Share

Bab 5

"Kita masuk."

Kueratkan genggaman pada tangan Hilya saat istriku masih bergeming di depan pintu. Kuberikan keyakinan kalau semuanya akan baik-baik saja karena aku tetap berada di sampingnya. Aku tahu kegelisahan yang tengah ia rasakan. Tuduhan Mama Mirna dan tatapan tidak suka dari mertuaku itu menjadi salah satu alasan kenapa Hilya tidak betah di rumah ini. Untuk itu, demi kenyamanan istriku, aku akan segera mengambil tindakan untuk mencarikan rumah lain agar mereka tidak tinggal dalam satu atap.

"Ayok, Sayang--"

"Nak Agam, akhirnya pulang juga."

Mama Mirna tiba-tiba muncul menghampiri dengan wajah yang terlihat semringah. Namun, senyumnya tidak bertahan lama saat matanya menangkap siapa yang berdiri di sebelahku, apa lagi arah pandangnya kini tertuju pada tangan kami yang saling bertaut.

"Bagaimana keadaan Safia?" tanyaku untuk mengalihkan perhatiannya.

"Sekarang sudah sadar. Mama membujuknya agar mau makan tapi dia tidak mau. Mungkin kalau Nak Agam yang membujuk, Safia akan menurut," terangnya seraya melirik sekilas ke arah Hilya. Sepertinya Mama Mirna sengaja ingin memanas-manasi istriku.

"Ya sudah, nanti Agam bujuk dia." Aku beralih ke arah Hilya. "Mau ikut Mas ke kamar Safia atau mau istirahat saja?" tanyaku lembut.

"Istirahat saja."

"Ya sudah, ayok Mas antar ke kamar kamu dulu."

Hilya mengangguk. Aku gandeng tangannya menuju kamar utama di lantai atas. Aku ingin memastikan Hilya baik-baik saja sebelum menemui Safia.

"Istirahatlah. Nanti Mas ke sini lagi setelah melihat keadaan Safia," ujarku saat kami sudah berada di dalam kamar.

Kubantu Hilya untuk duduk di tepi ranjang, kemudian mengecup keningnya cukup lama sebelum keluar dari kamar ini untuk menemui Safia.

Istri keduaku itu tengah duduk dengan tubuh yang bersandar pada kepala ranjang. Seulas senyum ia perlihatkan saat aku berjalan mendekatinya.

"Mas .... "

"Kenapa bisa sampai pingsan?" tanyaku seraya duduk di pinggir ranjang dengan posisi menghadap ke arahnya.

"Tidak tahu. Tadi tiba-tiba saja kepalaku terasa pusing," jawabnya lemah.

"Tadi Mas sudah menelepon Dokter. Mungkin sebentar lagi akan sampai. Kamu makan dulu, ya. Mama bilang kamu tidak mau makan."

"Aku enggak berselera," tolaknya.

"Fia, jangan seperti itu. Kamu baru saja pulih dan Mas tidak mau keadaan kamu akan kembali drop kalau makan saja tidak mau. Mas suapi saja, bagaimana?" tawarku.

Safia tersenyum lalu mengangguk. Kuambil sepiring nasi yang sudah disiapkan di atas nakas. Kusuapi dia yang sepertinya terlihat senang. Wajahnya yang sendu berubah menjadi cerah saat aku dengan telaten memasukkan suapan demi suapan ke mulutnya.

"Mbak Hilya bagaimana, Mas? Apa sudah ada kabar?" tanyanya.

"Alhamdullillah, Mas sudah menemukan dia. Sekarang Hilya sedang beristirahat," jawabku seraya mengelap mulutnya menggunakan tisu.

"Alhamdullillah, akhirnya belahan jiwa Mas kembali lagi ke rumah ini."

Aku hanya tersenyum menanggapi ucapannya. Tidak ingin menjawab perkataan Safia yang mungkin saja akan menyakiti hatinya. Mau bagaimana lagi? Pada kenyataannya memang Hilya adalah belahan jiwaku.

Ketukan di pintu menyelamatkanku dari topik pembahasan tentang Hilya. Mama Mirna muncul memberitahu kalau Dokter yang aku panggil untuk memeriksa Safia sudah datang.

Kubiarkan mereka masuk. Aku duduk di sofa saat Dokter sedang melakukan pemeriksaan.

"Bagaimana keadaan putri saya, Dok?" tanya Mama Mirna.

"Ibu Safia hanya kelelahan. Tolong dijaga asupan makanan juga jangan dibiarkan terlalu banyak pikiran."

"Syukurlah kalau tidak ada penyakit yang mengkhawatirkan." Mama Mirna menarik napas lega, Aku pun begitu.

Setelah Dokter keluar kamar dengan diantar Mama Mirna, aku kembali mendekati Safia yang kini sudah berbaring.

"Istirahatlah. Mas keluar dulu, ya, nanti ke sini lagi," ujarku sembari membenahi selimut yang menutupi tubuh Safia.

"Iya, Mas," jawabnya dengan senyum yang sangat kentara ia paksakan.

Setelah mengecup keningnya, aku pun keluar, bermaksud menemui Mama Mirna karena ada yang harus kami bicarakan. Aku tidak ingin menunda-nunda. Karena kenyamanan istri-istriku harus aku utamakan.

***

"A-apa? Maksud Nak Agam, kami yang harus keluar dari rumah ini?"

Mama Mirna terlihat tidak suka atas keputusanku, tapi aku harus tegas padanya.

"Mama jangan khawatir. Agam akan menyuruh orang untuk mencarikan rumah yang sesuai keinginan Mama, bahkan kalau mau, Agam carikan yang lebih besar dari rumah ini. Mama tinggal sebutkan saja ingin tipe yang seperti apa," ujarku memberinya penawaran.

"Nak Agam, tolong dipikirkan lagi. Mama dan Safia sudah kerasan tinggal di rumah ini. Kenapa tidak Hilya saja yang dicarikan rumah lain? Dia baru kembali ke sini beberapa bulan. Tentu dia tidak keberatan kalau harus pindah ke rumah baru," usulnya.

"Tapi Agam yang tidak mau dia keluar dari sini. Mama harus tahu, rumah ini adalah hasil kerja keras Agam dengan Hilya dari awak kami menikah. Dengan kata lain, Hilya pun berhak atas rumah ini. Selain itu, semua surat-surat sudah atas nama Hilya. Mama jangan khawatir, rumah kalian yang baru nanti pun akan Agam atas namakan Safia sebagai pemiliknya," tuturku berharap ia mau mengerti dan tidak keras kepala.

"Oh, jadi karena Hilya istri pertama dan Safia hanya istri kedua, putri Mama tidak berhak atas rumah ini?" tanyanya yang mulai naik pitam. Aku berusaha tenang agar tidak terpancing oleh perkataannya.

"Terserah Mama mau berpikir seperti apa. Agam hanya ingin memberikan kenyamanan pada istri-istri Agam dengan tidak menyatukan mereka dalam satu rumah dan keputusan Agam sudah bulat. Hilya yang akan tetap tinggal di rumah ini karena ia pemiliknya," ujarku dengan sedikit penekana agar Mama Mirna sadar akan posisinya yang hanya mertua di rumah ini. Segala keputusan aku yang ambil dan tidak ada seorang pun yang bisa membantahnya.

"Nak Agam tidak adil!" sergahnya.

"Di mana letak tidak adilnya?"

"Karena membeda-bedakan antara Hilya dengan Safia. Mentang-mentang Safia dinikahi hanya karena amanat, Nak Agam jadi bersikap seenaknya pada dia, bahkan ingin menyingkirkannya dari rumah ini."

"Agam tekankan sekali lagi, alasannya bukan karena itu. Terserah Mama mau ikut kemauan Agam atau tidak. Jika masih bersikeras menolak, silakan Mama angkat kaki dari rumah ini sekarang juga!" tegasku.

Kulihat wajah Mama Mirna berubah pias. Mungkin ia tidak menyangka aku akan tega memberinya ultimatum seperti itu. Akan tetapi aku tidak peduli. Keputusanku sudah bulat dan tidak ada yang bisa mengubahnya.

Kutinggalkan dia yang kini tidak membalas ucapanku. Mungkin karena terlalu shock atas apa yang aku katakan padanya.

Aku menuju ke kamar Hilya untuk beristirahat di sana. Namun, sebelum kaki ini menapaki tangga, perkataan Mbok Parmi berhasil menghentikan pergerakanku.

"Keputusan Den Agam sudah benar, tapi Aden harus hati-hati. Mbok hanya ingin mengingatkan, tolong jaga Nyonya Hilya baik-baik."

Bersambung.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status