Share

Bab 5

last update Last Updated: 2025-06-28 13:15:37

Beberapa bulan setelah upaya perbaikan rumah tangga itu, Wawan mulai merasa beban hidupnya semakin berat. Tekanan ekonomi yang tak kunjung reda, tanggung jawab sebagai suami dan ayah, serta rasa bersalah yang masih menjerat hatinya.

Suatu sore, Wawan menerima telepon dari nomor yang tak dikenalnya. Saat mengangkat, suara Nadia terdengar jelas di ujung telepon.

“Wan, lama nggak dengar kabar. Aku cuma mau tahu kamu baik-baik saja.”

Jantung Wawan berdegup kencang. Rasa takut sekaligus penasaran berkecamuk di hatinya. Ia berusaha menenangkan diri.

“Aku baik, Ni. Terima kasih sudah tanya.”

Nadia tertawa kecil. “Kamu tahu, aku selalu percaya kamu bisa bangkit. Tapi aku juga nggak mau kamu terlalu keras pada dirimu sendiri.”

Wawan terdiam. Kata-kata Nadia seperti racun manis yang kembali menusuk.

“Aku harus bilang, aku sedang berjuang keras demi Nayla dan Ayana,” jawab Wawan pelan.

Nadia bergumam, “Kalau begitu, aku nggak mau ganggu. Tapi kalau kamu butuh teman bicara, aku selalu ada.”

Telepon itu ditutup. Wawan merasa campur aduk: antara bersalah dan tergoda. Ia tahu betul niat Nadia bukan sekadar ‘teman bicara’. Namun, dalam kerisauan dan kelelahan, godaan itu terasa begitu nyata.

**

Hari-hari berikutnya, Wawan semakin sulit fokus. Pikirannya sering melayang ke Nadia, kenangan manis yang pernah ada, serta kenyamanan yang dulu dirasakan. Ia berusaha keras menepis semua itu. Tapi rasa kesepian yang kerap menghampiri malam hari semakin menusuk.

Suatu malam, Nayla yang terbangun dari tidur, mendapati Wawan sedang termenung di ruang tamu dengan wajah muram.

“Ada apa, Wan?” tanyanya lembut.

Wawan terkejut, lalu menutup wajahnya dengan tangan. “Aku… aku merasa gagal, Nay. Gagal jadi suami dan ayah yang baik.”

Nayla menghampiri, duduk di sampingnya. “Kamu nggak gagal. Kita semua manusia yang bisa salah dan jatuh.”

Wawan menggenggam tangan Nayla erat. “Tapi aku takut kalau aku jatuh lagi. Aku takut kehilangan kamu.”

Nayla tersenyum sayu. “Kalau kamu butuh aku, aku selalu ada. Tapi kamu juga harus kuat untuk diri kamu sendiri.”

Malam itu, mereka berbicara panjang. Tentang harapan, takut, dan impian yang pernah hampir hilang.

**

Sementara itu, Nadia tidak pernah benar-benar pergi dari pikiran Wawan. Ia mulai mengirim pesan singkat yang membuat hati Wawan bergetar, dan kesepian yang dulu sempat hilang, kembali datang.

Suatu siang, Wawan menerima pesan singkat dari Nadia yang membuatnya gelisah.

“Wan, aku di dekat kantor kamu hari ini. Boleh kita ketemu? Aku cuma mau ngobrol.”

Wawan menatap layar ponsel. Ia tahu itu godaan terbesar yang harus ia lawan.

Dalam hatinya, ada pertempuran hebat: antara keinginan bertemu Nadia dan janji setianya pada Nayla.

**

Hari itu, Wawan memutuskan untuk pulang lebih awal. Ia mengabaikan pesan Nadia.

Sesampainya di rumah, Nayla menyambutnya dengan senyum hangat dan pelukan erat. Ayana yang sudah bisa berjalan maju menghampiri dengan langkah kecilnya, menggenggam jari ayahnya.

Wawan merasakan kehangatan itu seperti obat dari segala kelelahan dan kesepian. Ia sadar, meski godaan datang menghantui, rumah inilah tempat ia harus kembali.

**

Namun, godaan tidak selalu datang dari luar.

Dalam hati Nayla, terkadang muncul rasa takut dan cemburu yang sulit dijelaskan. Ia mulai memperhatikan sikap Wawan yang kadang gugup memegang ponsel atau tersenyum sendiri. Ia mencoba bertanya, tapi Wawan hanya tersenyum dan berkata, “Aku sedang lelah kerja.”

Nayla merasa ada jarak yang perlahan terbentuk. Ia berusaha keras menghapus rasa cemas itu, berusaha jadi istri yang lebih baik.

Suatu malam, Nayla duduk di beranda, menatap langit yang gelap bertabur bintang. Ia berdoa agar keluarganya diberi kekuatan menghadapi ujian ini.

**

Wawan dan Nayla tahu, cinta mereka kini diuji bukan hanya oleh masa lalu, tapi oleh pilihan-pilihan yang mereka buat setiap hari.

Bersama Ayana yang mulai merangkak dan tertawa riang, mereka belajar untuk terus percaya meski ketakutan selalu mengintai.

Dan di balik segala drama, luka, dan godaan, ada satu hal yang mereka pegang erat: harapan.

Harapan bahwa madu untuk istriku bukan hanya manisnya saat pertama, tapi juga kekuatan untuk bertahan dan menyembuhkan.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Madu untuk istriku   Bab 6

    Pagi itu, hujan turun dengan deras. Suara rintik-rintik air di atap rumah seolah ikut menggambarkan suasana hati Wawan yang sedang gelisah. Hujan mengurungnya dalam ruang kecil pikiran yang penuh pergolakan.Sudah hampir dua minggu sejak Nadia mulai intens mengirim pesan dan mencoba menghubunginya. Wawan berusaha mengabaikan, tapi ada kalanya rasa rindu dan penyesalan menyelinap di sela-sela kesibukan.Ia tahu, jalan yang ia pilih sekarang penuh risiko. Ia bisa kehilangan segalanya—istri, anak, dan rasa hormat diri.Di sisi lain, Nayla juga tak lepas dari pergulatan batin. Ia mulai merasa ada yang berubah dalam diri suaminya. Waktu yang dulunya penuh perhatian kini mulai berkurang. Suara telepon yang tiba-tiba berbunyi di tengah malam membuatnya tidak nyaman.Pagi itu, Nayla duduk di depan meja makan dengan wajah serius. Wawan datang membawa segelas kopi, mencoba tersenyum, tapi mata mereka saling bertemu tanpa kata.“Nay…” Wawan memulai, suaranya berat.“Wan, kita harus bicara,” Nayl

  • Madu untuk istriku   Bab 5

    Beberapa bulan setelah upaya perbaikan rumah tangga itu, Wawan mulai merasa beban hidupnya semakin berat. Tekanan ekonomi yang tak kunjung reda, tanggung jawab sebagai suami dan ayah, serta rasa bersalah yang masih menjerat hatinya.Suatu sore, Wawan menerima telepon dari nomor yang tak dikenalnya. Saat mengangkat, suara Nadia terdengar jelas di ujung telepon.“Wan, lama nggak dengar kabar. Aku cuma mau tahu kamu baik-baik saja.”Jantung Wawan berdegup kencang. Rasa takut sekaligus penasaran berkecamuk di hatinya. Ia berusaha menenangkan diri.“Aku baik, Ni. Terima kasih sudah tanya.”Nadia tertawa kecil. “Kamu tahu, aku selalu percaya kamu bisa bangkit. Tapi aku juga nggak mau kamu terlalu keras pada dirimu sendiri.”Wawan terdiam. Kata-kata Nadia seperti racun manis yang kembali menusuk.“Aku harus bilang, aku sedang berjuang keras demi Nayla dan Ayana,” jawab Wawan pelan.Nadia bergumam, “Kalau begitu, aku nggak mau ganggu. Tapi kalau kamu butuh teman bicara, aku selalu ada.”Telep

  • Madu untuk istriku   Bab 4

    Waktu terus berjalan. Hubungan Wawan dan Nayla perlahan-lahan mulai membaik. Ada gelak tawa kecil yang kembali hadir di antara obrolan sarapan. Ada genggaman tangan yang mulai terasa hangat setiap mereka menyeberang jalan bersama Ayana. Rumah yang dulunya dingin kini mulai terasa hidup.Namun, tidak semua luka bisa sembuh begitu saja. Ada bekas yang kadang perih saat disentuh.Suatu sore, saat Nayla membuka aplikasi pesan di ponselnya, ia tak sengaja melihat notifikasi lama—sebuah chat dari nomor yang dulu disimpan dengan nama “Nadia 🥀”. Rasa penasaran muncul. Ia tahu Wawan sudah memutus hubungan itu. Tapi tetap saja, hatinya mencubit.Dengan jari gemetar, ia membuka isi percakapan lama itu.> “Aku senang bisa ketemu kamu lagi, Wan. Dunia ini kecil, ya?”> “Iya. Kamu masih seperti dulu. Ceria.”> “Dan kamu masih seperti dulu juga… hangat.”Nayla mengembuskan napas panjang. Percakapan itu sudah lama, sebelum semua pengakuan terjadi. Tapi membaca kata-kata itu membuat hatinya terasa se

  • Madu untuk istriku   Bab 3

    Sudah dua bulan sejak malam pengakuan itu.Hari-hari yang Wawan dan Nayla jalani bukan sepenuhnya damai. Ada hari-hari di mana Nayla masih terdiam lama, menatap kosong ke arah dapur sambil menggoyangkan sendok tanpa sadar. Ada pula hari di mana Wawan merasa ingin menyerah karena luka masa lalu selalu menyelinap dalam setiap percakapan.Namun, ada satu perbedaan besar: mereka kini mencoba. Bukan untuk kembali ke masa lalu, tapi untuk menciptakan masa depan baru, meski dengan fondasi yang sempat retak.Pagi ini, Wawan sedang mengganti popok Ayana. Tangannya canggung, tapi ia tetap berusaha. Ayana tertawa kecil, mempermainkan mulutnya dengan jari. Nayla yang sedang membuat bubur di dapur mencuri pandang dan tersenyum kecil. Wawan melihat senyum itu. Singkat, tapi cukup membuat hatinya berdesir.“Aku masak bubur ayam hari ini. Mau?” tanya Nayla.Wawan mengangguk. “Kalau buatan kamu, pasti mau.”Senyum Nayla melebar, tapi masih menyimpan hati-hati. Ia belum sepenuhnya percaya, belum sepenu

  • Madu untuk istriku   Bab 2

    Wawan tidak bisa tidur malam itu.Satu kata dari Nayla terus terngiang di telinganya: "Kalau kamu udah nggak bahagia, kenapa nggak bilang dari awal?"Ia meringkuk di tepi ranjang, sementara Nayla tidur membelakangi, memeluk Ayana erat-erat. Tak ada percakapan, tak ada air mata—tapi justru itulah yang paling menakutkan. Diam Nayla adalah tanda bahwa ia sudah melewati batas kecewa. Bukan lagi menanti penjelasan. Hanya menunggu kehancuran.Wawan ingin berkata, ingin menjelaskan, ingin meminta maaf. Tapi bibirnya seperti terkunci. Hatinya sendiri masih gamang. Ia memang marah dan kecewa pada Nayla—atas penolakan demi penolakan, atas dinginnya perlakuan yang terasa seperti tembok tak terlihat di rumah mereka. Tapi apakah semua itu pantas dibalas dengan pengkhianatan?Pagi datang tanpa suara. Seperti biasa, Nayla bangun lebih dulu, menyusui Ayana di ruang tamu. Tak ada sapa, tak ada tatap. Wawan hanya bisa memandangi punggung istrinya yang tampak kurus, seakan kelelahan telah menggerogoti t

  • Madu untuk istriku   Bab 1

    Angin sore menyusup lewat celah-celah jendela ruang tamu. Wawan menghempaskan tubuhnya ke sofa dengan napas berat. Baju kerjanya masih menempel, belum sempat diganti, dan keringat masih membasahi bagian leher. Di pangkuannya, gajinya hari itu hanya tersisa dua lembar lima puluh ribuan. Sisa untuk bayar utang, listrik, dan susu Ayana.“Udah pulang?” suara Nayla terdengar datar dari dapur. Ia tak menoleh.“Iya,” jawab Wawan pelan.Ayana merengek dari kamar. Tangisnya membuat dada Wawan terasa sesak. Ia berdiri, berjalan cepat ke kamar, lalu mengangkat putri kecilnya yang sudah mulai rewel karena lapar atau popoknya basah.“Nay, Ayana nangis. Susunya habis, kan?” tanyanya dari dalam kamar.Nayla muncul sambil mengaduk-aduk panci. “Ya kamu kan tahu. Aku udah bilang dari kemarin. Kamu yang kerja, masak aku juga harus mikirin semuanya?”Wawan menunduk. Ia tahu akhir-akhir ini uang selalu jadi pemicu pertengkaran. Tapi hatinya tetap perih setiap kali Nayla melempar kalimat seolah semua beban

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status