Find me on : Facebook : Dara Kirana Instagram : dara_kirana21
Dering ponsel Embun membangunkannya dari alam mimpi dan mendapati hari sudah pagi, ia belum ingin bangkit dari kasur, tubuhnya terasa remuk.Tangan Embun kemudian meraba ke atas nakas dimana ponselnya masih berdering. Embun melihat siapa yang menelpon, kemudian mengucek mata yang terasa aneh memastikan tidak salah lihat nama si pebelpon. "Mas Lintang," gumamnya dengan suara serak. Embun rasanya tidak ingin menerima panggilan itu. Ia tidak mengerti, saat sang suami jauh ia merasa rindu. Namun, bila melihat wajah lelaki itu ia muak. Setelah menimbang-nimbang akhirnya Embun menerima telpon dari lelaki yang sejak semalam mengganggu pikirannya. "Halo," jawab Embun setelah bangkit dan duduk. "Selamat pagi, matahariku!" ucap Lintang sambil tersenyum. Kata-kata yang tidak Embun dengar selama beberapa hari ini. Wanita tersebut bergeming, kalau dulu kalimat itu terdengar manis dan membuat hatinya berbunga-bunga. Namun, sekarang ia mendengarnya hanya sebatas bualan semata. Bibir Embun terkatup
"Saya mau kamu buatkan kue ulang tahun unicorn yang cantik, mewah dan berbeda dari yang lain. Saya ingin memberikan yang terbaik untuk putri saya, sebagai ibu saya ingin membuat dia bahagia," lanjut Jenar. "Sayang, jangan seperti itu, kita bisa cari di toko yang lain," bisik Eros pada Jenar. Namun, terdengar jelas di telinga Embun. "Tidak mau! Aku maunya di sini!" rajuk Jenar seperti anak kecil, membuang wajah ke arah lain sambil tangannya bersilang dada. Perut buncitnya semakin jelas. "Iya, sayang. Jangan marah, dong. Kan, Mas cuma memberi saran saja," bujuk Eros sambil mengelus perut Jenar. Mata Embun perih melihat itu, bukan karena ia masih mencintai Eros, tapi merasa semakin tidak berdaya karena kekurangannya. Jujur dia iri pada Jenar. "Embun, apa bisa buatkan kue permintaan istri saya?" tanya Eros. Sebenarnya lelaki itu tidak enak hati meminta seperti yang Jenar inginkan, meskipun ia tahu toko Embun pasti menerima request pelanggan. Sebagai lelaki yang pernah menorehkan luk
Embun sudah rapi bersiap pergi ke toko kue, ia meraih tas dan beranjak meninggalkan kamar. Saat tangannya hampir menyentuh gagang pintu, pintu terbuka karena didorong dari luar. "Mas Lintang." Embun terkejut karena tiba-tiba Lintang muncul, lelaki yang sudah seminggu tidak ada kabar itu kini berada di depan mata. Embun melirik ke belakang sang suami mencari keberadaan Jasmine. Namun, perempuan itu tidak terlihat. "Aku merindukanmu." Lintang langsung memeluk Embun sambil menghirup aroma tubuh sang istri. Embun bergeming, matanya memanas mendengar kalimat tersebut, kalau memang sang suami merindukannya mengapa tidak menghubunginya. Mengapa setiap ungkapan yang keluar dari mulut lelaki itu terasa menyakitkan. Embun tidak membalas pelukan itu, tangannya hanya menggantung di samping badan. Lintang melepaskan pelukan, kedua tangan lelaki itu berpindah menangkup wajah Embun, mata mereka bertemu menyiratkan rindu yang menggebu. "Kau tidak merindukan aku?" kata itu meluncur dari mulu
Embun menatap pantulan dirinya di cermin, dadanya terasa sesak mengingat apa yang dilihat di meja makan tadi. Jasmine seperti tidak memberi kesempatan untuk ia dan sang suami berdua seolah-olah Lintang hanya miliknya seorang. Embun merapikan penampilan dan merias kembali wajahnya, setelah itu Embun beranjak keluar dari kamar. Rencana hari ini gagal total. Saat melewati kamar sang madu tidak sengaja Embun mendengar desahan Jasmine yang menggetarkan jiwa, tubuhnya serasa melayang karena lagi-lagi harus mendengar suara itu. Embun mempercepat langkahnya melewati kamar tersebut. "Ya, Tuhan. Apa mereka tidak memikirkan perasaanku?" Mata Embun berkaca-kaca, dengan tangan yang masih bergetar Embun menarik tuas mobil dan melajukannya ke toko kue. Pukul delapan malam, toko sudah tutup barulah Embun beranjak meninggalkan tempat itu bersamaan dengan para karyawan. Mungkin mereka bertanya-tanya karena tidak biasanya bos mereka pulang di jam yang sama dengan mereka. Embun menghela napas melepas
Di dalam kamar mandi Jasmine memuntahkan isi perutnya yang hanya berupa air. Wanita itu mual ketika mencium bau makanan yang di bawa oleh bi Mar. Ia tidak tahu apa yang terjadi, tubuhnya lemas. Jasmine membasuh wajah lalu menatap pantulan dirinya yang berantakan di cermin. Tidak lama kemudian perutnya kembali seperti diaduk-aduk dan kembali muntah, mulutnya terasa pahit. "Kau kenapa Jasmine?" Lintang menerobos masuk ke dalam kamar mandi, lelaki itu kemudian membantu memijat tengkuk Jasmine. Embun menyusul Lintang ke kamar Jasmine, penasaran apa yang terjadi pada madunya itu. Ia berdiri tidak jauh dari kamar mandi, melihat apa yang terjadi. "Aku tidak tahu, badanku lemas, Mas," ucap Jasmine lirih. Wajahnya pucat. "Kau sakit, ayo ke rumah sakit sekarang!" Lintang langsung mengangkat tubuh Jasmine, melewati Embun dan membawanya ke mobil. Wanita itu terkulai lemas dalam gendongan sang suami. Mata Embun mengikuti langkah suaminya sambil memegangi dada yang berdegup, perasaannya
"Tidak ada panggilan yang lebih special untukku? Seperti Mas panggil Mba Embun dengan sebutan sayang." tanya Jasmine lagi setelah memasang seat belt "kau juga ingin dipanggil sayang?" Lintang menoleh ke arah Jasmine sambil satu tangannya memegang tuas mobil. "Tidak mau! Aku tidak mau sama seperti Mba Embun." Jasmine menyilangkan tangan di dada dan memalingkan wajahnya ke luar jendela, ia akan memanfaatkan kehamilannya agar Lintang menuruti keinginannya. "Ya sudah kalau seperti itu." Lintang menyalakan mesin mobil dan menatap lurus ke depan. "Apa aku ini tidak spesial untukmu, Mas?" Jasmine menoleh ke arah Lintang dengan tatapan jengkel. Namun, sang suami tidak melihatnya. "Apalagi, Jasmine? Jangan bertanya yang ane-aneh." Lintang mulai menjalankan mobil. "Aku hanya ingin tahu, aku ini ada artinya atau tidak untukmu, Mas." Jasmine meluruskan pandangannya. "Kau mau apa sebenarnya?" Lintang menoleh sekilas lalu kembali fokus ke jalan. "Aku seperti tidak ada artinya untukmu,
Embun beranjak dari duduknya dan bersiap meninggalkan meja, dia tidak kuat lagi jika harus menyaksikan drama romantis itu. Lebih baik ia pergi. "Mau kemana? Kita baru saja datang dan belum pesan apapun." Lintang melirik Embun yang sudah berdiri. "Pulang," sahut Embun singkat sambil meraih tasnya kemudian meninggalkan pasangan itu. "Bagus! Wanita mandul itu sadar diri dan membiarkan kami berdua. Kenapa juga harus bertemu dia di sini, membuat moodku rusak!" batin Jasmine. Embun berjalan gontai menuju mobilnya sambil mata menerawang jauh. Tidak bisakah Lintang mengerti perasaannya sedikit saja, setidaknya jangan selalu muncul di depan mata dan menyuguhkan pemandangan yang membuatnya semakin rapuh. Bagaimanapun ia belum bisa menerima Jasmine sepenuhnya, meski ikhlas sudah terucap. Embun larut dalam lamunan sehingga tidak memperhatikan jalan, tanpa sengaja seseorang menabraknya dan membuatnya jatuh ke tanah. Embun meringis karena tubuhnya terhempas. "Maaf, Mba. Saya tidak sengaj
"Kau bertanya untuk apa? Harusnya aku yang bertanya, apa maksudnya kau bersikap seperti itu?" "Aku hanya melindungi diri dari hal-hal yang menyakitiku," jawab Embun ringan. "Tidak ada yang menyakitimu, kau saja yang merasa tersakiti!" Untuk pertama kali Lintang meninggikan suara terhadap Embun. Wanita itu bergeming, sakitnya hingga ke ubun-ubun. Ibarat luka sudah ditaburi garam ditambah lagi dengan perasaan jeruk nipis. "Coba tanyakan pada hatimu sendiri apa yang salah sehingga kau merasa seperti itu," lanjut Lintang sambil menunjuk dada sang istri. Embun menatap nyalang lelaki di depan matanya dengan dada yang bergemuruh. "Apa aku dibutuhkan untuk menyaksikan kebahagiaan kalian? Aku hanya penonton dari cerita kalian, bahkan aku tidak akan terlihat di sana!" Embun mulai melupakan perasaan, matanya berkaca-kaca. "Aku bergabung dengan kalian, tapi aku merasa sendiri dan sepi, diam menyaksikan dengan hati yang tercabik-cabik. Tidak ada yang peduli termasuk kau, Mas! Kau larut dalam k