Mag-log inHanif membawa mobil dengan perasaan bersalah. Dia merasa bersalah kepada Nur. Dia sangat berharap kalau istrinya akan menerima kehadiran Laila. Mereka bisa hidup bertiga dalam sebuah naungan keluarga.
"Maafkan Mas, Nur." *** Nur pergi ke rumah sakit sendiri. Ibunya tidak bisa menemani memeriksa kandungannya lantaran ada kegiatan dengan para tetangga. "Maaf Bu, kondisi rahim bermasalah. Ibu akan kesulitan untuk hamil," terang dokter. "Apa maksud dokter, saya mandul?" Hati Nur terasa hancur. Bagaimana dia dinyatakan susah memiliki anak disaat dia dan Hanif ingin memiliki anak. Selama ini dia hanya beranggapan kalau mereka belum saatnya dikasih anak sama Allah. Dia hanya melakukan pemeriksaan biasa. "Maaf Bu, bukan mandul tapi peluang untuk memiliki anak yang kecil," koreksi dokter. "Itu sama saja Dokter. Sekarang apa yang bisa saya lakukan agar saya mempunyai anak, Dok," mohon Nur. "Maaf Bu, seharusnya saya menyarankan untuk melakukan pengobatan. Tapi, kondisi Ibu tidak mungkin melakukan pengobatan ini. Saya sarankan agar Ibu banyak berdoa. Semoga Allah memberikan kelebihan untuk Ibu." "Saya sudah berdoa di setiap doa, Dok. Saya sangat ingin mempunyai anak," ujar Nur tidak bisa membendung air mata. "Saya hanya bisa menyarankan agar Ibu mengadopsi anak." *** Nur pulang ke rumah dengan perasaan sangat campur aduk. Hati perempuan mana yang tidak akan hancur kalau dinyatakan susah memiliki anak. Seorang perempuan yang seutuhnya adalah seorang perempuan yang bisa merasakan bagaimana hamil dan melahirkan. "Nur, kamu kenapa sayang?" tanya Halimah menyambut kepulangan Nur. "Bu," ucap Nur dengan mata berkaca-kaca. "Ada apa sayang. Ayo cerita sama Ibu. Bagaimana hasil pemeriksaan kamu tadi?" tanya Halimah dengan lembut. "Bu, Nur dinyatakan tidak mandul. Nur akan susah mempunyai anak, Bu," ujar Nur tak bisa membendung air mata. Air mata Nur sudah tumpah. Air mata yang tidak sanggup dia tahan lagi. Sepanjang jalan dia berusaha untuk tidak menangis. Tapi sekali bercerita sama ibunya, emosinya langsung labil. "Apa maksud kamu Nur?" tanya Halimah terkejut. "Nur mandul Bu," ulang Nur. "Ya Allah sayang. Kenapa ini terjadi sama kamu Nak," kata Halimah ikut hancur mendengar hasil pemeriksaan dari rumah sakit. "Nur tidak tahu Bu. Nur tidak tahu. Sekarang Nur bukan perempuan yang sempurna," ujar Nur. Halimah segera membawa Nur ke dalam pelukannya. Nur butuh dukungan dari orang terdekatnya. "Jangan bilang seperti itu Nak. Bagi Ibu dan ayah, kamu adalah perempuan yang sangat sempurna," bantah Halimah tidak setuju dengan perkataan Nur. "Tapi bagaimana dengan mas Hanis. Mas Hanif pasti ingin mempunyai anak," ujar Nur sudah berpikiran kemana-mana. "Sayang, percayalah suami kamu dan Allah. Allah akan memberikan jalan yang terbaik untuk kalian berdua," bujuk Halimah. "Nur tidak mau kehilangan Hanif, Bu." "Sayang, Ibu yakin kamu tidak akan kehilangan Hanif. Hanif bukan pria seperti itu. Lebih baik kamu istirahat saja di kamar. Kamu tenangkan diri kamu ya." Halimah mengantar Nur ke dalam kamar. Setelah putrinya tidur, baru dia meninggalkan kamar. *** Di depan pintu kamar Burhan sudah menunggu Halimah. Dia baru saja pulang dan melihat Nur yang sedang menangis di bawa ke kamar. Dia sama sekali tidak tahu apa yang terjadi. Oleh karena itu, dia memutuskan menunggu Halimah keluar dari kamar Nur. "Ada apa Bu. Kenapa Nur menangis lagi?" tanya Burhan. "Kita duduk dulu ya Pak. Jangan bicara di sini. Takut mengganggu Nur," pinta Halimah melirik ke arah kamar Nur. "Baik Bu." *** "Jadi, apa yang terjadi?" tanya Burhan ulang. "Pak, anak kita … anak kita," ujar Halimah dengan berat. Halimah tidak kuat mengetahui kondisi putrinya. Andai saja dia bisa menanggung beban putrinya. Dia rela dan ikhlas menjalaninya. "Ada apa dengan putri kita, Bu. Jangan buat Bapak khawatir," ujar Burhan panik melihat reaksi Halimah. Burhan bisa merasakan suatu firasat buruk. Istri dan anaknya bersikap sangat aneh. "Pak, anak kita dinyatakan susah hamil. Nur beranggapan jika dia mandul, Pak," cerita Halimah dengan mata yang mulai basah. "Ya Allah," ucap Burhan memegang dada yang berdenyut. Burhan sangat terkejut mendengar Nur susah Hamil. "Jadi itu yang menyebab Nur menangis?" tanya Burhan dengan perasaan campur aduk. "Iya, Pak. Nur takut kalau Hanif akan meninggalkan dia." "Ibu tenang saja. Nanti biar Bapak yang akan cerita sama Hanif. Jika dia tidak bisa menerima anak kita lagi, maka biar kita yang menjaga anak kita Bu. Kita masih sanggup membahagiakan anak kita," ujar Burhan menguatkan diri atas apapun keputusan Hanif. Burhan tidak mau memaksakan Hanif tetap menerima Nur. Hanif berhak dan halal memiliki anak dari perempuan lain. Namun dia berharap agar Hanif bisa memutuskan yang terbaik. "Ibu nurut saja Pak. Mana yang bagus menurut Bapak." "Nanti kalau Hanif telepon atau datang ke sini, suruh temui Bapak dulu," pesan Burhan. *** Setelah dari tempat Laila, Hanif segera pulang ke rumah. Dia ingin memeluk Nur. Suasana rumah sangat sepi, tidak ada tanda-tanda keberadaan Nur. "Bi, Bibi," panggil Hanif kepada asisten rumah tangga. "Iya, Pak," sahut Bibi. "Bi, Ibu kemana?" "Ibu belum pulang dari kemarin Pak," sahut bibi. "Ya, sudah. Bibi bisa kerja lagi," ujar Hanif. "Baik, Pak." Hanif menatap kepergian Bibi. Dia memikirkan kemungkinan Nur berada. "Apa mungkin dia di rumah ibu dan bapak. Kemarin dia minta izin ke sana. Coba aku telepon dulu," gumam Hanif. Hanif berjalan ke arah sofa. Setelah itu dia mencari handphone di dalam saku jas dan langsung menelepon Nur. Hanif sudah beberapa kali mencoba menghubungi Nur. Sama sekali tidak ada balasan. "Kemana Nur. Apa dia lagi tidak pegang handphone. Coba aku telepon ibu saja," putus Hanif memilih menelepon Halimah. Hanif takut terjadi sesuatu sama Nur. Dia akan lebih tenang kalau sudah mendapatkan kabar tentang Nur. "Assalamu'alaikum Nak Hanif," sahut Halimah dari seberang telepon. "Wa'alaikumsalam Bu." "Ada apa Nak Hanif?" "Bu, apa Nur ada di rumah Ibu? Hanif sudah berapa kali telepon Nur. Sama sekali tidak ada balasan," terang Hanif. "Iya Nak Hanif, Nur ada disini. Dia sedang istirahat. Mungkin dia tidak dengar." "Baiklah." "Apa mau Ibu bangunkan?" "Tidak perlu Bu, biarkan Nur istirahat. Hanif akan segera kesana," larang Hanif. "Baiklah, hati-hati dijalan." "Assalamu'alaikum." "Wa'alaikumsalam." Hanif segera pergi ke kamar. Badannya sudah sangat lengket. Dia mandi dulu sebelum menjemput Nur. Setelah selesai mandi dan berganti pakaian, baru dua berangkat ke rumah mertua. Bersambung …."Siapa yang telepon Bu? Mas Hanif? tanya Nur yang duduk di meja makan dengan tenang.Nur hanya melihat sang ibu sekilas saat suara telepon berbunyi. Lalu melanjutkan sarapan pagi yang sudah telat."Iya, suami kamu yang telepon," sahut Halimah dengan duduk di depan Nur."Mas Hanif bilang apa?" "Katanya dia akan ke sini. Ibu bilang agar dia datang nya siang saja.""Oh," sahut Nur singkat."Nur, bagaimana dengan keputusan kamu?" tanya Halimah perihal kemarin.Suapan makanan Nur terhenti di udara. Dia tidak meneruskan makan lagi. Makanan tersebut dia letakkan kembali ke piring."Nur juga bingung Bu. Apa yang harus Nur lakukan," sahut Nur menghela nafas berat. Apa "Kamu harus pikirkan baik-baik. Mana yang bagus untuk kalian berdua," sambung Burhan menuju ke dapur. Burhan pergi ke dapur mengambil minum. Tidak tahu kalau Nur masih di dapur. Setelah itu dia duduk bersama Halimah dan Nur."Bapak.""Bapak ada saran," ucap Burhan."Saran apa Pak?""Begini, coba kamu pikirkan kalau kamu ingin
Laila menyiapkan semua barang-barang miliknya ke dalam koper. Dia akan meninggalkan rumah Nur dan Hanif. Dia akan pindah ke rumah yang sudah dibeli oleh Arif yang pernah dikunjungi Nur.Laila sudah selesai mengemas semua barang-barang miliknya. Barang-barangnya tidak terlalu banyak. Hanya bertambah beberapa barang sejak dia tinggal di rumah itu. Rumah yang sudah membuatnya nyaman.Sekarang dia harus memulai hidupnya dari awal. Melepaskan diri dari Hanif dan Nur. Dia akan berfokus untuk mengembangkan restoran. Lambat laun dia bisa menata kembali hidupnya.Laila tinggal menunggu kepulangan Hanif untuk berpamitan. Sekalian Nur juga ikut pulang. Setelah itu dia bisa pergi dari sana dengan baik. Seperti saat dia menginjakkan kaki di rumah itu.***Hanif pulang ke rumah dengan keadaan acak-acakan. Baju sudah keluar dari celana, dasi entah kemana, rambut seperti tidak pernah disisir, ditambah hatinya yang ikut tidak baik. Hari ini adalah hari terburuk yang pernah ada dalam hidup Hanif. Dia
Hanif membuka pintu kamar. Nur masih saja berbaring telungkup dengan suara tangisan. Suara yang bisa didengar oleh Hanif."Nur," panggil Hanif berjalan mendekat ke arah Nur.Nur menoleh kepalanya ke arah Hanif. Lalu bangun dan duduk di tepi kasur."Untuk apa Mas ke sini lagi? Apa Mas belum cukup menyakiti Nur?" ujar Nur. "Nur, dengarkan Mas dulu," bujuk Hanif."Tidak ada yang perlu Mas jelaskan lagi. Semuanya sudah jelas," tolak Nur.Hanif berinisiatif menarik kursi meja rias. Lalu dia duduk berhadapan dengan Nur. Memudahkannya untuk melihat Nur dengan baik."Apa di hati Nur, Nur tidak percaya sama Mas. Apa selama ini Mas pernah berbohong sama Nur? Apa pernah Mas menyakiti Nur?""Mas tidak perlu mencari alasan. Pembohong tetap pembohong. Mungkin saja selama ini Mas juga berbohong sama Nur," kata Nur melihat ke arah lain. Tidak mau menatap ke arah Hanif."Sekarang mas akan cerita kenapa Mas melakukan ini. Setelah itu, apa kamu masih meragukan Mas."Hanif bercerita kepada Nur mulai ten
"Nur, apa yang terjadi sayang?" tanya Halimah duduk di pinggir kasur Nur. Sedangkan Burhan berdiri tidak jauh dari mereka.Nur telungkup di atas kasur dan bantal gulingnya. Air matanya sudah memenuhi pipi. Tangisan semakin pecah saat ditanya sang ibu.Nur bangkit dan memeluk ibunya dengan sangat erat. Menumpahkan rasa sakit yang ada di hati."Ibu," ucap Nur sedih. "Apa yang terjadi. Ibu dan Bapak tidak akan tahu kalau kamu hanya menangis seperti ini," bujuk Halimah mengelus punggung Nur."Bu, mas Hanif! Mas Hanif," ulang Nur. "Ada apa dengan Mas Hanif?"Halimah melirik ke arah Burhan. Mereka langsung berpikir yang tidak-tidak dengan perkataan Nur. Apa terjadi sesuatu sama Hanif."Mas Hanif mengkhianati Nur, Bu?""Maksud kamu apa Nak. Bagaimana Hanif mengkhianati kamu. Hubungan kalian kemarin baik-baik saja.""Bu, mereka ingin menikah.""Hanif mau nikah lagi?" sahut Burhan bertanya."Iya Pak.""Mereka siapa Nak?""Mereka mas Hanif dan Laila. Mas Hanif dan Laila sudah berencana akan m
Hanif pulang kerja seperti biasanya. Nur sudah menunggu Hanif sejak pulang dari kafe. Dia duduk tenang tanpa menjawab salam dari Hanif secara lisan."Sayang, kamu di sini? Tadi Mas kasih salam tidak ada jawaban. Kamu tidak dengar?" tanya Hanif duduk di samping NurNur menggeser duduk menjauh dari Hanif. Membuat Hanif mengernyit kening."Kamu kenapa Nur?" tanya Hanif heran."Mas, tolong jelaskan sama Nur. Kenapa Mas berbohong sama Nur," balas Nur mengabaikan pertanyaan Hanif."Apa maksud kamu Nur? Bohong apa? Mas tidak ngerti?" tanya Hanif bingung. "Mas, Nur sudah mengetahui semuanya. Nur sudah tahu rencana Mas Hanif. Yang ingin menikahi Laila," ujar Nur menguatkan diri.Nur menahan mati-matian agar tidak mengeluarkan air mata. Dia ingin tegar dan kuat.Hanif terkejut mendengar perkataan Nur. Hal yang dia takutkan akhirnya terjadi. Nur mengetahui rencana dia mau menikah Laila.'Ini pasti ulah Bisma. Bisma yang menceritakan semua ini kepada Nur.'"Nur, Mas bisa jelaskan," ucap Hanif."
Nur ingin pulang karena Laila tidak ada. Dia tidak jadi pergi jalan-jalan. Moodnya sudah hilang tidak ada Laila.Langkah Nur terhenti lantaran ada panggilan masuk. Tangannya segera mencari keberadaan handphone dalam tasnya. Kening Nur berkerut saat melihat dari nomor asing."Ini nomor siapa?" gumam Nur sejenak.Nur jarang mendapatkan telepon masuk dari nomor asing. Tanpa basa basi dia mengangkat telepon takut ada hal penting."Assalamu'alaikum," ucap Nur." Aku ingin bertemu dengan kamu," balas dari seberang panggilan. Nur menjauhkan telepon dari telinganya. Melihat panggilan masuk dari nomor asing tersebut. Suaranya juga sangat asing."Maaf, dengan siapa ya?" tanya Nur terlebih dahulu untuk mengetahui siapa yang meneleponnya. "Aku Bisma. Kita dulu pernah bertemu di mall saat bersama Laila," sahut Bisma.Nur memikirkan siapa itu Bisma. Setelah berpikir beberapa detik, dia teringat kembali. Lelaki yang pernah menyakiti Laila. Hanya dia yang Nur ingat. "Jangan-jangan kamu laki-laki y







