Di perjalanan, Hilya tetap bungkam. Aku sengaja membiarkannya seperti itu untuk membuatnya tenang terlebih dahulu. Meskipun berjuta kata sudah berkumpul di tenggorokan ingin segera diucapkan, tetapi sebisa mungkin aku tahan demi istriku yang sepertinya masih memendam kemarahan. Setelah ia lebih tenang, aku akan mengajaknya bicara dari hati ke hati, meminta maaf padanya dan berjanji tidak akan lagi menyakitinya.
Satu ide tiba-tiba saja terlintas dalam pikiran. Di persimpangan, aku sengaja membelokan stir kemudi ke arah hotel milik salah satu teman.Hilya terlihat kebingungan. Ia memandangiku dengan tatapan yang masih tidak bersahabat."Kenapa ke sini? Ini bukan jalan menuju rumah."Aku tersenyum menanggapi dia yang sudah mau bicara padaku. Sengaja kuraih tangannya untuk digenggam, tetapi dengan cepat ia menepisnya."Kita memang tidak akan pulang ke rumah. Mas ingin menghabiskan waktu berdua dulu denganmu tanpa ada gangguan," ucapku disertai kerlingan jahil, tetapi ia yang melihatnya malah memalingkan wajah. Kuhela napas kasar menghadapi tingkahnya yang selalu menguji kesabaranku.Kami kembali sama-sama diam sampai akhirnya tiba di tempat tujuan. Setelah memarkirkan mobil di basemant hotel, aku keluar terlebih dahulu kemudian membukakan pintu untuk istriku."Ayok turun!" titahku padanya yang masih bergeming di tempatnya duduk."Aku tidak mau ke sini. Aku mau pulang ke rumah papa." Ia masih bersikeras."Turun sendiri atau mau Mas gendong lagi seperti tadi?" ancamku yang berhasil membuatnya menatapku dengan mata melotot, tetapi malah terlihat menggemaskan."Aku bisa sendiri," ketusnya.Hilya keluar dari mobil. Dengan sedikit paksaan, aku menggandeng lengannya menuju meja receptionist untuk memesan kamar. Selama kami berjalan, Hilya masih tetap diam dan kali ini terkesan pasrah. Sikapnya yang seperti ini lebih baik bagiku agar aku tidak bersikap kasar padanya."Kita menginap di sini malam ini. Mas akan menyuruh petugas hotel untuk membawakan pakaian ganti untukmu," ujarku saat kami sudah berada di dalam kamar. Hilya masih berdiri di dekat pintu, membuatku kembali merasa gemas, lalu menuntunnya menuju sofa untuk diajak duduk."Butuh yang lain, hmm? Nanti Mas minta petugas hotel untuk membawakannya," tawarku.Ia menggelengkan kepala, lalu menunduk. "Aku hanya ingin pulang ke rumah papa," jawabnya lirih."Dengarkan, Mas." Kuraih bahunya dan mengarahkan agar menghadapku. "Kita perlu bicara. Mas sengaja membawa kamu ke sini agar kita bisa bicara dari hati ke hati. Mas tidak ingin kita seperti ini terus. Mas tidak sanggup kalau kamu terus menghindar dan tak mengacuhkan, Mas. Kita ini suami istri, Sayang. Tidak pantas kalau harus terus bersitegang karena keegoisan masing-masing," paparku seraya menggenggam tangannya lebih erat. Beruntung kali ini Hilya tidak menolaknya."Mas Agam yang egois, bukan aku," kilahnya."Di mana letak egoisnya?" tanyaku. Mungkin akan aku biarkan ia meluapkan seluruh isi hatinya terlebih dahulu sampai ia puas."Mas tidak mau melepaskan, padahal sudah berkali-kali aku meminta agar Mas menceraikan aku.""Kenapa harus menceraikanmu? Tidak ada hal yang bisa dijadikan alasan untuk melepaskan kamu.""Mas sudah mendapatkan penggantiku, apa itu tidak cukup untuk dijadikan alasan?""Tidak," tegasku. "Perlu kamu tahu. Kehadiran Safia di antara kita sama sekali tidak bisa merubah perasaan Mas sedikit pun padamu. Mas masih sangat mencintaimu, bahkan rasa cinta ini masih utuh milik kamu."Hilya memalingkan wajah seakan tidak percaya atas apa yang aku ucapkan barusan. Sepertinya aku harus lebih ekstra meyakinkannya."Kalau harus jujur, seiring berjalannya waktu kebersamaan kami, rasa sayang mulai tumbuh untuk Safia. Tapi rasa itu tidak pernah bisa menandingi besarnya rasa cinta Mas untuk kamu. Mas hanya ingin kamu mengerti, Sayang. Poligami itu tidak mudah. Mas harus bisa berlaku adil pada kalian meskipun secara perasaan tentu tidak bisa dipaksakan. Mas mohon, tolong bantu agar semuanya terasa lebih ringan. Tetap bertahan bersama Mas untuk sama-sama menjalani semua ini. Mas tidak akan sanggup kalau kamu meninggalkan Mas lagi."Hilya mulai mau menatap mataku, kupasang senyum semanis mungkin padanya yang selalu berhasil membuatku mabuk kepayang jika sedang berdekatan seperti ini."Bukankah kemarin Mas sendiri yang memintaku pergi? Aku sudah menuruti keinginan Mas, tetapi kenapa sekarang Mas bertingkah seolah-olah tidak ingin kehilangan?""Maaf," lirihku seraya menatapnya dengan sendu. Perasaan bersalah kembali muncul mengingat saat itu aku terlanjur percaya pada tuduhan Mama Mirna."Saat itu Mas sedang panik dan tidak bisa berpikir jernih. Mas percaya begitu saja akan ucapan Mama Mirna yang menuduhmu sengaja mencelakakan Safia. Mungkin, sebagai bentuk hukuman karena Mas sudah menyakitimu, Mas harus kehilangan calon anak dan rahim Safia dinyatakan bermasalah sehingga ia akan sulit untuk hamil lagi," tuturku dengan perasaan bersalah yang kembali mendera.Kulihat Hilya terperangah, menggelengkan kepalanya seakan tak percaya. "Anak kalian meninggal?" tanyanya lirih."Iya, karena pendarahan hebat, anak kami tidak dapat diselamatkan.""Aku ikut berduka cita," ucapnya terdengar tulus."Terima kasih, Sayang. Meskipun sulit, tapi Mas berusaha mengikhlaskan." Kugeser duduk agar lebih dekat dengannya."Mas berharap, secepatnya akan mendapat momongan lagi dan itu dari rahim kamu," bisikku tepat di depan wajahnya yang langsung memerah.Perlahan kupangkas jarak sehingga wajah kami semakin dekat. Hampir saja bibir kami bertemu, tetapi Hilya dengan cepat memundurkan badan sampai kami kembali berjauhan.Kutatap dia dengan penuh kekecewaan. "Kenapa?""Maaf, aku belum bisa," ujarnya lirih seraya menundukkan kepala.Kembali kuhela napas kasar untuk menetralkan rasa kecewa karena lagi-lagi mendapat penolakan."Kamu istirahatlah. Mas keluar dulu, mau membeli pakaian ganti untuk kita."Kutinggalkan dia yang masih duduk dengan kepala yang menunduk. Kututup pintu dengan sedikit kasar untuk meluapkan kekesalan pada dia yang selalu tidak mengerti perasaanku yang begitu menginginkannya.Menaklukan Hilya yang sekarang sangat tidak mudah. Aku harus terus memupuk stok kesabaran untuk menghadapi dia yang selalu memberikan penolakan.Namun, demi cintaku padanya yang makin hari terasa makin besar, aku rela bersabar sampai dia mau menjalankan kewajibannya sebagai istri sepenuhnya.🌷🌷🌷Setelah perasaanku merasa tenang, aku kembali ke kamar kami sembari membawa paper bag berisi pakaianku dan untuk Hilya. Begitu aku membuka pintu kamar, istriku masih duduk di tempatnya semula dengan posisi yang sama.Aku menyimpan paper bag di atas ranjang, kemudian menghampiri dan duduk di dekatnya."Kenapa tidak istirahat, hmm?" tanyaku seraya mengelus pipinya penuh sayang.Hilya mendongak, menatapku dengan mata yang berkaca. "Maaf, aku belum bisa menjadi istri yang baik. Aku sudah terlalu banyak mengecewakan Mas," lirihnya."Hei, jangan bicara seperti itu. Buat Mas, kamu istri yang sempurna. Mas sangat mengerti kenapa kamu menjadi seperti ini. Justru Mas yang harus meminta maaf karena sudah terlalu sering menyakitimu," tuturku dengan lembut."Maaf kalau Mas terlalu memaksamu. Mas hanya tidak bisa membendung perasaan rindu yang tidak bisa ditahan lagi. Mulai saat ini Mas janji akan lebih bersabar sampai kamu merasa siap," imbuhku."Aku .... " Hilya terlihat gelisah. Kuraih dagunya agar ia mau menatapku."Kenapa?""Aku--"Suara dering ponsel menghentikan ucapan Hilya. Aku ambil benda pipih itu dari saku jas, lalu melirik Hilya sekilas saat tertera nama Mama Mirna di sana."Ya, ada apa, Ma?""....""A-apa? Iya, Agam ke sana sekarang!"Gegas kumasukan kembali ponsel ke dalam saku jas. Kutatap Hilya yang terlihat kebingungan karena aku berubah panik."Kita harus pulang. Barusan Mama Mirna bilang, Safia pingsan di kamarnya. Kamu ikut sama Mas, ya," pintaku penuh harap.**Bersambung."Kita masuk."Kueratkan genggaman pada tangan Hilya saat istriku masih bergeming di depan pintu. Kuberikan keyakinan kalau semuanya akan baik-baik saja karena aku tetap berada di sampingnya. Aku tahu kegelisahan yang tengah ia rasakan. Tuduhan Mama Mirna dan tatapan tidak suka dari mertuaku itu menjadi salah satu alasan kenapa Hilya tidak betah di rumah ini. Untuk itu, demi kenyamanan istriku, aku akan segera mengambil tindakan untuk mencarikan rumah lain agar mereka tidak tinggal dalam satu atap."Ayok, Sayang--""Nak Agam, akhirnya pulang juga."Mama Mirna tiba-tiba muncul menghampiri dengan wajah yang terlihat semringah. Namun, senyumnya tidak bertahan lama saat matanya menangkap siapa yang berdiri di sebelahku, apa lagi arah pandangnya kini tertuju pada tangan kami yang saling bertaut."Bagaimana keadaan Safia?" tanyaku untuk mengalihkan perhatiannya."Sekarang sudah sadar. Mama membujuknya agar mau makan tapi dia tidak mau. Mungkin kalau Nak Agam yang membujuk, Safia akan menurut
Makan malam terasa hambar ketika kedua istriku memilih memakan makanannya di kamar mereka masing-masing. Kalau Safia jelas karena dia masih lemah, tetapi kalau Hilya karena masih tidak nyaman jika berada dalam satu ruangan yang sama dengan Mama Mirna. Alhasil, di sinilah aku sekarang. Makan malam hanya berdua dengan Mama Mirna yang sejak tadi hanya diam, tidak seperti biasanya. Mungkin karena pembicaraan kami tadi siang yang membuatnya masih syok sampai sekarang.Cepat kuhabiskan makanan agar tidak terlalu lama berhadapan dengan Mama Mirna. Jengah rasanya ketika melihat dia yang sesekali melempar pandangan, bibirnya beberapa kali terbuka, lalu terkatup lagi. Mungkin ada yang ingin ia sampaikan tetapi tidak berani."Aku sudah selesai," ucapku seraya berdiri, bermaksud meninggalkan ruangan ini, tetapi dengan cepat Mama Mirna menahanku."Tunggu, Nak Adam! Mama mau bicara.""Sepertinya sudah tidak ada lagi yang harus dibicarakan. Keputusan Agam sudah bulat dan tidak bisa diganggu gugat."
Pov Agam"Mas, kenapa kita malah ke sini? Aku mau pulang!"Hilya terus berusaha melepaskan diri saat aku menyeretnya menuju salah satu kamar yang sudah aku pesan. Tidak aku pedulikan ringisan yang keluar dari mulutnya karena aku terlalu kuat mencengkram lengannya.Amarahku menggelegak ketika pria bernama Damar itu meminta nomor ponsel istriku dan Hilya malah memberinya. Aku seakan tidak dianggap karena Hilya sama sekali tidak meminta izin terlebih dahulu dariku."Masuk!""Mas!""Mas bilang masuk, Hilya!" gertakku tepat di depan wajahnya. Kulihat dia terperanjat, lalu menghentakan kaki memasuki kamar. Gegas aku menyusulnya setelah mengunci pintu terlebih dahulu.Kubuka jas lalu melemparkannya secara asal ke arah sofa."Mas mau ngapain?" tanyanya panik saat aku semakin mendekat."Kamu pikir?""Jangan macam-macam!" sentaknya seraya mengarahkan telunjuk ke depan wajahku."Mas! Aku bilang jangan macam-macam!" bentaknya lagi, tapi aku tidak peduli. Rasa marah dan cemburu sudah menguasai di
"Ma, tenang dulu lah. Nanti Agam jelaskan.""Kamu tuh ya, kalau poligami itu ya harus adil. Istri yang satu diajak pergi, masa yang satu malah ditinggal," sungutnya."Kan Safia masih sakit, Ma. Sudahlah, Mama ada apa pagi-pagi ke sini?" tanyaku berusaha mengalihkan pembicaraan. "Mau ketemu Hilya. Dia sudah kembali dari dua bulan yang lalu, tapi belum pernah sekali pun menemui Mama," ujarnya seraya melirik Hilya yang masih berdiri di dekat sofa."Sini, peluk Mama. Kamu enggak kangen apa?"Mama merentangkan tangan, Hilya pun menghampirinya dengan ragu. Aku mengerti mengapa sikapnya seperti itu. Mama memang sempat tidak menyukai Hilya karena dulu Papa Adi penah mengusirku dan tidak merestui hubungan kami. Namun, seiring berjalannya waktu, Mama pun mulai menyayangi Hilya karena istriku selalu berusaha mendekatkan diri pada Mama."Kenapa enggak menemui Mama? Kamu lupa sama mertuamu ini?" tanya Mama sembari meraih Hilya untuk dipeluknya."Maafkan Hilya, Ma.""Sudah-sudah! Yang penting seka
POV HILYA"Bagaimana ceritanya kamu bisa selamat dan ternyata masih hidup? Kenapa setelah dua tahun kamu baru kembali?"Mama Sari langsung memborondongku dengan pertanyaan begitu kami sudah berada di kamar. Ia menuntunku untuk duduk di pinggir ranjang dengan posisi saling berhadapan."Ceritanya panjang, Ma. Yang pasti Hilya diselamatkan oleh salah satu keluarga dan dirawat oleh mereka sampai sembuh. Hilya sempat kehilangan ingatan dan identitas semuanya raib. Karena itulah mereka tidak bisa mengantarkan Hilya untuk pulang," terangku. Saat itu memang tas berisi ponsel dan identitas milikku tidak ditemukan di mana pun. Padahal seingatku, tas itu aku simpan di jok bagian depan. Mungkin ikut terpental saat mobil yang kutumpangi jatuh ke jurang yang cukup dalam."Mama senang waktu Agam mengabari kalau kamu ternyata selamat. Mama saksi hidup bagaimana terpuruknya dia ketika mendengar kamu kecelakaan tetapi jasadmu tidak diketemukan. Agam seperti orang kalap, dia mencari kamu ke mana saja b
POV AGAM"Sandi, kerahkan orang-orangmu untuk mencari istri saya di Bandara, Terminal, Stasiun, pokoknya semua tempat yang memungkinkan dia mendatanginya!" Kumatikan telepon setelah mendapat jawaban dari seberang sana. Kupacu kembali kendaraan ini menuju Hotel tempat Damar bekerja. Entah mengapa, tetapi feelingku mengatakan kalau dia ikut terlibat dengan rencana perginya Hilya.Informasi yang kuterima semakin memperkuat keyakinan ini. Damar tidak ada di sana bahkan sudah dua hari pria itu tidak masuk kerja dengan alasan yang tidak jelas. Hatiku semakin meradang. Jangan sampai kepergian Hilya karena dipengaruhi pria itu, sebab kemarin dia sempat melihatku bersama Safia di pusat perbelanjaan. Aku tahu dengan jelas bagaimana perasaan Damar terhadap istriku. Dari tatapan matanya saja, aku bisa melihat binar cinta yang begitu besar untuk Hilya.S*al! Berani-beraninya dia mencoba merebut milikku! Kembali ke rumah adalah pilihan terakhir setelah diri ini berkeliling mencari Hilya. Andai
"Gam, sarapan dulu, Nak."Mama menghampiriku yang baru saja menuruni tangga. Wajahnya memelas, mungkin karena aku masih bersikap dingin padanya. Bukan bermaksud durhaka, tetapi aku masih kecewa pada dia yang sudah tega mempengaruhi Hilya agar pergi dari rumah ini."Agam sarapan di kantor saja," jawabku."Nak, jangan seperti itu. Mama tahu kalau Mama salah, tetapi tolong jangan bersikap tak acuh begitu. Mama janji akan minta maaf pada Hilya kalau nanti dia sudah ditemukan," tuturnya seraya memegang sebelah lenganku. Kali ini aku tak menolak. Tidak ingin bersikap kasar yang bisa menyakiti perasaan wanita yang telah melahirkanku ini."Sarapan dulu, ya. Safia dan mertuamu sudah menunggu di meja makan," pintanya.Aku pun mengangguk pasrah. Senyum Mama mengembang karena kali ini aku tidak membantahnya.Safia segera berdiri begitu melihatku berjalan ke arah meja makan. Dia mengambil jas yang tersampir di sebelah lenganku. Kemudian membawanya untuk disimpan di sandaran kursi."Aku senang, Mas
"D-den--""Sedang apa Pak Amin di sini? Bukankah seharusnya Bapak sudah pulang dari tadi sore?""Itu ... anu, Den. Bapak kan habis ngantar Nyonya Mirna dari rumah temannya, tapi pulangnya malam. Makanya Bapak memutuskan menginap di sini saja. Mbok Parmi yang menyuruh Bapak tidur di kamar ini," jelasnya dengan gugup. Aku percaya? Entahlah. Sepertinya aku harus mulai waspada dengan orang-orang yang berada di rumah ini.Pak Amin memang tidak tinggal di sini karena jarak rumahnya cukup dekat. Ia memiliki istri dan dua orang anak yang sudah dewasa. Yang satu sudah berkeluarga dan yang satunya lagi masih duduk di bangku SMA. "Terus sekarang Bapak mau ke mana?" tanyaku lagi."Bapak mau ngambil air minum, Den.""Ya sudah, saya ke kamar dulu, Pak."Pak Amin mengiyakan, aku pun kembali ke kamar Safia untuk beristirahat karena mata ini mulai didera rasa kantuk. Safia masih tertidur pulas, mungkin karena kelelahan setelah percintaan kami tadi. Kubaringkan tubuh ini di sebelah dia yang tidur deng