Embun mengerjapkan mata akibat pancaran sinar matahari yang berhasil menyelinap lewat celah jendela, matanya terasa aneh akibat menangis semalaman. Embun melirik ke samping, kosong, tidak ada lagi senyum hangat yang menyambutnya dan mengucapkan selamat 'pagi matahariku'. Embun tersenyum getir, dadanya kembali sesak mengingat semua yang sudah terjadi dalam waktu singkat ini.
Embun berharap jika pagi ini dirinya bangun dari mimpi buruk. Namun, sayang yang terjadi adalah nyata. Embun bangkit lalu meregangkan badan yang terasa pegal, rasanya bukan hanya hati yang hancur, tapi raganya juga. Wanita itu segera menuju kamar mandi, dia akan melakukan aktivitas seperti biasa.
Sehabis mandi Embun berpakaian rapi dan merias wajahnya yang sembab, meskipun sulit menyembunyikan kondisinya dibalik make-up. Embun mencoba berdamai dengan kenyataan, tidak ada gunanya terus menangis karena keadaan tidak akan berubah. Yang harus dia lakukan sekarang adalah menyiapkan mental untuk menghadapi segala kemungkinan kedepannya. Dia tidak tahu apa yang telah menunggunya di depan sana, entah itu kesakitan ataupun kebahagiaan.
"Mulai sekarang aku harus membahagiakan diriku sendiri karena aku tidak bisa menggantungkan kebahagiaanku kepada siapapun lagi, termasuk suamiku sendiri," gumam Embun sambil memandang pantulan dirinya yang menyedihkan di cermin. Wanita itu meraih tasnya lalu turun ke bawah.
"Bi, sarapannya mana?" tanya Embun melihat meja makan kosong.
"Nyonya mau Bibi buatkan sarapan?" tanya bi Marsinah setelah mendekati Embun.
"Iya, mulai sekarang saya sudah tidak mau lagi mengurusi soal makanan."
"Nyonya mau Bibi buatkan sarapan apa?"
"Tidak usah, Bi. Besok saja, hari ini saya sarapan di luar saja." Embun menenggak segelas air lalu beranjak dari kursi.
Memang selama ini untuk urusan makanan Embun yang memasak dan pekerjaan lain ART yang mengerjakan, Lintang sangat menyukai masakan Embun karena cocok di lidahnya. Namun, mulai hari ini Embun tidak mau lagi terjun langsung ke dapur. Dia merasa apa yang dilakukannya selama ini sia-sia.
Terdengar suara sepatu seseorang beradu dengan lantai, menggema di rumah sepi itu. Embun mengernyitkan dahi dan tidak lama kemudian Langkah Embun terhenti ketika melihat siapa yang datang pagi-pagi.
"Mas, mau apa di sini?" Mata Embun melirik koper yang dibawa Lintang dan istri barunya.
"Embun, aku pulang."
"Maksud, Mas?" Embun mengernyitkan dahi, perasaannya mulai tidak enak.
"Kami akan tinggal di sini juga, Mba. Kita akan tinggal bersama," ucap Jasmine merobek jantung Embun, meruntuhkan kekuatan yang baru saja terkumpul.
"Ti-tinggal di sini?" Embun tergagap. Jantungnya berdegup cepat, kepedihan apa lagi yang akan menimpa hidupnya. Tidak memberi jeda untuk lukanya mengering sudah digores dengan luka yang baru. Setega itukah Lintang padanya.
"Iya, Embun. Mas harap kamu bisa menerima, Jasmine orang yang baik, Mas yakin kalian bisa akur. Anggaplah kalian bersaudara," tutur Lintang semakin memperdalam luka hati Embun.
"Iya, Mba. Kata Mas Lintang biar dia bisa selalu menjaga kita berdua," imbuh Jasmine.
Perkataan Jasmine membuat gendang telinga Embun sakit, Embun tersenyum miring sambil menekan sesak di dada.
"Aku mau bicara, Mas!" Embun menatap Lintang tajam dan melesat ke dalam.
Lintang memerintah Jasmine untuk duduk dulu di sofa kemudian lelaki itu menyusul Embun yang sudah menghilang.
"Embun …." Lintang masuk ke kamar dan mendekati istrinya yang berdiri menghadap jendela. Lelaki itu memeluk Embun dari belakang. Namun, belitan tangan Lintang dihempas Embun. Embun merasa jijik, membayangkan apa yang sudah terjadi antara Lintang dan Jasmine semalam.
"Belum puas kau menyakitiku, Mas? Luka yang kemarin belum kering, Mas. Dan sekarang kau perparah lagi dengan membawa duri masuk ke rumah kita?" sarkas Embun, matanya berkaca-kaca.
"Kenapa tidak kau ceraikan saja aku daripada menyiksaku seperti ini?" tambah Embun meledak-ledak, ia sangat kecewa.
"Embun, aku selalu ingin di dekatmu, aku tidak bisa jauh darimu …." Tangan Lintang terulur hendak mencoba meraih tubuh Embun. Namun, tidak sampai menyentuh karena Embun terus menghindar.
"Tapi kenapa harus membawa istrimu ke sini, kenapa kalian tidak tinggal di rumah lain saja, kenapa Mas? Atau aku yang harus tinggal di tempat lain?" sela Embun.
"Embun, tolong mengertilah, cobalah untuk menerima Jasmine. Aku ingin menjaga kalian berdua, tinggal di tempat yang terpisah hanya akan menyulitkanku dalam menjaga kalian. Kalian berdua istriku dan aku ingin kalian berdua selalu di sampingku."
"Kau egois sekali, Mas! Tidak ada sedikitpun kau memikirkan bagaimana perasaanku, yang penting egomu terpenuhi tanpa peduli jika nanti lukaku semakin parah."
"Embun tolong …."
"Terserah kau saja, Mas. Aku tidak berhak mengaturmu." Embun bergegas keluar kamar meninggalkan Lintang. Lintang meremas rambut, frustasi.
*****
"Mengapa kau tega sekali, Mas?" gumam Embun sambil fokus menyetir, sesekali tangannya menyeka lelehan air mata di pipi. Tidak lama kemudian Embun menepikan mobil di tepi jalan karena pandangannya kabur akibat air mata yang tidak ingin berhenti keluar.
"Aku baru saja mulai belajar mengikhlaskan, tapi kenapa kekuatanku kau runtuhkan? Aku baru saja mau mulai berdamai dengan kenyataan, tapi kenapa kau terus-terus menorehkan luka, Mas! Tidakkah kau empati padaku sedikit saja, setidaknya sampai lukaku sedikit membaik!" Embun menelungkupkan wajah di atas setir dan menangis tersedu-sedu.
Setelah cukup puas menumpahkan air mata, Embun kembali melajukan mobil menuju toko kue miliknya. Tidak berapa lama mobilnya berhenti karena rambu menunjukkan warna merah. Embun menghela napas kasar, ada saja hal yang membuat kepalanya terasa berat.
Embun dengan tidak sabar menunggu rambu berubah hijau, mata wanita itu menatap ke depan berharap barisan kendaraan di depannya segera bergerak. Seorang pedagang asongan menghampiri mobil Embun dan menawarkan barang dagangannya. Kasihan melihat bapak tua yang menjajakan dagangan, Embun pun memutuskan membeli tisu.
Setelah kepergian pedagang asongan tersebut, tak sengaja mata Embum menangkap pemandangan yang memedihkan mata dan hatinya. Sebuah keluarga kecil yang tampak bahagia, sepasang suami istri berboncengan di atas motor sederhana, ditengah-tengah mereka ada seorang anak kecil berusia sekitar tiga tahun. Gadis kecil itu tampak cerewet dan sesekali tangannya menunjuk objek yang menarik perhatiannya.
Embun mengamati tingkah lucu anak kecil itu dari balik kaca mobil dengan mata yang berkaca-kaca. Dalam hati Embun memekik, dia juga ingin berada di posisi seperti ibu gadis kecil itu, tapi apalah daya wanita mandul sepertinya. Air mata yang baru saja mengering kini kembali tumpah.
"Kenapa aku harus mengalami semua ini, Tuhan? Apa dosaku dimasa lalu hingga engkau hukum aku dengan cara seperti ini? Aku tidak sekuat itu, Tuhan. Ini terlalu sakit, aku rapuh," racau Embun tersedu-sedu lalu memukul setir mobil.
"Dulu aku percaya dengan pepatah yang mengatakan akan ada pelangi setelah hujan, aku pikir kamulah pelangi itu, Mas. Ternyata kamu adalah badai yang memporak-porandakan hidupku!"
"Harusnya aku mati saja dalam kecelakaan itu," tambah Embun frustasi. Kecelakaan yang telah merenggut kebahagiaan dan menjadikannya wanita mandul.
Bersambung ….
Pagi ini Embun pergi ke kantor polisi untuk mengurus surat keterangan kehilangan. Dia harus cepat-cepat mengurusnya sebelum dirinya disibukkan dengan toko kue yang sebentar lagi akan beroperasi. Bukan tidak mungkin dia akan melupakannya lagi.“Sudahi kebodohanmu, Embun!” gumam Embun pada dirinya. Dia kemudian turun dari mobil dan masuk ke dalam kantor polisi.“Selamat pagi, Pak. Saya ingin melaporkan kehilangan buku nikah saya dan meminta surat keterangan kehilangan,” kata Embun pada petugas SPKT (Sentra Kepelayanan Polisi Terpadu).“Selamat pagi, Ibu. Tentu, bisa dijelaskan lebih lanjut? Buku nikahnya hilang di mana atau bagaimana ceritanya?” tanya sang polisi.“Buku nikah saya hilang beberapa hari yang lalu dan saya sudah mencarinya di seluruh rumah, tetapi saya tidak menemukannya. Saya butuh surat keterangan kehilangan untuk mengurus duplikatnya di KUA.” Embun menjelaskan.“Baik, Ibu. Saya akan bantu buatkan laporan kehilangan. Sebelumnya, bisa saya lihat identitas Ibu, seperti KTP
“Sayang, saudara kamu pinjam uang lagi?” tanya Eros mendekati Jenar sembari memegang ponsel. Jantung Jenar berdetak cepat, tubuhnya panas dingin.“I-iya, Mas. Ada masalah sehingga harus operasi lagi.” kata Jenar dengan gugup. Sejak beberapa hari yang lalu dia selalu mentransfer Jafar lagi. “Jumlah yang dipinjam sangat besar, kapan mereka akan mengembalikannya?” tanya Eros mengalihkan pandangan pada wajah Jenar. “Dan apa pekerjaan saudaramu itu?” lanjutnyaJenar terdiam dengan jantung yang berdebar-debar. Bukan debaran jatuh cinta melainkan debaran ketakutan.Dia memaksa otaknya berpikir mencari jawaban yang masuk akal untuk membuat Eros percaya.“Siapa namanya?” tanya Eros mengejutkan Jenar.“Namanya … Jafar. Anak Jafar itu yang operasi.”“Kau kenapa? Seperti terkejut?” Eros heran melihat reaksi sang istri.“Tidak, aku hanya sedang memikirkan anak-anak kita,” kata Jenar cepat lalu menampilkan senyum palsu.“Jika mereka pinjam lagi tolak saja, kita sudah cukup banyak membantu. Kita j
“Haha! Rasakan itu mandul! Pasti sekarang dia sedang bersimbah air mata,” gumam Jenar senang. Wanita itu diam-diam mengikuti dan menyaksikan semuanya. “Aku tidak akan puas sebelum mereka bercerai! Aku dan adikku pantas menjadi satu-satunya wanita di hati lelaki kami,” monolog Jenar sambil menatap pantulan dirinya di cermin wastafel. “Aku sudah berhasil menyingkirkannya dari hidup Mas Eros dan sekarang aku juga akan menyingkirkannya dari suami adikku,” lanjutnya dengan senyum menyeringai. “Menyingkirkan tanpa jejak.” Jenar merasa bangga mengingat apa yang telah dilakukannya pada Embun dulu. “Bahkan hingga detik ini tidak ada seorang pun yang tahu,” lanjutnya tersenyum penuh kemenangan. “Kecuali para oknum itu … dan Jafar. Ya, Jafar sialan! Sekarang dia muncul lagi memanfaatkan semua itu untuk memerasku!” gerutu Jenar dengan kesal, tangannya mengepal mengingat Jafar yang selalu menerornya. “Sial!” Dia memukul pelan meja wastafel. “Bagaimana aku harus menghindari lelaki itu? atau
Embun terpaksa masuk kembali ke dalam rumah sakit mengikuti suaminya. “Mas …,” kata Embun mengimbangi langkah Lintang. Lelaki itu diam saja seperti tidak mendengar ada yang bicara.“Mama tadi sudah mengusirku,” lanjutnya.“Kau pantas mendapatkannya,” sahut Lintang datar dan merobek hati Embun.“Mas, aku ….”“Tidak usah membantah, kau memang salah!” ketus Lintang menyela ucapan istrinya.“Baiklah,” batin Embun, dia tersenyum getir.Melihat kedatangan Lintang dan Embun, amarah Bu Inggrid kembali tersulut. Dia berdiri dan siap mengusir kembali menantu yang memuakkan itu.“Untuk apa kamu bawa wanita ini lagi kemari?” ketusnya lalu menatap Embun dengan mata melotot.“Ada yang ingin aku bicarakan dengannya, Ma,” sahut Lintang.“Bagaimana keadaan Jasmine, Ma? Bagaimana dengan bayi kami.” Tampak sekali wajah Lintang panik.“Mama belum tahu, dari tadi Mama di sini dokter belum keluar juga. Semoga saja mereka baik-baik saja.”“Semoga,” kata Lintang.“Semua ini gara-gara wanita sialan ini!” Bu I
“Lepaskan brengsek!” Pekik Jenar.“Bila perlu kupatahakan saja tanganmu ini,” kata Embun sambil memelintir tangan Jenar semakin kuat. Wanita itu semakin menjerit, tangannya terasa seperti mau lepas.“Wanita jahat sepertimu pantasnya dibuat cacat saja biar tidak bisa lagi melakukan kejahatan. Kau telah menghancurkan hidup seseorang dan berlagak seperti tidak memiliki dosa. Dan sekarang kau juga berlagak ingin menjadi pahlawan?” Tubuh Jenar menegang mendengar perkataan Embun.“Apa maksudmu berkata seperti itu? Siapa yang kau maksud?” suara Jenar sedikit bergetar, Embun tahu wanita itu sedang ketakutan.“Menurutmu siapa?”“Mengapa bertanya padaku, mana aku tahu. Lepaskan!” Jenar memberontak, tetapi tak kunjung terlepas.Obrolan Jenar dan teman lelakinya di parkiran waktu itu kembali terngiang-ngiang di ingatan dan membuat darah Embun mendidih. Dia jadi gelap mata dan memelintir tangan Jenar semakin keras membuat wanita itu menjerit histeris.Melihat Jenar tersiksa Jasmine berdiri dan sek
“Jasmine! Jasmine! Jasmine, bangun, sayang,” Lintang menepuk-nepuk pipi sang istri untuk membangunkannya dari mimpi buruk. Ibu hamil itu terbangun dan duduk. Napasnya terengah-engah.“Kamu mengalami mimpi buruk,” kata Lintang lalu meraih gelas air putih di atas nakas dan memberikannya pada sang istri. Jasmine hanya meminum setengahnya.“Mas …,” Jasmine seperti ingin menangis.“Tenanglah itu hanya mimpi.” Lintang meraih tubuh Jasmine dan memeluk untuk menenangkannya.“Aku masih merasa sedih, meskipun hanya mimpi, tapi semua terasa seperti nyata,” kata Jasmine.“Kau bermimpi tentang apa?”“A-aku bermimpi tentang Mba Embun, dia kecelakaan dan meninggal.” Suara Jasmine bergetar. “Aku menyaksikan bagaimana kondisinya yang mengenaskan, ada bagian tubuhnya yang terpisah dan itu sangat mengerikan. Darah yang berceceran itu masih jelas teringat dan semua terasa nyata,” lanjut Jasmine bercerita.“Tenanglah, Mba-mu pasti baik-baik saja. Mimpi hanyalah bunga tidur.”“Aku takut, Mas. Aku takut ter