Embun menenggak segelas air putih meredakan haus dan tenggorokannya yang seperti tercekik. Matanya menerawang jauh memikirkan kesakitan hidupnya. Embun belum ingin beranjak dari dapur karena tidak kuasa ketika melewati kamar Jasmine. Wanita itu menghela napas kasar menghalau sesak yang menghimpit dada.
"Berbagi itu indah, tapi berbagi suami itu menyakitkan," gumam Embun lalu kembali menenggak air minum. "Embun." Suara Lintang membuyarkan lamunannya. Embun terperanjat karena tiba-tiba Lintang sudah berada di sampingnya. Mata Embun memperhatikan Lintang dari ujung rambut sampai ujung kaki, terlihat keringat masih mengalir di pelipis lelaki itu. Embun bergidik, ia jijik membayangkan apa yang sudah Lintang dan Jasmine lakukan. Wanita itu menggeser tubuhnya sedikit menjauh dari Lintang. "Mas mau apa di sini?" tanya Embun pada akhirnya. "Aku haus," jawabnya singkat sambil tangannya terulur hendak mengambil gelas di tangan Embun. Embun segera menjauhkan gelas milikya, tidak sudih bibir lelaki itu menempel di gelasnya. "Kamu kenapa, Embun?" tanya Lintang heran. "Ambil saja gelas sendiri, Mas. Aku naik dulu." Embun memutar badan beranjak meninggalkan Lintang. Namun, gerakannya tertahan karena cekalan tangan Lintang dilengannya. "Jangan sentuh aku!" Refleks Embun menghempas tangan Lintang membuat lelaki itu semakin keheranan. "Kamu kenapa, Embun?" Lintang mengernyitkan dahi, bingung atas sikap sang istri. "Kau berkeringat, Mas? Apa AC di kamar kalian mati?" Bukannya menjawab Embun malah melontarkan pertanyaan yang membuat Lintang tidak nyaman. "Aku lupa menyalakannya," jawab Lintang asal, otaknya tidak bisa berpikir jernih. Lelaki itu mengusap tengkuknya. ."Oh, kenapa bisa lupa?" "Aku dan Jasmine terlalu mengantuk, jadi kami langsung tidur saja. Kenapa kau bertanya seperti itu?" "Tidak, aku hanya penasaran saja kenapa kau bisa berkeringat seperti itu, Mas. Seperti kita …." "Jangan berpikir yang aneh-aneh. Tidak baik, Ini sudah malam," sela Lintang. "Kenapa? Sepertinya kau takut sekali aku berpikir yang aneh-aneh, Mas? "Aku hanya tidak ingin kau sakit karena pikiranmu sendiri."Embun tergelak menutupi lukanya yang semakin menganga. Nyatanya ia sudah tau yang sebenarnya, ia bukan lagi anak kecil yang dengan mudah Lintang bohongi dengan cerita karangan. Embun memutar badan dan beranjak meninggalkan Lintang. "Kau mau kemana?" "Aku ngantuk!" Embun segera melesat ke kamarnya, tanpa menoleh sedikitpun pada sang suami. Lintang hanya menatap kepergian Embun hingga ke anak tangga. *****Pagi-pagi pak Yolan dan bu Inggrid juga pak Wijaya datang berkunjung. Canda tawa menghiasi meja makan, semua orang berbahagia, kecuali Embun. Ingin rasanya ia undur diri dari meja itu, mereka seakan tidak melihat keberadaan dirinya. Sejak tadi Embun hanya menjadi pendengar setia celotehan-celoteh dua keluarga itu. Terlihat Jasmine diperlakukan dengan begitu istimewa oleh mertuanya, sebagai wanita biasa ada rasa iri yang menyelinap ke dalam hatinya. "Bagaimana keadaanmu, Nak? Apa kau bahagia? Apa Lintang memperlakukanmu dengan baik?" tanya pak Wijaya pada putrinya. "Iya, Pa. Jasmine bahagia, Mas Lintang memperlakukan Jasmine dengan sangat baik. Iya, kan, Mas?" sahut Jasmine sambil melirik suaminya dengan penuh arti. "I-iya," jawab Lintang. Ekor mata lelaki itu melirik Embun yang terlihat sedih. "Pak Wijaya jangan khawatir, Lintang tidak akan menyakiti Jasmine. Dia anak yang baik, kami tidak pernah mengajarkan anak kami untuk tidak menghargai perempuan, Lintang pasti akan sangat mencintai Jasmine," sahut pak Yolan. Perkataan pak Yolan membuat hati Embun berdenyut perih, dirinya memang menantu yang tidak diharapkan oleh lelaki tua itu. Dirinya seperti tidak berharga setelah menjadi wanita yang tidak sempurna. "Ayah … Ibu …," batin Embun sambil teringat kepada kedua orang tuanya yang telah meninggal dunia. Tidak ada yang bisa menerima kekurangannya, tidak ada cinta yang benar-benar tulus untuknya selain orang tuanya. "Syukurlah, Jasmine harus selalu bahagia, saya tidak ingin putri saya menderita. Sejak umur lima tahun Jasmine sudah kehilangan mamanya, sejak saat itu dia tidak bisa lagi merasakan kasih sayang mamanya," papar pak Wijaya sembari mengenang almarhumah isinya. Lelaki itu tampak sedih. "Pak Wijaya tenang saja, saya akan memperlakukan Jasmine seperti putri kandung saya. saya akan memberikan apa yang hilang dari Jasmine," ucap bu Inggrid. "Jasmine merasa seperti punya mama, walaupun Mama Inggrid bukan mama kandung Jasmine. Jasmine senang, Pa. Papa jangan khawatir, Mama Inggrid, Papa Yolan juga Mas Lintang akan menyayangi Jasmine." Jasmine melirik Lintang. Lintang menelan ludah kasar, entah apa yang dirasakannya. "Mama juga seperti punya anak perempuan, kan, Mama cuma punya anak satu.""Syukurlah, Papa bahagia kalau kamu bahagia." Pak Wijaya menyeka lelehan air mata yang hampir lolos. Terharu karena semua orang menyayangi putri bungsunya, ia tidak menyesal menyerahkan Jasmine menjadi menantu keluarga Svarga, meskipun jadi yang kedua."Jasmine sudah seperti anak kandung kami, San," imbuh pak Yolan. Embun bergeming, ia merasa asing. Tidak ada yang melibatkannya dalam cengkrama hangat itu. Mereka terlalu bahagia menyambut menantu baru, menantu yang akan memberikan mereka cucu nantinya, sehingga dirinya seperti dianggap tidak kasat mata karena memang tidak berguna. Embun tersenyum getir. "Tuti, apa barangnya sudah semua?" tanya bu Inggrid saat Tuti melewati meja makan. "Sudah, Nya," jawab Tuti sambil menunduk khas asisten rumah tangga. "Barang apa?" tanya Jasmine penasaran. "Kado pernikahan kalian, Mama bawa saja kemari.""Oh, ya benar, kami hampir saja melupakannya. Terima kasih, Ma.""Iya, sayang."Diakhir acara makan pagi itu pak Yolan mengeluarkan sesuatu dari dalam saku bajunya dan meletakkan dua buah kertas di atas meja. Mama Inggrid tersenyum."Apa ini, Pa?" tanya Jasmine. "Itu tiket untuk kalian bulan madu, hadiah pernikahan kalian dari Mama dan Papa" ujar pak Yolan kemudian melirik istrinya. Mata Embun pedih melihat dua buah tiket itu, ada sesuatu yang mendesak ingin segera keluar dari sudut matanya. Jujur ia sangat iri. Apakah kebahagiaan hanya milik mereka yang sempurna, pikir Embun. "Iya, biar segera dapat kabar baik, ya, kan, Pa?" "Iya, Ma."Kemudian orang-orang di sana tergelak, sementara Jasmine tersipu malu. Aura bahagia terpancar dari masing-masing wajah, kecuali Embun. Ia terlihat biasa saja, meski dalam hati menangis. Tidakkah orang-orang itu memikirkan perasaannya, kenapa harus sekarang? Kenapa harus di depan matanya? Embun hanya bisa meratapi nasibnya yang merasa seperti pajangan. "Tapi, Ma, Pa, kalau aku dan Jasmine pergi, Embun sendirian di rumah, kasihan dia." Perkataan Lintang seketika menghentikan tawa bahagia orang-orang tersebut, "Embun tidak akan sendirian. Di sini ada bi Marsinah dan Tuti. Kenapa harus risau? Sekarang yang harus kamu pikirkan bagaimana caranya agar bisa segera memberi kami cucu."Kalimat demi kalimat yang keluar dari mulut bu Inggrid bagaikan mata pedang yang membelah jantung Embun, ia hanya bisa menjerit dalam hati sembari membendung air mata, sementara Lintang hanya terdiam. "Iya, kan, Embun? Kamu tidak keberatan, Mama yakin kamu pasti mengerti. Kalau Lintang dan Jasmine punya anak otomatis anak itu akan jadi anak kamu juga, kamu juga bisa membantu mengasuhnya dan merasakan menjadi seorang ibu." Bu Inggrid melihat ke arah menantu pertamanya. "I-iya, Ma," jawab Embun dengan berat hati, urat-uratnya seperti tercabut. Embun menghela napas menekan sesak yang bersarang di dada. "Benar kata Mama kamu, Lintang. Kalian fokus saja sama diri kalian, jangan pikirkan yang tidak terlalu penting dulu. Kami sebagai orang tua sangat menantikan kabar bahagia dari kalian dan yang terpenting jangan sampai setetes air mata putriku jatuh karenamu," tegas pak Wijaya. "Berarti aku tidak penting," batin Embun sambil menatap sendu ke dalam piring. Meja makan itu terasa seperti neraka, dimana orang-orang itu menyiksa hati dan perasaannya. "Kalau sampai Lintang melakukan itu, biar saya sendiri yang menghukumnya," sahut pak Yolan. "Tapi Papa percaya kamu tidak akan melakukan itu, iya, kan, Lintan?" tambah pak Yolan sambil melirik putranya. "I-iya, Pa." Lintang menelan ludah kasar. "Jadi, aku ratu apa di hatimu, Mas?" batin Embun lalu tersenyum getir. Ia merasa seperti menenggak racun dan racun itu menyebar ke seluruh tubuh. Semejak tinggal bertiga dibawa atap yang sama, kesakitan dalam hidupnya tidak berhenti, belum kering luka yang kemarin sudah ditoreh lagi dengan luka yang baru.Di bawah meja tangan Lintang menggem tangan Embun, wanita itu terkejut merasakan sentuhan di kulitnya. Embun menatap wajah lelaki yang menggenggam tangannya, mata mereka bertemu untuk beberapa saat sebelum deheman pak Wijaya mengakhiri semua itu. Dua keluarga itu meninggalkan meja makan, termasuk Lintang yang dirangkul oleh ayah mertuanya menyisakan Embun seorang diri di meja itu. "Mengapa kau begitu kejam Mas. Menahanku tetap di sini hanya untuk menonton kebahagian kalian," batin Embun, setetes air mata mengalir begitu saja selepas kepergian mereka. *****Keesokan harinya, Lintang dan Jasmine bersiap pergi berbulan madu ke tempat yang dihadiahkan oleh mertuanya. Embun menatap sendu dengan hati teriris-iris melihat Lintang dan Jasmine menyeret koper pakaian mereka menuju mobil. Ingin rasanya ia mencegah agar sang suami tidak pergi. Namun, ia tidak punya hak, mereka adalah pasangan sah. "Aku hanya bisa mendoakan kebaikan untukmu, Mas. Aku akan ikut bahagia jika kau bahagia, meskipun hatiku sakit," batin Embun sambil matanya tidak lepas dari Lintang dan Jasmine. "Aku akan terus membiarkan rasa sakit ini menggerogoti hati dan perasaanku hingga perlahan-lahan rasa cinta ini mati. Untuk saat ini, kubiarkan air mataku terus tumpah hingga saatnya tiba aku pergi dari sisimu, tidak ada lagi perasaan yang tersisa," batin Embun seraya tertunduk dengan mata menatap lantai. "Embun." Suara Lintang membuat Embun terperanjat, wanita itu mengangkat kepala dan menatap sang suami yang berada di depannya. "Kamu baik-baik di rumah, ya, aku pergi dulu."Embun bergeming, bagaimana mungkin ia bisa baik-baik saja ketika sang suami pergi untuk berbulan madu dengan wanita lain, istri mana yang tidak sakit. Setiap bangun tidur Embun mensugesti dirinya untuk kuat. Namun, ada saja hal yang membuat kekuatan yang susah payah ia kumpulkan runtuh. Setiap hari ia berusaha untuk tidak menangis. Namun, air mata itu kembali tumpah ketika kepedihan melanda. "I-iya, Mas. Hati-hati." Dengan berat hati Embun mengatakan itu, meski dalam hati tidak rela. Namun, mau tidak mau ia harus merelakan. Lintang memegang kedua pundak Embun, mengamati setiap inci wajah wanita yang sudah satu tahun menemaninya.Terlihat jelas segala kesakitan yang dirasakan oleh wanita itu, Lintang kemudian memeluknya. Dalam hati Lintang meminta maaf atas ketidakberdayaannya saat ini. Jantung Lintang berdebar-debar, perasaannya masih sama. Ia masih sangat mencintai Embun. "Maafkan aku," ucap Lintang tanpa suara, lelaki itu memejamkan mata meresapi rasa yang ada. "Mas! Ayo berangkat, nanti ketinggalan pesawat." Suara Jasmine mengurai pelukan Lintang dan Embun. Jasmine berdiri ditambang pintu sambil menatap tidak suka pada pasangan tersebut. Bersambung ….Malam semakin larut, semua penghuni rumah sudah terlelap. Namun, tidak dengan Jenar. Dia tidak bisa tidur karena terus memikirkan masalah-masalah yang kini menghimpit hidupnya. Jenar meremas kuat ujung selimut. Perasaan cemas, takut dan bayangan-bayangan buruk berputar di kepala membuatnya sangat tidak tenang. Di kamar yang sunyi dan tenang itu, isi kepala Jenar begitu berisik. “Ya, Tuhan. Tolong berikan aku jalan agar aku bisa menyelesaikan masalah ini,” kata Jenar dalam hati dengan penuh harap.“Aku tahu aku pernah salah, Tuhan, tapi kali ini tolonglah aku. Maafkan kesalahan yang pernah kulakukan. Aku mohon kali ini tolong aku.” Jenar memohon dalam hati. Matanya terpejam. Kepalanya sudah panas berpikir namun tak kunjung menemukan jalan.“Apa aku harus bekerja agar dapat uang?” Jenar bertanya pada dirinya sendiri karena sebuah ide muncul di kepala. “Tapi … apakah Mas Eros akan mengizinkan?” Dia ragu, mengingat Eros hanya ingin Jenar di rumah, mengurus suami dan anak saja. Semangatn
Lintang berdiri di balkon kamar, memandangi gemerlap bintang di langit yang terlihat indah malam ini. Angin sepoi-sepoi menerpa wajah membuat perasaannya tenang.“Aku bersyukur sekali, akhirnya Embun sadar. Meskipun harus membiarkannya sendiri dulu saat ini, tapi itu bukanlah suatu hal yang buruk. Nanti juga aku akan bisa memeluknya seperti dulu. Lebih tepatnya memeluk kedua istriku.” gumam Lintang sembari mendongak, matanya tak lepas dari keindahan langit. “Aku tidak harus kecewa dengan keputusannya, ini hanya sementara,” tambahnya merasakan sedikit kekecewaan. Kepalanya menunduk.“Aku tahu, kau tidak sekejam itu. Kau hanya kecewa di awalnya saja. Aku tidak salah mempertahankanmu karena akhirnya hatimu luluh juga.” Bibir Lintang melengkung membentuk sebuah senyuman. Pandangannya lurus ke depan seolah Embun berada di sana. “Aku berhasil,” lanjutnya bangga. “Kalau sudah begini, nanti aku tidak akan susah lagi membujuknya agar mau melakukan sidang.” Bibir itu tersenyum semakin lebar.
“Oh, ya, Jenar. Mulai hari ini Mama mau tinggal di sini, tinggal sama kalian dan cucu-cucu Mama yang lucu,” kata Bu Riana membuat Jenar semakin terkejut.“Ke-kenapa begitu, Ma? Bagaimana dengan Eris?” Jenar gugup, tapi tetap berusaha agar ekspresi wajahnya biasa saja. “Eriska Minggu depan mau ke Malaysia, dia dipindah tugas ke sana. Mama tidak mau di rumah sendirian, sepi, tidak ada teman ngobrol. Setelah Mama pikir lebih baik Mama tinggal sama kalian,” jelas Bu Riana. Jenar menghela napas kasar tanpa sepengetahuan mertuanya, seketika beban di pundaknya terasa bertambah.Jenar jadi kesal terhadap wanita paruh baya itu. Bukan tidak ingin wanita itu tinggal di rumahnya, tetapi saat ini dia tidak ingin ada lebih banyak orang di rumah. Ia takut rahasianya terbongkar. “Wanita tua ini hanya akan menambah masalahku saja!” umpatnya dalam hati.Di lubuk hati yang paling dalam, sungguh Jenar tidak ingin satu atap dengan mertua. Terlebih dari rumor yang dia dengar jika mertua sering menjadi b
Matahari bersinar hangat menyambut hari yang istimewa. Di sepanjang trotoar, balon warna-warni menari tertiup angin, dan spanduk bertuliskan “Grand Opening Embun’s Cake - from oven to heart” terpampang di depan toko yang baru dibuka.Aroma harum kue panggang tercium dari balik etalase kaca. Barisan pengunjung mulai mengular, penasaran mencicipi aneka kue spesial yang menggoda selera. Dari brownies lembut, cheese tart creamy, hingga kue lapis legit khas racikan rumahan.Di dalam toko, nuansa hijau pastel berpadu dengan dekorasi bunga segar dan senyum ramah para staf. Musik lembut mengiringi langkah pengunjung yang masuk satu per satu, disambut dengan welcome drink dan potongan kue tester.Embun, dengan wajah penuh haru dan bangga, berdiri di tengah keramaian. Setelah kata sambutan singkat dan doa bersama, pita di depan pintu dipotong. Tepuk tangan pun bergema, menandai toko Embun’s Cake resmi dibuka.Lintang lewat di depan toko kue Embun dan melihat keramaian itu. Dia sedikit heran dan
Bel rumah Jenar berbunyi, wanita yang tengah menemani anak-anaknya bermain di ruang depan langsung berdiri.“Pasti ada yang ketinggalan lagi,” gumam Jenar menuju pintu dan mengira itu suaminya.“Ya, ada apa ….” Ucapan Jenar menggantung ketika mendapati dua lelaki berseragam cokelat. Rasanya dia ingin menutup pintu kembali.“Selamat pagi, Maaf mengganggu, apakah Anda Ibu Jenar Zaira Wijaya?” tanya salah satu polisi.“I-iya, benar, Pak. Ada apa, ya?” jawab Jenar ragu. Dia bingung dan merasa sedikit takut. “Kami dari kepolisian sektor kota. Kami datang untuk menyampaikannya surat perintah penangkapan atas nama Anda, terkait penyelidikan atas dugaan keterlibatan Anda dalam kasus kecelakaan berencana sembilan tahun yang lalu,” lanjut rekan sang polisi.Duar! Bagai disambar petir, tiba-tiba rahasianya terbongkar dan entah siapa yang telah melaporkannya. Matanya melotot, jantungnya berdegup cepat. Jenar sangat ketakutan dan segala pikiran buruk muncul di kepala.“Apa? Saya … saya tidak men
Mendengar suara orang yang ditunggu-tunggu, Jenar dan Jasmine berdiri dari duduknya. Keduanya tersenyum sinis dengan tatapan mengejek. “Halo Mba? Aku kemari hanya ingin tahu bagaimana kabarmu,” kata Jasmine manis lalu menatap Jenar sekilas dengan senyum penuh arti. Embun berdecih mendengar kata-kata Jasmine. Terdengar manis seperti madu namun sebenarnya mengandung racun. “Kabarku baik-baik saja seperti yang kau lihat.” Embun melipat tangannya di dada. “Oh, um … seperti itu, ya? Kau yakin? Kau tidak berbohong? Aku sedikit khawatir padamu?” Jasmine tertawa dalam hati. “Seperti yang kau lihat,” sahut Embun, “sekarang kau sudah tahu kabarku, jadi silakan pulang!” Jasmine geram mendengar Embun mengusirnya. Tangan di samping tubuhnya terkepal dengan mata menatap nyalang. “Mengapa kau mengusir kami? Ini juga rumah adikku. Dia juga istrinya Lintang dan kau selalu harus ingat itu!” ketus Jenar. “Ya benar, aku juga istrinya Mas Lintang dan sebentar lagi kami akan memiliki anak. Jadi, aku