Share

Pembalasan Dimulai

Maaf, Aku Pantang Cerai! (5)

Ting!

Aku membuka pesan dari Hani. Dia mengirim beberapa foto dan video, aku menarik napas setelah membuka file yang baru aku unduh. Sedetail ini, wanita itu mencari tau.

[Kau yakin acaranya bulan depan, Han?]

Aku bertanya pada Hani. Karena sejak pulang dari luar kota hari itu, Mas Wisnu tak melakukan hal yang mencurigakan. Dia bersikap biasa saja, begitu juga dengan ibu mertua masih judes tak tentu arah.

[Yakin, Bu. Informasi ini langsung dari mulut ibu gadis itu. Mereka bangga punya menantu sempurna seperti pak Wisnu. Mereka sudah koar-koar keliling kampung.]

Ternyata, calon menantu baru ini serasi dengan ibu mertua. Pantas, dia berkeras menikahkan mas Wisnu dengan gadis itu.

[Soal pekerjaan? Apa kau yakin juga? Karena dia kan mahasiswi.]

Lagi-lagi aku menarik napas panjang, saat membaca kalau orang suruhan Hani sudah menyelidikinya.

"Apa gadis seperti ini yang ibu pilihkan untukmu, Mas? Apa kau sudah menyentuhnya juga?" ujarku lirih. "Apa yang harus aku lakukan kalau sudah begini? Sudah berubahkah dirimu Mas? Hingga sanggup menyentuh gadis yang masih haram bagimu?"

Aku berlari menuju ke kamar mandi. Memuntahkan rasa mual di perutku, mual karena memikirkan aku berbagi peluh dengan mas Wisnu, setelah membayangkan pria itu menikmati tubuh si jalang itu.

"Kenapa lagi kau? Pura-pura sakit? Kau pasti ingin Wisnu kasihan padamu, kan? Mimpi saja terus karena sebentar lagi kau akan dibuang! Dasar perempuan miskin dan tak berguna! Wanita sepertimu, memang harus rela disingkirkan."

Aku menatap wanita yang sudah berumur itu yang tiba-tiba datang ke rumahku. Entahlah apa yang terjadi padanya? Selama menikah dengan mas Wisnu, hanya sebulan saja dia baik padaku. Sisanya? Hanya kebencian yang dia tunjukkan padaku.

"Ibu terlalu percaya diri. Kalau begitu, mari bertaruh Bu. Siapa di antara kita yang akhirnya hancur? Ibu, aku, atau justru anak kandung ibu? Kali ini, tak hanya urusan aku dan mas Wisnu. Aku juga akan memberi kejutan pada ibu tentang Citra."

Plak!

Aku tersenyum setelah mendapat tamparan dari ibu mertua. Kali ini, kubiarkan dia puas dulu. Setelah itu, aku akan menamparnya tanpa menyentuh.

"Kurang ajar, kau! Dasar anak sialan! Pantas saja kau terbuang di panti asuhan."

Deg!

Akhirnya, wanita ini mengusik asal-usulku.

Baiklah, kali ini aku akan melawan, hingga tetes darah penghabisan! Aku tak bisa mempertahankan mas Wisnu yang sudah tak jujur padaku. Aku siap kehilangannya.

*****

"Kalian tau apa yang harus dilakukan? Buat dia malu. Jika berkeras juga, biar aku turun tangan langsung."

Aku menatap ketiga temanku. Teman yang sudah sangat gemas dengan calon istri kedua mas Wisnu dan mertuaku.

Para sahabatku memang cantik dan lemah-lembut, tapi lihat saat menghajar pelakor. Aku jadi tak sabar menunggu laporan mereka.

"Kau tenang saja, Al. serahkan pada kami. Sayang sekali, Sela tak ikut hari ini. Kau tangungjawab kalau dia merajuk, ya?"

Mimi dan kedua temannya tertawa. Selain kenal denganku mereka juga kenal dengan Sela, aku rasa Sela tak akan marah karena dia akan mendapat bagian pada acara puncak nanti.

"Tenang saja! Bagian Sela, nanti acara puncak. Dia akan menjadi monster ketika menghadapi Wisnu dan menantu kesayangan ibunya. Kalian bereskan saja bagian kalian, ingat rekam dan kirim padaku."

Aku segera pamitan untuk pulang. Pembalasan ini pasti menyenangkan. Apalagi, tanpa bekerja sediri, aku bisa melihat wanita itu menangis darah.

****

"Apa maksud ibu? Aku tak mungkin pergi lagi. Alea dan Erlangga bisa curiga, dan itu tak boleh terjadi karena sangat bahaya bagi pekerjaanku."

Aku pura-pura menyibukkan diri di dapur. Sembari memasang kuping untuk mendengarkan pembicaraan mas Wisnu dengan ibunya.

"Tak mungkin Alea terlibat, Bu. Dia selalu berada di rumah. Kalau Alea sudah tau rencana kita, dia tak akan setenang ini tentu dia sudah menghubungi Erlangga."

Aku kembali menyibukkan diri ketika mas Wisnu terlihat mematikan panggilan pada ibunya. Pria itu mendekat, namun aku pura-pura tak tau.

"Dek, kira-kira boleh tidak kalau aku pergi keluar kota sehari saja?"

Aku pura-pura terkejut mendengar pertanyaan mas Wisnu. Dia pikir aku akan melepasnya, untuk menenangkan wanita itu? Cih, tak mungkin!

"Memangnya mau ke mana? Aku rasa Erlangga atau stafnya tak ada yang memberitahuku kalau kau akan ada tugas lagi keluar kota, kecuali kau ada urusan lain di sana. Katakan, ada urusan apa, Mas? Mungkin, aku bisa bantu?"

Aku hampir terpingkal-pingkal saat melihat wajah panik mas Wisnu. Dia pikir masih bisa membohongi aku?

"Tak ada urusan apa-apa Dek. Hanya saja, anak Marni ada yang masuk rumah sakit," bohong Mas Wisnu.

"Memangnya, urusanmu apa, Mas? Sampai-sampai ... kau harus pergi ke sana." Aku memasang wajah bingung.

Mas Wisnu semakin panik dan aku suka melihatnya. Entah apa lagi yang akan dia pikirkan agar aku izinkan pergi.

"Kalau begitu, pinjami saja mobilmu, Alea. Supaya ibu bisa pergi sendiri."

"Kenapa harus mobilku? Kan, ada mobilmu?"

Wajah Mas Wisnu kini begitu pucat. Lihat saja, Mas! Aku tak akan biarkan kamu pergi, karena aku ingin wanita itu sadar kalau kamu sudah beristri.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status