quensa terdorong mundur, meringis kesakitan sambil menahan denyut nyeri yang menyebar liar di wajahnya. Tubuhnya lemas, seolah akar-akar kekuatan dalam dirinya dicabut satu per satu. “Kau jalang tak tahu malu! Masih berani menampakkan wajah hina itu di depanku, hah?” geram Aksa dengan suara seram, setajam amarah iblis yang terbangun dari tidur panjang. Tangan kasar itu mencengkeram rambut Quensa, merobek lembut hingga menimbulkan ******** pedih. Ia menjerit dalam diam, merasakan setiap jengkal kesakitan melekat di kulit dan tulangnya. “Kalau begitu, sudah kau pilih. Aku yang akan menghapus keberadaanmu,” bisik sarkas itu dengan nada mengerikan, membuat udara sekitarnya beku oleh ketakutan. Brukk! Tubuh Quensa dibanting dengan kasar ke lantai, dunia seakan terbalik dan hancur. Tangisannya pecah, meluapkan derita yang terperangkap lama di dalam hatinya. “Ahhh...!” jeritnya, nyawanya seolah remuk berkeping-keping, terkoyak oleh amarah dan kekejaman yang kini menguasainya. Dunia terasa mati, hanya menyisakan penderitaan tanpa akhir.Kekejaman Aksa tidak hanya sampai di situ dengan seringai iblis dia menendang bagin perut Quensa sehingga wanita cantik itu meringkuk tak berdaya di lantai, perlahan tetesan air mata di pelupuknya jatuh tanganya memeluk perutnya untuk melindungi malaikat kecil yang kini sudah tumbuh. Quensa terdiam, tubuhnya terkepung oleh tendangan kasar Aksa yang tak henti mendera. Matanya kosong, seolah lelah melawan kenyataan pahit ini. Dalam sunyi yang mencekam, bisikan lirih terdengar dari dalam dadanya, "Maafkan Mommy, tolong bertahan sedikit lagi... janji, kita akan segera bebas dari pria kejam ini. Seharusnya kehadiranmu disambut dengan hangat, penuh cinta dari Daddy, bukan dianiaya sampai seperti ini. Tapi tidak apa-apa, Sayang, kau masih kuat. Bertahanlah! Mommy akan selalu melindungimu, walau dunia tampak runtuh di sekitar kita. Berjanjilah, kau akan tumbuh jadi anak yang baik—bukan seperti pria bengis yang saat ini mencabik-cabik hidup kita." Dengan mata terpejam rapat, Quensa menahan deru sakit yang membakar dirinya, setiap tendangan seolah menanamkan luka yang tak terlihat. "Cih... Kenapa kau diam saja, jalang!" suara Aksa menggema dengan hina, menusuk lebih dalam dari setiap pukulannya. "Apa kau sudah siap menghadapi kematian? Apakah neraka sudah menunggumu di sana?" Hati Quensa remuk, tapi hatinya menolak menyerah—meski disiksa, dia masih punya harapan. Masih ada cinta yang menyala dalam kelam yang pekat ini. "Hhhkkk..." suara sesak dan terpendam keluar dari tenggorokan Quensa saat tendangan terakhir menghantam tubuhnya, menusuk lebih dalam dari luka fisik yang dirasakannya. “Cepat pergi dari hadapanku dan kekasihku, kau wanita jalang!” bentak Aksara, suaranya serak penuh kebencian. Tubuh Quensa terangkat dengan kasar oleh pria itu, kemudian didorong hingga terhuyung. Quensa tak melawan. Perlahan ia melangkah, dadanya berdebar hebat menahan nyeri yang menjalar di perutnya. Namun, sebelum menghilang ke balik pintu, matanya membara penuh luka, menatap Aksara dengan segenap kepedihan yang tertahan dalam jiwa. “Terima kasih...” suaranya pecah, disusul air mata yang tak sanggup lagi dibendung, mengalir membasahi pipinya. Ucapan itu bagai pedang tajam yang menusuk relung hati terdalam Aksara Emiliano Addison. Dadanya membeku, waktu seakan berhenti saat luka itu menamparnya tanpa ampun. “Beby, kamu ngapain melamun di toilet?” suara Mona memecah kesunyian. Ia menatap dengan heran pada kekasihnya. Aksa tersadar, menggenggam tangan kekasihnya erat, membawanya keluar dari kamar mandi—bersama luka yang tak mudah sembuh, tapi harus tetap dilawan. Tangis Quensa pecah menghancurkan keheningan di dalam mobil mini Cooper itu. Ia tak mampu menahan gelombang perih yang bergulung dalam dadanya setelah perlakuan kejam Aksara di kamar mandi. Wajah pria dingin itu seolah terukir dalam ingatannya, penuh dingin dan tanpa ampun. “Bagaimana kalau dia tahu aku hamil? Apa dia akan menghancurkan aku tanpa sisa?” suaranya serak, nyaris putus di tengah tangis. “Aaahhh... Kenapa semua ini harus sekejam ini? Kenapa justru jadi berantakan seperti neraka?” jeritnya penuh amarah sekaligus putus asa, air mata terus mengalir tanpa henti. “Kau itu bukan manusia, Aksara... Kau monster!” ujar Quensa dengan suara pecah, menyumpahi pria yang telah merobek hatinya. Sore itu, setelah pulang dari kafe, Quensa terbaring lemah di ranjang, tubuhnya yang penuh luka menahan setiap detik siksaan yang baru saja dialaminya. Nino, dengan wajah penuh kekhawatiran, mendekat dan bertanya lembut, “Kenapa kamu sakit, Quensa?” “Aku nggak enak badan, Papa. Makan duluan, ya,” jawabnya dalam bisikan, menutupi tangis yang tersisa dengan selimut yang menggulung erat tubuhnya. Namun di balik tutur lembut itu, jiwa Quensa retak, bergulat dalam luka yang jauh lebih dalam dari sekadar rasa sakit fisik. Nino berbalik hendak pergi, tapi matanya tertumbuk pada sebuah tas kecil milik Quensa yang tertinggal. Di dalamnya, beberapa botol obat berceceran, dan di antara barang-barang itu, sebuah foto USG menempel menohok di hati Nino. Jantungnya berdetak seakan hendak pecah. "Quensa...!" Suaranya menggema, bergetar penuh amarah dan kecewa. Quensa yang tadinya bersembunyi di balik selimut perlahan keluar, tubuhnya gemetar. "Pah... aku sudah bilang... Papa makan duluan, saja..." ucapnya ketakutan, mencoba menghindar dari badai kemarahan sang ayah. "Ini, Ini jelaskan pada papa! Siapa yang menghamilimu?!" dentum suara Nino menghancurkan keheningan. Quensa terpaku, air matanya menggenang. "Pa...pah, aku..." suaranya tercekat, tak sanggup berkata-kata. Nino menggenggam erat foto itu, nadanya berubah menjadi ledakan penuh tanya dan amarah. "Siapa, Quensa Vallery Tzana? Jawab!" Rasa sakit menyayat dada Quensa saat nama ibunya disebut kasar, mengingat sosok yang hilang dan cerita-cerita lama yang menyisakan luka. "Kamu batalkan kuliah di Aussie. Katakan siapa yang telah merusak hidupmu!" ancam Nino, matanya tajam seperti pisaumu. Quensa menunduk, suaranya lirih tapi teguh, "Pah, aku mau kuliah di Aussie. Aku bisa urus sendiri." Nino melotot, suaranya penuh sindiran dan kekecewaan. "Mau apa di sana? Ternak anak kamu?" Perdebatan itu membara, penuh luka dan harapan yang terpaut rapuh di antara mereka. Dunia mereka seolah runtuh dalam satu malam penuh gejolak. "Quensa kamu pikir hamil tanpa suami mudah,hah? apa lagi kuliah, percuma hanya menghambur-hamburkan uang saja. Lebih baik katakan siapa ayah dari anak itu dan lebih baik kamu menikah saja." Quensa berubah panik,"Pah aku tidak mau menikah...." "Terus kamu mau membuat aib keluarga?" "Pah, aku bisa mengatasi sendiri dan mengenai kehamilan ku, aku tidak tahu ayah anak ini."jawab Quensa menunduk sambil menangis. Nino memijat pelipisnya kepalanya mendadak sakit,"kalau kamu tidak tahu lalu bagaimana bisa kamu hamil, anak bodoh!"teriaknya frustasi. "Aku mabuk dan tidak ingat, waktu party perpisahan."cicit Quensa menunduk lesu. "Dimana hotelnya?"Kaiden dan Quensa sudah duduk di sebuah restoran mewah, tempat mereka akan bertemu klien. “Istri Tuan Kaiden sangat cantik,” puji Klein dengan tatapan yang tak bisa disembunyikan dari Quensa. Kaiden menatap istrinya dengan segenap kekesalan yang dipendam rapi di balik wibawa. “Terima kasih. Boleh kita mulai pembahasan kerja sama ini?” suara Kaiden datar, tapi napasnya berat. Sejak tadi, Klein terus melirik Quensa dengan cara yang membuat suasana jadi panas dan menusuk. Klein menjawab sambil tak melepas pandang dari Quensa, “Tentu saja. Ini kerja sama pertama dengan Tuan Kaiden langsung, meski saya sudah pernah bekerja sama dengan orang tua Anda. Tapi kita harus saling mengenal lebih dalam dulu, agar kerja sama kita ke depan berjalan lancar.” Tatapan Klein yang tak pernah lepas dari Quensa membuat Kaiden semakin geram. Namun, ia menekan amarah demi profesionalitas. Perlahan, Kaiden meraih tangan Quensa, menggenggamnya erat sebagai penegas batas tak terlihat, lalu dengan halus
Kaiden diam saja, tak menjawab. Dengan gerakan pelan namun pasti, ia menarik selimut tebal, menaikkannya hingga menutupi seluruh tubuh Quensa. “Om...?” suara Quensa melemah, tangannya ragu-ragu meraih tangan Kaiden untuk menahan. Getarannya terasa begitu halus, penuh harap. Kaiden menghela napas panjang, matanya samar-samar menatap jauh. Perlahan, dengan kelembutan yang seakan menyembunyikan amarah, ia melepaskan genggaman Quensa, lalu berbalik pergi tanpa sepatah kata penjelasan. Tubuh Quensa gemetar hebat, tangisnya pecah sembari menatap punggung Kaiden yang kini tertutup pintu kamar, meninggalkannya dalam keheningan yang menusuk hati. Dari balik pintu, tinju Carel mengepal dengan kekuatan yang hampir memecahkan dinding. Dia melangkah maju, tatapannya membara saat melihat kamar itu kosong tanpa Kaiden. Suaranya pecah, menorehkan ancaman yang menggema di ruang sempit itu, “Jangan pernah melangkahi batas dan jangan sekali-kali ingkari janji yang sudah kita buat.” Quensa ters
Mobil melaju pelan memasuki area perusahaan. Kaiden membuka pintu dan menuruni mobil, tatapannya langsung tertuju pada sosok Quensa yang duduk kaku, wajahnya dingin tanpa ekspresi. "Kamu mau ikut ke kantor?" tawarnya, suaranya mengandung keinginan tapi juga sabar yang mulai menipis. Quensa menatap balik, suara dinginnya menusuk, "Apa Mama suruh aku ikut?" Sekilas, Kaiden memalingkan wajah, napasnya berat menahan frustasi yang merayapi hatinya. Tapi hanya dalam hitungan detik, matanya kembali mengunci pada Quensa. "Enggak. Tapi kalau kamu mau, turun aja." Quensa menyingkirkan sedikit lipatan bajunya, pandangannya tajam tapi terdengar dingin, "Terima kasih, Om. Aku pengen pulang." Kaiden menghela napas panjang, berusaha menahan gelombang emosi karena hari ini ada rapat penting yang tak boleh dia lewatkan. Ia merunduk, tangan lembutnya menyentuh perut bulat Quensa. "Daddy harus kerja dulu, jangan rewel di perut Mommy. Daddy janji, nanti akan pulang cepat." Jari-jarinya mengelus per
Setelah sarapan yang terasa begitu hambar, Quensa bangkit dari duduknya. Ia meraih coat berwarna cokelat dan mantel senada dari lemari. Udara New York di musim gugur memang cukup menusuk tulang. Ia ingin merasakan pagi di kota impiannya, meski hanya seorang diri.Langkah Quensa membawanya ke Central Park. Daun-daun berguguran dengan warna-warni yang memukau. Pemandangan yang seharusnya indah itu justru membuat hatinya semakin pilu. Ia mengamati pasangan-pasangan yang berjalan bergandengan tangan, tertawa bersama. Pemandangan yang sangat kontras dengan kehidupannya."Sayang, setidaknya kita bisa tinggal di negara impian mommy...." gumam Quensa sambil mengelus perutnya yang sudah membesar. Usia kandungannya sudah memasuki bulan ketujuh. Kehadiran sang buah hati seharusnya menjadi pelipur lara, namun bayangan Kaiden selalu menghantuinya dan membuat hatinya terasa sesak. Bagaimana tidak, Quensa sudah jatuh hati pada pria tampan dan dia sudah sangat percaya diri kalau Kaiden pun memiliki p
Berbeda dengan Kaiden yang tetap tenang tanpa secuil pun tanda keterkejutan menghiasi wajahnya, Carel justru melonjak penuh semangat, duduk manis di pangkuan Kaiden dengan senyum manja yang memekakkan telinga. "Honey... Akhirnya kita akan tinggal bersama juga..." suaranya mengalun penuh keyakinan, seolah dunia hanya milik mereka berdua. "Tinggal bersama...." Quensa mengerutkan dahinya, rasa jijik menyusup tanpa bisa disembunyikan. Matanya membulat penuh pertanyaan saat menatap Kaiden, mencari jawaban atas kata-kata yang nyaris menghancurkan harapannya. Namun Kaiden tetap membeku dalam diam, wajahnya datar, bagai batu tak bergerak. "Iya, aku akan tinggal di sini. Ini sudah jadi kesepakatan kita, kan, honey?" Carel menatap Kaiden dengan ekspresi manja. Kaiden hanya menghembuskan nafas pendek, "Hem," jawabnya singkat, dingin. Quensa tak sanggup bertahan lebih lama. Dia bangkit dengan langkah berat, menelan kepahitan yang merayap ke hatinya, lalu menghilang masuk kamar. Di sisi
Teriakan Mama Rosa memecah keheningan, matanya membelalak saat melihat keberanian anaknya mencium Quensa di depan maid yang sama-sama terperangah. Kaiden perlahan melepaskan cumbuan, lalu mengusap lembut bibir Quensa yang masih bengkak, bekas ciuman yang terus dia ulang sejak kemarin. "Sudah, kita lanjut sarapan... Kai, nanti setelah sarapan kamu bisa lanjut lagi," potong Pak Damian, mencoba menenangkan keributan yang merebak. Suasana meja makan berubah hangat, sesekali suara Mama Rosa mengisi udara dengan ocehannya. "Kai, mulai sekarang jangan terlalu gila dalam urusan bisnis. Ingat, rumah tanggamu bukan hanya soal kerja, tapi juga soal menjaga kebahagiaan bersama mantu Mama. Ajak dia jalan-jalan, belanja, jangan hanya tenggelam dalam angka dan target saja ingat itu." Suaranya penuh kekhawatiran, campur sayang sekaligus cemas pada anak satu-satunya itu yang baru saja menikah di usia yang sudah tak muda lagi. Kaiden membalas dengan wajah dingin, tanpa sepatah kata berlebih, "Ti







