Beberapa bulan setelah upaya perbaikan rumah tangga itu, Wawan mulai merasa beban hidupnya semakin berat. Tekanan ekonomi yang tak kunjung reda, tanggung jawab sebagai suami dan ayah, serta rasa bersalah yang masih menjerat hatinya.
Suatu sore, Wawan menerima telepon dari nomor yang tak dikenalnya. Saat mengangkat, suara Nadia terdengar jelas di ujung telepon. “Wan, lama nggak dengar kabar. Aku cuma mau tahu kamu baik-baik saja.” Jantung Wawan berdegup kencang. Rasa takut sekaligus penasaran berkecamuk di hatinya. Ia berusaha menenangkan diri. “Aku baik, Ni. Terima kasih sudah tanya.” Nadia tertawa kecil. “Kamu tahu, aku selalu percaya kamu bisa bangkit. Tapi aku juga nggak mau kamu terlalu keras pada dirimu sendiri.” Wawan terdiam. Kata-kata Nadia seperti racun manis yang kembali menusuk. “Aku harus bilang, aku sedang berjuang keras demi Nayla dan Ayana,” jawab Wawan pelan. Nadia bergumam, “Kalau begitu, aku nggak mau ganggu. Tapi kalau kamu butuh teman bicara, aku selalu ada.” Telepon itu ditutup. Wawan merasa campur aduk: antara bersalah dan tergoda. Ia tahu betul niat Nadia bukan sekadar ‘teman bicara’. Namun, dalam kerisauan dan kelelahan, godaan itu terasa begitu nyata. ** Hari-hari berikutnya, Wawan semakin sulit fokus. Pikirannya sering melayang ke Nadia, kenangan manis yang pernah ada, serta kenyamanan yang dulu dirasakan. Ia berusaha keras menepis semua itu. Tapi rasa kesepian yang kerap menghampiri malam hari semakin menusuk. Suatu malam, Nayla yang terbangun dari tidur, mendapati Wawan sedang termenung di ruang tamu dengan wajah muram. “Ada apa, Wan?” tanyanya lembut. Wawan terkejut, lalu menutup wajahnya dengan tangan. “Aku… aku merasa gagal, Nay. Gagal jadi suami dan ayah yang baik.” Nayla menghampiri, duduk di sampingnya. “Kamu nggak gagal. Kita semua manusia yang bisa salah dan jatuh.” Wawan menggenggam tangan Nayla erat. “Tapi aku takut kalau aku jatuh lagi. Aku takut kehilangan kamu.” Nayla tersenyum sayu. “Kalau kamu butuh aku, aku selalu ada. Tapi kamu juga harus kuat untuk diri kamu sendiri.” Malam itu, mereka berbicara panjang. Tentang harapan, takut, dan impian yang pernah hampir hilang. ** Sementara itu, Nadia tidak pernah benar-benar pergi dari pikiran Wawan. Ia mulai mengirim pesan singkat yang membuat hati Wawan bergetar, dan kesepian yang dulu sempat hilang, kembali datang. Suatu siang, Wawan menerima pesan singkat dari Nadia yang membuatnya gelisah. “Wan, aku di dekat kantor kamu hari ini. Boleh kita ketemu? Aku cuma mau ngobrol.” Wawan menatap layar ponsel. Ia tahu itu godaan terbesar yang harus ia lawan. Dalam hatinya, ada pertempuran hebat: antara keinginan bertemu Nadia dan janji setianya pada Nayla. ** Hari itu, Wawan memutuskan untuk pulang lebih awal. Ia mengabaikan pesan Nadia. Sesampainya di rumah, Nayla menyambutnya dengan senyum hangat dan pelukan erat. Ayana yang sudah bisa berjalan maju menghampiri dengan langkah kecilnya, menggenggam jari ayahnya. Wawan merasakan kehangatan itu seperti obat dari segala kelelahan dan kesepian. Ia sadar, meski godaan datang menghantui, rumah inilah tempat ia harus kembali. ** Namun, godaan tidak selalu datang dari luar. Dalam hati Nayla, terkadang muncul rasa takut dan cemburu yang sulit dijelaskan. Ia mulai memperhatikan sikap Wawan yang kadang gugup memegang ponsel atau tersenyum sendiri. Ia mencoba bertanya, tapi Wawan hanya tersenyum dan berkata, “Aku sedang lelah kerja.” Nayla merasa ada jarak yang perlahan terbentuk. Ia berusaha keras menghapus rasa cemas itu, berusaha jadi istri yang lebih baik. Suatu malam, Nayla duduk di beranda, menatap langit yang gelap bertabur bintang. Ia berdoa agar keluarganya diberi kekuatan menghadapi ujian ini. ** Wawan dan Nayla tahu, cinta mereka kini diuji bukan hanya oleh masa lalu, tapi oleh pilihan-pilihan yang mereka buat setiap hari. Bersama Ayana yang mulai merangkak dan tertawa riang, mereka belajar untuk terus percaya meski ketakutan selalu mengintai. Dan di balik segala drama, luka, dan godaan, ada satu hal yang mereka pegang erat: harapan. Harapan bahwa madu untuk istriku bukan hanya manisnya saat pertama, tapi juga kekuatan untuk bertahan dan menyembuhkan.Seiring waktu berjalan, Wawan dan Nayla mulai merajut kembali hubungan mereka yang sempat retak. Tapi meski sudah ada kejujuran, jejak-jejak masa lalu sulit untuk dihapus begitu saja. Setiap kali Wawan menerima telepon atau pesan, Nayla selalu merasa ada yang disembunyikan. Hatinya bergolak, mencoba mengusir bayang-bayang yang masih membayangi.Suatu pagi, saat Nayla mengantar Ayana ke tempat penitipan, teleponnya bergetar. Sebuah pesan masuk dari nomor yang tak dikenal:“Kamu nggak akan pernah tahu apa yang sebenarnya terjadi antara Wawan dan Nadia.”Nayla menatap pesan itu dengan perasaan campur aduk. Apakah ini cuma gosip atau ada sesuatu yang benar-benar disembunyikan?Ia memutuskan untuk tidak langsung percaya, tapi perasaan tidak tenang mulai menguasai pikirannya.**Di sisi lain, Wawan sedang menghadiri pertemuan bisnis dengan klien baru. Ia berusaha keras fokus pada pekerjaan agar bisa memberi kehidupan yang lebih baik untuk keluarganya. Namun, pikirannya sering melayang ke r
Beberapa minggu berlalu sejak malam itu. Suasana rumah mulai terasa hangat kembali. Wawan dan Nayla belajar menata kembali hubungan mereka, menyulam benang-benang kepercayaan yang sempat putus. Ayana tumbuh sehat dan ceria, menjadi sumber kebahagiaan di tengah segala perjuangan.Namun, ujian baru muncul dari arah yang tak terduga.Suatu pagi, saat Wawan sedang mempersiapkan berkas untuk proyek rumah kontainer yang tengah dikerjakannya, sebuah pesan masuk dari nomor tak dikenal. Kali ini pesan itu berbeda, bukan dari Nadia.“Halo, Pak Wawan. Saya adalah klien baru yang ingin bekerjasama dengan proyek Anda. Bisakah kita bertemu minggu ini?”Wawan sedikit lega. Ia membalas dengan antusias. Kesempatan ini bisa menjadi jalan keluar dari tekanan ekonomi yang selama ini menghimpit keluarga kecilnya.Namun, beberapa hari kemudian, saat Wawan bertemu dengan klien tersebut di sebuah kafe, ia terkejut. Wanita yang duduk di depannya bukan hanya cantik, tapi juga mengenakkan—dan bukan orang asing
Minggu-minggu berlalu sejak Wawan memutuskan untuk memutuskan komunikasi dengan Nadia. Namun, bukan berarti hatinya menjadi ringan. Keraguan terus membayangi setiap langkahnya, seperti gelombang besar yang terus datang dan pergi tanpa bisa ia kendalikan.Pagi itu, Wawan terbangun dengan perasaan campur aduk. Ia memandang Nayla yang sedang sibuk menyiapkan sarapan untuk Ayana. Senyum istri yang dulu pernah ia abaikan kini menjadi alasan kuat untuk bertahan.Namun, suara telepon yang tiba-tiba berbunyi memecah keheningan pagi. Wawan menghela napas panjang sebelum mengangkat. “Halo?”Suara Nadia terdengar lembut di ujung sana, “Wan, aku tahu kamu berusaha. Tapi aku rindu. Bisa kita bicara?”Wawan menahan diri, “Ni, aku sudah bilang aku harus fokus pada keluarga. Tolong hargai itu.”Nadia terdiam sejenak, lalu berkata dengan suara penuh kepedihan, “Aku cuma ingin kamu tahu, aku masih di sini kalau kamu butuh.”Setelah menutup telepon, Wawan duduk termenung. Keraguan mulai merayap masuk,
Setelah beberapa bulan bekerja keras di kota yang jauh dari rumah, Wawan kembali dengan wajah yang berbeda—lebih matang, namun tetap membawa beban berat yang tak terlihat.Rumah yang dulu terasa dingin kini hangat kembali menyambutnya. Nayla dan Ayana menunggu dengan senyum lelah namun penuh harapan. Meski waktu berjauhan menyisakan luka, mereka tahu ini saatnya menata hidup yang baru.Namun, perjalanan pulih tidak semudah membalikkan telapak tangan.**Malam itu, saat mereka duduk bersama di ruang tamu, Wawan membuka pembicaraan yang sudah lama ia pendam.“Nay, aku tahu aku banyak salah. Aku pernah buat kamu terluka, dan aku nggak bisa minta maaf cukup banyak,” ucapnya lirih.Nayla menatap mata Wawan, berusaha menyembunyikan rasa sakit yang masih tersisa.“Tapi aku benar-benar ingin kita mulai lagi. Bukan hanya untuk Ayana, tapi untuk kita juga.”Nayla menghela napas panjang, lalu berkata, “Aku juga ingin, Wan. Tapi aku takut. Aku takut kalau kita salah langkah lagi.”Wawan menggeng
Pagi itu, hujan turun dengan deras. Suara rintik-rintik air di atap rumah seolah ikut menggambarkan suasana hati Wawan yang sedang gelisah. Hujan mengurungnya dalam ruang kecil pikiran yang penuh pergolakan.Sudah hampir dua minggu sejak Nadia mulai intens mengirim pesan dan mencoba menghubunginya. Wawan berusaha mengabaikan, tapi ada kalanya rasa rindu dan penyesalan menyelinap di sela-sela kesibukan.Ia tahu, jalan yang ia pilih sekarang penuh risiko. Ia bisa kehilangan segalanya—istri, anak, dan rasa hormat diri.Di sisi lain, Nayla juga tak lepas dari pergulatan batin. Ia mulai merasa ada yang berubah dalam diri suaminya. Waktu yang dulunya penuh perhatian kini mulai berkurang. Suara telepon yang tiba-tiba berbunyi di tengah malam membuatnya tidak nyaman.Pagi itu, Nayla duduk di depan meja makan dengan wajah serius. Wawan datang membawa segelas kopi, mencoba tersenyum, tapi mata mereka saling bertemu tanpa kata.“Nay…” Wawan memulai, suaranya berat.“Wan, kita harus bicara,” Nayl
Beberapa bulan setelah upaya perbaikan rumah tangga itu, Wawan mulai merasa beban hidupnya semakin berat. Tekanan ekonomi yang tak kunjung reda, tanggung jawab sebagai suami dan ayah, serta rasa bersalah yang masih menjerat hatinya.Suatu sore, Wawan menerima telepon dari nomor yang tak dikenalnya. Saat mengangkat, suara Nadia terdengar jelas di ujung telepon.“Wan, lama nggak dengar kabar. Aku cuma mau tahu kamu baik-baik saja.”Jantung Wawan berdegup kencang. Rasa takut sekaligus penasaran berkecamuk di hatinya. Ia berusaha menenangkan diri.“Aku baik, Ni. Terima kasih sudah tanya.”Nadia tertawa kecil. “Kamu tahu, aku selalu percaya kamu bisa bangkit. Tapi aku juga nggak mau kamu terlalu keras pada dirimu sendiri.”Wawan terdiam. Kata-kata Nadia seperti racun manis yang kembali menusuk.“Aku harus bilang, aku sedang berjuang keras demi Nayla dan Ayana,” jawab Wawan pelan.Nadia bergumam, “Kalau begitu, aku nggak mau ganggu. Tapi kalau kamu butuh teman bicara, aku selalu ada.”Telep