"Kita masuk."
Kueratkan genggaman pada tangan Hilya saat istriku masih bergeming di depan pintu. Kuberikan keyakinan kalau semuanya akan baik-baik saja karena aku tetap berada di sampingnya. Aku tahu kegelisahan yang tengah ia rasakan. Tuduhan Mama Mirna dan tatapan tidak suka dari mertuaku itu menjadi salah satu alasan kenapa Hilya tidak betah di rumah ini. Untuk itu, demi kenyamanan istriku, aku akan segera mengambil tindakan untuk mencarikan rumah lain agar mereka tidak tinggal dalam satu atap."Ayok, Sayang--""Nak Agam, akhirnya pulang juga."Mama Mirna tiba-tiba muncul menghampiri dengan wajah yang terlihat semringah. Namun, senyumnya tidak bertahan lama saat matanya menangkap siapa yang berdiri di sebelahku, apa lagi arah pandangnya kini tertuju pada tangan kami yang saling bertaut."Bagaimana keadaan Safia?" tanyaku untuk mengalihkan perhatiannya."Sekarang sudah sadar. Mama membujuknya agar mau makan tapi dia tidak mau. Mungkin kalau Nak Agam yang membujuk, Safia akan menurut," terangnya seraya melirik sekilas ke arah Hilya. Sepertinya Mama Mirna sengaja ingin memanas-manasi istriku."Ya sudah, nanti Agam bujuk dia." Aku beralih ke arah Hilya. "Mau ikut Mas ke kamar Safia atau mau istirahat saja?" tanyaku lembut."Istirahat saja.""Ya sudah, ayok Mas antar ke kamar kamu dulu."Hilya mengangguk. Aku gandeng tangannya menuju kamar utama di lantai atas. Aku ingin memastikan Hilya baik-baik saja sebelum menemui Safia."Istirahatlah. Nanti Mas ke sini lagi setelah melihat keadaan Safia," ujarku saat kami sudah berada di dalam kamar.Kubantu Hilya untuk duduk di tepi ranjang, kemudian mengecup keningnya cukup lama sebelum keluar dari kamar ini untuk menemui Safia.Istri keduaku itu tengah duduk dengan tubuh yang bersandar pada kepala ranjang. Seulas senyum ia perlihatkan saat aku berjalan mendekatinya."Mas .... ""Kenapa bisa sampai pingsan?" tanyaku seraya duduk di pinggir ranjang dengan posisi menghadap ke arahnya."Tidak tahu. Tadi tiba-tiba saja kepalaku terasa pusing," jawabnya lemah."Tadi Mas sudah menelepon Dokter. Mungkin sebentar lagi akan sampai. Kamu makan dulu, ya. Mama bilang kamu tidak mau makan.""Aku enggak berselera," tolaknya."Fia, jangan seperti itu. Kamu baru saja pulih dan Mas tidak mau keadaan kamu akan kembali drop kalau makan saja tidak mau. Mas suapi saja, bagaimana?" tawarku.Safia tersenyum lalu mengangguk. Kuambil sepiring nasi yang sudah disiapkan di atas nakas. Kusuapi dia yang sepertinya terlihat senang. Wajahnya yang sendu berubah menjadi cerah saat aku dengan telaten memasukkan suapan demi suapan ke mulutnya."Mbak Hilya bagaimana, Mas? Apa sudah ada kabar?" tanyanya."Alhamdullillah, Mas sudah menemukan dia. Sekarang Hilya sedang beristirahat," jawabku seraya mengelap mulutnya menggunakan tisu."Alhamdullillah, akhirnya belahan jiwa Mas kembali lagi ke rumah ini."Aku hanya tersenyum menanggapi ucapannya. Tidak ingin menjawab perkataan Safia yang mungkin saja akan menyakiti hatinya. Mau bagaimana lagi? Pada kenyataannya memang Hilya adalah belahan jiwaku.Ketukan di pintu menyelamatkanku dari topik pembahasan tentang Hilya. Mama Mirna muncul memberitahu kalau Dokter yang aku panggil untuk memeriksa Safia sudah datang.Kubiarkan mereka masuk. Aku duduk di sofa saat Dokter sedang melakukan pemeriksaan."Bagaimana keadaan putri saya, Dok?" tanya Mama Mirna."Ibu Safia hanya kelelahan. Tolong dijaga asupan makanan juga jangan dibiarkan terlalu banyak pikiran.""Syukurlah kalau tidak ada penyakit yang mengkhawatirkan." Mama Mirna menarik napas lega, Aku pun begitu.Setelah Dokter keluar kamar dengan diantar Mama Mirna, aku kembali mendekati Safia yang kini sudah berbaring."Istirahatlah. Mas keluar dulu, ya, nanti ke sini lagi," ujarku sembari membenahi selimut yang menutupi tubuh Safia."Iya, Mas," jawabnya dengan senyum yang sangat kentara ia paksakan.Setelah mengecup keningnya, aku pun keluar, bermaksud menemui Mama Mirna karena ada yang harus kami bicarakan. Aku tidak ingin menunda-nunda. Karena kenyamanan istri-istriku harus aku utamakan.***"A-apa? Maksud Nak Agam, kami yang harus keluar dari rumah ini?"Mama Mirna terlihat tidak suka atas keputusanku, tapi aku harus tegas padanya."Mama jangan khawatir. Agam akan menyuruh orang untuk mencarikan rumah yang sesuai keinginan Mama, bahkan kalau mau, Agam carikan yang lebih besar dari rumah ini. Mama tinggal sebutkan saja ingin tipe yang seperti apa," ujarku memberinya penawaran."Nak Agam, tolong dipikirkan lagi. Mama dan Safia sudah kerasan tinggal di rumah ini. Kenapa tidak Hilya saja yang dicarikan rumah lain? Dia baru kembali ke sini beberapa bulan. Tentu dia tidak keberatan kalau harus pindah ke rumah baru," usulnya."Tapi Agam yang tidak mau dia keluar dari sini. Mama harus tahu, rumah ini adalah hasil kerja keras Agam dengan Hilya dari awak kami menikah. Dengan kata lain, Hilya pun berhak atas rumah ini. Selain itu, semua surat-surat sudah atas nama Hilya. Mama jangan khawatir, rumah kalian yang baru nanti pun akan Agam atas namakan Safia sebagai pemiliknya," tuturku berharap ia mau mengerti dan tidak keras kepala."Oh, jadi karena Hilya istri pertama dan Safia hanya istri kedua, putri Mama tidak berhak atas rumah ini?" tanyanya yang mulai naik pitam. Aku berusaha tenang agar tidak terpancing oleh perkataannya."Terserah Mama mau berpikir seperti apa. Agam hanya ingin memberikan kenyamanan pada istri-istri Agam dengan tidak menyatukan mereka dalam satu rumah dan keputusan Agam sudah bulat. Hilya yang akan tetap tinggal di rumah ini karena ia pemiliknya," ujarku dengan sedikit penekana agar Mama Mirna sadar akan posisinya yang hanya mertua di rumah ini. Segala keputusan aku yang ambil dan tidak ada seorang pun yang bisa membantahnya."Nak Agam tidak adil!" sergahnya."Di mana letak tidak adilnya?""Karena membeda-bedakan antara Hilya dengan Safia. Mentang-mentang Safia dinikahi hanya karena amanat, Nak Agam jadi bersikap seenaknya pada dia, bahkan ingin menyingkirkannya dari rumah ini.""Agam tekankan sekali lagi, alasannya bukan karena itu. Terserah Mama mau ikut kemauan Agam atau tidak. Jika masih bersikeras menolak, silakan Mama angkat kaki dari rumah ini sekarang juga!" tegasku.Kulihat wajah Mama Mirna berubah pias. Mungkin ia tidak menyangka aku akan tega memberinya ultimatum seperti itu. Akan tetapi aku tidak peduli. Keputusanku sudah bulat dan tidak ada yang bisa mengubahnya.Kutinggalkan dia yang kini tidak membalas ucapanku. Mungkin karena terlalu shock atas apa yang aku katakan padanya.Aku menuju ke kamar Hilya untuk beristirahat di sana. Namun, sebelum kaki ini menapaki tangga, perkataan Mbok Parmi berhasil menghentikan pergerakanku."Keputusan Den Agam sudah benar, tapi Aden harus hati-hati. Mbok hanya ingin mengingatkan, tolong jaga Nyonya Hilya baik-baik."Bersambung.Makan malam terasa hambar ketika kedua istriku memilih memakan makanannya di kamar mereka masing-masing. Kalau Safia jelas karena dia masih lemah, tetapi kalau Hilya karena masih tidak nyaman jika berada dalam satu ruangan yang sama dengan Mama Mirna. Alhasil, di sinilah aku sekarang. Makan malam hanya berdua dengan Mama Mirna yang sejak tadi hanya diam, tidak seperti biasanya. Mungkin karena pembicaraan kami tadi siang yang membuatnya masih syok sampai sekarang.Cepat kuhabiskan makanan agar tidak terlalu lama berhadapan dengan Mama Mirna. Jengah rasanya ketika melihat dia yang sesekali melempar pandangan, bibirnya beberapa kali terbuka, lalu terkatup lagi. Mungkin ada yang ingin ia sampaikan tetapi tidak berani."Aku sudah selesai," ucapku seraya berdiri, bermaksud meninggalkan ruangan ini, tetapi dengan cepat Mama Mirna menahanku."Tunggu, Nak Adam! Mama mau bicara.""Sepertinya sudah tidak ada lagi yang harus dibicarakan. Keputusan Agam sudah bulat dan tidak bisa diganggu gugat."
Pov Agam"Mas, kenapa kita malah ke sini? Aku mau pulang!"Hilya terus berusaha melepaskan diri saat aku menyeretnya menuju salah satu kamar yang sudah aku pesan. Tidak aku pedulikan ringisan yang keluar dari mulutnya karena aku terlalu kuat mencengkram lengannya.Amarahku menggelegak ketika pria bernama Damar itu meminta nomor ponsel istriku dan Hilya malah memberinya. Aku seakan tidak dianggap karena Hilya sama sekali tidak meminta izin terlebih dahulu dariku."Masuk!""Mas!""Mas bilang masuk, Hilya!" gertakku tepat di depan wajahnya. Kulihat dia terperanjat, lalu menghentakan kaki memasuki kamar. Gegas aku menyusulnya setelah mengunci pintu terlebih dahulu.Kubuka jas lalu melemparkannya secara asal ke arah sofa."Mas mau ngapain?" tanyanya panik saat aku semakin mendekat."Kamu pikir?""Jangan macam-macam!" sentaknya seraya mengarahkan telunjuk ke depan wajahku."Mas! Aku bilang jangan macam-macam!" bentaknya lagi, tapi aku tidak peduli. Rasa marah dan cemburu sudah menguasai di
"Ma, tenang dulu lah. Nanti Agam jelaskan.""Kamu tuh ya, kalau poligami itu ya harus adil. Istri yang satu diajak pergi, masa yang satu malah ditinggal," sungutnya."Kan Safia masih sakit, Ma. Sudahlah, Mama ada apa pagi-pagi ke sini?" tanyaku berusaha mengalihkan pembicaraan. "Mau ketemu Hilya. Dia sudah kembali dari dua bulan yang lalu, tapi belum pernah sekali pun menemui Mama," ujarnya seraya melirik Hilya yang masih berdiri di dekat sofa."Sini, peluk Mama. Kamu enggak kangen apa?"Mama merentangkan tangan, Hilya pun menghampirinya dengan ragu. Aku mengerti mengapa sikapnya seperti itu. Mama memang sempat tidak menyukai Hilya karena dulu Papa Adi penah mengusirku dan tidak merestui hubungan kami. Namun, seiring berjalannya waktu, Mama pun mulai menyayangi Hilya karena istriku selalu berusaha mendekatkan diri pada Mama."Kenapa enggak menemui Mama? Kamu lupa sama mertuamu ini?" tanya Mama sembari meraih Hilya untuk dipeluknya."Maafkan Hilya, Ma.""Sudah-sudah! Yang penting seka
POV HILYA"Bagaimana ceritanya kamu bisa selamat dan ternyata masih hidup? Kenapa setelah dua tahun kamu baru kembali?"Mama Sari langsung memborondongku dengan pertanyaan begitu kami sudah berada di kamar. Ia menuntunku untuk duduk di pinggir ranjang dengan posisi saling berhadapan."Ceritanya panjang, Ma. Yang pasti Hilya diselamatkan oleh salah satu keluarga dan dirawat oleh mereka sampai sembuh. Hilya sempat kehilangan ingatan dan identitas semuanya raib. Karena itulah mereka tidak bisa mengantarkan Hilya untuk pulang," terangku. Saat itu memang tas berisi ponsel dan identitas milikku tidak ditemukan di mana pun. Padahal seingatku, tas itu aku simpan di jok bagian depan. Mungkin ikut terpental saat mobil yang kutumpangi jatuh ke jurang yang cukup dalam."Mama senang waktu Agam mengabari kalau kamu ternyata selamat. Mama saksi hidup bagaimana terpuruknya dia ketika mendengar kamu kecelakaan tetapi jasadmu tidak diketemukan. Agam seperti orang kalap, dia mencari kamu ke mana saja b
POV AGAM"Sandi, kerahkan orang-orangmu untuk mencari istri saya di Bandara, Terminal, Stasiun, pokoknya semua tempat yang memungkinkan dia mendatanginya!" Kumatikan telepon setelah mendapat jawaban dari seberang sana. Kupacu kembali kendaraan ini menuju Hotel tempat Damar bekerja. Entah mengapa, tetapi feelingku mengatakan kalau dia ikut terlibat dengan rencana perginya Hilya.Informasi yang kuterima semakin memperkuat keyakinan ini. Damar tidak ada di sana bahkan sudah dua hari pria itu tidak masuk kerja dengan alasan yang tidak jelas. Hatiku semakin meradang. Jangan sampai kepergian Hilya karena dipengaruhi pria itu, sebab kemarin dia sempat melihatku bersama Safia di pusat perbelanjaan. Aku tahu dengan jelas bagaimana perasaan Damar terhadap istriku. Dari tatapan matanya saja, aku bisa melihat binar cinta yang begitu besar untuk Hilya.S*al! Berani-beraninya dia mencoba merebut milikku! Kembali ke rumah adalah pilihan terakhir setelah diri ini berkeliling mencari Hilya. Andai
"Gam, sarapan dulu, Nak."Mama menghampiriku yang baru saja menuruni tangga. Wajahnya memelas, mungkin karena aku masih bersikap dingin padanya. Bukan bermaksud durhaka, tetapi aku masih kecewa pada dia yang sudah tega mempengaruhi Hilya agar pergi dari rumah ini."Agam sarapan di kantor saja," jawabku."Nak, jangan seperti itu. Mama tahu kalau Mama salah, tetapi tolong jangan bersikap tak acuh begitu. Mama janji akan minta maaf pada Hilya kalau nanti dia sudah ditemukan," tuturnya seraya memegang sebelah lenganku. Kali ini aku tak menolak. Tidak ingin bersikap kasar yang bisa menyakiti perasaan wanita yang telah melahirkanku ini."Sarapan dulu, ya. Safia dan mertuamu sudah menunggu di meja makan," pintanya.Aku pun mengangguk pasrah. Senyum Mama mengembang karena kali ini aku tidak membantahnya.Safia segera berdiri begitu melihatku berjalan ke arah meja makan. Dia mengambil jas yang tersampir di sebelah lenganku. Kemudian membawanya untuk disimpan di sandaran kursi."Aku senang, Mas
"D-den--""Sedang apa Pak Amin di sini? Bukankah seharusnya Bapak sudah pulang dari tadi sore?""Itu ... anu, Den. Bapak kan habis ngantar Nyonya Mirna dari rumah temannya, tapi pulangnya malam. Makanya Bapak memutuskan menginap di sini saja. Mbok Parmi yang menyuruh Bapak tidur di kamar ini," jelasnya dengan gugup. Aku percaya? Entahlah. Sepertinya aku harus mulai waspada dengan orang-orang yang berada di rumah ini.Pak Amin memang tidak tinggal di sini karena jarak rumahnya cukup dekat. Ia memiliki istri dan dua orang anak yang sudah dewasa. Yang satu sudah berkeluarga dan yang satunya lagi masih duduk di bangku SMA. "Terus sekarang Bapak mau ke mana?" tanyaku lagi."Bapak mau ngambil air minum, Den.""Ya sudah, saya ke kamar dulu, Pak."Pak Amin mengiyakan, aku pun kembali ke kamar Safia untuk beristirahat karena mata ini mulai didera rasa kantuk. Safia masih tertidur pulas, mungkin karena kelelahan setelah percintaan kami tadi. Kubaringkan tubuh ini di sebelah dia yang tidur deng
B*jingan!Amarahku sudah naik ke ubun-ubun. Andai mengikuti kata hati, ingin sekali aku b*nuh kedua manusia laknat itu sekarang juga. Namun, aku tidak boleh gegabah karena aku tidak sempat merekam pembicaraan mereka untuk dijadikan bukti. Akan tetapi, aku pun tidak bisa menunda lagi, apa lagi jika menyangkut nyawa istriku. Muak rasanya kalau harus berpura-pura baik di depan manusia laknat semacam mereka. Sebelum keduanya keluar, aku bergeser sedikit menjauh untuk menghubungi anak buah Sandi yang berjaga di depan rumah. Tak lupa aku pun mengirim pesan pada Pak Rahman, kusuruh dia datang ke paviliun belakang.Beruntung mereka cepat tanggap. Tak lama kemudian Pak Rahman dan dua orang anak buah Sandi datang. Kuletakkan telunjuk di atas bibir sebagai isyarat agar mereka tenang. Kudekati kembali pintu paviliun dan suara menjijikan itu kembali terdengar. Tak ingin membuang waktu, kuberi isyarat dengan mata agar Pak Rahman dan yang lain mendobrak pintu itu.Dalam hitungan ketiga, pintu berha