,
Embun melenggang ke dalam toko kue dengan wajah sembab, tidak dipedulikannya jika nanti ada mata yang memperhatikan. Ia mendaratkan bokong di kursi kebanggaannya, tubuhnya lelah. Wanita itu menyandarkan kepala pada sandaran kursi sambil mendongakkan kepala ke atas dengan mata terpejam.
Embun mulai memikirkan skenario hidupnya, andai saja dirinya dapat memberikan keturunan untuk keluarga Svarga tentulah sang suami tidak akan menikah lagi. Sungguh malang nasibnya, berharap bahagia di pernikahan keduanya malah terjebak dalam lembah derita yang lebih menyakitkan. Bertahan sakit, pergi sulit itulah yang dirasakannya kini.
Embun mengganti posisi, wanita itu menumpukan kedua sikunya di atas meja dengan telapak tangan menutupi wajah, menahan air mata yang hendak lolos karena perih hati tak kunjung reda.
Apa dirinya terlalu egois karena tidak ingin berbagi cinta suami? Tapi wanita mana yang rela jika disposisi dirinya. Dirinya tidak sesolehah itu, dengan lapang dada menerima dipoligami. Namun, Embun sadar jika usia manusia tidak selamanya muda. Siapa yang akan menjaga mereka di hari tua nanti jika tidak memiliki anak. Embun tau, Lintang juga pasti mendambakan seorang anak.
"Ya Allah, jika ini takdir yang terbaik untukku, ku mohon beri aku kekuatan untuk menjalaninya," batin Embun.
Tiba-tiba terdengar suara pintu ruanganya diketuk, Embun segera menyeka bulir bening yang berhasil menembus pertahanannya, ia juga mengatur napas agar lebih tenang.
"Masuk!" titah Embun yang mengira jika itu adalah karyawannya, ia langsung berpura-pura menyibukkan diri dengan laptop. Tidak lama kemudian terdengarlah derit pintu terbuka dan langkah kaki yang mendekat serta aroma parfum yang sangat dikenal menguar di indera penciumannya. Ia tahu siapa yang datang.
"Embun," tukas Lintang setelah mendaratkan bokong di kursi yang berseberangan dengan meja Embun.
"Ada apa, Mas?" Mata sembab Embun memberanikan diri menatap wajah orang yang menyebut namanya. Untuk beberapa saat mata mereka bertemu, menyiratkan sesuatu yang tidak mampu mereka katakan. Embun berusaha terlihat tenang, meski hatinya terasa seperti disayat-sayat.
Lintang meraih kedua tangan Embun dengan lembut dan menggenggamnya, Embun tidak menolak. Embun telah memutuskan untuk berdamai dengan kenyataan hidupnya dan menerima Jasmine sebagai madunya, meski sulit.
"Embun, aku …."
"Maafkan aku, Mas. Aku terlalu egois, tidak seharusnya aku menyalahkanmu, kamu berhak bahagia. Mulai sekarang aku ikhlas berbagi hatimu denga dia, aku ikhlas kita berjalan bertiga beriringan untuk mencapai kebahagiaan," sela Embun, berusaha menetralkan suara agar terlihat kuat, meski air mata terus mendesak ingin keluar. Wanita itu mengatur napas sebelum melanjutkan perkataannya, ia harus mengumpulkan kekuatan yang lebih besar lagi.
"Untukmu," lanjut Embun dalam hati. Dadanya begitu sesak, nyatanya ikhlas tidak semudah membalikkan telapak tangan.
"Ini bukan salahmu, Mas. Ini salahku sendiri, salahku yang tidak bisa memberikamu keturunan, aku tidak sempurna," tambah Embun dengan mata berkaca-kaca, sulit sekali menyembunyikan perasaannya saat ini. Namun, Embun terus membendung air mata itu agar tidak tumpah.
"Aku tahu kamu sakit, Embun. Tapi, bukan inginku melukaimu, sekali lagi maafkan aku," ucap Lintang semakin mengeratkan genggamannya, matanya menatap ke dalam mata Embun, Ia dapat melihat dengan jelas luka yang menganga di sana dan merasa semakin bersalah. Lintang memejamkan mata sambil mengatur napas, menghalau sesak yang bersarang di dada sebelum kelanjutan kalimatnya.
"Seperti namamu, hatimu juga sebening embun, terima kasih atas keikhlasanmu. Aku tidak ingin menjanjikan apapun lagi untukmu karena aku takut menyakitimu lebih lagi." Lintang menundukkan kepala, tidak sanggup menatap manik mata sang istri.
"Aku tidaklah sebaik yang kau katakan, Mas. Aku hanya berusaha dan semoga Tuhan memberiku kekuatan." Embun menarik tangannya dari genggaman Lintang. Lagi-lagi ia mengatur napas sebelum melanjutkan kalimatnya.
"Aku memang tidak ingin lagi mendengar janji apapun, aku membenci janji sebab karena janji aku terluka," tambah Embun sambil memalingkan wajah ke kiri, hatinya berdenyit-denyit ketika janji-janji manis yang pernah keluar dari mulut orang yang dicintainya terngiang-ngiang di kepala.
"Maafkan aku, aku salah." Lintang tertunduk, merasa tertampar karena ucapan sang istri.
"Bukan salahmu, ini sudah takdir." Embun menatap Lintang yang tertunduk.
"Aku sadar hidup ini bukan cuma tentang kita berdua saja, Mas. Mama, papa, mereka berhak bahagia, aku lupa memikirkan mereka karena terlalu egois, maafkan aku. Sebagai istri harusnya aku mendukungmu berbakti pada mereka karena surgamu tetap berada di bawah telapak kaki ibumu. Aku ikhlas, Mas, aku ikhlas." Suara Embun bergetar, pertahanannya sejak tadi runtuh juga. Melihat itu Lintang mengulurkan tangan hendak menghapus bulir bening yang mengalir di pipi sang istri. Namun, belum sampai menyentuh kulitnya, Embun menahan tangan Lintang.
"Biar ku hapus sendiri, Mas," ujar Embun lalu mengambil tisu dan menyeka air mata. Lintang menarik kembali tangannya, hatinya berdenyit atas penolakan Embun. Namun, ia sadar Embun seperti itu karena dirinya.
"Karena kaulah penyebab air mata ini jatuh" Lanjut Embun dalam hati.
"Sekali lagi aku minta maaf …."
"Tidak perlu terus-terusan meminta maaf, Mas. Sudah kukatakan ini bukan salahmu dan aku sudah ikhlas," sela Embun sambil menyeka sisa air matanya.
Lintang berdiri, kemudian berjalan mendekati Embun lalu memeluknya. Embun ragu ingin membalas pelukan itu, nyatanya pelukan itu rasanya tidak lagi sama. Lintang saat ini memeluknya, tetapi mengapa Embun merasa jauh.
"Terima kasih atas pengertiannya, Embun. Kamu wanita paling baik yang pernah aku kenal, aku …."
"Tidak perlu memujiku berlebihan, aku hanya manusia biasa," sela Embun lagi. Ia menggigit bibir bawahnya yang bergetar karena hatinya menjerit.
Cukup lama mereka berpelukan hingga dering ponsel Lintang mengurai pelukan mereka berdua. Lintang segera merogoh saku celananya dan melihat siapa yang menelpon, Embun tidak segaja melihat nama yang tertera di layar ponsel suaminya, hatinya berdenyit, untuk berpelukan saja mereka tidak bisa berlama-lama. Embun tersenyum getir, dirinya dapat membayangkan jika setelah ini ia akan terus kalah oleh sang madu, terlebih jika nanti Jasmine hamil. Bukan tidak mungkin dirinya terlupakan karena semua orang lebih memprioritaskan Jasmine termasuk suaminya sendiri.
Lintang berjalan sedikit menjauh menjawab panggilan dari istri barunya, Embun hanya bisa mengikuti langkah Lintang dengan tatapan sendu. Ingin mencegah, berteriak, tetapi tidak ada gunanya selain menguras energi. Membuat jiwanya semakin lelah, lebih baik ia pendam saja di dalam hati.
Setelah beberapa menit panggilan pun berakhir, Lintang pamit pada Embun dan tidak lupa mendaratkan sebuah kecupan di puncak kepala sang istri sebelum ia keluar dari ruangan itu. "Aku pergi dulu, ya, love you!"
Embun bergeming, jika dulu hatinya berbunga-bunga mendengar kata itu, saat ini rasa itu tidak lagi sama. Terasa hambar karena hatinya terlanjur sakit.
"Ya Allah, kenapa rasanya sulit sekali untuk ikhlas, meski bibir ini sudah mengatakan ikhlas. Namun, hati ini tetap sakit," batin Embun sambil menolehkan kepala, mengikuti langkah Lintang lewat ekor mata hingga menghilang di balik pintu.
Bersambung ….
Setelah sarapan, Lintang bergegas naik ke kamar, dia teringat akan sesuatu. Jasmine pun menyusul sang suami.“Mas, kau sedang apa?” tanya Jasmine muncul dari balik pintu. Dia melihat suaminya sibuk dengan mencari dan mengeluarkan kertas dari laci.“Mas sedang siapkan berkas-berkas dan bukti untuk mengajukan sidang isbat nikah nanti. Kalau semua sudah lengkap, Mas tinggal bawa ke pengadilan,” kata Lintang sambil tangannya bergerak lincah. Dia tidak menoleh pada sang istri.Jasmine senang mendengarnya, tetapi di sisi lain dia mau Lintang menceraikan Embun. Tidak mengapa, mengalah sebentar. Yang penting status yang sama dulu dengan Embun. Rencana kedepannya dia akan pikiran lagi.“Mau di bawa kemana semua itu, Mas?” tanyanya lembut sambil memperhatikan berkas-berkas dimasukkan ke dalam tas kerja. Jasmine duduk di atas tempat tidur menghadap sang suami.“Mas akan membawanya ke kantor. Di sana mas bisa fotokopi dokumen yang perlu,” kata Lintang tanpa mengalihkan perhatian dari berkas-berka
Di kediaman keluarga Svarga, saat ini mereka tengah menikmati sarapan pagi dengan khidmat. Dentingan piring beradu dengan sendok mengisi ruangan ditambah dengan obrolan ringan yang membuat hubungan kekeluargaan semakin erat.“Lintang, kamu sudah punya rencana untuk syukuran tujuh bulanan istrimu?” tanya Bu Inggrid di sela-sela makannya. Lintang mengangkat kepala dan menatap sang ibu. “Lintang belum kepikiran soal itu, Ma.”“Kamu Ini memang tidak perhatian menjadi suami, jangan-jangan kamu tidak tahu berapa usia kandungan istrimu,” sahut Pak Yolan menyela ucapan Lintang. “Kami saja sebagai calon kakek dan nenek selalu menghitung setiap bulannya,” tambah Bu Inggrid.“Bukan seperti itu, Ma, Pa. Lintang sibuk berkerja, jadi terkadang tidak terpikirkan yang lain lagi. Yang penting bagiku istri dan anakku sehat dan selamat. Itu saja,” kata Lintang.“Mas Lintang benar, Ma. Jasmine juga hanya berharap anak kami lahir dengan sehat dan s selamat tanpa kekurangan satu apapun,” imbuh Jasmine.“
Malam semakin larut, semua penghuni rumah sudah terlelap. Namun, tidak dengan Jenar. Dia tidak bisa tidur karena terus memikirkan masalah-masalah yang kini menghimpit hidupnya. Jenar meremas kuat ujung selimut. Perasaan cemas, takut dan bayangan-bayangan buruk berputar di kepala membuatnya sangat tidak tenang. Di kamar yang sunyi dan tenang itu, isi kepala Jenar begitu berisik. “Ya, Tuhan. Tolong berikan aku jalan agar aku bisa menyelesaikan masalah ini,” kata Jenar dalam hati dengan penuh harap.“Aku tahu aku pernah salah, Tuhan, tapi kali ini tolonglah aku. Maafkan kesalahan yang pernah kulakukan. Aku mohon kali ini tolong aku.” Jenar memohon dalam hati. Matanya terpejam. Kepalanya sudah panas berpikir namun tak kunjung menemukan jalan.“Apa aku harus bekerja agar dapat uang?” Jenar bertanya pada dirinya sendiri karena sebuah ide muncul di kepala. “Tapi … apakah Mas Eros akan mengizinkan?” Dia ragu, mengingat Eros hanya ingin Jenar di rumah, mengurus suami dan anak saja. Semangatny
Lintang berdiri di balkon kamar, memandangi gemerlap bintang di langit yang terlihat indah malam ini. Angin sepoi-sepoi menerpa wajah membuat perasaannya tenang.“Aku bersyukur sekali, akhirnya Embun sadar. Meskipun harus membiarkannya sendiri dulu saat ini, tapi itu bukanlah suatu hal yang buruk. Nanti juga aku akan bisa memeluknya seperti dulu. Lebih tepatnya memeluk kedua istriku.” gumam Lintang sembari mendongak, matanya tak lepas dari keindahan langit. “Aku tidak harus kecewa dengan keputusannya, ini hanya sementara,” tambahnya merasakan sedikit kekecewaan. Kepalanya menunduk.“Aku tahu, kau tidak sekejam itu. Kau hanya kecewa di awalnya saja. Aku tidak salah mempertahankanmu karena akhirnya hatimu luluh juga.” Bibir Lintang melengkung membentuk sebuah senyuman. Pandangannya lurus ke depan seolah Embun berada di sana. “Aku berhasil,” lanjutnya bangga. “Kalau sudah begini, nanti aku tidak akan susah lagi membujuknya agar mau melakukan sidang.” Bibir itu tersenyum semakin lebar.
“Oh, ya, Jenar. Mulai hari ini Mama mau tinggal di sini, tinggal sama kalian dan cucu-cucu Mama yang lucu,” kata Bu Riana membuat Jenar semakin terkejut.“Ke-kenapa begitu, Ma? Bagaimana dengan Eris?” Jenar gugup, tapi tetap berusaha agar ekspresi wajahnya biasa saja. “Eriska Minggu depan mau ke Malaysia, dia dipindah tugas ke sana. Mama tidak mau di rumah sendirian, sepi, tidak ada teman ngobrol. Setelah Mama pikir lebih baik Mama tinggal sama kalian,” jelas Bu Riana. Jenar menghela napas kasar tanpa sepengetahuan mertuanya, seketika beban di pundaknya terasa bertambah.Jenar jadi kesal terhadap wanita paruh baya itu. Bukan tidak ingin wanita itu tinggal di rumahnya, tetapi saat ini dia tidak ingin ada lebih banyak orang di rumah. Ia takut rahasianya terbongkar. “Wanita tua ini hanya akan menambah masalahku saja!” umpatnya dalam hati.Di lubuk hati yang paling dalam, sungguh Jenar tidak ingin satu atap dengan mertua. Terlebih dari rumor yang dia dengar jika mertua sering menjadi b
Matahari bersinar hangat menyambut hari yang istimewa. Di sepanjang trotoar, balon warna-warni menari tertiup angin, dan spanduk bertuliskan “Grand Opening Embun’s Cake - from oven to heart” terpampang di depan toko yang baru dibuka.Aroma harum kue panggang tercium dari balik etalase kaca. Barisan pengunjung mulai mengular, penasaran mencicipi aneka kue spesial yang menggoda selera. Dari brownies lembut, cheese tart creamy, hingga kue lapis legit khas racikan rumahan.Di dalam toko, nuansa hijau pastel berpadu dengan dekorasi bunga segar dan senyum ramah para staf. Musik lembut mengiringi langkah pengunjung yang masuk satu per satu, disambut dengan welcome drink dan potongan kue tester.Embun, dengan wajah penuh haru dan bangga, berdiri di tengah keramaian. Setelah kata sambutan singkat dan doa bersama, pita di depan pintu dipotong. Tepuk tangan pun bergema, menandai toko Embun’s Cake resmi dibuka.Lintang lewat di depan toko kue Embun dan melihat keramaian itu. Dia sedikit heran dan