Share

Bab 4

Di perjalanan, Hilya tetap bungkam. Aku sengaja membiarkannya seperti itu untuk membuatnya tenang terlebih dahulu. Meskipun berjuta kata sudah berkumpul di tenggorokan ingin segera diucapkan, tetapi sebisa mungkin aku tahan demi istriku yang sepertinya masih memendam kemarahan. Setelah ia lebih tenang, aku akan mengajaknya bicara dari hati ke hati, meminta maaf padanya dan berjanji tidak akan lagi menyakitinya.

Satu ide tiba-tiba saja terlintas dalam pikiran. Di persimpangan, aku sengaja membelokan stir kemudi ke arah hotel milik salah satu teman.

Hilya terlihat kebingungan. Ia memandangiku dengan tatapan yang masih tidak bersahabat.

"Kenapa ke sini? Ini bukan jalan menuju rumah."

Aku tersenyum menanggapi dia yang sudah mau bicara padaku. Sengaja kuraih tangannya untuk digenggam, tetapi dengan cepat ia menepisnya.

"Kita memang tidak akan pulang ke rumah. Mas ingin menghabiskan waktu berdua dulu denganmu tanpa ada gangguan," ucapku disertai kerlingan jahil, tetapi ia yang melihatnya malah memalingkan wajah. Kuhela napas kasar menghadapi tingkahnya yang selalu menguji kesabaranku.

Kami kembali sama-sama diam sampai akhirnya tiba di tempat tujuan. Setelah memarkirkan mobil di basemant hotel, aku keluar terlebih dahulu kemudian membukakan pintu untuk istriku.

"Ayok turun!" titahku padanya yang masih bergeming di tempatnya duduk.

"Aku tidak mau ke sini. Aku mau pulang ke rumah papa." Ia masih bersikeras.

"Turun sendiri atau mau Mas gendong lagi seperti tadi?" ancamku yang berhasil membuatnya menatapku dengan mata melotot, tetapi malah terlihat menggemaskan.

"Aku bisa sendiri," ketusnya.

Hilya keluar dari mobil. Dengan sedikit paksaan, aku menggandeng lengannya menuju meja receptionist untuk memesan kamar. Selama kami berjalan, Hilya masih tetap diam dan kali ini terkesan pasrah. Sikapnya yang seperti ini lebih baik bagiku agar aku tidak bersikap kasar padanya.

"Kita menginap di sini malam ini. Mas akan menyuruh petugas hotel untuk membawakan pakaian ganti untukmu," ujarku saat kami sudah berada di dalam kamar. Hilya masih berdiri di dekat pintu, membuatku kembali merasa gemas, lalu menuntunnya menuju sofa untuk diajak duduk.

"Butuh yang lain, hmm? Nanti Mas minta petugas hotel untuk membawakannya," tawarku.

Ia menggelengkan kepala, lalu menunduk. "Aku hanya ingin pulang ke rumah papa," jawabnya lirih.

"Dengarkan, Mas." Kuraih bahunya dan mengarahkan agar menghadapku. "Kita perlu bicara. Mas sengaja membawa kamu ke sini agar kita bisa bicara dari hati ke hati. Mas tidak ingin kita seperti ini terus. Mas tidak sanggup kalau kamu terus menghindar dan tak mengacuhkan, Mas. Kita ini suami istri, Sayang. Tidak pantas kalau harus terus bersitegang karena keegoisan masing-masing," paparku seraya menggenggam tangannya lebih erat. Beruntung kali ini Hilya tidak menolaknya.

"Mas Agam yang egois, bukan aku," kilahnya.

"Di mana letak egoisnya?" tanyaku. Mungkin akan aku biarkan ia meluapkan seluruh isi hatinya terlebih dahulu sampai ia puas.

"Mas tidak mau melepaskan, padahal sudah berkali-kali aku meminta agar Mas menceraikan aku."

"Kenapa harus menceraikanmu? Tidak ada hal yang bisa dijadikan alasan untuk melepaskan kamu."

"Mas sudah mendapatkan penggantiku, apa itu tidak cukup untuk dijadikan alasan?"

"Tidak," tegasku. "Perlu kamu tahu. Kehadiran Safia di antara kita sama sekali tidak bisa merubah perasaan Mas sedikit pun padamu. Mas masih sangat mencintaimu, bahkan rasa cinta ini masih utuh milik kamu."

Hilya memalingkan wajah seakan tidak percaya atas apa yang aku ucapkan barusan. Sepertinya aku harus lebih ekstra meyakinkannya.

"Kalau harus jujur, seiring berjalannya waktu kebersamaan kami, rasa sayang mulai tumbuh untuk Safia. Tapi rasa itu tidak pernah bisa menandingi besarnya rasa cinta Mas untuk kamu. Mas hanya ingin kamu mengerti, Sayang. Poligami itu tidak mudah. Mas harus bisa berlaku adil pada kalian meskipun secara perasaan tentu tidak bisa dipaksakan. Mas mohon, tolong bantu agar semuanya terasa lebih ringan. Tetap bertahan bersama Mas untuk sama-sama menjalani semua ini. Mas tidak akan sanggup kalau kamu meninggalkan Mas lagi."

Hilya mulai mau menatap mataku, kupasang senyum semanis mungkin padanya yang selalu berhasil membuatku mabuk kepayang jika sedang berdekatan seperti ini.

"Bukankah kemarin Mas sendiri yang memintaku pergi? Aku sudah menuruti keinginan Mas, tetapi kenapa sekarang Mas bertingkah seolah-olah tidak ingin kehilangan?"

"Maaf," lirihku seraya menatapnya dengan sendu. Perasaan bersalah kembali muncul mengingat saat itu aku terlanjur percaya pada tuduhan Mama Mirna.

"Saat itu Mas sedang panik dan tidak bisa berpikir jernih. Mas percaya begitu saja akan ucapan Mama Mirna yang menuduhmu sengaja mencelakakan Safia. Mungkin, sebagai bentuk hukuman karena Mas sudah menyakitimu, Mas harus kehilangan calon anak dan rahim Safia dinyatakan bermasalah sehingga ia akan sulit untuk hamil lagi," tuturku dengan perasaan bersalah yang kembali mendera.

Kulihat Hilya terperangah, menggelengkan kepalanya seakan tak percaya. "Anak kalian meninggal?" tanyanya lirih.

"Iya, karena pendarahan hebat, anak kami tidak dapat diselamatkan."

"Aku ikut berduka cita," ucapnya terdengar tulus.

"Terima kasih, Sayang. Meskipun sulit, tapi Mas berusaha mengikhlaskan." Kugeser duduk agar lebih dekat dengannya.

"Mas berharap, secepatnya akan mendapat momongan lagi dan itu dari rahim kamu," bisikku tepat di depan wajahnya yang langsung memerah.

Perlahan kupangkas jarak sehingga wajah kami semakin dekat. Hampir saja bibir kami bertemu, tetapi Hilya dengan cepat memundurkan badan sampai kami kembali berjauhan.

Kutatap dia dengan penuh kekecewaan. "Kenapa?"

"Maaf, aku belum bisa," ujarnya lirih seraya menundukkan kepala.

Kembali kuhela napas kasar untuk menetralkan rasa kecewa karena lagi-lagi mendapat penolakan.

"Kamu istirahatlah. Mas keluar dulu, mau membeli pakaian ganti untuk kita."

Kutinggalkan dia yang masih duduk dengan kepala yang menunduk. Kututup pintu dengan sedikit kasar untuk meluapkan kekesalan pada dia yang selalu tidak mengerti perasaanku yang begitu menginginkannya.

Menaklukan Hilya yang sekarang sangat tidak mudah. Aku harus terus memupuk stok kesabaran untuk menghadapi dia yang selalu memberikan penolakan.

Namun, demi cintaku padanya yang makin hari terasa makin besar, aku rela bersabar sampai dia mau menjalankan kewajibannya sebagai istri sepenuhnya.

🌷🌷🌷

Setelah perasaanku merasa tenang, aku kembali ke kamar kami sembari membawa paper bag berisi pakaianku dan untuk Hilya. Begitu aku membuka pintu kamar, istriku masih duduk di tempatnya semula dengan posisi yang sama.

Aku menyimpan paper bag di atas ranjang, kemudian menghampiri dan duduk di dekatnya.

"Kenapa tidak istirahat, hmm?" tanyaku seraya mengelus pipinya penuh sayang.

Hilya mendongak, menatapku dengan mata yang berkaca. "Maaf, aku belum bisa menjadi istri yang baik. Aku sudah terlalu banyak mengecewakan Mas," lirihnya.

"Hei, jangan bicara seperti itu. Buat Mas, kamu istri yang sempurna. Mas sangat mengerti kenapa kamu menjadi seperti ini. Justru Mas yang harus meminta maaf karena sudah terlalu sering menyakitimu," tuturku dengan lembut.

"Maaf kalau Mas terlalu memaksamu. Mas hanya tidak bisa membendung perasaan rindu yang tidak bisa ditahan lagi. Mulai saat ini Mas janji akan lebih bersabar sampai kamu merasa siap," imbuhku.

"Aku .... " Hilya terlihat gelisah. Kuraih dagunya agar ia mau menatapku.

"Kenapa?"

"Aku--"

Suara dering ponsel menghentikan ucapan Hilya. Aku ambil benda pipih itu dari saku jas, lalu melirik Hilya sekilas saat tertera nama Mama Mirna di sana.

"Ya, ada apa, Ma?"

"...."

"A-apa? Iya, Agam ke sana sekarang!"

Gegas kumasukan kembali ponsel ke dalam saku jas. Kutatap Hilya yang terlihat kebingungan karena aku berubah panik.

"Kita harus pulang. Barusan Mama Mirna bilang, Safia pingsan di kamarnya. Kamu ikut sama Mas, ya," pintaku penuh harap.

*

*

Bersambung.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status