Share

Bab 5

Author: Nelda Friska
last update Last Updated: 2022-10-05 12:12:00

"Kita masuk."

Kueratkan genggaman pada tangan Hilya saat istriku masih bergeming di depan pintu. Kuberikan keyakinan kalau semuanya akan baik-baik saja karena aku tetap berada di sampingnya. Aku tahu kegelisahan yang tengah ia rasakan. Tuduhan Mama Mirna dan tatapan tidak suka dari mertuaku itu menjadi salah satu alasan kenapa Hilya tidak betah di rumah ini. Untuk itu, demi kenyamanan istriku, aku akan segera mengambil tindakan untuk mencarikan rumah lain agar mereka tidak tinggal dalam satu atap.

"Ayok, Sayang--"

"Nak Agam, akhirnya pulang juga."

Mama Mirna tiba-tiba muncul menghampiri dengan wajah yang terlihat semringah. Namun, senyumnya tidak bertahan lama saat matanya menangkap siapa yang berdiri di sebelahku, apa lagi arah pandangnya kini tertuju pada tangan kami yang saling bertaut.

"Bagaimana keadaan Safia?" tanyaku untuk mengalihkan perhatiannya.

"Sekarang sudah sadar. Mama membujuknya agar mau makan tapi dia tidak mau. Mungkin kalau Nak Agam yang membujuk, Safia akan menurut," terangnya seraya melirik sekilas ke arah Hilya. Sepertinya Mama Mirna sengaja ingin memanas-manasi istriku.

"Ya sudah, nanti Agam bujuk dia." Aku beralih ke arah Hilya. "Mau ikut Mas ke kamar Safia atau mau istirahat saja?" tanyaku lembut.

"Istirahat saja."

"Ya sudah, ayok Mas antar ke kamar kamu dulu."

Hilya mengangguk. Aku gandeng tangannya menuju kamar utama di lantai atas. Aku ingin memastikan Hilya baik-baik saja sebelum menemui Safia.

"Istirahatlah. Nanti Mas ke sini lagi setelah melihat keadaan Safia," ujarku saat kami sudah berada di dalam kamar.

Kubantu Hilya untuk duduk di tepi ranjang, kemudian mengecup keningnya cukup lama sebelum keluar dari kamar ini untuk menemui Safia.

Istri keduaku itu tengah duduk dengan tubuh yang bersandar pada kepala ranjang. Seulas senyum ia perlihatkan saat aku berjalan mendekatinya.

"Mas .... "

"Kenapa bisa sampai pingsan?" tanyaku seraya duduk di pinggir ranjang dengan posisi menghadap ke arahnya.

"Tidak tahu. Tadi tiba-tiba saja kepalaku terasa pusing," jawabnya lemah.

"Tadi Mas sudah menelepon Dokter. Mungkin sebentar lagi akan sampai. Kamu makan dulu, ya. Mama bilang kamu tidak mau makan."

"Aku enggak berselera," tolaknya.

"Fia, jangan seperti itu. Kamu baru saja pulih dan Mas tidak mau keadaan kamu akan kembali drop kalau makan saja tidak mau. Mas suapi saja, bagaimana?" tawarku.

Safia tersenyum lalu mengangguk. Kuambil sepiring nasi yang sudah disiapkan di atas nakas. Kusuapi dia yang sepertinya terlihat senang. Wajahnya yang sendu berubah menjadi cerah saat aku dengan telaten memasukkan suapan demi suapan ke mulutnya.

"Mbak Hilya bagaimana, Mas? Apa sudah ada kabar?" tanyanya.

"Alhamdullillah, Mas sudah menemukan dia. Sekarang Hilya sedang beristirahat," jawabku seraya mengelap mulutnya menggunakan tisu.

"Alhamdullillah, akhirnya belahan jiwa Mas kembali lagi ke rumah ini."

Aku hanya tersenyum menanggapi ucapannya. Tidak ingin menjawab perkataan Safia yang mungkin saja akan menyakiti hatinya. Mau bagaimana lagi? Pada kenyataannya memang Hilya adalah belahan jiwaku.

Ketukan di pintu menyelamatkanku dari topik pembahasan tentang Hilya. Mama Mirna muncul memberitahu kalau Dokter yang aku panggil untuk memeriksa Safia sudah datang.

Kubiarkan mereka masuk. Aku duduk di sofa saat Dokter sedang melakukan pemeriksaan.

"Bagaimana keadaan putri saya, Dok?" tanya Mama Mirna.

"Ibu Safia hanya kelelahan. Tolong dijaga asupan makanan juga jangan dibiarkan terlalu banyak pikiran."

"Syukurlah kalau tidak ada penyakit yang mengkhawatirkan." Mama Mirna menarik napas lega, Aku pun begitu.

Setelah Dokter keluar kamar dengan diantar Mama Mirna, aku kembali mendekati Safia yang kini sudah berbaring.

"Istirahatlah. Mas keluar dulu, ya, nanti ke sini lagi," ujarku sembari membenahi selimut yang menutupi tubuh Safia.

"Iya, Mas," jawabnya dengan senyum yang sangat kentara ia paksakan.

Setelah mengecup keningnya, aku pun keluar, bermaksud menemui Mama Mirna karena ada yang harus kami bicarakan. Aku tidak ingin menunda-nunda. Karena kenyamanan istri-istriku harus aku utamakan.

***

"A-apa? Maksud Nak Agam, kami yang harus keluar dari rumah ini?"

Mama Mirna terlihat tidak suka atas keputusanku, tapi aku harus tegas padanya.

"Mama jangan khawatir. Agam akan menyuruh orang untuk mencarikan rumah yang sesuai keinginan Mama, bahkan kalau mau, Agam carikan yang lebih besar dari rumah ini. Mama tinggal sebutkan saja ingin tipe yang seperti apa," ujarku memberinya penawaran.

"Nak Agam, tolong dipikirkan lagi. Mama dan Safia sudah kerasan tinggal di rumah ini. Kenapa tidak Hilya saja yang dicarikan rumah lain? Dia baru kembali ke sini beberapa bulan. Tentu dia tidak keberatan kalau harus pindah ke rumah baru," usulnya.

"Tapi Agam yang tidak mau dia keluar dari sini. Mama harus tahu, rumah ini adalah hasil kerja keras Agam dengan Hilya dari awak kami menikah. Dengan kata lain, Hilya pun berhak atas rumah ini. Selain itu, semua surat-surat sudah atas nama Hilya. Mama jangan khawatir, rumah kalian yang baru nanti pun akan Agam atas namakan Safia sebagai pemiliknya," tuturku berharap ia mau mengerti dan tidak keras kepala.

"Oh, jadi karena Hilya istri pertama dan Safia hanya istri kedua, putri Mama tidak berhak atas rumah ini?" tanyanya yang mulai naik pitam. Aku berusaha tenang agar tidak terpancing oleh perkataannya.

"Terserah Mama mau berpikir seperti apa. Agam hanya ingin memberikan kenyamanan pada istri-istri Agam dengan tidak menyatukan mereka dalam satu rumah dan keputusan Agam sudah bulat. Hilya yang akan tetap tinggal di rumah ini karena ia pemiliknya," ujarku dengan sedikit penekana agar Mama Mirna sadar akan posisinya yang hanya mertua di rumah ini. Segala keputusan aku yang ambil dan tidak ada seorang pun yang bisa membantahnya.

"Nak Agam tidak adil!" sergahnya.

"Di mana letak tidak adilnya?"

"Karena membeda-bedakan antara Hilya dengan Safia. Mentang-mentang Safia dinikahi hanya karena amanat, Nak Agam jadi bersikap seenaknya pada dia, bahkan ingin menyingkirkannya dari rumah ini."

"Agam tekankan sekali lagi, alasannya bukan karena itu. Terserah Mama mau ikut kemauan Agam atau tidak. Jika masih bersikeras menolak, silakan Mama angkat kaki dari rumah ini sekarang juga!" tegasku.

Kulihat wajah Mama Mirna berubah pias. Mungkin ia tidak menyangka aku akan tega memberinya ultimatum seperti itu. Akan tetapi aku tidak peduli. Keputusanku sudah bulat dan tidak ada yang bisa mengubahnya.

Kutinggalkan dia yang kini tidak membalas ucapanku. Mungkin karena terlalu shock atas apa yang aku katakan padanya.

Aku menuju ke kamar Hilya untuk beristirahat di sana. Namun, sebelum kaki ini menapaki tangga, perkataan Mbok Parmi berhasil menghentikan pergerakanku.

"Keputusan Den Agam sudah benar, tapi Aden harus hati-hati. Mbok hanya ingin mengingatkan, tolong jaga Nyonya Hilya baik-baik."

Bersambung.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Madu Manis Untuk Istriku   Bab 30

    Semenjak kelahiran putra pertama kami, aku memang belum pernah lagi menemui Safia. Selain karena ingin menjaga perasaan Hilya--istriku, aku pun tidak ingin Safia salah paham. Aku tahu wanita itu masih berharap padaku. Namun tentu saja aku tidak bisa membalas perasaan serta mengabulkan keinginannya untuk rujuk, karena hati ini sudah dikuasai Hilya sepenuhnya. Bahkan semenjak ia melahirkan, rasa cinta ini kian bertambah besar. Aku makin tergila-gila padanya.Hilya. Satu-satunya wanita yang mampu membuat seorang Agam rela menyamar menjadi orang lain. Wanita yang mampu membuatku ketakutan setengah mati ketika dia dikelilingi oleh pria yang menyukainya. Aku takut Hilya akan berpaling kepada salah satu dari mereka dan memilih meninggalkanku, apalagi dengan kondisiku yang harus bisa membagi waktu kepada Safia.Namun aku bersyukur karena ketakutan itu tidak menjadi kenyataan. Hilya tetap memilih berada di sampingku dan mendampingiku hingga kini. Aku sudah berjanji kepada diriku sendiri untuk

  • Madu Manis Untuk Istriku   Bab 29

    "Sayang."Mata Hilya mengerjap saat tangan ini mengelus pipinya. Wajah mulus yang biasanya menampilkan rona kemerahan itu kini terlihat pucat. "Mas.""Ya, Sayang.""Kok sudah pulang? Ini jam berapa?" tanyanya seraya berusaha bangkit, tetapi dengan cepat aku mencegahnya."Tidur saja, kamu masih lemah," titahku."Mas pulang karena ditelepon Mbok Parmi. Katanya tadi kamu pingsan. Kenapa? Ada yang sakit? Kita ke Dokter, ya.""Gak usah," tolaknya cepat. "Aku gak sakit, kok.""Gak sakit tapi bisa pingsan? Kamu pikir Mas akan percaya?""Tapi beneran bukan karena sakit. Mungkin karena ini."Hilya mengambil sesuatu dari bawah bantal. Benda pipih panjang itu ia serahkan padaku."Ini apa?""Testpack.""Lalu?""Itu garisnya ada dua, berarti positif.""Po ... kamu hamil?""Iya."Pekik kegirangan tak bisa aku tahan. Refleks tubuh ini luruh dan bersujud karena saking bahagianya. Keinginan yang selama ini aku impikan, akhirnya kini bisa terwujud."Terima kasih, Sayang. Mas senang sekali," kataku pad

  • Madu Manis Untuk Istriku   Bab 28

    "Gimana, San?""Saya menemukan Nyonya Safia, Pak. Dia masih berada di kota ini. Sekarang dia tinggal di sebuah kontrakan.""Syukurlah kalau dia masih di Jakarta. Tetap awasi dia dan kabari saya jika terjadi sesuatu yang buruk.""Baik, Pak."Setelah menutup sambungan telepon, aku kembali berkutat dengan pekerjaan yang masih menumpuk. Hati ini sedikit tenang setelah mengetahui keadaan Safia baik-baik saja. Aku sudah mempunyai rencana akan membelikan dia sebuah rumah dan modal usaha. Anggap saja sebagai harta gono gini dari perceraian kami dan semuanya sudah atas persetujuan Hilya. Tepat jam lima sore aku sudah sampai di rumah dan langsung disambut istriku dengan manis. Kecupan aku berikan di kening, pipi, tapi saat bibir ini akan mendarat di bibirnya, Hilya menghindar sambil memberi isyarat dengan kerlingan mata. Ah, rupanya ada Mbok Parmi yang tengah memperhatikan kami."Wangi banget sih yang sudah mandi," kataku sambil mengendus lehernya yang kini tidak tertutup jilbab karena kami s

  • Madu Manis Untuk Istriku   Bab 27

    Sudah satu jam aku berada di sini, duduk di samping Mama yang belum juga sadarkan diri. Keadaannya cukup kritis karena serangan jantung yang dialami beliau, sehingga harus dimasukkan ke ruang ICU. Sampai saat ini, Hilya masih belum aku kabari, sedangkan Safia, sepertinya dia berada di luar karena tadi ia pun ikut mengantar Mama ke rumah sakit.Meskipun rasa kecewa masih menyelimuti hati, tetapi tidak dapat melunturkan rasa sayang dan khawatir yang aku rasakan untuk Mama. Andai saja beliau mau bertobat dan menyadari kesalahannya selama ini, akan kubiarkan dia hidup tenang tanpa harus mempertanggung jawabkan perbuatannya hingga harus mendekam di penjara seperti Mama Mirna."G-gam."Diri ini terperanjat saat mendengar suara Mama. Jemarinya bergerak, menandakan dia telah benar-benar siuman. "Gam.""Iya, Ma. Agam di sini." Kuraih tangan Mama dan menggenggamnya."Ma-mafkan, Mama." ucapnya dengan napas yang tersengal. "Mama jangan banyak bicara dulu, istirahat saja. Agam panggilkan Dokt

  • Madu Manis Untuk Istriku   Bab 26

    "Apa benar apa yang Mama katakan, Mas? Kamu hampir saja meniduri Safia?"Kulirik Mama yang tengah tersenyum penuh arti. Aku mendengus kasar menyadari kalau semua ini pasti ulah Mama."Nanti Mas jelaskan. Sekarang, ayok kita ke kamar.""Tidak! Mas harus jelaskan di sini, sekarang juga!"Hilya menolak ketika tangan ini akan menyentuh lengannya. Pandangannya padaku begitu tajam, tidak ada lagi tatapan lembut dan manja."Di kamar saja, ayok!""Aku bilang tidak!""Oke!" teriakku akhirnya. "Waktu Mas sedang tidur. Entah karena masih jetlag atau terlalu merindukan kamu, yang ada di penglihatan Mas itu kamu, bukan Safia. Memang, Mas hampir saja melakukannya, tapi beruntung ada Mbok Parmi yang memergoki dan masuk ke kamar kita. Di saat itulah, Mas baru sadar bahwa itu Safia, bukan kamu," terangku. "Lalu untuk apa Safia berada di kamar kita?""Katanya mau memberitahu kalau makan malam sudah siap."Hilya mendengus seraya tersenyum miring. "Modus banget."Aku beralih menatap Mama yang sejak tad

  • Madu Manis Untuk Istriku   Bab 25

    Ego dan cemburu bercampur menjadi satu. Tanpa peduli dengan keadaan diri yang masih sangat lelah, gegas aku berganti pakaian dan menyuruh sopir kantor untuk datang ke rumah. Malam ini juga, aku akan ke Bandung demi menemani istriku yang tengah berduka. Seharusnya aku yang berada di sampingnya, menenangkannya, bahkan memberinya pelukan, bukan pria lain seperti Guntur.Ah, s*al!Di perjalanan, aku duduk dengan gelisah. Sesekali kusuruh sopir untuk mempercepat laju mobil karena sudah tidak sabar ingin secepatnya sampai di sana. Bayangan wajah Hilya yang tengah menangis dan wajah Guntur yang pasti tengah memanfaatkan keadaan, menari dalam pelupuk mata sampai rasa panas kembali menjalar di dalam dada.Dua jam perjalanan dirasa sangat lama. Begitu sampai di pekarangan rumah Pak Hilman yang sudah dipenuhi orang, aku langsung turun dan meminta izin untuk masuk. Tak kutemukan Sandi di sekitar sini. Mungkin anak buahku itu bergabung dengan Bapak-bapak pelayat yang lain.Untuk menghargai keluarg

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status