Share

Bab 5. Berusaha Mencairkan Suasana

"Mas, kok kamu nggak bangunin aku?" sapaku memulai pembicaraan.

Tidak ada sahutan, malah Mas Bendu meraih gadgetnya yang diletakkan di bawah bantal. Karena tidak ada respon dari dia, aku mengambil wudhu untuk melaksanakan Sholat Subuh.

Seusai sholat akupun masih berusaha mencairkan suasana.

"Mas, kamu marah?" ucapku sambil menggoyang-goyangkan kakinya.

Jangankan direspon dia malah menyentak kakinya. "Yasudahlah aku sudah berusaha, lebih baik aku biarkan saja." bisikku di dalam hati.

Aku bertolak ke dapur menyiapkan sarapan seperti biasa. Ketika ku buka kulkas tidak ada satupun stok yang bisa dimasak untuk makan siang. Hanya bumbu untuk nasi goreng yang tersedia. Setelah selesai membuat nasi goreng akupun menjemput Mas Bendu ke kamar untuk mengajaknya sarapan.

"Mas, yuk sarapan. Aku sudah bikinin nasi goreng kesukaanmu." ajakku pada suami yang sudah ready untuk berangkat kerja.

Ku raih pergelangan tangannya, lagi dan lagi dia menyentak tanpa menghiraukan pintaku, lalu berlalu keluar kamar bukan untuk menikmati hidangan sarapan yang kusiapkan di meja makan.

"Bu, Bendu pergi dulu ya. Oh iya Bu, soal gaji bulan ini nanti siang semuanya Bendu transfer ke ibu." ucapnya pada ibu. Begitu jelas apa yang dikatakan Mas Bendu pada ibunya.

Mas Bendu mau ngasih semua gajinya ke ibu?  Tanpa memberitahu aku terlebih dahulu. Oke lah Mas, jika kamu mau menjadi team ibu dan Nini, aku tak apa. 

Aku pikir dia lelaki yang beda, ternyata dia tidak lebih dari lelaki yang masih bersembunyi di bawah ketiak ibunya.

"Iya, Nak. Kamu hati-hati ya. Kabari saja ibu nanti kalau gajimu udah ditransfer semuanya ke ibu." 

"Iya, Bu. Bendu pamit ya. Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam."

Bunyi deru sepeda motor Mas Bendu perlahan hilang dari halaman rumah.

"Gimana Lio? Kamu terkejut kalau gaji Bendu mulai sekarang ditransfer ke ibu?" ucapnya yang tiba-tiba muncul di depan kamarku, tidak ada wajah bersahabat yang dia perlihatkan padaku, malah wajah sinis yang dia suguhkan.

"Nggak bu. Ibu pegang saja, aku juga tidak mempermasalahkannya." jawabku tenang, tentu saja aku berusaha mengontrol emosi.

"Nah iya harus begitu kamu. Ingat ya, bagaimana pun anak laki-laki itu harus utamain ibunya ketimbang kamu. Apalagi kamu kan mantan janda yang kebetulan aja dinikahi anak ibu." gelagatnya mencibirku membuat darahku naik pitam.

Dia tak ubahnya memperlakukan aku tanpa ada rasa menghargai di benaknya. "Iya, Bu. Ada yang mau ibu sampaikan lagi?" tanyaku sembari menebar senyum tipis walaupun di dalam dadaku bergejolak membara.

Bukan jawaban yang dia berikan, dia malah menyuguhiku dengan raut wajahnya yang masam ditambah dengan ujung bibir yang menyungging.

"Semoga suatu hari nanti bibirnya benar-benar menyungging permanen Yaa Allah" doaku dalam hati.

🌟🌟🌟

Di dalam kamar aku sibuk menyiapkan semua berkas lamaran lalu mengirimnya lewat email. Ada sekitar dua puluh lamaran kerja yang ku kirim lewat email. Mereka pikir aku tidak punya banyak cara untuk tetap menjalankan keinginanku. Mereka salah, salah orang lebih tepatnya.

Jangan mentang-mentang status ku yang pernah menjadi janda diusia muda mereka seenaknya memijakku dengan cara seperti ini. Oh tidak, itu takkan pernah terjadi. Dan kamu keliru Mas, sudah membela ibu dan adikmu sendiri.

Lebih dari sepuluh berkas lamaran aku kirim lewat email. Semoga saja ada beberapa yang nyantol, begitu harapku. Lihat saja nanti sikap mereka jika aku mempunyai uang.

"Bu, kok lauknya cuma ini doang?" terdengar Nini bersorak dari dapur.

"Apaan sih, Ni heboh mulu ah." gerutu ibu.

"Makannya ibu ke sini liat nih." pintanya dengan nada kesal.

"Ya ampppuuuuuuuuuun. Liodra sini kamu." teriak ibu.

Aku hanya senyum-senyum sendiri dari dalam kamar. Biar mereka tahu rasa, makan aja tuh ikan kering, ini enggak sok-sok an makan ayam, sedangkan ngeluarin duit aja susah. Semua keperluan rumah tangga Mas Bendu yang nanggung semuanya, perintilan apapun itu.

Awalnya memang aku tidak mempermasalahkan, tapi kalau dipikir-pikir nggak etis juga rasanya ibu dan Nini terlalu memberatkan Mas Bendu.

"Liodra, buka pintunya. Kamu tuh ya, udah numpang malah enakan molor di dalam. Keluar kamu." hardik ibu dari balik pintu kamarku gedorannya begitu keras hingga membuat gendang telingaku sakit.

Aku sengaja tidak menyahut, biar saja dia sampai puas berteriak dan menggedor pintunya.

"Lio, buka pintunya. Awas saja kamu, nanti ibu lapor ke Bendu sikap kamu yang kurang ajar ini." ancamnya.

Tak lama kemudian aku membuka pintu, dengan menyandang handuk di tangan pura-pura mandi sore, tentu saja tadi dengan sigap ku ganti baju piyama seolah-olah memang aku selesai mandi.

"Ada apa Bu? Aku lagi mandi tadi." jawabku polos, aku melunak bukan berarti takut, tapi aku sedang menyiapkan jebakan batman untuknya

"Kamu nggak masak? Tahu diri dikit napa, kalau numpang itu siapin juga makanan buat ibu dan Nini jangan tidur gratis saja kamu di sini." erangnya, mata membulat, hidung kembang kempes seperti harimau mau menerkam kucing.

"Astagfirullah, Buuuu. Gimana aku mau masak, 'kan duit sisa kemarin juga ibu minta. Aku nggak pegang uang lagi. Eh tapi Bu, bukannya Mas Bendu udah transfer duit ke ibu tadi siang, yaa beli aja dulu lauknya lewat gofooott Bu." jelas ku memberi ide.

"Belum ditransfer sama Bendu duitnya, pasti kamu 'kan yang larang. Nggak usah sok polos kamu." tuduhnya menunjukku ke arahku dengan telunjuk gempornya.

"Ya, makan aja dulu apa yang ada Bu." jawabku tak lupa ku suguhkan senyum tipis mata menyipit supaya dia lebih jantungan melihat reaksiku.

Dia menghela nafas kesal lalu bertolak menuju dapur. Piring dan sendok terdengar beradu kencang, semoga saja piringnya pecah, sumpahku.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status