Share

Keributan di Rumah Ibu Mertua

Maaf, Aku Pantang Cerai! (8)

Waktu pulang dari kantor Wisnu, saat berada gak jauh dari rumah mertuanya. Alea pura-pura terkejut melihat kerumunan di depan rumah mertuanya.

"Mas ada apa di rumah ibumu? Lihat! Banyak warga berdatangan ke sana. Cepat, mas! Siapa tau terjadi sesuatu pada ibu."

Aku meminta mas Wisnu melajukan mobil menuju ke rumah ibunya setelah urusan di kantornya telah selesai. Wajah suamiku terlihat sangat gugup mendengar ucapanku.

"Wajahmu kenapa begitu, Mas? Apa ada yang kau tutupi dariku?"

Mas Wisnu terlihat buru-buru mengelengkan kepala. Sepertinya, dia takut aku mengetahui rahasianya.

"Sudahlah, aku turun di sini saja. Kau cari tempat parkir, Mas. Jangan sampai mobil ini lecet karena baru lunas."

Meski mobil belum berhenti dengan sempurna, aku langsung lompat keluar. Bukan karena mencemaskan ibu mertua, tapi aku tak sabar untuk melihat kejadian di depan sana.

"Dasar lonte sialan, berani sekali kau mengoda suamiku!"

Plak! Plak! Plak!

Aku meringis sembari memegangi pipi. Wanita itu yang di tampar, tapi aku ikut merasa perihnya.

"Sudah cukup, Suri. Dia wanita baik-baik, tak mungkin mengoda suamimu yang pengangguran itu. Cukup! Lepaskan rambutnya sekarang! Kalau tidak, aku akan menghajarmu."

Plak!

Kali ini, ibu mertua yang mendapat tamparan dari wanita bertubuh tambun itu. Terlihat, ibu menyeka sudut bibirnya yang berdarah, tapi Bu Suri tetangga depan rumah ibu itu belum selesai. Dia kembali memukuli dan menarik rambut wanita yang akan ibu jadikan menantu, aku tersenyum melihat wajahnya yang sudah babak belur.

"Mas, tolong aku! Wanita gila itu memukuli aku dan juga memukul ibu. Pasti, ada orang yang menyuruhnya," ucap wanita pilihan ibu mas wisnu pada suamiku. Kemudian, dia melihat ke arahku dan berteriak kesetanan, " Dia! Pasti, dia yang menyuruh wanita gila itu untuk memukulku, mas!"

Wanita itu menuduhku lalu menghina Bu Suri. Jelas, membuat wanita gemuk itu semakin marah. Bu Suri melihatku lalu meminta untuk tidak ikut campur. Sedangkan mas Wisnu, terlihat kikuk saat aku pandangi.

"Jangan ikut campur, Al. Biar ibu yang mengurus jalang kecil ini. Selain mengoda suamiku, dia juga mau mengoda suamimu ternyata. Hai jalang, lepaskan Wisnu--dia juga suami orang," ucap Bu Suri terlihat muak.

Kembali kedua wanita itu saling jambak dan saling pukul. Ibu tak mau tinggal diam, dia ikut membantu calon menantunya.

"Jangan ikut campur, Wisnu Sukardi. Jelaskan apa hubunganmu dengan wanita itu? Ingat, jawabanmu akan menentukan masa depan yang telah kau perjuangkan selama ini. Kalau ternyata kau sudah menikahinya, maka bersiaplah aku hancurkan." Ucapanku menghentikan Mas Wisnu yang terlihat ingin melerai mereka semua.

Kini, Mas Wisnu tak berani bersuara. Dia terlihat berpikir, namun sebelum dia menjawab, ibunya sudah jatuh terkapar di tanah.

"Ibu!" Semua orang terkejut mendengar teriakan Mas Wisnu. Namun, tak ada yang berusaha membantu pria itu untuk menolong ibunya. Bersusah payah dia mengangkat ibunya dan membawanya masuk ke rumah.

"Alea, tolong ambilkan air minum buat ibu. Cepat! Dia sudah mau pingsan."

Aku menatap wajah ibu yang terlihat pucat, tapi sayang aku tak merasa iba sama sekali. Aku memilih berbalik pergi menuju ke rumahku.

"Maaf, bukan urusanku. Bukankah, ada wanita itu yang bisa melayaninya? Aku capek, Mas. Aku mau istirahat. Setelah selesai, kau lekas pulang. Mas, kau berhutang penjelasan padaku."

Mas Wisnu terpaku menatap kepergianku. Dia bahkan tak bersuara saat aku mengambil kunci mobil dari kantong bajunya. Aku rasa dia tak membutuhkan mobilnya. Kalau perlu mobil, ada kok punya perempuan itu.

"Menantu sialan, kau pasti senang melihat semua ini! Aku yakin kau pelaku yang membuat masalah ini terjadi," teriak wanita tua yang katanya hampir pingsan tadi.

Aku menghentikan langkah lalu kembali menatap ibu mas Wisnu. Dalam keadaan begini, masih bisa dia menuduh? Yah, walau tuduhannya memang benar sih.

"Aku senang ibu bisa menebaknya dengan benar. Sayangnya, ibu tak tau, bagaimana hidup kalian jika tanpa aku, kan? Sekarang saja, Ibu sampai kehilangan akal untuk memisahkan aku dan mas Wisnu. Jika begitu penasaran dengan rasanya, mungkin bisa mulai menikahkan mas Wisnu sekarang juga dengan wanita pilihan ibu, maka aku pastikan ibu akan kembali menjadi tukang cuci baju keliling."

"Cukup Alea!" Mas Wisnu berteriak, namun dia segera menunduk begitu aku menatap wajahnya. Berani juga dia berteriak? Sudah punya nyali rupanya?

"Apa kau ingin membuktikan kebenaran ucapanku, Mas? Agar, kau dan ibumu bisa berpikir dulu sebelum bertindak?" Tanpa sadar, mataku berkaca-kaca.

Mas Wisnu terkejut. Dia seketika mengelengkan kepala, sedangkan ibunya terlihat sangat marah pada anak lelakinya.

"Kau jangan menjadi pria bodoh, Nu. Bisa-bisanya, kau takut pada istri bodohmu itu? Ceraikan dia sekarang! Bukankah rumah dan mobil itu atas namamu? Ibu ingin tau apa yang bisa dia lakukan, selain jual diri jika berpisah denganmu."

Aku kembali melangkah mendekati mas Wisnu. Sepertinya, dia butuh dukungan dariku untuk mengikuti permintaan ibunya. Dia harus lihat wajah sebenarnya dari ibu yang dikasihinya itu.

"Bagaimana, Mas? Sudah siap kehilangan segalanya, termasuk aku?"

Mas Wisnu diam. Dia mengelengkan kepala lagi lalu membawaku pergi. Sedang ibunya, dia titipkan pada wanita itu.

"Mas, ibu sedang sakit. Bisa-bisanya kau memilih pergi bersama istrimu, apa kau tak kasihan pada ibu Mas?" pancingku lagi.

Aku menatap mas Wisnu. Entah apa yang dia pikirkan, hanya saja wajahnya terlihat datar, hingga aku tak bisa menebaknya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status