Share

Bab 4

last update Last Updated: 2025-06-28 13:14:23

Waktu terus berjalan. Hubungan Wawan dan Nayla perlahan-lahan mulai membaik. Ada gelak tawa kecil yang kembali hadir di antara obrolan sarapan. Ada genggaman tangan yang mulai terasa hangat setiap mereka menyeberang jalan bersama Ayana. Rumah yang dulunya dingin kini mulai terasa hidup.

Namun, tidak semua luka bisa sembuh begitu saja. Ada bekas yang kadang perih saat disentuh.

Suatu sore, saat Nayla membuka aplikasi pesan di ponselnya, ia tak sengaja melihat notifikasi lama—sebuah chat dari nomor yang dulu disimpan dengan nama “Nadia 🥀”. Rasa penasaran muncul. Ia tahu Wawan sudah memutus hubungan itu. Tapi tetap saja, hatinya mencubit.

Dengan jari gemetar, ia membuka isi percakapan lama itu.

> “Aku senang bisa ketemu kamu lagi, Wan. Dunia ini kecil, ya?”

> “Iya. Kamu masih seperti dulu. Ceria.”

> “Dan kamu masih seperti dulu juga… hangat.”

Nayla mengembuskan napas panjang. Percakapan itu sudah lama, sebelum semua pengakuan terjadi. Tapi membaca kata-kata itu membuat hatinya terasa sepi kembali. Ia langsung menutup aplikasi dan meletakkan ponsel. Di dalam kamar, Ayana sedang tidur siang. Rumah sunyi, tapi pikirannya bising.

**

Malamnya, Wawan pulang dari kerja lebih larut dari biasanya. Ia membuka pintu perlahan, takut membangunkan Ayana.

Nayla masih terjaga. Duduk di ruang tamu, tanpa ekspresi.

“Maaf ya, Nay. Tadi rapat dadakan sama klien.”

Nayla tidak langsung menjawab. Ia hanya menatap Wawan lama. Lalu berkata, “Nomor Nadia masih kamu simpan?”

Wawan terdiam. Dadanya langsung terasa sesak.

“Sudah aku hapus,” jawabnya pelan.

“Dulu kamu masih simpan. Aku lihat chat kalian,” ujar Nayla, matanya tajam tapi wajahnya tenang.

“Aku… aku minta maaf. Aku benar-benar sudah memutus semuanya. Setelah malam itu aku nggak pernah hubungi dia lagi,” Wawan menjelaskan, mencoba menahan panik.

Nayla mengangguk. “Aku percaya. Tapi rasanya tetap sakit.”

Wawan mendekat, duduk di hadapan istrinya. “Aku salah. Aku seharusnya bersih total sejak awal. Tapi aku benar-benar berusaha berubah.”

Nayla menarik napas dalam. “Wan, aku nggak marah. Aku cuma takut… kalau perasaan kamu masih terbagi. Aku nggak bisa bersaing lagi. Dulu aku kehilangan diriku saat hamil. Sekarang aku baru mulai bangkit. Dan aku nggak mau kehilangan lagi.”

Wawan menggenggam tangan Nayla. “Perasaan itu sudah selesai. Aku memang pernah nyasar, Nay. Tapi arah pulangku selalu ke kamu. Ke rumah ini. Ke Ayana.”

Mata Nayla mulai berkaca. “Aku nggak minta kamu sempurna. Aku cuma minta jujur.”

“Aku janji, mulai sekarang aku akan buka semua. Ponselku, pikiranku, hatiku. Kalau kamu minta semuanya, aku kasih. Asal kamu jangan pernah lelah untuk tinggal,” ucap Wawan lirih.

Dan malam itu, mereka tidak berbicara banyak lagi. Hanya saling memeluk erat di ruang tamu yang remang-remang, seperti dua orang yang pernah tenggelam, dan kini saling menjadi pelampung.

**

Seminggu kemudian, kehidupan mereka kembali berjalan stabil. Wawan mulai membantu Nayla mengembangkan bisnis kecil-kecilan: menjual camilan rumahan. Mereka membuka akun I*******m bersama, memfoto produk, membalas pesanan. Kebersamaan itu menjadi terapi diam-diam. Saat mereka sibuk mengiris, membungkus, dan tertawa, luka-luka lama terasa lebih ringan.

Namun, ujian kembali datang—kali ini dari luar rumah.

Fitri, sahabat Nayla, datang membawa kabar bahwa salah satu tetangga, Bu Rini, mulai menyebar gosip.

“Katanya kamu itu terlalu sabar, Nay. Laki kamu aja selingkuh, kamu masih bisa senyum,” kata Fitri sambil menahan geram.

Nayla tersenyum hambar. “Biarin aja. Orang luar cuma lihat kulitnya. Mereka nggak tahu isi hati kita.”

“Kalau mereka makin jadi? Makin banyak yang ngomongin?”

“Biar. Aku udah nggak hidup dari pujian orang. Aku hidup dari keyakinanku sendiri,” jawab Nayla tenang.

Wawan yang mendengar itu dari dapur merasa hatinya semakin remuk sekaligus kagum. Istrinya, yang dulu keras dan mudah meledak, kini menjadi wanita yang begitu bijak menanggapi luka. Ia tahu, perubahan itu bukan datang sendiri—tapi dibentuk dari sakit yang dalam.

**

Satu malam, saat Wawan sedang menyuapi Ayana yang mulai bisa berdiri, Nayla menghampiri dengan selembar foto tua di tangannya. Foto itu adalah potret pernikahan mereka, lima tahun lalu. Wawan masih kurus, Nayla masih polos dengan senyum malu-malu.

“Kamu tahu?” ucap Nayla. “Dulu aku kira pernikahan itu cukup dengan cinta. Tapi sekarang aku tahu… pernikahan itu harus punya dua hal: maaf dan sabar.”

Wawan menatap foto itu, lalu menatap Nayla. “Dan aku butuh kamu untuk dua-duanya.”

Nayla tersenyum. “Dan aku butuh kamu untuk jadi lebih baik dari kemarin.”

Mereka bertukar pandang lama sekali. Sampai Ayana memukul mangkuk plastik dan tertawa sendiri, seakan ikut bahagia melihat ayah dan ibunya saling menatap tanpa kemarahan.

**

Hidup mereka belum sempurna.

Kadang Wawan masih tergoda untuk membuka media sosial Nadia, hanya sekadar ingin tahu kabar. Tapi ia selalu cepat-cepat menutup tab itu, mengingat wajah Nayla yang memaafkan dengan susah payah. Kadang Nayla juga masih menangis diam-diam saat mencuci piring, karena bayangan suaminya bersama wanita lain tak mudah hilang.

Tapi mereka tetap memilih untuk tinggal. Memilih untuk mencoba. Karena mereka tahu, cinta bukan sekadar perasaan, tapi keputusan yang diambil berulang-ulang.

Dan cinta itu, mereka tanam lagi setiap hari—meski di atas tanah yang pernah retak.

---

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Madu untuk istriku   Bab 6

    Pagi itu, hujan turun dengan deras. Suara rintik-rintik air di atap rumah seolah ikut menggambarkan suasana hati Wawan yang sedang gelisah. Hujan mengurungnya dalam ruang kecil pikiran yang penuh pergolakan.Sudah hampir dua minggu sejak Nadia mulai intens mengirim pesan dan mencoba menghubunginya. Wawan berusaha mengabaikan, tapi ada kalanya rasa rindu dan penyesalan menyelinap di sela-sela kesibukan.Ia tahu, jalan yang ia pilih sekarang penuh risiko. Ia bisa kehilangan segalanya—istri, anak, dan rasa hormat diri.Di sisi lain, Nayla juga tak lepas dari pergulatan batin. Ia mulai merasa ada yang berubah dalam diri suaminya. Waktu yang dulunya penuh perhatian kini mulai berkurang. Suara telepon yang tiba-tiba berbunyi di tengah malam membuatnya tidak nyaman.Pagi itu, Nayla duduk di depan meja makan dengan wajah serius. Wawan datang membawa segelas kopi, mencoba tersenyum, tapi mata mereka saling bertemu tanpa kata.“Nay…” Wawan memulai, suaranya berat.“Wan, kita harus bicara,” Nayl

  • Madu untuk istriku   Bab 5

    Beberapa bulan setelah upaya perbaikan rumah tangga itu, Wawan mulai merasa beban hidupnya semakin berat. Tekanan ekonomi yang tak kunjung reda, tanggung jawab sebagai suami dan ayah, serta rasa bersalah yang masih menjerat hatinya.Suatu sore, Wawan menerima telepon dari nomor yang tak dikenalnya. Saat mengangkat, suara Nadia terdengar jelas di ujung telepon.“Wan, lama nggak dengar kabar. Aku cuma mau tahu kamu baik-baik saja.”Jantung Wawan berdegup kencang. Rasa takut sekaligus penasaran berkecamuk di hatinya. Ia berusaha menenangkan diri.“Aku baik, Ni. Terima kasih sudah tanya.”Nadia tertawa kecil. “Kamu tahu, aku selalu percaya kamu bisa bangkit. Tapi aku juga nggak mau kamu terlalu keras pada dirimu sendiri.”Wawan terdiam. Kata-kata Nadia seperti racun manis yang kembali menusuk.“Aku harus bilang, aku sedang berjuang keras demi Nayla dan Ayana,” jawab Wawan pelan.Nadia bergumam, “Kalau begitu, aku nggak mau ganggu. Tapi kalau kamu butuh teman bicara, aku selalu ada.”Telep

  • Madu untuk istriku   Bab 4

    Waktu terus berjalan. Hubungan Wawan dan Nayla perlahan-lahan mulai membaik. Ada gelak tawa kecil yang kembali hadir di antara obrolan sarapan. Ada genggaman tangan yang mulai terasa hangat setiap mereka menyeberang jalan bersama Ayana. Rumah yang dulunya dingin kini mulai terasa hidup.Namun, tidak semua luka bisa sembuh begitu saja. Ada bekas yang kadang perih saat disentuh.Suatu sore, saat Nayla membuka aplikasi pesan di ponselnya, ia tak sengaja melihat notifikasi lama—sebuah chat dari nomor yang dulu disimpan dengan nama “Nadia 🥀”. Rasa penasaran muncul. Ia tahu Wawan sudah memutus hubungan itu. Tapi tetap saja, hatinya mencubit.Dengan jari gemetar, ia membuka isi percakapan lama itu.> “Aku senang bisa ketemu kamu lagi, Wan. Dunia ini kecil, ya?”> “Iya. Kamu masih seperti dulu. Ceria.”> “Dan kamu masih seperti dulu juga… hangat.”Nayla mengembuskan napas panjang. Percakapan itu sudah lama, sebelum semua pengakuan terjadi. Tapi membaca kata-kata itu membuat hatinya terasa se

  • Madu untuk istriku   Bab 3

    Sudah dua bulan sejak malam pengakuan itu.Hari-hari yang Wawan dan Nayla jalani bukan sepenuhnya damai. Ada hari-hari di mana Nayla masih terdiam lama, menatap kosong ke arah dapur sambil menggoyangkan sendok tanpa sadar. Ada pula hari di mana Wawan merasa ingin menyerah karena luka masa lalu selalu menyelinap dalam setiap percakapan.Namun, ada satu perbedaan besar: mereka kini mencoba. Bukan untuk kembali ke masa lalu, tapi untuk menciptakan masa depan baru, meski dengan fondasi yang sempat retak.Pagi ini, Wawan sedang mengganti popok Ayana. Tangannya canggung, tapi ia tetap berusaha. Ayana tertawa kecil, mempermainkan mulutnya dengan jari. Nayla yang sedang membuat bubur di dapur mencuri pandang dan tersenyum kecil. Wawan melihat senyum itu. Singkat, tapi cukup membuat hatinya berdesir.“Aku masak bubur ayam hari ini. Mau?” tanya Nayla.Wawan mengangguk. “Kalau buatan kamu, pasti mau.”Senyum Nayla melebar, tapi masih menyimpan hati-hati. Ia belum sepenuhnya percaya, belum sepenu

  • Madu untuk istriku   Bab 2

    Wawan tidak bisa tidur malam itu.Satu kata dari Nayla terus terngiang di telinganya: "Kalau kamu udah nggak bahagia, kenapa nggak bilang dari awal?"Ia meringkuk di tepi ranjang, sementara Nayla tidur membelakangi, memeluk Ayana erat-erat. Tak ada percakapan, tak ada air mata—tapi justru itulah yang paling menakutkan. Diam Nayla adalah tanda bahwa ia sudah melewati batas kecewa. Bukan lagi menanti penjelasan. Hanya menunggu kehancuran.Wawan ingin berkata, ingin menjelaskan, ingin meminta maaf. Tapi bibirnya seperti terkunci. Hatinya sendiri masih gamang. Ia memang marah dan kecewa pada Nayla—atas penolakan demi penolakan, atas dinginnya perlakuan yang terasa seperti tembok tak terlihat di rumah mereka. Tapi apakah semua itu pantas dibalas dengan pengkhianatan?Pagi datang tanpa suara. Seperti biasa, Nayla bangun lebih dulu, menyusui Ayana di ruang tamu. Tak ada sapa, tak ada tatap. Wawan hanya bisa memandangi punggung istrinya yang tampak kurus, seakan kelelahan telah menggerogoti t

  • Madu untuk istriku   Bab 1

    Angin sore menyusup lewat celah-celah jendela ruang tamu. Wawan menghempaskan tubuhnya ke sofa dengan napas berat. Baju kerjanya masih menempel, belum sempat diganti, dan keringat masih membasahi bagian leher. Di pangkuannya, gajinya hari itu hanya tersisa dua lembar lima puluh ribuan. Sisa untuk bayar utang, listrik, dan susu Ayana.“Udah pulang?” suara Nayla terdengar datar dari dapur. Ia tak menoleh.“Iya,” jawab Wawan pelan.Ayana merengek dari kamar. Tangisnya membuat dada Wawan terasa sesak. Ia berdiri, berjalan cepat ke kamar, lalu mengangkat putri kecilnya yang sudah mulai rewel karena lapar atau popoknya basah.“Nay, Ayana nangis. Susunya habis, kan?” tanyanya dari dalam kamar.Nayla muncul sambil mengaduk-aduk panci. “Ya kamu kan tahu. Aku udah bilang dari kemarin. Kamu yang kerja, masak aku juga harus mikirin semuanya?”Wawan menunduk. Ia tahu akhir-akhir ini uang selalu jadi pemicu pertengkaran. Tapi hatinya tetap perih setiap kali Nayla melempar kalimat seolah semua beban

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status