Mag-log inHanif pulang ke hotel yang tidak jauh dari rumah Laila. Kakinya berjalan lesu ke arah pintu kamar. Setelah berada di kamar, dia duduk di kasur memandang ke arah jendela. Menyajikan panorama malam yang sangat indah. Bertolak belakang dengan suasana hatinya malam ini.
"Nur, maafkan Mas. Mas harap kamu mau mengerti keadaan Mas. Mas tidak akan pernah bisa bertemu kamu kalau tidak ada Arif. Apapun yang terjadi, Mas tidak mau kehilangan kamu. Kamu bagian terpenting dalam hidup Mas," gumam Hanif memikirkan keadaan Nur. Hanif sepintas membayangkan hubungannya dengan Nur selama ini. Hubungan mereka dibilang cukup baik. Jarang sekali ada perselisihan pendapat. Hanif memutuskan untuk mandi dulu sebelum tidur. Sekalian menenangkan pikiran yang masih kusut. Setelah mandi dia segera menghadap Ilahi. Memohon petunjuk dan minta dimudahkan segala urusannya. *** Pada keesokan harinya, Hanif menemui Laila sesuai dengan janjinya. Dia harus bicara langsung kepada Laila. Dia tidak mau terlalu lama meninggalkan Nur. Semakin melihat b wajah Nur akan semakin baik. "Assalamualaikum," ucap Hanif memberi salam. "Waalaikumsalam," sahut orang yang berada di rumah Laila. "Oh, Bapak yang semalam. Ayo masuk," ucap ibu itu masih mengenal wajah Hanif. "Iya Bu. Apa Laila ada Bu?" tanya Hanif dengan sopan. "Ada, tunggu sebentar. Akan saya panggilkan dulu. Ayo duduk dulu," ujarnya mempersilahkan Hanif duduk. Hanif duduk di sofa menunggu tetangga tadi memanggil Laila. Sambil menunggu, dia melihat sekilas keadaan rumah Arif yang cukup sederhana. Ciri khas dari Arif yang tidak suka terlalu mewah. "Mas Hanif," ujar Laila. Laila segera ke ruang tamu saat tetangga bilang Hanif datang. Tadi dia masih duduk merenung di dalam kamar. Hanif berdiri kembali. Menghormati kedatangan pemilik rumah. "Laila, apa kita bisa bicara?" tanya Hanif. "Bicara tentang apa Mas?" "Bagaimana kalau kita duduk dulu," tawarin Hanif supaya lebih nyaman. "Oh, maaf Mas Hanif. Silahkan duduk," sahut Laila. Laila sebagai tuan rumah jadi tidak enak. Dia tidak mempersilahkan tamu untuk duduk. Setelah Hanif duduk, Laila juga ikut duduk. "Laila, sebelumnya saya minta Maaf. Saya tahu kalau kamu masih berkabung, tapi masalah ini harus segera diluruskan. Masalah tentang permintaan Arif," ujar Hanif membuka suara. Laila membenarkan apa yang dikatakan Hanif. Masalah itu harus segera dibahas. Dia sudah terlanjur berjanji kepada Arif sebelum pergi. Jadi dia sudah siap menjalankan janji itu nanti setelah masa iddahnya selesai. Laila percaya dengan pilihan almarhum suami. Suaminya mengusahakan yang terbaik untuk dia. Jika Hanif adalah pilihan terbaik, dia akan berusaha menerima Hanif sebagai calon suaminya kelak. "Jadi, apa yang Mas Hanif ingin bicarakan?" "Jadi kamu tidak keberatan kalau menikah dengan saya setelah masa iddah kamu selesai?" "Iya Mas. Ini adalah janji yang saya buat dengan almarhum suami saya. Saya akan berusaha menerima kehadiran Mas Hanif," sahut Laila dengan yakin. "Saya juga ingin menjalankan janji saya dengan Arif. Tapi, ada satu hal yang harus saya ceritakan terlebih dahulu kepada kamu Laila," kata Hanif meremas kedua tangan yang mengepal. Hanif dari tadi duduk dengan kedua tangan yang saling bertautan. Kebiasaan kalau dia sedang gugup atau gelisah. "Apa itu Mas?" tanya Laila penasaran. "Maaf, saya tahu, ini mungkin cukup berat untuk kamu ketahui. Sebenarnya ini juga berat untuk saya. Saya tetap ingin mengabulkan permintaan terakhir Arif untuk menikah dengan kamu." "Iya Mas, saya mengerti," jawab Laila paham. "Tapi sebelum itu, saya ingin bilang kalau saya sudah menikah dan masih mempunyai istri," kata Hanif tidak mau menutupi tentang Nur. "Apa? Mas Hanif sudah menikah?" tanya Laila terkejut. Laila tidak pernah membayangkan kalau Hanif sudah menikah. Dia mengira kalau Hanif masih single atau duda. 'Tentu saja mas Hanif sudah memiliki istri. Dia pria dewasa dan juga sudah mapan. Tapi kenapa dia mau menerima permintaan mas Arif. Terus bagaimana dengan istrinya mas Hanif,' batin Laila dilema. Sekarang Laila jadi berpikir lagi untuk memenuhi permintaan Arif. Dia tidak mau menjadi orang ketiga dalam hubungan rumah tangga orang. Mereka sama-sama perempuan. Tidak ada perempuan yang suka melihat suaminya menikah lagi. "Saya berencana untuk sementara ingin mendekatkan kamu dengan istri saya terlebih dulu sambil menunggu masa iddah kamu. Setelah kalian berdua akrab, baru saya akan bercerita kepada istri saya," terang Hanif. "Mas Hanif ingin merahasiakan ini dari istri Mas?" tanya Laila terluka. "Iya," sahut Hanif menunduk. Laila ikut terluka mendengar jawaban Hanif. Dia bisa memposis diri sebagai istri Hanif. "Mas Hanif, apa Mas tahu bagaimana hancurnya hati istri Mas Hanif saat mengetahui kalau Mas Hanif ingin menikah lagi. Apa Mas bisa membayangkan itu?" tanya Laila sedikit marah. "Saya tahu ini berat. Saya yakin kita bisa menjalani ini semuanya dengan baik." "Mas Hanif, tidak ada satu orang perempuan pun di dunia ini yang mau di madu. Istri yang menerima suaminya menikah lagi itu karena keterpaksaan, bukan ikhlas. Mereka tidak mempunyai pilihan lain. Hanya segelintir orang saja yang rela dimadu. Sebaiknya Mas lupakan saja permintaan dari mas Arif. Saya sudah berubah pikiran," putus Laila. Laila tidak mau bersikap gegabah. Demi melindungi diri sendiri, dia harus menyaksikan orang lain terluka. Itu bukan gayanya. Lebih baik dia hidup kesusahan daripada membuat orang lain kesusahan. "Tidak Laila. Saya tidak akan mengingkari janji saya. Tolong berikan saya waktu untuk menjelaskan kepada istri saya. Saya ingin menjaga kamu," mohon Hanif ingin menjalankan amanat dari Arif. "Maaf Mas, saya menolaknya. Mas Hanif bisa menjaga saya tanpa perlu menikahi saya." "Saya tidak mau timbul fitnah di antara kita. Bagaimana seorang laki-laki menjaga seorang istri yang ditinggalkan suaminya. Saya ingin menjaga kehormatan kamu juga. Apa kamu tidak mau menjalankan permintaan terakhir Arif begitu saja?" Laila sangat ingin memenuhi permintaan terakhir dari suaminya. Namun dia tidak ingin merusak rumah tangga orang lain. Apalagi orang sebaik Hanif dan istrinya. "Laila, saya yakin, istri saya suatu saat pasti bisa menerima kamu. Dia adalah orang yang baik. Jadi, tolong pertimbangkan ini lagi," mohon Hanif. "Baiklah, Laila mau menerima ini. Tapi dengan satu syarat." "Apa itu?" "Seandainya nanti istri Mas benar-benar tidak bisa menerima Laila, tolong pilih istri Mas. Laila akan berusaha sampai batas waktu kita menikah. Jika saat itu istri Mas tidak bisa menerima kehadiran saya, tolong lupakan masalah ini," pinta Laila. Laila hanya bisa mengusulkan ini. Jika dia beneran berjodoh dengan Hanif dan istrinya, nanti mereka akan ada jalan sendiri untuk bisa bersama. Setidaknya mereka sudah berusaha untuk mengabulkan permintaan terakhir Arif. "Baiklah," sahut Hanif terpaksa berbohong. Apapun yang terjadi Hanif akan tetap menjaga Laila. Dia juga akan berusaha untuk mempertahankan Nur. "Mas Hanif harus memegang janji." "Iya. Kalau begitu, dua minggu lagi saya akan menjemput kamu. Saya harus segera kembali ke kota," pamit Hanif. "Baik Mas." "Assalamualaikum," ucap Hanif memberi salam. "Waalaikumsalam," sahut Laila. Laila menatap kepergian Hanif. Dia tahu jalan yang sudah dipilih tidak baik. Dia hanya berdoa semoga kedepannya baik-baik saja. Mereka juga bisa menemukan kebahagiaan tersendiri. Bersambung …."Siapa yang telepon Bu? Mas Hanif? tanya Nur yang duduk di meja makan dengan tenang.Nur hanya melihat sang ibu sekilas saat suara telepon berbunyi. Lalu melanjutkan sarapan pagi yang sudah telat."Iya, suami kamu yang telepon," sahut Halimah dengan duduk di depan Nur."Mas Hanif bilang apa?" "Katanya dia akan ke sini. Ibu bilang agar dia datang nya siang saja.""Oh," sahut Nur singkat."Nur, bagaimana dengan keputusan kamu?" tanya Halimah perihal kemarin.Suapan makanan Nur terhenti di udara. Dia tidak meneruskan makan lagi. Makanan tersebut dia letakkan kembali ke piring."Nur juga bingung Bu. Apa yang harus Nur lakukan," sahut Nur menghela nafas berat. Apa "Kamu harus pikirkan baik-baik. Mana yang bagus untuk kalian berdua," sambung Burhan menuju ke dapur. Burhan pergi ke dapur mengambil minum. Tidak tahu kalau Nur masih di dapur. Setelah itu dia duduk bersama Halimah dan Nur."Bapak.""Bapak ada saran," ucap Burhan."Saran apa Pak?""Begini, coba kamu pikirkan kalau kamu ingin
Laila menyiapkan semua barang-barang miliknya ke dalam koper. Dia akan meninggalkan rumah Nur dan Hanif. Dia akan pindah ke rumah yang sudah dibeli oleh Arif yang pernah dikunjungi Nur.Laila sudah selesai mengemas semua barang-barang miliknya. Barang-barangnya tidak terlalu banyak. Hanya bertambah beberapa barang sejak dia tinggal di rumah itu. Rumah yang sudah membuatnya nyaman.Sekarang dia harus memulai hidupnya dari awal. Melepaskan diri dari Hanif dan Nur. Dia akan berfokus untuk mengembangkan restoran. Lambat laun dia bisa menata kembali hidupnya.Laila tinggal menunggu kepulangan Hanif untuk berpamitan. Sekalian Nur juga ikut pulang. Setelah itu dia bisa pergi dari sana dengan baik. Seperti saat dia menginjakkan kaki di rumah itu.***Hanif pulang ke rumah dengan keadaan acak-acakan. Baju sudah keluar dari celana, dasi entah kemana, rambut seperti tidak pernah disisir, ditambah hatinya yang ikut tidak baik. Hari ini adalah hari terburuk yang pernah ada dalam hidup Hanif. Dia
Hanif membuka pintu kamar. Nur masih saja berbaring telungkup dengan suara tangisan. Suara yang bisa didengar oleh Hanif."Nur," panggil Hanif berjalan mendekat ke arah Nur.Nur menoleh kepalanya ke arah Hanif. Lalu bangun dan duduk di tepi kasur."Untuk apa Mas ke sini lagi? Apa Mas belum cukup menyakiti Nur?" ujar Nur. "Nur, dengarkan Mas dulu," bujuk Hanif."Tidak ada yang perlu Mas jelaskan lagi. Semuanya sudah jelas," tolak Nur.Hanif berinisiatif menarik kursi meja rias. Lalu dia duduk berhadapan dengan Nur. Memudahkannya untuk melihat Nur dengan baik."Apa di hati Nur, Nur tidak percaya sama Mas. Apa selama ini Mas pernah berbohong sama Nur? Apa pernah Mas menyakiti Nur?""Mas tidak perlu mencari alasan. Pembohong tetap pembohong. Mungkin saja selama ini Mas juga berbohong sama Nur," kata Nur melihat ke arah lain. Tidak mau menatap ke arah Hanif."Sekarang mas akan cerita kenapa Mas melakukan ini. Setelah itu, apa kamu masih meragukan Mas."Hanif bercerita kepada Nur mulai ten
"Nur, apa yang terjadi sayang?" tanya Halimah duduk di pinggir kasur Nur. Sedangkan Burhan berdiri tidak jauh dari mereka.Nur telungkup di atas kasur dan bantal gulingnya. Air matanya sudah memenuhi pipi. Tangisan semakin pecah saat ditanya sang ibu.Nur bangkit dan memeluk ibunya dengan sangat erat. Menumpahkan rasa sakit yang ada di hati."Ibu," ucap Nur sedih. "Apa yang terjadi. Ibu dan Bapak tidak akan tahu kalau kamu hanya menangis seperti ini," bujuk Halimah mengelus punggung Nur."Bu, mas Hanif! Mas Hanif," ulang Nur. "Ada apa dengan Mas Hanif?"Halimah melirik ke arah Burhan. Mereka langsung berpikir yang tidak-tidak dengan perkataan Nur. Apa terjadi sesuatu sama Hanif."Mas Hanif mengkhianati Nur, Bu?""Maksud kamu apa Nak. Bagaimana Hanif mengkhianati kamu. Hubungan kalian kemarin baik-baik saja.""Bu, mereka ingin menikah.""Hanif mau nikah lagi?" sahut Burhan bertanya."Iya Pak.""Mereka siapa Nak?""Mereka mas Hanif dan Laila. Mas Hanif dan Laila sudah berencana akan m
Hanif pulang kerja seperti biasanya. Nur sudah menunggu Hanif sejak pulang dari kafe. Dia duduk tenang tanpa menjawab salam dari Hanif secara lisan."Sayang, kamu di sini? Tadi Mas kasih salam tidak ada jawaban. Kamu tidak dengar?" tanya Hanif duduk di samping NurNur menggeser duduk menjauh dari Hanif. Membuat Hanif mengernyit kening."Kamu kenapa Nur?" tanya Hanif heran."Mas, tolong jelaskan sama Nur. Kenapa Mas berbohong sama Nur," balas Nur mengabaikan pertanyaan Hanif."Apa maksud kamu Nur? Bohong apa? Mas tidak ngerti?" tanya Hanif bingung. "Mas, Nur sudah mengetahui semuanya. Nur sudah tahu rencana Mas Hanif. Yang ingin menikahi Laila," ujar Nur menguatkan diri.Nur menahan mati-matian agar tidak mengeluarkan air mata. Dia ingin tegar dan kuat.Hanif terkejut mendengar perkataan Nur. Hal yang dia takutkan akhirnya terjadi. Nur mengetahui rencana dia mau menikah Laila.'Ini pasti ulah Bisma. Bisma yang menceritakan semua ini kepada Nur.'"Nur, Mas bisa jelaskan," ucap Hanif."
Nur ingin pulang karena Laila tidak ada. Dia tidak jadi pergi jalan-jalan. Moodnya sudah hilang tidak ada Laila.Langkah Nur terhenti lantaran ada panggilan masuk. Tangannya segera mencari keberadaan handphone dalam tasnya. Kening Nur berkerut saat melihat dari nomor asing."Ini nomor siapa?" gumam Nur sejenak.Nur jarang mendapatkan telepon masuk dari nomor asing. Tanpa basa basi dia mengangkat telepon takut ada hal penting."Assalamu'alaikum," ucap Nur." Aku ingin bertemu dengan kamu," balas dari seberang panggilan. Nur menjauhkan telepon dari telinganya. Melihat panggilan masuk dari nomor asing tersebut. Suaranya juga sangat asing."Maaf, dengan siapa ya?" tanya Nur terlebih dahulu untuk mengetahui siapa yang meneleponnya. "Aku Bisma. Kita dulu pernah bertemu di mall saat bersama Laila," sahut Bisma.Nur memikirkan siapa itu Bisma. Setelah berpikir beberapa detik, dia teringat kembali. Lelaki yang pernah menyakiti Laila. Hanya dia yang Nur ingat. "Jangan-jangan kamu laki-laki y







