Share

Bab 5 | Aku Ikhlas, Mas.

Embun melenggang ke dalam toko kue dengan wajah sembab, tidak dipedulikannya jika nanti ada mata yang memperhatikan. Ia mendaratkan bokong di kursi kebanggaannya, tubuhnya lelah. Wanita itu menyandarkan kepala pada sandaran kursi sambil mendongakkan kepala ke atas dengan mata terpejam. 

Embun mulai memikirkan skenario hidupnya, andai saja dirinya dapat memberikan keturunan untuk keluarga Svarga tentulah sang suami tidak akan menikah lagi. Sungguh malang nasibnya, berharap bahagia di pernikahan keduanya malah terjebak dalam lembah derita yang lebih menyakitkan. Bertahan sakit, pergi sulit itulah yang dirasakannya kini. 

Embun mengganti posisi, wanita itu menumpukan kedua sikunya di atas meja dengan telapak tangan menutupi wajah, menahan air mata yang hendak lolos karena perih hati tak kunjung reda. 

Apa dirinya terlalu egois karena tidak ingin berbagi cinta suami? Tapi wanita mana yang rela jika disposisi dirinya. Dirinya tidak sesolehah itu, dengan lapang dada menerima dipoligami. Namun, Embun sadar jika usia manusia tidak selamanya muda. Siapa yang akan menjaga mereka di hari tua nanti jika tidak memiliki anak. Embun tau, Lintang juga pasti mendambakan seorang anak. 

"Ya Allah, jika ini takdir yang terbaik untukku, ku mohon beri aku kekuatan untuk menjalaninya," batin Embun. 

Tiba-tiba terdengar suara pintu ruanganya diketuk, Embun segera menyeka bulir bening yang berhasil menembus pertahanannya, ia juga mengatur napas agar lebih tenang. 

"Masuk!" titah Embun yang mengira jika itu adalah karyawannya, ia langsung berpura-pura menyibukkan diri dengan laptop. Tidak lama kemudian terdengarlah derit pintu terbuka dan langkah kaki yang mendekat serta aroma parfum yang sangat dikenal menguar di indera penciumannya. Ia tahu siapa yang datang. 

"Embun," tukas Lintang setelah mendaratkan bokong di kursi yang berseberangan dengan meja Embun. 

"Ada apa, Mas?"  Mata sembab Embun memberanikan diri menatap wajah orang yang menyebut namanya. Untuk beberapa saat mata mereka bertemu, menyiratkan sesuatu yang tidak mampu mereka katakan. Embun berusaha terlihat tenang, meski hatinya terasa seperti disayat-sayat. 

Lintang meraih kedua tangan Embun dengan lembut dan menggenggamnya, Embun tidak menolak. Embun telah memutuskan untuk berdamai dengan kenyataan hidupnya dan menerima Jasmine sebagai madunya, meski sulit. 

"Embun, aku …." 

"Maafkan aku, Mas. Aku terlalu egois,  tidak seharusnya aku menyalahkanmu, kamu berhak bahagia. Mulai sekarang aku ikhlas berbagi hatimu denga dia, aku ikhlas kita berjalan bertiga beriringan untuk mencapai kebahagiaan," sela Embun, berusaha menetralkan suara agar terlihat kuat, meski air mata terus mendesak ingin keluar. Wanita itu mengatur napas sebelum melanjutkan perkataannya, ia harus mengumpulkan kekuatan yang lebih besar lagi. 

"Untukmu," lanjut Embun dalam hati. Dadanya begitu sesak, nyatanya ikhlas tidak semudah membalikkan telapak tangan. 

"Ini bukan salahmu, Mas. Ini salahku sendiri, salahku yang tidak bisa memberikamu keturunan, aku tidak sempurna," tambah Embun dengan mata berkaca-kaca, sulit sekali menyembunyikan perasaannya saat ini. Namun, Embun terus membendung air mata itu agar tidak tumpah. 

"Aku tahu kamu sakit, Embun. Tapi, bukan inginku melukaimu, sekali lagi maafkan aku," ucap Lintang semakin mengeratkan genggamannya, matanya menatap ke dalam mata Embun, Ia dapat melihat dengan jelas luka yang menganga di sana dan merasa semakin bersalah. Lintang memejamkan mata sambil mengatur napas, menghalau sesak yang bersarang di dada sebelum kelanjutan kalimatnya. 

"Seperti namamu, hatimu juga sebening embun, terima kasih atas keikhlasanmu. Aku tidak ingin menjanjikan apapun lagi untukmu karena aku takut menyakitimu lebih lagi." Lintang menundukkan kepala, tidak sanggup menatap manik mata sang istri. 

"Aku tidaklah sebaik yang kau katakan, Mas. Aku hanya berusaha dan semoga Tuhan memberiku kekuatan." Embun menarik tangannya dari genggaman Lintang. Lagi-lagi ia mengatur napas sebelum melanjutkan kalimatnya. 

"Aku memang tidak ingin lagi mendengar janji apapun, aku membenci janji sebab karena janji aku terluka," tambah Embun sambil memalingkan wajah ke kiri, hatinya berdenyit-denyit ketika janji-janji manis yang pernah keluar dari mulut orang yang dicintainya terngiang-ngiang di kepala. 

"Maafkan aku, aku salah." Lintang tertunduk, merasa tertampar karena ucapan sang istri. 

"Bukan salahmu, ini sudah takdir." Embun menatap Lintang yang tertunduk. 

"Aku sadar hidup ini bukan cuma tentang kita berdua saja, Mas. Mama, papa, mereka berhak bahagia, aku lupa memikirkan mereka karena terlalu egois, maafkan aku. Sebagai istri harusnya aku  mendukungmu berbakti pada mereka karena surgamu tetap berada di bawah telapak kaki ibumu. Aku ikhlas, Mas, aku ikhlas." Suara Embun bergetar, pertahanannya sejak tadi runtuh juga. Melihat itu Lintang mengulurkan tangan hendak menghapus bulir bening yang mengalir di pipi sang istri. Namun, belum sampai menyentuh kulitnya, Embun menahan tangan Lintang. 

"Biar ku hapus sendiri, Mas," ujar Embun lalu mengambil tisu dan menyeka air mata. Lintang menarik kembali tangannya, hatinya berdenyit atas penolakan Embun. Namun, ia sadar Embun seperti itu karena dirinya. 

"Karena kaulah penyebab air mata ini jatuh" Lanjut Embun dalam hati. 

"Sekali lagi aku minta maaf …." 

"Tidak perlu terus-terusan meminta maaf, Mas. Sudah kukatakan ini bukan salahmu dan aku sudah ikhlas," sela Embun sambil menyeka sisa air matanya. 

Lintang berdiri, kemudian berjalan mendekati Embun lalu memeluknya. Embun ragu ingin membalas pelukan itu, nyatanya pelukan itu rasanya tidak lagi sama. Lintang saat ini memeluknya, tetapi mengapa Embun merasa jauh. 

"Terima kasih atas pengertiannya, Embun. Kamu wanita paling baik yang pernah aku kenal, aku …." 

"Tidak perlu memujiku berlebihan, aku hanya manusia biasa," sela Embun lagi. Ia menggigit bibir bawahnya yang bergetar karena hatinya menjerit. 

Cukup lama mereka berpelukan hingga dering ponsel Lintang mengurai pelukan mereka berdua. Lintang segera merogoh saku celananya dan melihat siapa yang menelpon, Embun tidak segaja melihat nama yang tertera di layar ponsel suaminya, hatinya berdenyit, untuk berpelukan saja mereka tidak bisa berlama-lama. Embun tersenyum getir, dirinya dapat membayangkan jika setelah ini ia akan terus kalah oleh sang madu, terlebih jika nanti Jasmine hamil. Bukan tidak mungkin dirinya terlupakan karena semua orang lebih memprioritaskan Jasmine termasuk suaminya sendiri. 

Lintang berjalan sedikit menjauh menjawab panggilan dari istri barunya, Embun hanya bisa mengikuti langkah Lintang dengan tatapan sendu. Ingin mencegah, berteriak, tetapi tidak ada gunanya selain menguras energi. Membuat jiwanya semakin lelah, lebih baik ia pendam saja di dalam hati.

Setelah beberapa menit panggilan pun berakhir, Lintang pamit pada Embun dan tidak lupa mendaratkan sebuah kecupan di puncak kepala sang istri sebelum ia keluar dari ruangan itu. "Aku pergi dulu, ya, love you!" 

Embun bergeming, jika dulu hatinya berbunga-bunga mendengar kata itu, saat ini rasa itu tidak lagi sama. Terasa hambar karena hatinya terlanjur sakit. 

"Ya Allah, kenapa rasanya sulit sekali untuk ikhlas, meski bibir ini sudah mengatakan ikhlas. Namun, hati ini tetap sakit," batin Embun sambil menolehkan kepala, mengikuti langkah Lintang lewat ekor mata hingga menghilang di balik pintu. 

Bersambung …. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status